Evidence-Based Medicine PENGANTAR EVIDENCE-BASED MEDICINE PDF

Title Evidence-Based Medicine PENGANTAR EVIDENCE-BASED MEDICINE
Author Zahratul Aini
Pages 35
File Size 707.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 419
Total Views 715

Summary

Evidence-Based Medicine Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD PENGANTAR EVIDENCE-BASED MEDICINE Prof. Bhisma Murti Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Apakah evidence-based medicine (EBM)? Makalah ini memperkenalkan evidence-based medicine, diawali dengan...


Description

Evidence-Based Medicine

Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD

PENGANTAR EVIDENCE-BASED MEDICINE Prof. Bhisma Murti Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Apakah evidence-based medicine (EBM)? Makalah ini memperkenalkan evidence-based medicine, diawali dengan uraian tentang disiplin ilmu yang melatari EBM, definisi dan tujuan EBM, alasan yang melatari EBM. Kemudian makalah ini memperkenalkan langkahlangkah EBM, metode untuk merumuskan pertanyaan/ masalah kinis pasien, metode untuk mencari bukti dari database bukti riset, metode untuk menilai kritis bukti riset, cara menerapkan bukti-bukti ke dalam praktik klinis, dan cara mengajarkan EBM. Makalah ini diakhiri dengan ulasan tentang health technology assessment (HTA).

1. Epidemiologi, Epidemiogi Klinik, dan Evidence-Based Medicine Banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa evidence-based medicine sesungguhnya merupakan istilah baru penerapan epidemiologi klinik dalam pelayanan pasien. Sedang epidemiologi klinik adalah penerapan prinsip epidemiologi populasi untuk pelayanan klinis pasien. Fletcher dan Fletcher (2005) dalam buku‖ Clinical Epidemiology: The Essentials‖ menegaskan, ―Evidence-based medicine is a modern term for the application of clinical epidemiology to the care of patient”. Sedang epidemiologi klinik (clinical epidemiology) sudah dikenal 50 tahun yang lalu ketika John R Paul mendefinisikan epidemiologi klinik “a marriage between quantitative concepts used by epidemilogists to study disease in populations and decision making in the individual case which is the daily fare of clinical medicine” – epidemiologi klinik adalah perkawinan antara konsep kuantitatif yang digunakan ahli epidemiologi untuk mempelajari penyakit pada populasi dan pengambilan keputusan pada individu kasus yang merupakan kegiatan sehari-hari kedokteran klinis (Last, 1988). Definisi tersebut mengisyaratkan, epidemiologi klinik merupakan ilmu yang berasal dari dua disiplin induk – kedokteran klinis (clinical medicine) dan epidemiologi (epidemiology). Disebut ―clinical‖ karena epidemiologi klinik bertujuan membantu klinisi untuk membuat keputusan klinis dengan lebih baik untuk pelayanan pasien, menyangkut diagnosis, kausa, prognosis, terapi, maupun pencegahan. Epidemiologi klinik disebut ―epidemiology‖ karena semua prinsip, konsep, dan metode yang digunakan untuk membuat keputusan klinis pasien diadopsi dari prinsip, konsep dan metode kuantitatif epidemiologi populasi (Fletcher dan Fletcher, 2005). Epidemiologi (epidemiologi populasi, epidemiologi klasik) adalah “the study of the distribution and determinants of health-related states or events in specified populations, and the application of this study to control of health problems” Epidemiologi adalah ―ilmu tentang distribusi dan determinan keadaan atau peristiwa terkait kesehatan pada populasi tertentu, dan penerapannya untuk mengendalikan masalah kesehatan‖ (Last, 2001). Epidemiologi klinik disebut ―epidemiology‖ karena masalah klinis individu pasien diamati, dikuantifikasi, dan dianalisis dalam konteks populasi yang melatari pasien. Berbeda dengan pendekatan pelayanan biomedis yang tidak ditujukan spesifik kepada masing-masing pasien, maupun pendekatan klinis yang mengindividualisasi masalah klinis pasien tanpa menghubungkannya dengan populasi pasien, pendekatan 1

Evidence-Based Medicine

Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD

epidemiologi klinik mengindividualisasi pelayanan pasien menurut konteks yang melatari pasien. Konteks pasien penting diperhitungkan untuk menghindari ―contextual error‖. ―Contextual error‖ adalah kesalahan dalam menentukan diagnosis, kausa, prognosis, atau terapi kepada pasien karena kegagalan klinisi untuk mengindividualisasi pasien, yaitu pengabaian klinisi terhadap elemen lingkungan, perilaku, dan preferensi pasien yang penting dalam merencanakan pelayanan yang tepat (Scott, 2009; Weiner et al., 2010). Berikut disajikan contoh penerapan prinsip epidemiologi dalam pengambilan keputusan klinis. Riset kedokteran, baik biomedis, klinis, epidemiologis, menghasilkan bukti (evidence) yang bisa digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan klinis. Tetapi kualitas bukti yang dihasilkan berbagai riset tidak sama. “Not all evidences are created equal”. Ada riset yang memberikan bukti yang bernilai tinggi tentang efektivitas terapi, tetapi ada pula riset yang memberikan bukti sampah tentang efektivitas terapi. Prinsip epidemiologi populasi mengajarkan tentang perlunya mengidentifikasi, mengkaji, dan mengontrol kesalahan sistematis (systematic error) dan kesalahan random (random error) yang mempengaruhi validitas (kebenaran) dan presisi (ketelitian) bukti-bukti yang dihasilkan riset kedokteran. Berbagai prinsip, konsep, dan metode ―standar‖ epidemiologi populasi, misalnya peran bias seleksi (selection bias), bias informasi (information bias), dan kerancuan (confounding), yang menyebabkan kesalahan sistematis, dan peran peluang (chance) yang menyebabkan kesalahan random dalam penarikan kesimpulan riset kedokteran, tidak dipelajari dalam kedokteran klinis, melainkan ilmu epidemiologi populasi. Gagasan gerakan penggunaan bukti ilmiah terbaik untuk praktik kedokteran klinis dikemukakan pertama kali oleh Profesor Archie Cochrane pada 1972. Cochrane adalah seorang ahli epidemiologi Inggris yang menjabat Direktur Medical Research Council Epidemiology Research Unit di Cardiff, Inggris. Dalam bukunya berjudul ―Effectiveness and Efficiency: Random Reflections on Health Services‖, Cochrane mengemukakan gagasan evidence based medicine (CorpBlack, 2010). Pada tahun 1981 Dr. David Sackett dan para pakar epidemiologi klinik lainnya pada McMaster University, Toronto, Kanada, mempublikasikan strategi pemanfaatan bukti riset untuk praktik kedokteran dalam sejumlah artikel pada Canadian Medical Association Journal (CMAJ). Salah satu strategi itu disebut ―critical appraisal‖. Critical appraisal (penilaian kritis) tentang kekuatan bukti dan interpretasi yang benar bukti riset merupakan salah satu langkah penting yang digunakan dalam praktik EBM dewasa ini. Pada tahun 1982 terbit untuk pertama kali buku teks epidemiologi klinik yang sangat populer berjudul “Clinical Epidemiology: The Essentials”. Buku tersebut ditulis oleh Robert Fletcher dan Suzanne Fletcher, profesor epidemiologi pada Harvard Medical School, Boston, Massachussetts, AS. Buku itu mengulas semua konsep dan metode kuantitatif epidemiologi yang digunakan dalam praktik evidence-based medicine, meliputi abnormalitas, diagnosis, frekuensi, risiko, prognosis, terapi, pencegahan, kesalahan sistematis, peran peluang, kausasi, dan kajian sistematis (systematic review). Pada tahun 1990 Dr Gordon Guyatt, pakar epidemiologi klinik pada McMaster University, memperkenalkan istilah baru “evidence-based medicine” (EBM). Menurut Guyatt, EBM merupakan paradigma baru praktik kedokteran yang menekankan penggunaan bukti kuat hasil riset, keterampilan klinis, nilai dan preferensi pasien untuk pengambilan keputusan klinis (Evidence-Based Medicine Working Group, 1992). Pada tahun 1991 terbit sebuah buku teks epidemiologi klinik berjudul “Clinical Epidemiology: A Basic Science for Clinical Medicine”. Buku itu sering dianggap 2

Evidence-Based Medicine

Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD

“kitab suci” epidemiologi klinik, ditulis oleh pakar epidemiologi klinik McMaster University, yaitu David Sackett, Brian Haynes, Gordon Guyatt, dan Peter Tugwell. Halaman 366-367 buku itu memuat daftar pertanyaan esensial yang harus dijawab klinisi ketika melakukan penilaian kritis terhadap bukti riset, baik tentang akurasi tes diagnostik, skrining, efektivitas dan keamanan terapi, faktor prognostik yang memperburuk/ memperbaiki akibat penyakit, kausasi, kualitas pelayanan kesehatan, analisis ekonomi, maupun kajian sistematis (systematic review) (Sackett et al., 1991). Buku itu menjelaskan dengan terinci berbagai aspek yang perlu dinilai dalam sebuah critical appraisal, meliputi validitas, kepentingan klinis dan statistik, serta kemampuan penerapan bukti-bukti riset. Buku epidemiologi klinik tersebut juga menjelaskan dengan terinci semua konsep dan metode kuantitatif epidemiologi yang digunakan dalam evidence-based medicine dewasa ini, misalnya sensitivitas, spesifisitas, ROC, likelihood ratio, ARR (absolute risk reducation), RRR (relative risk reduction), NNT (number needed to treat), NNH (number needed to harm), decision tree analysis, dan sebagainya. Bab terakhir buku itu mengulas cara mencari bukti dan membaca artikel dengan efisien. Kemudian sebuah kelompok kerja tingkat internasional disebut ―Evidence-Based Medicine Working Grup‖ menerbitkan 32 artikel pada Journal of American Medical Association (JAMA) antara 1992 dan 2000. Rangkaian artikel tersebut mempopulerkan evidence-based medicine di kalangan komunitas medis seluruh dunia (Evidence-Based Medicine Working Group, 1992; Claridge dan Fabian, 2005; Wikipedia, 2010a). Pada tahun 1996 Sackett dan para pakar epidemiologi klinik pada McMaster University mendefinsikan EBM "the conscientious, explicit and judicious use of current best evidence in making decisions about the care of the individual patient. It means integrating individual clinical expertise with the best available external clinical evidence from systematic research" – EBM adalah penggunaan bukti terbaik saat ini dengan hati-hati, jelas, dan bijak, untuk pengambilan keputusan pelayanan individu pasien. EBM memadukan keterampilan klinis dengan bukti klinis eksternal terbaik yang tersedia dari riset” (Sackett et al, 1996). Pada tahun 2000 Sackett et al. (2000) mendefinisikan EBM: “the integration of best research evidence with clinical expertise and patient values” – EBM adalah integrasi bukti-bukti riset terbaik dengan keterampilan klinis dan nilai-nilai pasien. Ketiga elemen itu disebut triad EBM (Gambar 1) Bukti klinis terbaik yang tersedia

Keterampilan klinis

Keadaan klinis pasien yang lebih baik

Nilai-nilai dan ekspektasi pasien

Gambar 1 Triad EBM

2. Tujuan EBM EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilainilai pasien (Gambar 1). Penggunaan bukti ilmiah terbaik memungkinkan pengambilan 3

Evidence-Based Medicine

Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD

keputusan klinis yang lebih efektif, aman, bisa diandalkan (reliable), efisien, dan costeffective. Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatif epidemiologi. Pengambilan keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa diandalkan (BMJ Evidence Centre, 2010). Dengan menggunakan bukti-bukti yang terbaik dan relevan dengan masalah pasien atau sekelompok pasien, dokter dapat memilih tes diagnostik yang berguna, dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat, memilih terapi yang terbaik, dan memilih metode yang terbaik untuk mencegah penyakit. Beberapa dokter mungkin berargumen, mereka telah menggunakan ―bukti‖ dalam membuat keputusan. Apakah ―bukti‖ tersebut merupakan bukti yang baik? Tidak. ―Bukti‖ yang diklaim kebanyakan dokter hanya merupakan pengalaman keberhasilan terapi yang telah diberikan kepada pasien sebelumnya, nasihat mentor/ senior/ kolega, pendapat pakar, ―bukti‖ yang diperoleh secara acak dari artikel jurnal, abstrak, seminar, simposium. ―Bukti‖ itu merupakan informasi bias yang diberikan oleh industri farmasi dan ―detailer obat‖. Sebagian dokter menelan begitu saja informasi tanpa menilai kritis kebenarannya, suatu sikap yang disebut ―gullible‖ yang menyebabkan dokter ―poorly-informed‖ dan tidak independen dalam membuat keputusan medis (Sackett dan Rosenberg, 1995; Montori dan Guyatt, 2008). Keadaan tersebut mendorong timbulnya gagasan pendekatan baru untuk menggunakan bukti yang terbaik dalam praktik klinis, disebut EBM (Hollingworth dan Jarvik, 2007). Praktik klinis EBM memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki pandangan yang independen dalam membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis terhadap klaim dan kontroversi di bidang kedokteran (Sackett dan Rosenberg, 1995; Gray, 2001; Guyatt et al., 2004). EBM memberikan pendekatan baru dalam praktik kedokteran klinis yang tidak dilakukan sebelumnya. Contoh, EBM mengajarkan bahwa pengambilan keputusan yang lebih baik tentang terapi bukan berbasis opini (opinion-based decision making, OBDM), atau kebijaksanan konvensional (conventional wisdom) yang tidak berbasis bukti, melainkan berbasis bukti (evidence-based decision making, EBDM), yaitu bukti efektivitas intervensi medis dari kajian sistematis (systematic review), atau randomized controlled trial (RCT), dengan double-blinding dan concealment, dengan ukuran sampel besar (Gambar 2). OBDM= opinion-based decision making, conventional wisdom EBDM= evidencebased decision making Tekanan lingkungan untuk pelayanan medis yang bermutu

Gambar 2 Perubahan paradigma pengambilan keputusan klinis dari berbasis opini ke bukti EBM menggunakan bukti terbaik dalam praktik klinis. Tetapi apakah bukti terbaik saja cukup untuk pengambilan keputusan klinis dokter? Tidak. Dalam BMJ Sackett et al. (1996) mengingatkan ―...Without clinical expertise, practice risks becoming tyrannized by evidence, for even excellent external evidence may be inapplicable to or inappropriate for an individual 4

Evidence-Based Medicine

Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD

patient‖. EBM tidak menempatkan peran bukti-bukti ilmiah terbaik sebagai ―tirani‖ yang menafikan peran penting kedua komponen lainnya. Penggunaan bukti ilmiah terbaik saja tidak cukup bagi dokter untuk memberikan pelayanan medik yang lebih baik. Sebab buktibukti terbaik belum tentu dapat atau tepat untuk diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. Bukti ilmiah terbaik yang ada perlu dipadukan dengan keterampilan/ keahlian klinis dokter. Keterampilan klinis diperoleh secara akumulatif seorang klinisi melalui pendidikan, pengalaman klinis, dan praktik klinis. Keterampilan klinisi yang tinggi diwujudkan dalam berbagai bentuk, khususnya penentuan diagnosis yang lebih akurat dan efisien, pemilihan terapi yang lebih bijak, yang memperhatikan preferensi pasien. Pengalaman dan keterampilan klinis dokter merupakan komplemen penting bagi buktibukti, yang diperlukan untuk menghasilkan pelayanan medis yang efektif. Tetapi penggunaan pengalaman dan keterampilan klinis saja tidak menjamin pelayanan medis yang dapat diandalkan. Paradigma baru EBM mengajarkan, pembuatan keputusan klinis yang baik tidak cukup jika hanya didasarkan pada pengalaman klinis yang tidak sistematis, intuisi, maupun alasan patofisiologi, khususnya jika masalah klinis pasien yang dihadapi kompleks (Evidence-Based Medicine Working Group, 1992). Kedua, EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care). Selama lebih dari 80 tahun sccara kasat mata terlihat kecenderungan bahwa praktik kedokteran telah terjebak pada paradigma ―reduksionis‖, yang memereteli pendekatan holistik menjadi pendekatan ―fragmented‖ dalam memandang dan mengatasi masalah klinis pasien. Dengan pendekatan reduksionis, bukti-bukti yang dicari adalah bukti yang berorientasi penyakit, yaitu ―surrogate end points‖, intermediate outcome, bukti-bukti laboratorium, bukannya bukti yang bernilai bagi pasien, bukti-bukti yang menunjukkan perbaikan klinis yang dirasakan pasien. EBM bertujuan meletakkan kembali pasien sebagai ―principal‖ atau ―pusat‖ pelayanan medis. EBM mengembalikan fokus perhatian bahwa tujuan sesungguhnya pelayanan medis adalah untuk membantu pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan kehidupan yang bebas dari gejala ketidaknyamanan. Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-bukti yang dicari dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit (Disease-Oriented Evidence, DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien (Patient-Oriented Evidence that Matters, POEM) (Shaugnessy dan Slawson, 1997). Di samping itu, paradigma EBM mengingatkan kembali pentingnya hubungan antara pasien sebagai ‗principal‘ dan dokter sebagai ‗agent‘ yang dibutuhkan untuk penyembuhan. ―Healing requires relationships—relationships which lead to trust, hope, and a sense of being known‖ (Scott et al., 2008). Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis bersama pasien (shared decision making), dengan memperhatikan preferensi, keprihatinan, nilai-nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai pasien meliputi pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan otonomi pasien, dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya. Guyattt et al. (2004) mengingatkan dalam editorial BMJ, ―... Because clinicians' values often differ from those of patients, even those who are aware of the evidence risk making the wrong recommendations if they do not involve patients in the decision making process ". Bukti klinis eksternal bisa memberikan informasi tentang pilihan yang lebih baik untuk suatu terapi, tetapi tidak bisa menggantikan hak pasien, sistem nilai pasien, preferensi pasien, dan harapan pasien, tentang cara yang baik untuk mengatasi masalah klinis pasien. Alasan rasional, bukti eksternal yang terbaik yang dihasilkan riset merupakan inferensi yang bersifat umum di tingkat populasi. Karena bersifat umum maka bukti tersebut tidak bisa mengabaikan keunikan masing-masing individu pasien ketika sebuah tes diagnostik atau terapi akan diterapkan pada masing-masing individu pasien. 5

Evidence-Based Medicine

Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD

3. Mengapa Perlu EBM? Ada beberapa alasan perlunya EBM, dua alasan utama sebagai berikut. Pertama, jumlah publikasi medis tumbuh sangat cepat, sehingga para dokter dan mahasiswa kedokteran kewalahan untuk mengidentifikasi bukti yang relevan, berguna, dan dapat dipercaya (Del Mar et al., 2004). Bukti riset yang dipublikasikan sangat banyak jumlahnya. Hampir dua juta artikel kedokteran diterbitkan setiap tahun. Padahal, “not all evidences are created equal”. Tidak semua artikel hasil riset memberikan bukti-bukti dengan kualitas dan validitas (kebenaran) yang sama. Suatu intervensi diagnostik maupun terapetik yang efektif dalam memberikan perbaikan klinis kepada pasien bisa pada saat yang sama mengandung risiko kerugian dan biaya bagi pasien. Selain itu tidak semua bukti dibutuhkan untuk pasien dalam praktik klinis. Karena itu para dokter dan tenaga kesehatan profesional lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan memilih bukti-bukti terbaik yang bisa memberikan informasi yang relevan dan terpercaya, dengan cara yang efektif, produktif, dan efisien (cepat). Teknologi informasi memberikan kontribusi besar bagi perkembangan EBM (Claridge dan Fabian, 2005). Komputer dan perangkat lunak database memungkinkan kompilasi sejumlah besar data. Internet memungkinkan akses data dan informasi secara masif dalam waktu singkat. Dalam dua dekade terakhir telah dilakukan upaya untuk mengembangkan, mensintesis, menata bukti-bukti pada berbagai database hasil riset, yang bisa digunakan secara online untuk membantu membuat keputusan klinis. MedLine (PubMed), dan Embase, merupakan contoh database hasil riset primer kedokteran yang telah dipublikasikan. Cochrane Library merupakan contoh database hasil riset sekunder (systematic-review/ meta-analysis) yang mensintesis hasil riset primer dengan topik sama. Pada saat yang sama para ahli epidemiologi mengembangkan strategi untuk menemukan, mengevaluasi, dan menilai kritis tes diagnostik, terapi, dan aplikasi lainnya, untuk mendukung praktik EBM. Metode EBM memudahkan para dokter untuk mendapatkan informasi kedokteran yang dapat dipercaya dari database primer dan sekunder. Kegiatan EBM meliputi proses mencari dan menyeleksi bukti dari artikel hasil riset, menganalisis dan menilai bukti, dan menerapkan bukti kepada pasien. ...


Similar Free PDFs