DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY PDF

Title DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY
Author Muhammad A S Hikam
Pages 315
File Size 1.8 MB
File Type PDF
Total Downloads 32
Total Views 93

Summary

Muhammad AS Hikam DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY Pengantar Franz Magnis-Suseno LP3ES Perpustakaan Nasional : Katalog dalam Terbitan (KDT) Hikam, Muhammad AS Demokrasi dan civil society / Muhammad AS Hikam – Jakarta Pustaka LP3ES, 1996 xvii + 297 hal. ; 23 cm. Bibliograi Indeks ISBN 979-8391-63-2 1. De...


Description

Muhammad AS Hikam

DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY Pengantar Franz Magnis-Suseno

LP3ES

Perpustakaan Nasional : Katalog dalam Terbitan (KDT)

Hikam, Muhammad AS Demokrasi dan civil society / Muhammad AS Hikam – Jakarta Pustaka LP3ES, 1996 xvii + 297 hal. ; 23 cm.

Bibliograi Indeks ISBN 979-8391-63-2

1.

Demokrasi

I. Judul

Edisi e-book, Juni 2015 Cetakan kedua, September 1999 Cetakan pertama, Agustus 1996 Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI Jl. S. Parman 81, Jakarta 11420, Telp. 567 4211-13, 566 3525, 566 3527 Hak cipta pada pengarang Bab 2, 5 dan Bab 7 diterjemahkan oleh Nur Iman Subono Disunting oleh Abdul Mun’im DZ Disain Sampul: Awan Dewangga Desktop publishing: Pustaka LP3ES Indonesia

Untuk Prof. Manfred Henningsen

Daftar Isi

Pengantar Penerbit Ucapan Terima Kasih Pengantar: Kedaulatan Rakyat, Bukan Kedaulatan Tuan Frans Magnis-Suseno Pendahuluan Civil Society di Indonesia: Sekarang dan Masa Mendatang BAGIAN I Dari Hegemoni Negara Menuju Demokratisasi Bab 1 : Negara Birokratik Otoriter dan Redemokratisasi: Telaah atas Teori dan Beberapa Studi Kasus Bab 2 : Dibalik Pemilihan Umum: Problem dan Prospek Demokratisasi di Indonesia Bab 3 : Demokratisasi Melalui Pemberdayaan Civil Society: Sebuah Tatapan Relektif atas Indonesia BAGIAN II Politik Arus Bawah Titik Tolak Kebangkitan Civil Society Bab 4 : Politik Arus BAwah dan Studi Pembangunan: Penelusuran Teori dan Aplikasi Riset

ix x xi 1

9 11 52 82

101 103

Bab 5 Bab 6 Bab 7

: : :

Politik Arus BAwah dan Civil Society: Telaah terhadap Demokrasi di Indonesia Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia: Hubungan Negara dengan Civil Society Perlawanan Sosial : Telaah Teoretis dan Beberapa Studi Kasus

BAGIAN III Munculnya Hegemoni Baru dan Perlunya Artikulasi Baru Bab 8 : Bahasa, Politik dan Penghampiran Discursive Practice”: Sebuah Catatan Awal Bab 9 : Cendekiawan dan Masalah Pemberdayaan Civil Society di Indonesia di Indonesia: Sebuah Upaya Pencairan Relevansi Bab 10 : Upaya Islam dalam Membangun Civil Society Bab 11 : Prospek dan Tantangan NU dalam Pemberdayaan Civil Society Bab 12 : Reformasi dan Redemokrasi Melalui Pembangunan Civil Society: Mencermati Peran LSM di Indonesia Bibliograi Indeks

119 139 158

185 187

207 228 242 250 273 283

Pengantar Penerbit

Program penerbitan buku “Seri Demokrasi” yang kami laksanakan sejak tahun 1992, telah menerbitkan sejumlah buku. Buku ini adalah buku kedelapan setelah Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (William R. Liddle, 1992), Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin (1993), Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif (1993), dan Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (1993), yang di editori oleh Guillermo O’Donnel, Phillipe C. Schimitter dan Laurence Whitehead, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Campton (Boyd R. Compton, 1993) dan Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman (Syamsuddin Haris, 1995). Buku ini menantang ilmuwan sosial dan pihak-pihak yang mempunyai kepedulian pada pemberdayaan masyarakat untuk memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif. Kendati kondisi Civil Society di Indonesia masih jauh dari mampu untuk menjadi kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara, namun dengan munculnya kelompok-kelompok prodemokrasi alternatif dan aksi-aksi protes belakangan ini, pertanda semakin intensnya kehendak masyarakat untuk semakin mandiri dan terlibat dalam pengambilan keputusan strategis. Kondisi inilah yang harus didukung, agar demokratisasi yang sedang berlangsung di negeri ini terus berkembang.

Ucapan Terima Kasih

Setelah dalam penantian cukup lama, dan kadang terselip rasa putus asa, buku ini akhirnya terbit juga. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memungkinkan terwujudnya buku ini. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Hawaii di Honolulu dan LP3ES memberi saya kesempatan untuk melakukan penjelajahan intelektual dan mengekspresikan ide-ide melalui tulisan. Penulis mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada ketiga lembaga tersebut. Ucapan terimakasih yang sa,a disampaikan kepada guru, temanteman dan para kolega saya di universitas maupun LIPI. Terutama para profesor saya di Universitas Hawaii: Bob Stauffer, Alvin So, Peter Manicas dan Wimal Dissanayake. Juga kepada Cindy, David, Val. Changzoo, Andy, Louis dan Douglas di Amerika Serikat dan AE Priyono, E Shobirin, A. Mun’im DZ dan lain-lain yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. Kepada Gus Dur, Marsillam, A. Rahman Tolleng, Bondan Gunawan, saya berterima kasih atas kesabaran mereka mendengarkan dan mengomentari pandangan-pandangan saya. Juga untuk Pak Thee Kian Wie dan almarhum Pak Abdurrahman Surjomiharjo dari PEP-LIPI saya ucapkan terima kasih atas dorongan mereka selama saya menimba ilmu, sahabat dan pembimbing intelektual saya, Prof. Manfred Henningsen yang telah membuka mata dan batin saya untuk memberi perhatian kepada permasalahan civil society di Indonesia.

Pengantar Kedaulatan Rakyat, Bukan Kedaulatan Tuan Franz Magnis-Suseno

Lebih dari 50 tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perwujudan kenegaraan demokratis tetap merupakan agenda yang masih di depan kita. Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam bidang pembangunan ekonomi, perwujudan administrasi kenegaraan dan politik luar negeri tidak dibarengi keberhasilan dalam pembangunan kehidupan demokratis. Ciri khas suasana politik dalam pemerintahan Orde Baru adalah pendekatan top down. Kebijakan massa mengambang, penataan kembali kehidupan kepartaian, domestikasi pemilihan umum, gaya pelaksanaan sidang umum MPR, lemahnya fungsi DPR, menyusutnya ciri-ciri negara hukum menjadi negara kekuasaan, kekhawatiran tak proporsional alat-alat negara terhadap pertemuan, rapat, seminar yang bernada kritis : semua itu dan banyak unsur lain telah menciptakan suasana yang segala-galanya tergantung dari koneksi dengan penguasa. Bukan seakan-akan deisit demokrasi sama sekali tidak disadari. Pasang-surut gelombang keterbukaan dan ketertutupan membuktikan bahwa pemerintah pun samar-samar merasa bahwa belum semuanya beres dalam struktur-struktur kekuasaan politik di negara kita. Tetapi sampai sekarang pola usaha-usaha peningkatan keterbukaan bersifat on-off dan bukan off-on. Seakan-akan sudah menjadi nasib bahwa setiap gelombang keterbukaan berakhir dalam ketertutupan lagi. Maka tidak mengherankan kalau bahasa pemerintah sekitar demokrasi berkesan mineur dan defensif. Mengatakan dengan terus terang

xii Demokrasi dan Civil Society

bahwa demokrasi dianggap (masih?) kurang tepat jarang ada yang berani. Daripada bicara terus terang, dipergunakan istilah “Demokrasi Pancasila” yang merupakan demokrasi yang lain dari semua demokrasi yang ada dan dengan demikian merupakan sarana cukup andal untuk menangkis segala tuntutan demokratisasi lebih nyata dari bawah (apakah saya keliru kalau mendapat kesan bahwa akhir-akhir ini istilah Demokrasi Pancasila kurang dipakai lagi? Memang, istilah itu telah menjadi bulan-bulanan, dijadikan bahan lelucon dan sinisme – Demokrasi Pancasila sebagai demokrasi bukanbukan; memakai istilah itu semakin membawa bahaya bahwa bersama dengan istilah itu Pancasila sendiri akan tidak ditanggapi secara serius lagi oleh generasi muda, sesuatu yang tentu saja fatal andaikata sampai terjadi). Masih juga demokrasi kadang-kadang disebut -- biasanya dalam satu deretan dengan hak-hak asasi manusia dan masalah lingkungan hidup -sebagai harus dicurigai sebagai kedok kelompok-kelompok yang itikadnya dicurigai mengusahakan rencana-rencana gelap mereka. Pokoknya, bicara demokrasi membuat pelbagai pihak dalam sistem kekuasaan di negara kita merasa tidak enak. Tentu hal ini dapat dimengerti. Memang tidak mudah untuk menjelaskan mengapa 51 tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan, kemerdekaan rakyat untuk tidak hanya dibina dan dibimbing, melainkan menyatakan pendapat serta memperjuangkannya secara konstitusional melalui organisasi dan partai yang ingin mereka bentuk sendiri memang belum juga terwujud. Akan tetapi nada mineur itu tidak boleh membuat kita buta terhadap sebuah kenyataan lain yang juga cukup mencolok, yaitu suara-suara prodemokrasi tetap tidak hilang. Malah sebaliknya, di kalangan intelegensia independen indonesia berkeyakinanbahwa demi keselamatan kelangsungan pembangunan substansi demokratis kehidupan bangsa indonesia perlu ditingkatkan semakin kuat. Sebagian besar spektrum para pemerhati nasib bangsa segala aliran sependapat bahwa kita mempunyai deisit demokrasi dan memerlukan lebih banyak demokrasi. Ada yang menuntut perubahan cukup menyeluruh, dan ada yang mau mengusahakan demokratisasi melalui Undang-Undang Dasar 1945 serta dengan memanfaatkan struktur- struktur politik khas 30 tahun terakhir. Artinya, dalam kesinambungan dengan uang telah tercapai. Tetapi tidak banyak yang tidak berpendapat bahwa masuknya bangsa indonesia ke dalam abad ke-21 perlu disertai pendemokratisan kehidupan politik secara nyata.

Pengantar xiii

Ada beberapa alasan mengapa kita tidak puas dengan kadar demokratis yang ada sekarang. Ada yang lebih prinsipiil dan ada yang lebih pragmatis. Dalam hal ini alasan-alasan prinsipiil tidak boleh dianggap remeh. Kita senantiasa tidak boleh melupakan bahwa kesatuan bangsa indonesia bersifat etis-historis dan bukan etnik-alami. Secara alami -- dari sudut bahasa, budaya, letak geograis, penghayatan keagamaan -- suku-suku di seantero nusantara tidak merupakan kesatuan. Bahwa mereka sekarang merupakan kesatuan adalah kesatuan cita-cita kebangsaan, dan cita-cita itu tumbuh bersama pengalaman sejarah bersama, suatu sejarah penuh pengalaman-pengalaman mendalam : pengalaman ketertindasan dan penderitaan, dan pengalaman perjuangan bersama, kejayaan, bergeloranya semangat, kesatuan bangsa itu hidup dari realitas cita-citanya. Apabila cita-cita yang mendasari perjuangan kemerdekaan bersama tidak tercapai, dasar kesatuan itu berada dalam bahaya longsor. Nah, kerakyatan jelas merupakan salah satu dari cita-cita inti yang melandasi perjuangan kemerdekaan. Dalam perjuangan itu rakyat Indonesia melawan para penjajah. Dan negara yang diperjuangkan mesti berdasarkan “kedaulatan rakyat” dan bukan “daulat tuanku”. Kerakyatan merupakan tuntutan inti normatif yang mendasari keharusan penciptaan demokrasi Indonesia. Negara ini hanyalah negara Indonesia apabila dalam kenyataan merupakan milik rakyat. Bahwa tentang bentuk transmisi kedaulatan rakyat ke dalam institusi-institusi kehidupan politik sejak BPUPKI terdapat pandangan-pandangan yang berbeda, tidak boleh menutupi konsensus tentang kerakyatan itu. Dan kerakyatan tidak dapat menjadi nyata kecuali lewat sistem institusional kekuasaan politik yang disebut demokrasi. Begitu pula kesadaran bahwa dalam kondisi budaya pascatradisional demokrasi adalah satu-satunya pola pemerintahan biasa dan lestari yang legitim terungkap dalam pengakuan universalitas hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak demokrasi. Atau dengan kata lain apabila kekuasaan tidak lagi dilihat sebagai penjelmaan kekuatan gaib atau para dewa atas seseorang, apabila masyarakat sadar bahwa di hadapan Tuhan semua orang sama dalam derajat kemanusiaan, pemerintahan yang tidak demokratis tidak bisa tidak kehilangan legitimasinya. Di sini kita sebenarnya sudah memasuki pertimbangan yang lebih pragmatis. Legimitasi, dalam hal demokrasi: legimitasi etis, bukanlah

xiv Demokrasi dan Civil Society

masalah teoretis, melainkan praktis. Kekuasaan politik hanya dapat stabil apabila berdasarkan pengakuan oleh mereka yang dikuasai. Adalah Hannah Arendt yang dengan jernih memperlihatkan bahwa kekuasaan (power) harus dibedakan dengan tajam dari paksaan dan penindasan (force). Kekuasaan adalah suatu pola hubungan antar manusia yang tinggi derajatnya dan hidup dari pengakuan bebas mereka yang berada dalam hubungan kekuasaan itu. Bisa saja suatu struktur kekuasaan didirikan atas dasar keperluan sesaat (itulah legitimasi pragmatis: pihak yang secara nyata mampu mengatasi kemelut kenegaraan berhak, bahkan diharapkan, memegang kekuasaan; pemerintahan militer sering berdasarkan legitimasi pragmatis, suatu legitimasi yang secara etis harus dianggap sah) atau keyakinan ideologis (yang biasanya juga tidak seluruhnya lepas dari segi-segi pragmatis, seperti misalnya perjuangan kaum Leninis di Rusia menjelang Revolusi Oktober). Akan tetapi dalam jangka panjang legitimasi ideologis (kep cayaan rezim bahwa dia memiliki monopoli atas teori pemerintahan yang benar) dan pragmatis tidak dapat tidak lama kelamaan memudar: Situasi yang diatasi secara pragmatis, justru karena diatasi, tidak lagi mengancam, dan ideologi pendukung kekuasaan elite ideologis semakin membosankan masyarakat dan tidak dipercayai lagi. Maka dalam sepuluh tahun terakhir kita telah melihat sekian banyak rezim ideologis (terutama komunisme Soviet) dan rezim berkekuasaan murni (misalnya di seluruh Amerika Latin) satu demi satu telah runtuh dengan sendirinya. Stabilitas politik yang lestari tidak dapat dibangun di luar struktur-struktur demokratis yang nyata. Sistem pemerintah Orde Baru begitu kokoh legitimasinya (pada hakikatnya: legitimasi pragmatis) tidak hanya karena membawa bangsa Indonesia ke luar dari kemelut tahun 1965, melainkan karena berhasil mengakhiri kekacauan, ketidakpastian, disrupsi ekonomis dan deretan kekagetan yang khas bagi seluruh 20 tahun pertama kemerdekaan. Kontras antara apa yang tercapai oleh pemerintahan Orde Baru dalam waktu cukup singkat: kebebasan dari pemberontakan, pembangunan ekonomis yang sistematis dan suksesnya meyakinkan, normalisasi kehidupan bangsa di semua dimensi, dengan situasi di mana sebelumnya, sehingga sistem pemerintahan Orde Baru dengan sendirinya memiliki legitiinasi yang kokoh dalam pandangan rakyat Indonesia. Akan tetapi kontras pengalaman yang mendasari pengakuan terhadap pemerintahan Orde

Pengantar xv

Baru itu sekarang sudah menjadi sejarah sendiri. Sementara pemerintah, sama seperti setiap pemerintah, bergulat dengan sekian banyak masalah dan terlibat dalam sekian banyak krisis legitimasi kecil. Itulah sebab lebih mendasar mengapa stabilitas yang mejadi merek dagang pemerintahan Orde Baru tidak akan dapat dipertahankan terus kalau basis legitimatifnya tidak diperbarul. Apabila -- sebagaimana diharapkan oleh kebanyakan kita -- prestasi-prestasi dan momentum pembangunan Orde Baru yang begitu mengesankan mau dipertahankan, serta sekian banyak masalah -- sebagian serius -- yang kita hadapi mau ditangani dengan efektif, peningkatan kadar demokrasi dalam sistem politik Indonesia tidak boleh ditunda lagi. Sebagai catatan kecil: salah satu gejala internasional yang mengkhawatirkan adalah menguatnya kecondongan-kecondongan primordialistik dan sektarian. Berhadapan dengan tantangan ini pun demokratisasi diperlukan. Meskipun belum tentu bahwa demokrasi dapat mengatasi masalah itu, akan tetapi yang jelas bahwa tanpa demokrasi masalah itu tidak mungkin diatasi. Dapat dipastikan bahwa andaikata di Aljazair, FIS yang “fundamentalistik” dibiarkan mencapai kekuasaan secara demokratis, pemerintahannya tentu tidak akan mencapai tingkat kekerasan dan fanatisme sektarian sedemikian tidak proporsional sebagaimana kita menyaksikannya sekarang. Dalam sistem nondemokratis, akses ke kekuasaan dan tanggung jawab seluruhnya tergantung dari koneksi. Dengan demikian jelas bahwa sistem itu condong menciptakan suasana cemburu, iri hati, sarat dengan desas-desus, serta perasaan tak berdaya apabila tidak termasuk inner circle. Akibatnya yang merasa berada di luar otomatis cenderung menjadi lebih radikal, primordial, fundamentalistik, fanatik etnik dan sebagainya. Sedangkan dalam suasana demokratis, masing-masing pihak harus menunjukkan diri sebagai pelaku yang bertanggung jawab, hal mana hanya akan berhasil apabila bukan hanya inti para anggota inner circle, melainkan masyarakat umum merasa tetap aman. Tetapi apakah telah ada syarat-syarat budaya dan sosial peningkatan kadar demokrasi di Indonesia? Di tempat ini masalah civil society yang keberadaannya dianggap sebagai syarat kemungkinan pembangunan demokrasi akan muncul. Tentu kita harus menghindari tautologi. Kalau civil society dideinisikan dengan terlalu luas, ia disamakan dengan masyarakat yang mandiri yang identik dengan demokrasi. Civil Society kiranya sesuatu di antara masyarakat tradisional -- yang tidak berawasan

xvi Demokrasi dan Civil Society

civil/kewarganegaraan modern, melainkan hanyut dalam masalahmasalah di lingkungan lokal dan primordial sendiri -- di satu pihak dan masyarakat dalam sistem totaliter yang seluruhnya ditata dan mendapat seluruh identitas sosialnya dari penataan negara di lain pihak. Dalam arti ini, civil society di Indonesia nampak sudah mulai ada di mana-mana, meskipun masih lemah dan cenderung ke nostalgia primordial. Jadi civil society tidak sama dengan kelas menengah. Di Indonesia banyak petani/ penduduk desa berwawasan cukup luas, berpengalaman hidup di kota, sadar bahwa penghasilan mereka tergantung dari pasar internasional dan sebagainya. Hal yang sama berlaku bagi para nelayan, apalagi bagi kelaskelas berpenghasilan rendah di kota-kota; buruh pabrik dan perusahaan modern, sektor informal (kaki lima), wiraswasta lokal dan sebagainya. Mereka adalah orang yang berpikir tentang baik-buruknya pemerintah, mempunyai cita-cita politik, merupakan fan klub sepakbola nasional, tahu siapa Mike Tyson dan sebagainya. Orang-orang ini sudah berkesadaran politik dan mampu mengambil sikap. Maka omongan tentang “nilai-nilai Timur” dengan nada bahwa “rakyat” tidak memikirkan “hak-hak” mereka, apalagi hak-hak demokratis, melainkan puas asal bisa hidup tenteram dan dengan senang menyerahkan kepemimpinan kepada seorang bapak adalah tidak lebih dari bla-bla-bla. Apakah rakyat kita sudah “matang” untuk demokrasi dengan demikian merupakan masalah semu. Mereka harus diberi haknya (sebagaimana ditetapkan, misalnya, dalam Undang-Undang Dasar 1945) dan kita akan melihatnya. Yang menjadi syarat keberhasilan demokrasi di Indonesia (dan, tentu saja, di mana pun) bukanlah kematangan rakyat masalah semu itu, melainkan organisasi sistem demokratis secara konstitusional serta kehendak politik elite prademokratis yang memegang kekuasaan. Unsurunsur berikut kiranya paling menentukan. Pertama, sistem pemilihan umum yang mana dan bagaimana komposisi MPR dan DPR ditentukan secara konkret. Apa hak dan wewenang MPR dan DPR? Apakah pemerintah kuat atau lemah (jelaslah bahwa dalam negara seperti Indonesia di mana senang atau tidak senang pemerintah memainkan peranan yang jauh lebih besar daripada di negara-negara industri maju, pemerintah harus kuat kedudukannya, misalnya seperti menurut Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan seperti menurut Undang-Undang Dasar Sementara)? Apakah pemerintah sungguh-sungguh dapat dituntut pertanggungjawabannya (accountability) dan apakah ada kontrol efektif ? Kedua, undang-undang

Pengantar xvii

dasar paling baik pun tidak akan efektif, apabila dalam kenyataan elite yang berkuasa tidak memberi kesempatan untuk mempergunakannya, melainkan sekadar memakainya sebagai tameng legitimasi. Pemantapan pemerintahan demokratis memang tergantung juga dari kehendak, baik seluruh elite kekuasaan lama, dan baru apabila pemerintahan demokratis sudah established ia dapat mengembangkan kemampuan untuk secara nyata memantapkan dan membela diri. Lima puluh satu tahun Kemerdekaan sudah lebih dari cukup untuk membuat rakyat Indonesia siap untuk berdemokrasi. Lagi pula, untuk membangun kehidupan yang nyata-nyata demokratis, tidak perlu membuat sistem konstitusional baru (meskipun mekanisme-mekanisme hukum konkret sangat perlu diadakan: terutama undang-undang kepartaian yang menggantikan yang antikedaulatan rakyat dan sistem pemilihan umum yang cocok dengan kondisi kita), karena Undang-Undang Dasar 1945 (sekurang-kurangnya untuk masa sekarang) cukup cocok (deisit demokratis sistem kita sekarang bukan karena UUD 1945, melainkan karena UUD 1945 tetap belum juga mau dilaksanakan secara murni dan...


Similar Free PDFs