ASUHAN KEPERAWATAN SEXUAL ABUSE PDF

Title ASUHAN KEPERAWATAN SEXUAL ABUSE
Author Andri Gunawan
Pages 42
File Size 732.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 107
Total Views 736

Summary

ASUHAN KEPERAWATAN SEXUAL ABUSE Di Susun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak 2 Dosen Pengampu : Remilda A.V.,S.Kep.,Ns., M.Kep Oleh : Andri Gunawan 0520014611 Semester 6 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS PEKALONGAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKAN...


Description

Accelerat ing t he world's research.

ASUHAN KEPERAWATAN SEXUAL ABUSE andri gunawan

Related papers Makalah Jiwa II Korban Perkosaan Kel. Arif Darmawan ST IKES DHARMA HUSADA BANDUNG TAHUN 2018 Nenden Wahyuni Buku ajar keperawat an kesehat an jiwa II mauliza munawarah

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

ASUHAN KEPERAWATAN SEXUAL ABUSE

Di Susun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak 2 Dosen Pengampu : Remilda A.V.,S.Kep.,Ns., M.Kep

Oleh : Andri Gunawan 0520014611

Semester 6

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS PEKALONGAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di klinik.sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an. Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah ke seksual abuse (FKUI, 2006). Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan objek kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547 kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan.Mengapa kekerasan seksual sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya? Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban, kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun (2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan melakukan hubungan seksual (Suda, 2006). Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang terjadi pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969 kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen) (FKUI, 2006).

2

B. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse. 2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse. 3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse. 4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse. 5. Untuk mengetahui tentang pathway dari seksual abuse. 6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse. 7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse. 8. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse. 9. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse. 10. Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse. 11. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse. 12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse.

C. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I : PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH TUJUAN PENULISAN SISTEMATIKA PENULISAN BAB II : KONSEP DASAR PENGERTIAN ETIOLOGI/ PREDISPOSISI KLASIFIKASI PATOFISIOLOGI PATHWAYS KEPERAWATAN MANIFESTASI KLINIK PENATALAKSANAAN

3

PENGKAJIAN FOKUS PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSA KEPERAWATAN FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL DISCHARGE PLANNING BAB III : PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA

4

BAB II KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009). Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi pada saat

pelaku terlebih dahulu mengancam

dengan memperlihatkan

kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006). Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006). Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa,

5

eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda, 2006).

B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”, Faktor penyebab sexual abuse adalah : Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut: a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual.. b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya. c. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari pelaku. (Jurnal Terlampir)

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam

identifikasi kasus kekerasan

seksual terhadap anak”, dampak sexual abuse adalah : Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain

6

itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-Moore, Terri

Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath ,

Dunne, Bucholz , Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000) (Jurnal Terlampir) Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain: 1. Teori biologis a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam

neurotransmitter (misalnya

epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impulsimpuls agresif c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti sebagai kemungkinan. d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif. 2. Teori psikologis a. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa

agresi

dan

kekerasan

adalah

ekspresi

terbuka

dari

ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhankebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi. b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh.

7

Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.

3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial) Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang.Pengaruhpengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan. Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial. 1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse) Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga.Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini. 2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse) Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah.

3. Ritualistic abuse Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang dewasa untuk mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.

4. Institutional abuse

8

Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.

5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse) Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum. Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami disfungsi karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak, menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku incest (Suda, 2006). Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua. 1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena alasan kesehatan atau telah lama menduda. 2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang ditekuninya. 3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya, atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk. Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, karena terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda, 2006).

C. KLASIFIKASI Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah : 1. Perkosaan.

9

Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban alias orang dekat korban. 2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak. Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak. 3. Kekerasan seksual terhadap pasangan. Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender: 4. Kekerasan

fisik

:

Menampar,

memukul,

menendang,

mendorong,

mencambuk, dll. 5. Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.

10

6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll 7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll 8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll. 9. Pengabaian/penolakan:

Mengatakan

kekerasan

tidak

pernah

terjadi,

menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll. 10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll.

D. PATOFISIOLOGI

Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain : 1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan

imbalan

material

yang

menyenangkan.

Pelaku

dapat

mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar. 2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain. 3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :

11

a.

Pelaku membuka pakaiannya sendiri

b.

Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri

c.

pelaku memperlihatkan alat kelaminnya

d.

Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap

e.

Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan bagian lainnya.

f.

Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling menstimulasi.

g.

Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban

h.

Sodomi

i.

Petting

j.

Penetrasi alat kelamin pelaku Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah

anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting (Maria, 2008). Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut : 1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder) 2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri 3. Rasa takut, cemas 4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari luar sampai ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat dengan lawan jenis, atau pada saat mereka akan menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang

12

menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008). Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria, hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada posisi anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008). Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan

di

masyarakat,

selalu

diwarnai

kekerasan

fisik

atau

psikologis.Jika meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan lakilaki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label yang

diberikan

masyarakat

kepada

laki-laki.Laki-laki

harus

jantan

menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam keluarga dan masyarakat mengalami goncangan.Begitu pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya....


Similar Free PDFs