Difteri PDF

Title Difteri
Author Achmad Rizki Azhari
Pages 14
File Size 451 KB
File Type PDF
Total Downloads 765
Total Views 1,005

Summary

Isu Terkini Penyakit Menular PD3I DIFTERI Disusun Oleh: Kelompok 1 Kelas D 2013 Nurafian Majiid Pranomo 25010113140241 Ria Yuniati 25010113140242 Tabita Kartikawati 25010113130243 Rifha Asti Hardinawanti 25010113140259 Miranti 25010113140270 Haida Meytania Utami 25010113140281 Novita Ayu Ningrum 250...


Description

Isu Terkini Penyakit Menular PD3I DIFTERI

Disusun Oleh: Kelompok 1 Kelas D 2013 Nurafian Majiid Pranomo

25010113140241

Ria Yuniati

25010113140242

Tabita Kartikawati

25010113130243

Rifha Asti Hardinawanti

25010113140259

Miranti

25010113140270

Haida Meytania Utami

25010113140281

Novita Ayu Ningrum

25010113140293

Nisa Zakiyah

25010113140302

Ajeng Ayuning Mutia

25010113130315

Tugas dilakukan untuk memenuhi salah satu tugas MK Isu Terkini Penyakit Menular Semester V (3 sks)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015

DIFTERI

A. DEFINISI Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan bakteri penyebabnya. Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring, laring, hidung, dan ada kalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang

konjungtiva

atau

vagina

(Chin,

2000).

Bakteri

Corynebacterium diphtheria merupakan bakteri berbentuk batang gram positif, tidak berspora, dan bercampak atau kapsul. Memiliki 3 tipe varian yaitu type gravis, intermedius dan mitis (Depkes RI, 2004). Difteri menyebabkan selaput tebal di bagian belakang tenggorokan. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas, gagal jantung, kelumpuhan, bahkan kematian.Vaksin dianjurkan untuk bayi, anak-anak, remaja dan orang dewasa untuk mencegah difteri (CDC).

B. EPIDEMIOLOGI Munculnya wabah difteri di Uni Soviet telah menjadi perhatian dalam epidemiologi penyakit. Selama tahun 1980-1994 wabah difteri telah menyebar ke 15 negara federasi Uni Soviet. Sedangkan di Eropa pada tahun 1992 terjadi wabah difteri yang mempunyai hubungan dengan kejadian wabah di Uni Soviet, antara lain di Belgia, Inggris, Firlandia, Jerman, Yunani, dan Polandia. Di Polandia pada tahun 1992-1995 dilaporkan 19 dari 25 orang yang didiagnosa difteri sebelumnya telah mengunjungi negara lain diantaranya Rusia, Ukraina dan Belarus. Sedangkan di negara berkembang menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2013, difteri masih endemik. South-East Asia

Region (SEARO) selalu menempati urutan pertama kasus difteri terbanyak di dunia. India merupakan negara tertinggi di SEARO dengan kasus difteri sebanyak 2.525 kasus (tahun 2012). Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2011 yaitu sebanyak 4.233 kasus. Sedangkan Indonesia merupakan negara tertinggi kedua setelah India dan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah kasus difteri di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 189 kasus, tahun 2010 sebanyak 432, tahun 2011 sebanyak 806 kasus, dan pada tahun 2012 sebanyak 1.194 dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 76 kasus. Dari 19 provinsi yang melaporkan adanya kasus difteri, kasus tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur sebanyak 955 kasus (79,5%), diikuti oleh Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Sulawesi Selatan masing-masing sebanyak 61 kasus (5,6%) dan 49 kasus (4,5%) (Kemenkes, 2013). Dinas Kesehatan Jawa Timur (2013) menyebutkan difteri merupakan kasus re-emerging disease karena kasus difteri tersebut sebenarnya sudah menurun pada tahun 1985, namun kembali meningkat pada tahun 2005 saat terjadi KLB di Kabupaten Bangkalan. Sejak itu penyebaran difteri semakin meluas dan mencapai puncaknya pada tahun 2012 sebanyak 955 kasus dengan 37 kematian. Kabupaten Bangkalan merupakan penyumbang kasus tertinggi kedua di Provinsi Jawa Timur 2013, seperti tercatat dalam laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan bahwa tahun 2013 mencapai 76 kasus.

C. ETIOLOGI Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi (Dahlan, 2007). Dengan pewarnaan, bakteri bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Bakteri ini tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-telluritatau media Loeffler. Pada membran

mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan bakteri diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa dan sukrosa. Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat (Sudoyo, 2006). Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu: a. Gravis Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit. b. Mitis Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit. c. Intermediate Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bias memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda. Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang

ada

bentuk grafis atau intermediate yang

tidak

virulen

terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi nontoksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/ memproduksi toksin dipengaruhi

oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bias diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. Untuk membedakan jenis virulen dan non virulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara: 1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai sekarang, walaupun sudah dimodifikasi. 2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR) 3. Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan Corynebacterium serosis. Basil dapat membentuk : 

Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.



Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu per lima puluh ml toksin dapat membunuh marmot dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri difteria akan mati pada pemanasan suhu 60°C selama 10 menit, tetapi tahan

hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering (Sumarmo, 2008).

D. PATOGENESIS Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A, mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga proses translokasi tersebut tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang pad awalnya mudah dilepas. Semakin banyak produksi toksin maka semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk eksudat fibrin, kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman tergantung dari jumlah darah yang terkandung (IDAI,2008). Menurut Zulhijjah (2012), toksin yang dihasilkan menyerang saraf tertentu seperti saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung bisa terjadi selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah

robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga mengalami kelsulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis dapat ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003). Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan tenggorok (Kementerian Kesehatan,2013).

E. GEJALA a. Difteri hidung Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian makropulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbs sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama terdiagnosis. b. Difteri faring Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari berikutnya akan timbul membrane yang melekat berwarna putih/kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding faring meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah laring trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadentid terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, maka akan timbul bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, maka akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala tergantung pada derajat penetrasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. c. Difteri laring Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring

berat terdapat retraksi suprasental, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi peleasan membrane yang menutup jalan napas, bisa terjadi kematian mendadak. d. Difteri kulit, konjungtiva, dan telinga Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak dikulit, tapi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane pada konjungtiva pelpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan berbau.

F. PENCEGAHAN a. Imunisasi DPT Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. (Wijaya, 2004) b. Penyuluhan Tentang Bahaya Difteri Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteri dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. (Wijaya, 2004) c. Memperhatikan Kebutuhan Hygiene Mencegah penyakit difteri penting pula untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular

dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Di samping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. (Kartono, 2008)

G. TREATMENT Pengobatan pada penderita difteria bertujuan untuk menginaktivasi toksin yangbelum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadiminimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobatiinfeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya berpengaruh padatoksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi toksinyang telah melakukan penetrasi ke dalam sel. (Detending RR, 2007) a.

Pengobatan umum  Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.  Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,  Pemberian cairan serta diet yang adekuat,  Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori.  Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antaralain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.  Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. (Sing A, 2005)

b. Pengobatan Khusus  Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. (Sing A, 2005)

Tipe Difteria

Dosis ADS (KI)

Cara Pemberian

Difteria Hidung

20.000

Intramuscular

Difteria Tonsil

40.000

Intramuscular / Intravena

Difteria Faring

40.000

Intramuscular / Intravena

Difteria Laring

40.000

Intramuscular / Intravena

Kominasi lokasi diatas

80.000

Intravena

Difteria + penyulit, bullneck

80.000 – 100.000

Intravena

Terlambat berobat (>72jam)

80.000 – 100.000

Intravena

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit 2

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatasnegatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS

intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). (Long SS, 1996)  Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.4. Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi (Detending RR, 2007).  Kortikosteroid Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari (Detending RR, 2007). c.

Pengobatan Penyulit Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan

trakeotomi (Maloney Dowel, 2011). Pengobatan terhadap miokarditis adalah dengan istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga. (Maloney Dowel, 2011)

H. GAMBAR

DAFTAR PUSTAKA

Chin, James. 2000. Manual Pembera...


Similar Free PDFs
Difteri
  • 14 Pages
askep difteri
  • 14 Pages