ANALISIS SEMIOTIKA DALAM NASKAH DRAMA "PRESIDEN KITA TERCINTA" KARYA AGUS NOOR KAJIAN DRAMA Disusun Oleh: Naning Nur Wijayanti 2125152730 Program Studi Sastra Indonesia PDF

Title ANALISIS SEMIOTIKA DALAM NASKAH DRAMA "PRESIDEN KITA TERCINTA" KARYA AGUS NOOR KAJIAN DRAMA Disusun Oleh: Naning Nur Wijayanti 2125152730 Program Studi Sastra Indonesia
Author Naning Nur Wijayanti
Pages 39
File Size 2.1 MB
File Type PDF
Total Downloads 158
Total Views 480

Summary

ANALISIS SEMIOTIKA DALAM NASKAH DRAMA “PRESIDEN KITA TERCINTA” KARYA AGUS NOOR KAJIAN DRAMA Dosen Pengampu: Helvy Tiana Rosa, M. Hum. Disusun Oleh: Naning Nur Wijayanti 2125152730 Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta 2016 1. SINOPSIS Cerita bermula pada ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

ANALISIS SEMIOTIKA DALAM NASKAH DRAMA "PRESIDEN KITA TERCINTA" KARYA AGUS NOOR KAJIAN DRAMA Disusun Oleh: Naning... Naning Nur Wijayanti Universitas Negeri Jakarta

Cite this paper

Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Kewenangan Mahkamah Konst it usi dalam Pembubaran Part ai Polit ik di Indonesia sebagai Pe… Pandu Dewanat a

Isi Kesenjangan Ist ana 1 zen abdurrahman Halaman Iklan: IKLAN INI DILARANG OLEH PEMERINTAH TAHUN1978 Gambar Teks Sukmadji Indro T jahyono

ANALISIS SEMIOTIKA DALAM NASKAH DRAMA “PRESIDEN KITA TERCINTA” KARYA AGUS NOOR

KAJIAN DRAMA Dosen Pengampu: Helvy Tiana Rosa, M. Hum.

Disusun Oleh: Naning Nur Wijayanti 2125152730

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta 2016

1. SINOPSIS Cerita bermula pada gambaran sebuah kerusuhan yang terjadi di sebuah negara. Presiden sebelumya mati ditembak saat kerusuhan. Dengan seorang kolonel yang berperan bak pahlawan yang memimpin penyelesaian konflik di sebuah negara. Kolonel Kalawa Mepaki yang awalnya diragukan oleh Anggota Dewan Senator Kota namun dengan kekuasaannya, ia dapat mengetahui kebusukan Awuk seorang Senator yang sangat kontra dan kritis terhadapnya yang pada akhirnya hanya dapat menjadi anjing yang patuh pada tuannya. Ditambah dengan didukungnya Kolonel Kalawa Mepaki oleh Tuan Pitaya Mentala yang merupakan Hakim Tinggi Konstitusi yang selalu membenarkan Kolonel Kalawa Mepaki sehingga mendapatkan kepercayaan dari Anggota Dewan Senator. Sang Kolonel juga bekerja sama dengan Lalita Maningka yaitu Ibu Negara yang berusaha mengumpulkan simpati rakyat agar berpihak kepada Kolonel sehingga nantinya Kolonel bisa naik menjadi Presiden. Setiap tindakan yang akan diambil oleh Kolonel Kalawa Mepaki didahului oleh melempar koin, koin tersebut dipercayanya sebagai koin keberuntungan. Ketika pemilu harus diadakan, semua rakyat harus mencalonkan diri menjadi presiden untuk membuktikan demokrasi pada rakyat. Disisi lain di sebuah desa, ada satu keluarga yang sangat membumi, tidak mengerti apa-apa mengenai apa yang terjadi, apatis bahkan hanya “tunduk” pada peraturan yang ada. Keluarga itu dikepalai oleh seorang Bapak bernama Antawis Maekani yang beristrikan seorang mantan sinden Marani Antawis, mereka adalah orang yang sangat patuh hukum berbeda dengan kedua anaknya yaitu Kapilka dan Mulati yang sangat kritis terhadap apa yang sedang terjadi. Dengan koin keberuntungannya, Kolonel menetapkan Antawis Maekani sebagai presiden. Semasa Antawis Maekani menjadi presiden banyak hal yang dilakukan Kolonel beserta para sekutunya untuk menjebak Antawis Maekani sehingga dituntut untuk lengser dan semasa Antawis menjabat presiden Lalita Maningka mulai jatuh hati pada Antawis Maekani. Pada saat kudeta berlangsung, Lalita Maningka menyuruh Antawis Maekani untuk kabur. Lalita Maningka lalu duduk mencoba selayaknya menggantikan diri presiden. Saat itu, Kolonel Kalawa Mepaki menembak Lalita Maningka yang disangkanya adalah Antawis Maekani, karena pada saat itu Kolonel Kalawa Mepaki lupa untuk melempar koin keberuntungannya.

Antawis menjadi buronan rahasis Kolonel. Antawis Maepaki yang dibiarkan berlari dengan berselimut sarung untuk menutupi wajahnya oleh Lalita Maningka, orang-orang kampungnya menyangka bahwa yang ada di dalam sarung tersebut adalah mayat korban petrus. Namun, setelah mengetahui bahwa orang tersebut adalah sang presiden, semua orang bahkan Kapilka dan Mulati menghajar Antawis Maekani. Pengeroyokan itu segera dihentikan oleh Marani Antawis. Seketika terjadi perdebatan keluarga, namun segera setelah itu datang truk-truk yang sedang mencari sang presiden. Antawis Maekani langsung dibawa kabur oleh keluarganya. Pada babak berikutnya, terlihat keluarga Antawis Maekani digiring untuk mendapatkan hukuman mati, mereka difitnah sebagai penghianat yang mengaku sebagai keluarga presiden, mereka dituduh telah memutilasi presiden. Babak selanjutnya, terlihat bahwa Awuk sang Senator yang telah berubah menjadi anjing yang menjadi presiden.

2. STRUKTUR CERITA 2.1.

Eksposisi Cerita bermula pada gambaran sebuah kerusuhan yang terjadi di sebuah negara. Pesakitan, “Hidup Tuan Presiden! Hidup Tuan Presiden!...” Pada saat itulah, serentetan tembakan langsung membuat tubuh pesakitan itu rubuh. (hlm.2) Suara Penyiar Radio, “Berita Pagi Radio Republik Nasional… Serangkaian serangan dan penculikan telah terjadi tengah malam tadi di Ibu Kota Negara. Presiden dikabar mati tertembak oleh para pemberontak. Situasi masih simpang siur. Sementara Kolenel Kalawa Mepaki yang langsung mengambil alih pengamanan Ibu Kota, menegaskan bahwa saat ini situasi telah berangsur-angsur terkendali…” (hlm.3) Kolonel Kalawa Mepaki yang memimpin penyelesaian konflik di sebuah negara saat presiden telah tiada. Pembunuhan terhadap orang-orang yang mendukung Tuan Presiden yang telah dibunuh untuk digantikan dengan seorang presiden yang dapat diatur atau

“pemimpin boneka”. Kolonel Kalawa Mepaki yang awalnya diragukan oleh Anggota Dewan Senator Kota namun dengan kekuasaannya, ia dapat mengetahui kebusukan Awuk seorang Senator yang sangat kontra dan kritis terhadapnya. Kolonel Kalawa Mepaki, “Saya bisa memahami situasi yang penuh kecurigaan seperti ini. Tapi saya bisa menegaskan: Berdasarkan Badan Informasi Intelejen, yang secara kebetulan ada dibawah komando saya, Tuan Presiden memang mati ditembak kaum anarkhisrevolusioner, yang didukung oleh apa yang di sebut Konspirasi Para Jenderal…” (hlm. 4) Awuk, “Bagaimana dengan informasi lain, yang menyebutkan pasukan perang, yang juga secara kebetulan dibawah komando Anda, terlibat dalam penculikan Presiden itu? Apakah Anda hendak mengesampingkan informasi ini, Kolonel?” (hlm.4) Kolonel Kalawa, “Tuan Awuk… Tuan boleh mempercayai setiap informasi, sejauh informasi itu tidak bertentangan dengan informasi yang saya berikan. Saya berusaha mengendalikan semua kasak-kusuk yang menyesatkan…” (hlm.4) Seorang Senator, “Atas dasar apa, Anda merasa memiliki wewenang seperti itu, Kolonel?!” (hlm.4) Sesekali masih terdengar tembakan, nun di luar sana… Kolonel Kalawa Mepaki, “Mestikah saya membiarkan semua baku tembak itu terus berlangsung?” (hlm.4) Ditambah dengan didukungnya Kolonel Kalawa Mepaki oleh Tuan Pitaya Mentala yang merupakan Hakim Tinggi Konstitusi yang selalu membenarkan Kolonel Kalawa Mepaki sehingga mendapatkan kepercayaan dari Anggota Dewan Senator. Tuan Pitaya Mentala, “Terimakasih… Terimakasih… Sebagai Hakim Tinggi Konstitusi, ane hanya akan menegaskan, haqul yakin, bahwa apa yang telah dilakukan Kolonel Kalawa Mepaki memang sudah sesuai dengan konstitusi. Dalam Kitab Konstitusi, dinyatakan, bahwa segala tindakan yang dilakukan sesuai konstitusi, maka dinyatakan konstitusional. Karna itulah, tindakal yang konstitusional, tidak bisa

disebut

sebagai

melanggar

konstitusi…

Dus,

itu

berarti

ane

yakin

seyakinyakinnya, tindakan yang sesuai konstitusi itu bisa dibenarkan secara konstitusional… Merujuk pasal 5 ayat 3 dalam Kitab Konstitusi ini, maka apa yang dilakukan Kolonel Kalawa Mepaki telah sesuai konstitusi. Karena tindakan yang sesuai konstitusi tidak bisa diyatakan melanggar konstitusi, maka Kolonel Kalawa Mepaki dengan sendirinya telah melaksanakan amanat konstitusi. Makanya, secara konstitusional, ia telah sesuai dengan konstitusi. Karna secara konstitusi….” (hlm.6-7) 2.2.

Komplikasi Hal-hal yang terjadi dalam naskah ini sangat rumit. Dimulai dari awal yang menunjukkan chaos yang terjadi di sebuah negara. Seorang Senator bernama Awuk yang sangat kontra dengan Kolonel Kalawa Mepaki. Namun, dengan kekuasaannya Kolonel Kalawa Mepaki membongkar semua rencana jahat Awuk untuk mengkudeta Presiden sehingga Awuk memohon ampun pada Kolonel dan Awuk berubah menjadi anjing.

Kolonel Kalawa Mepaki, sambil mengacungkan gulungan kertas itu, “Seperti yang saya tegaskan, ini adalah data-data seputar komplotan yang membunuh Presiden…” Lalu membagi-bagikan lembaran kertas itu pada para senator, “Semua nama-nama yang berkomplot membunuh Presiden, ada disitu…” (hlm.8) Semua membaca. Dan tampak Awuk menjadi panik, Awuk, “Tidak mungkin! Ini fitnah! Ini fitnah!” (hlm.8) Kolonel Kalawa Mepaki, “Kenapa? Kaget mendapati nama kamu ada di daftar itu? Saya sudah lama mengendus rencana jahat konspirasi ini. Saudara Awuk adalah agen ganda yang sengaja disusupkan ke Gedung Senator ini… Saudara Awuk terlibat dalam pertemuan

terakhir

para

Dewan

Jenderal….

Ia

pengkhianat!

Bersama

komplotannya ia merancang pembunuhan Presiden!” (hlm.9) Kolonel Kalawa Mepaki, “Bukankah semasa mahasiswa kamu menentang Tuan Presiden?!” (hlm.9) Kolonel Kalawa Mepaki, “Ya, kamu memang sudah lama merancang kekacauan ini!” (hlm.9)

Kolonel Kalawa Mepaki, “Yang mana yang tidak benar? Bahwa kamu, sewaktu di Komisi Lima, terlibat korupsi alih fungsi hutan lindung, dan uang itu kemudian kamu gunakan untuk mendanai diskusi-diskusi bawah tanah kaum radikal? Bahwa kamu bersama para klandenstin telah berhasil membobol dana dari Bank Pusat?” (hlm.9) Kolonel Kalawa Mepaki, “Bahwa kamu pernah bikin rekaman mesum… Bahwa kamu suka memakai Viagra…”(hlm.9) Awuk, suaranya terdengar seperti anjing yang menguik, “Saya berjanji hik hik.. Setia guk guk… Saya… guk.. janji…guk guk…Setia.. guk guk guk…” (hlm.10)

Selanjutnya, Kolonel Kalawa Mepaki mendapatkan kepercayaan dari pada Anggota Dewan Senator dengan terpaksa. Kolonel Kalawa Mepaki selain bekerja sama dengan Tuan Pitaya Mentala, ia juga bekerja sama dengan Lalita Maningka yaitu Ibu Negara. Sebenarnya, mereka memiliki hubungan khusus, namun didorong oleh obsesi Kolonel Kalawa Mepaki atas kekuasaan, maka Lalita

Maningka

membunuh

suami-suaminya

atau

presiden-presiden

terdahulu. Kesimpulan yang tersirat adalah Lalita Maningka berusaha mengumpulkan simpati rakyat kepada Kolonel sehingga nantinya Kolonel bisa naik menjadi Presiden. Setiap tindakan yang akan diambil oleh Kolonel Kalawa Mepaki didahului oleh melempar koin, koin tersebut dipercayanya sebagai koin keberuntungan. Kolonel Kalawa Mepaki, “Terimakasih… Ini anggur terbaik kita. Anggur ini akan menandai sejarah baru kita. Sejarah tanpa kekerasan. Sejarah tanpa darah… Saya tahu, masih banyak desas-desus yang menyatakan saya haus kekuasaan. Mereka mengatakan, bahwa sebentar lagi saya akan mengangkat diri saya menjadi Jenderal Besar. Itu omong kosong! Kita tak lagi membutuhkan para Jenderal. Selama ini para Jenderal hanya sibuk berebut kekuasaan. Terlalu banyak jenderal, membuat kita mengalami inflasi Jenderal. Kita harus mengatasi ini. Untuk itulah, saya memutuskan untuk menghapus pangkat Jenderal dari kententaraan. Tidak perlu ada lagi Jenderal di

Republik ini. Mulai saat ini, pangkat tertinggi, cukup Kolonel. Yang secara kebetulan disandang saya seorang…” (hlm. 11) Tuan Pitaya Mentala langsung bertepuk tangan. Begitu bersemangat. Tetapi para hadirin yang lain hanya diam. Kolonel Kalawa Mepaki, “Apakah ada yang keberatan?” Lalu, perlahan-lahan, satu demi satu, hadirin yang lain mulai bertepuk tangan pula. Mula-mula pelan. Tak antusias. Sekedar ikut-ikutan karena rekan sebelahnya bertepuk tangan. Tapi makin lama tepuk tangan itu makin keras dan menggemuruh. Bahkan terdengar suitan-suitan panjang .(hlm.12)

Namun, semua berubah ketika pemilu harus diadakan. Semua rakyat harus mencalonkan diri menjadi presiden. Di sebuah desa, ada satu keluarga yang sangat membumi, tidak mengerti apa-apa mengenai apa yang terjadi, apatis bahkan hanya “tunduk” pada peraturan yang ada. Keluarga itu dikepalai oleh seorang Bapak bernama Antawis Maekani yang beristrikan seorang mantan sinden Marani Antawis, mereka adalah orang yang sangat patuh hukum berbeda dengan kedua anaknya yaitu Kapilka dan Mulati yang sangat kritis terhadap apa yang sedang terjadi. Antawis Maekani, meludah… “Denger tuh, Bu, denger itu omongan anakmu. Perjuangan! Anak bau kencur begitu ngajarin kita soal perjuangan.,” kepada kedua anaknya, “Apa dikira membesarkan kamu ditengah semua kesulitan ini juga bukan perjuangan? Apa kamu kira yang namanya pejuangan itu cuman bengak-bengok ikut demontrasi menentang Kolonel…” (hlm. 17) Mulati, “Ketakutan cuman membuat kita kayak keong, Bu. Selalu sembunyi bila ada bahaya…” (hlm. 17) Antawis Maekani, “Itu namanya taktis…”(hlm. 17) Kapilka, “Itu namanya pengecut! Dan dengan segala hormat, Ayah…, sekarang bukan lagi saatnya menjadi pengecut. Sikap seperti Ayah lah yang membuat Kolonel Kalawa dengan semena-mena melakukan kudeta!” (hlm. 17)

Marani Antawis, makin ketakutan, membentak, “Kapilka!” lalu ia mengengok sekeliling, ketakutan kalau-kalau sembunyi mendengar, “Itu bukan kudeta… Cuman pergantian kekuasaan biasa… kalau kita tenang, nanti juga tenang dengan sendirinya…”(hlm. 17) 2.3.

Klimaks Waktu membawa Antawis Maekani ke dalam sandiwara Kolonel Kalawa Mepaki. Dengan koin keberuntungannya, ia menetapkan Antawis Maekani sebagai presiden. Semasa Antawis Maekani menjadi presiden banyak hal yang terjadi yang memperburuk keadaan semua dilakukan untuk menjebak Antawis Maekani, tentu saja pelakunya adalah Kolonel Kalawa Mepaki, Tuan Pitaya Mentala dan Lalita Maningka. Namun, seiring berjalannya waktu Antawis Maekani makin bingung dengan keadaan yang ada, dan Lalita Maningka mulai jatuh hati pada Antawis Maekani. Kolonel Kalawa Mepaki, “Sekarang, bagaimana dengan Kursi Nomer Satu…”(hlm. 24) Tuan Pitaya Mentala, “Beradasarkan konstitusi, secepatnya kita musti melaksanakan Pemilu…” (hlm. 24) Kolonel Kalawa Mepaki, mengeram marah, “Anda meragukan kemampuan saya, Tuan Pitaya?!” (hlm. 24) Tuan Pitaya Mentala, “Haqul yakin, Kolonel, ene percaya ama ente. Tapi konstitusi Republik ini mengatakan kalo Negara ini musti menjadi Negara yang tampak demokratis. Ente

musti mahfum itu… Apa kata dunia, kalau kita tidak menyelenggarakan Pemilu. Bisa dianggap junta militer Republik ini…Rakyat pasti bereaksi keras!” (hlm. 24) Lalita Maningka, “Dan kita bisa kena embargo internasional, Kolonel…”(hlm. 24) Kolonel Kalawa Mepaki, menatap penuh kecurigaan, “Saya mulai mencium bau pengkhiatan…(hlm. 24) Tuan Pitaya Mentala, “Ente jalan salah faham, Kolonel… Ente-lah kunci semua ini. Tetapi ente juga mesti tabayun, bagaimana ente musti memakai kunci itu. Ane sama sekali tak

tertarik ama Kursi Nomer Satu. Ane pikir, bukan siapa yang duduk yang terpenting. Tapi siapa yang mengendalikan yang duduk dikursi itu…” (hlm. 24) Tuan Pitaya Mentala, “Saudara-saudara sebangsa setanah air. Sebagaimana diamanatkan konstitusi, setiap warga Negara berhak memilih dan dipilih jadi Presiden. Oleh karna itulah, siapa pun, baik yang merasa sehat mau pun tidak sehat jasmani dan rohaninya, wajib mendaftarkan dirinya. Yang tua, yang muda, ayo silahkan mencalonkan diri menjadi Presiden. Inilah saatnya ente-ente mengiklankan diri jadi pemimpin. Pendaftaran bisa secara langsung, atau lewat SMS. Tinggal ketik REG spasi PILPRES kirim ke Po Box 212. Keputusan pemenang bersifat mutlak, dan tidak bisa diganggu gugat. Barangsiapa yang tidak mencalonkan dan mendaftarkan dirinya menjadi Presiden, maka akan dianggap membanggkang dan merongrong stabilitas Negara. Nah, sekarang silakan ente-ente pada mendaftar. Mohon antri yang tertib, jangan rebutan kayak antri minyak atau sembako.” (hlm. 26) Lalita Maningka, “Dulu, sewaktu kecil saya juga seneng nyanyi… Pernah jadi Idola Cilik… kalau Tuanku berkenan, saya kan menyanyi untuk Tuanku… Biar Tuanku bisa istiahatlah. Banyak yang harus Tuan lakukan besok pagi…”(hlm.44) Dengan lembut dan penuh perhatian Lalita Maningka segera menyelimuti Antawis Maekani. Sementara musik sendu, seakan penghantar tidur, mengalun memenuhi ruangan. Lalita Maningka pun mulai bersenandung, terdengar bagai lagu yang hendak meninabobokan tengah malam, (hlm.44) Antawis Maekani, malu-malu, “Eemm, pasti akan lebih menyenangkan lagi kalau kamu ya jangan formalformal begitu…Biar suasananya akrab…” (hlm.58) Pada saat kudeta berlangsung, pasukan Kolonel Kalawa Mepaki mulai mengepung gedung istana dan saat itu pula Lalita Maningka menyuruh Antawis Maekani untuk kabur. Lalita Maningka lalu duduk dibalik kelambu singgahsana presiden, mencoba selayaknya menggantikan diri presiden ketika kudeta berlangsung. Saat itu, Kolonel Kalawa Mepaki menembak Lalita Maningka yang disangkanya adalah Antawis Maekani, karena pada saat itu Kolonel Kalawa Mepaki lupa untuk melempar koin keberuntungannya.

Lalita Maningka, “Ternyata mereka sudah bergerak…”(hlm. 60) Lalita Maningka, “Mereka menginginkan kematian Tuanku…” (hlm. 60) Lalita Maningka, “Apa kau akan memahami, bila aku jelaskan semuanya Antawis? Tuan Pitaya yang menghasut kekacauan ini. Ia sengaja memancing pasukan Kolonel Kalawa bergerak. Mereka pengendang dan penari kekacauan ini. Darah akan kembali tumpah di mana-mana, dan hanya bisa dihentikan dengan kematianmu… Pergilah. Para pengawal setiaku akan berusaha menyelamatkanmu. Aku tak tahu apakah yang kulakukan ini salah… Aku hanya ingin menyelatkanmu, Antawis… Pergilah…” (hlm 61)

Setelahnya, Kolonel Kalawa Mepaki memerintahkan semua pasukannya untuk mencari Antawis Maepaki. Antawis Maepaki saat itu dibawa oleh pesuruh Lalita Maningka untuk diselamatkan. Antawis Maepaki dibawa dan ditinggalkan di dalam karung, orang-orang kampungnya menyangka bahwa yang ada di dalam karung tersebut adalah mayat korban petrus.

2.4.

Antiklimaks Namun, setelah mengetahui bahwa orang tersebut adalah sang presiden, semua orang bahkan Kapilka dan Mulati menghajar Antawis Maekani. Pengeroyokan itu segera dihentikan oleh Marani Antawis. Seketika terjadi perdebatan keluarga, namun segera setelah itu datang truk-truk yang sedang mencari sang presiden. Antawis Maekani langsung dibawa kabur oleh keluarganya. Seorang Warga, “Kalau kalian masih mau bertengkar, tolong jangan di sini. Lima truk serdadu sudah datang. Kami tak ingin mereka membakar kampung ini, hanya karena menemukan kalian di sini…”(Hlm.68) Suara truk yang menderu itu bagai makin dekat. Marani Antawis segera menarik suaminya. Kapilka dan Mulati segera menyusulnya. Mereka lenyap dari pandangan. Tinggal Awuk yang terus menyalak kencang. (Hlm.68)

2.5.

Konklusi Pada babak berikutnya, terlihat keluarga Antawis Maekani digiring untuk mendapatkan hukuman mati, mereka difitnah sebagai penghianat yang mengaku sebagai keluarga presiden, mereka dituduh telah memutilasi presiden. Babak selanjutnya, terlihat bahwa Awuk sang Senator yang telah berubah menjadi anjing yang menjadi presiden. Kolonel Kalawa Mepaki, “Kita telah ditempa sejarah utuk menjadi bangsa yang tak gampang goyah dalam gelimang darah. Ini akan menjadi Hari Kesaktian bangsa kita. Kesaktian inilah yang membuat kita berhasil menangkap para teroris yang membunuh Ibu Negara…”(hlm.69)

Kolonel Kalawa Mepaki, “Mereka adalah para teroris anggota Petisi Tiga. Mereka – Marani, Kapilka, Mulati – juga terbukti menculik dan membunuh Presiden kita. Selama ini mereka menyamar dengan pura-pura menjadi keluarga almarhum Presiden. Seperti psikopat, mereka telah memutilasi tubuh Presiden. Membuang potonganpotongan tubuhnya ke dalam jurang. Itu adalah kejahatan yang menteror kita! Tapi kita tak boleh tunduk pada para teroris yang merongrong Republik ini…” (hlm.69) Kapilka, Mulati, Marani Antawis, “Hidup Presiden! Hidup Presiden! Hidup Presiden!” (hlm.70) Seorang Serdadu, “Kepada Presiden kita tercinta… Hormat senjataaaaaa….grakkk!!!” (hlm.71) Lalu terlihat Awuk duduk bersimpuh pada dua kakinya, seperti seekor anjing yang duduk di singgasana. Mengenakan mahkota. Lidahnya tampak terjulur. (hlm.71)

3. TEMA Dari naskah ini dapat disimpulkan bahwa tema utamanya adalah kritik sosial. Hal tersebut dapat ditemukan baik secara tersirat maupun tersurat, dan juga dari para penokohan yang ada.


Similar Free PDFs