Indonesian translation of Ithaf al-Dhaki bi Sharh Tuhfat al-Mursalah ila al-Nabi, a sufi treatise by Ibrahim al-Kurani (d. 1690) PDF

Title Indonesian translation of Ithaf al-Dhaki bi Sharh Tuhfat al-Mursalah ila al-Nabi, a sufi treatise by Ibrahim al-Kurani (d. 1690)
Author Oman Fathurahman
Pages 99
File Size 606.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 54
Total Views 418

Summary

ITH{ TERJEMAHAN TEKS IT AF H{A< < AL AL--DHAK DHAKI<I< Catatan atas Terjemahan Secara keseluruhan, terjemahan teks Ith}af> al-Dhaki> di bawah ini akan didasarkan pada MS 820 koleksi Fazil Ahmed Pasa, Perpustakaan al- Suleymaniye, Istanbul. Untuk membantu memahami pokok-pokok pikira...


Description

TERJEMAHAN TEKS IT ITH{ AF < AL AL--DHAK DHAKI al-Dhaki> di bawah ini akan didasarkan pada MS 820 koleksi Fazil Ahmed Pasa, Perpustakaan alSuleymaniye, Istanbul. Untuk membantu memahami pokok-pokok pikiran al-Ku>ra>ni> dalam teks ini, saya menambahkan sub-judul dengan tanpa mengubah sistematika dan susunan aslinya. Selain penambahan sub-judul, dalam terjemahan ini saya juga membuat pembagian paragraf, dua tanda kurung bulat (…) untuk menandai kata yang saya tambahkan sendiri, dan dua tanda kurung persegi […] untuk menandai matan teks al-Tuh}fah al-Mursalah.

Pendahuluan Teks Dengan nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Melalui bacaan basmalah tersebut, hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan, karena Dialah Zat yang patut diminta pertolongan, dan yang Mahapenolong. Segala puji bagi Allah: Zat yang Mahaawal, tidak ada sesuatu lain pun yang mendahului-Nya, dari Zat-Nya lah semua penjelasan berasal, baik yang telah maupun akan terjadi; Zat yang Mahaakhir, yang tidak ada sesuatu lain setelah-Nya, karena Dia Mahakekal, kepada-Nya lah semua urusan akan dikembalikan, bagaimana pun keadaannya; Zat yang Mahalahir, tidak ada sesuatu lain yang melebihi penampakan-Nya, karena Dia dapat diketahui dan disaksikan melalui penampakan (tajalli>) yang nyata, baik dalam penampakan lahir maupun batin; Zat yang Mahabatin, tidak ada sesuatu lain yang lebih tersembunyi dari-Nya, karena Dia Mahaluas serta Meliputi semua hal tersembunyi yang terdapat dalam wilayah lahir dan batin. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang Mahakaya, Penyayang, Mahaesa, Tempat meminta, Mahahidup,

36

Terjemahan Teks Ith}af> al-Dhaki>

Mahapemelihara, yang Tunggal, serta Mahakuasa. Dan aku bersaksi bahwa pemimpin kita, Muhammad, adalah hamba-Nya yang paling sempurna, yang diutus sebagai rahmat bagi segenap alam, penutup para nabi, pemimpin bagi mereka yang memiliki anugerah dan rahasia, semoga Allah memberikan rahmat dan salam terbaik kepadanya, yang dapat memancarkan berkah bagi segenap penjuru alam dan setiap jiwa setiap saat; rahmat dan salam juga semoga disampaikan kepada keluarga dan sahabatnya, para pemimpin yang memperoleh petunjuk, sebanyak jumlah makhluk Allah, dan sepanjang kuasa Allah, Mahapemelihara, yang Mahagagah lagi Mahapengampun.

Latar Belakang al--Dhaki> Belakang Penulisan Ith}af> al Dan kemudian daripada itu; kami telah menerima kabar dari kelompok masyarakat Jawi (jama>‘at al-ja>wi>yi>n) bahwa di kalangan masyarakat ‘Jawah’ telah tersebar sebagian kitab tentang ilmu hakikat dan ilmu batin, yang dipelajari dan diajarkan oleh para pencinta ilmu, tapi tanpa memahami terlebih dahulu syariat Nabi yang terpilih, (Muhammad), Saw.; bahkan tanpa memahami ilmu hakikat yang diberikan kepada orang-orang yang menempuh jalan Allah taala, yang berusaha mendekati-Nya, orang-orang pilihan, atau mereka yang menempuh salah satu dari beberapa jalan (tarekat) yang dilandaskan pada al-Quran dan Sunnah, dengan benar-benar mengikuti keduanya, lahir dan batin, sebagaimana orang-orang saleh dan suci telah menjalaninya. Hal inilah yang menyebabkan sebagian dari mereka tergelincir dari jalan yang benar, menyesatkan akidah, bahkan terjerumus ke dalam perbuatan kafir (zindi>q) dan sesat (ilh}ad> ). Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan dan segala bentuk keburukan, baik yang tersembunyi maupun yang nyata. Jamaah Jawi tersebut menceritakan kepadaku bahwa di antara kitab yang paling masyhur di kalangan mereka adalah risalah pendek berjudul al-Tuh}fah al-Mursalah ila> al-Nabi> S{alla> Alla>h ‘alayh wa-sallam (Persembahan yang ditujukan kepada Nabi Saw.), karangan al-‘a>rif billa>h al-Shaykh Muh}ammad ibn al-Shaykh Fad}l Alla>h al-Hindi> alBurha>nbu>ri>, semoga Allah taala memberikan manfaat atasnya. Beberapa dari Jamaah Jawi meminta kepada diriku yang tak berilmu ini untuk menulis sebuah komentar (sharh}) atas kitab tersebut, agar dapat menjelaskan kesesuaian masalah-masalah (yang dibahas) di dalamnya dengan prinsip-prinsip dasar agama, yang diperkuat dengan dalil-dalil dari Kitab yang mulia serta Sunnah (tuntunan) pemimpin para nabi, semoga Allah memberikan rahmat dan salam kepadanya serta

Ith}af> al-Dhaki>

37

kepada para rasul semuanya. Permintaan ini diajukan beberapa kali dalam beberapa tahun oleh lebih dari satu orang dari kalangan Jamaah jawi tersebut. Maka, setelah beberapa kali melakukan shalat istikharah di sejumlah tempat, dan di dekat (makam) Rasulullah, penutup para nabi --semoga Allah memberikan rahmat dan salam kepadanya, kepada para nabi, dan keluarga mereka semuanya--- permintaan itu pun dipenuhi seraya berharap agar ---dengan izin Allah, Tuhan semesta alam--- bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat meski hanya dengan sedikit kemampuan (dariku), dan meski (aku) menyadari bahwa memberikan pemahaman dengan bahasa yang mudah dicerna serta sesuai dengan alQuran dan sunnah Nabi adalah ibarat gunung tinggi yang sulit didaki. Akan tetapi, Allah ---yang Mahakuat, Mahagagah, Yang telah membiarkan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing (55: 1920)--- niscaya Mahakuasa menyampaikan hamba yang dihendaki-Nya ke tempat bertemunya (dua lautan tersebut). Kemudian, apa yang perlu dilakukan sekarang adalah mengerjakan yang terbaik; Allah adalah tempat memohon pertolongan serta tempat bertanya melalui tutur kata yang santun dan penuh harapan, semoga Dia memudahkan aku menulis sebuah penjelasan yang memuaskan, jelas, dan tepat, yang bersumber dari ucapan orang-orang yang telah berhasil menjalani kashf dan shuhu>d, serta menjadi Sufi setelah menjalani ketaatan yang sempurna, yakni orang-orang jujur dan saleh. “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, hilangkanlah kelu dari lidahku, sehingga orang-orang bisa mengerti perkataanku” (20: 25-28); “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah, masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang kemudian” (26: 83-84), amin. Dan aku namai kitab ini Ith}af> al-Dhaki> bi-Sharh} al-Tuh}fah alMursalah ila> al-Nabi> Saw. (Sebuah Persembahan kepada Jiwa yang Suci, Menjelaskan Persembahan yang ditujukan kepada Nabi Saw.); Allah adalah Pemberi manfaat, Cahaya, Pemberi petunjuk, Pemilik sifat dermawan dan utama; Dia lah Yang diminta agar kitab ini bermanfaat bagi para pencari kesempurnaan yang memiliki cita-cita luhur, jujur dalam mencari hakikat, serta meyakini pengetahuan yang mulia dan tinggi ini. Ya Allah, Engkau adalah Tuhan yang Mahamulia, “yang Mengajari manusia, apa yang yang tidak mereka ketahui” (96: 5); berikanlah rahmat dan salam kepada junjunan kami, Muhammad, hamba-Mu yang dimuliakan melalui seruan “Dia telah mengajarimu apa-

38

Terjemahan Teks Ith}af> al-Dhaki>

apa yang kamu belum ketahui” (4: 113); hadapkanlah hati mereka kepada agama-Mu, lindungi mereka dengan kasih sayang-Mu, karuniakan pengetahuan hakikat kepada kami dan kepada mereka, tanpa terjerumus ke dalam kesesatan yang mencelakakan, serta kekafiran yang menyesatkan, sesungguhnya Engkau Mahapemelihara, Mahapelindung, Mahapemberi, Mahamulia, Mahameliputi, Mahakekal, Mahapengasih, dan Mahapenyayang, amin.

Memulai dengan Basmalah dan Hamdalah Ini adalah permulaan komentar atas kitab tersebut; tidak ada daya dan kekuatan selain atas pertolongan Allah, yang Mahatinggi, Mahaagung, Mahagagah, dan Mahapemurah. Aku berkata: petunjuk hanya datang dari Allah, dan di sisi-Nya lah terdapat kerajaan hakikat. Karena termasuk hal yang harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat, maka mengarang sebuah kitab termasuk ke dalam kategori perbuatan penting. Sebuah hadis tentang keutamaan memulai suatu perbuatan penting dengan membaca basmalah ---yakni hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah, semoga Allah taala meridainya, dan disampaikan oleh ‘Abd al-Qa>dir al-Ruha>wi> dalam Kitab al-Arba‘i>n dengan mata rantai sanad yang baik (yang berbunyi): “Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai dengan bacaan bismi Alla>h al-Rahma>n al(basmalah), maka perbuatan tersebut tidak sempurna”, Rah}im > maksudnya kurang dan sedikit maknanya--- mengisyaratkan bahwa semua perbuatan penting yang membutuhkan perhatian seyogyanya dimulai dengan bacaan basmalah pada awal dan permulaan perbuatan tersebut. Atas dasar anjuran dalam hadis tersebut, (Muh}ammad ibn Fad}l Alla>h) berkata: [bismi Alla>h al-Rah}ma>n al-Rah}im > ] (dengan nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang) ---yakni dengan memohon pertolongan atau menyandarkan penulisannya kepada Nama Zat yang wajib ada-Nya (wa>jib al-wuju>d), dan yang menghimpun setiap kesempurnaan melalui Zat-Nya. Dia lah Allah, Pemilik sifat penyayang yang umum, yakni Mencipta dan Memelihara, serta Pemilik sifat penyayang yang khusus, yakni Memberi petunjuk menuju kebahagiaan abadi--- aku memulai mengarang, atau aku menulis. Demikianlah, bacaan basmalah ini dianjurkan dalam berbagai permulaan perbuatan penting, agar perbuatan tersebut senantiasa disandarkan kepada Nama Allah, baik secara lahir maupun batin. Dalam hal ini, tidak ada satu pun perbuatan seorang hamba kecuali atas kehendak Allah, karena setiap perbuatannya membutuhkan kekuatan,

Ith}af> al-Dhaki>

39

padahal tidak ada kekuatan baginya selain kekuatan Allah, dan segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah, pada hakikatnya adalah milikNya. Jadi, perbuatan seorang hamba itu, karena terjadi melalui Allah, pada hakikatnya sudah disandarkan kepada Nama Allah, “yang Kuasa melakukan apapun yang dikehendaki-Nya” (11: 107). Jika ia menyebut Nama Allah pada permulaan perbuatannya, berarti perbuatan itu disandarkan kepada Nama Allah, lahir dan batin, sehingga perbuatan itu menjadi sempurna dan penuh makna, ibarat sebuah jasad yang sempurna, lengkap dengan kedua tangannya. Tapi, jika ia tidak menyebut Nama Allah pada awal perbuatannya, maka perbuatan itu hanya disandarkan kepada Allah secara batin saja, tidak secara lahir; dan hal itu tentunya sebuah kekeliruan, karena berarti ia menyandarkan perbuatannya itu kepada dirinya sendiri. Dengan demikian perbuatannya menjadi tidak sempurna dan kurang bermakna, ibarat sebuah jasad yang terputus salah satu tangannya, sehingga jasad itu menjadi cacat. Mengingat semua kesempurnaan adalah milik Allah, dan kesempurnaan hamba juga melalui Allah, bukan atas zatnya sendiri, sementara tidak ada pujian kecuali terhadap adanya kesempurnaan, maka semua pujian pun pada hakikatnya adalah milik Allah. Dalam hal ini Nabi Saw. melalui sabdanya: ---“Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai dengan pujian kepada Allah (hamdalah) adalah tidak sempurna”; dalam riwayat lain: “Setiap ucapan yang tidak dimulai dengan pujian kepada Allah, maka ucapan itu kurang bermakna”--- mendorong agar memulai semua perbuatan penting dengan pujian kepada Allah untuk mengingatkan bahwa kesempurnaan yang terdapat di dalamnya adalah bersumber dari Allah, baik secara lahir maupun batin, sehingga perbuatan itu menjadi sempurna dan penuh makna, karena disandarkan kepada Zat Pemilik semua kesempurnaan, lahir dan batin. Jika hamba tidak memuji Allah pada permulaan perbuatannya, maka itu adalah sebuah kekeliruan, karena berarti ia menyandarkan kesempurnaan dalam perbuatan itu kepada dirinya, tidak kepada Allah taala. Dengan demikian, perbuatan itu pun menjadi tidak sempurna dan kurang bermakna. Karena manfaat bacaan hamdalah sama dengan basmalah, sebagaimana telah dijelaskan, maka seyogyanya basmalah dibaca sebelum hamdalah. Oleh karena itulah, setelah membaca basmalah, (Muh}ammad ibn Fad}l Alla>h) berkata: [alh}amdu li-Alla>h] (segala puji bagi Allah). Benar bahwa riwayat hadis ---“Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai dengan mengingat Allah adalah cacat”, atau “tidak sempurna”— menunjukkan bahwa memulai menyebut Nama Allah taala

40

Terjemahan Teks Ith}af> al-Dhaki>

yang tersirat dalam setiap perbuatan, meski tidak secara khusus dengan bacaan basmalah dan hamdalah, sudah cukup untuk memperoleh makna dan kesempurnaan perbuatan itu. Akan tetapi, secara khusus membaca basmalah dan hamdalah adalah karena kelebihan kesempurnaan keduanya. Mungkin karena basmalah lebih jelas menunjukkan penyandaran segala sesuatu kepada Nama Allah taala secara hakiki, sehingga karenanya basmalah mencakup tauhid perbuatan (tawh}id> alaf’a>l) yang menetapkan bahwa tindakan (kasb) hamba adalah hanya atas izin Allah taala; tidak berdiri sendiri; dengan demikian segala pujian hanyalah bagi Allah semata, dalam semua perbuatan. Jadi, dianjurkannya bacaan hamdalah setelah basmalah adalah untuk menegaskan kesempurnaan yang terkandung dalam basmalah, sehingga hamba itu lebih kuat dalam keyakinannya, tidak sombong, dan selalu hadir bersama Allah, ‘azza wa jalla, yang memang diharuskan dalam setiap perbuatan baik. Karena yang dianjurkan adalah memulai segala sesuatu dengan mengingat Allah, maka dibenarkan menyebut-Nya taala dengan satu atau sejumlah nama. Hadis tentang memulai perbuatan dengan membaca basmalah di atas menunjukkan bahwa yang dianjurkan adalah mengingat Allah taala dengan bacaan basmalah yang mengandung tiga nama (Alla>h, al-Rah}ma>n, al-Rah}im > ); dan hal tersebut menuntut waktu yang panjang. Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan awal dan permulaan segala perkara yang harus dimulai dengan mengingat Allah taala di dalamnya adalah awal saat memulai perbuatan tersebut, dan permulaan melakukannya, dari waktu yang panjang, yang leluasa untuk memperbanyak berzikir, jika ia bermaksud mengerjakan perbuatan yang lebih utama, bukan satu masa yang dihimpun dari beberapa waktu saja pada awal waktu melakukan perbuatan itu. Jika tidak demikian, ia tidak mencakup basmalah dengan kesempurnaannya, padahal hadis yang lalu telah menjelaskan kesempurnaan tersebut. Dan jika yang yang dimaksud dengan permulaan itu adalah seperti yang telah dikemukakan, maka jelaslah perpaduan antara hadis tentang basmalah dan hamdalah itu, serta sahnya perbuatan dengan membaca keduanya secara bersamaan, meskipun ia lebih banyak membaca hamdalah, karena masa yang terbentang yang mencakup keduanya, yakni awal waktu melakukan perbuatan, pada hakikatnya adalah permulaan yang sesuai syariat, dan petunjuk hanya datang dari Allah. [Rabb al-’a>lami>n]. Kata al-rabb bisa sebagai sifat, yang berarti “yang tetap“, berasal dari kata rabba, yang berarti lazima (niscaya) dan aqa>ma (kokoh). Pengertian ini mencakup makna wa>jib al-wuju>d (wajib adanya), karena Dia bersifat niscaya, yang tidak musnah, dan kepada-

Ith}af> al-Dhaki>

41

Nya lah semua makhluk yang tercipta disandarkan, karena Dia adalah Zat yang Memeliharanya; atau (kata al-rabb itu) berarti al-Ma>lik (Pemilik), berasal dari kata rabba al-shay’a, dia memiliki sesuatu; atau berarti al-Mus}lih} (Memperbaiki), berasal dari kata rabba al-amra, dia memperbaiki sesuatu; atau bisa juga sebagai kata benda yang berarti altarbi>yah (pendidikan), yang dijadikan sifat untuk menunjukkan makna ‘sangat’ (muba>lagah), seperti kata al-s}awm (puasa) dan al-‘adl (adil). Dan kata al-tarbi>yah itu berarti menghantarkan sesuatu secara bertahap hingga mencapai kesempurnaannya. Adapun kata al-‘a>lam, dalam Kamus (al-Muh}it> ,} kamus lengkap), berarti semua makhluk, atau semua yang terkandung dalam perut semesta. Dalam kitab (Tafsir) Anwa>r al-Tanzi>l dijelaskan bahwa kata al‘a>lam berarti nama bagi sesuatu yang sudah diketahui, seperti bentuk kata al-kha>tam (stempel) dan al-qa>lab (cetakan), yang digunakan untuk menyebut benda, yang dengannya si pencipta benda bisa diketahui, yakni semua benda hakiki (al-jawa>hir) dan benda ragawi (al-a‘ra>d)} selain Allah; sesungguhnya semua benda itu ---karena sifatnya yang relatif, dan tergantung kepada Pencipta yang wajib Zat-Nya--- menunjukkan keberadaan-Nya. Digunakannya bentuk plural bagi kata al-’a>lam (yakni, al-’a>lami>n) adalah agar mencakup semua ragam benda yang berada di bawah cakupannya. [Wa al-‘a>qibah…li al-mutakhalli> ‘an al-kawnayn] (Dan kesudahan yang baik serta sempurna itu diperuntukkan bagi orang yang memalingkan diri dari dua dunia), yakni orang yang masuk dalam kategori takwa tingkat ketiga (tertinggi) dari tiga tingkatan yang dikemukakan oleh al-Bayd}awi> ---semoga Allah taala memberikan rahmat kepadanya--- dalam permulaan kitabnya, Anwa>r al-Tanzi>l, ketika ia berkata: al-muttaqi> (orang yang bertakwa) menurut pengertian syariat adalah sebutan bagi orang yang menjaga dirinya dari hal yang dapat mencelakakannya di akhirat. Dan takwa itu memiliki tiga tingkatan: pertama, menjaga diri dari siksaan abadi dengan tidak melakukan perbuatan syirik; kedua, menjauhkan diri dari segala perbuatan dosa, baik dengan cara melaksanakan (perintah) maupun meninggalkan (larangan); inilah yang dimaksud dengan takwa menurut syariat; ketiga, membersihkan diri dari segala sesuatu yang dapat memalingkan jiwa dari al-H{aq, dan berserah diri kepada-Nya dengan sepenuh hati; inilah yang dinamakan takwa hakiki, sekian. Dengan demikian, barangsiapa memalingkan diri dari dua alam, maka sungguh ia termasuk orang yang bertakwa dalam pengertian terakhir itu. Allah berfirman: “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (7: 128), yakni, meski waktu di dunia mereka mendapat

42

Terjemahan Teks Ith}af> al-Dhaki>

kesulitan, sebagaimana firman-Nya: “kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang beriman; padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat” (2: 212). Orang takwa yang hakiki itu ---sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Nafah}at> karangan al-S{ad}r al-Qu>na>wi>, semoga ruhnya disucikan-- adalah mereka yang hatinya dipenuhi oleh al-H{aq, siap menerima tajalli>-Nya yang paling sempurna, dan yang diisyaratkan dalam firmanNya: “bukan bumi dan langitku yang dapat menggenggam-Ku, melainkan hati hamba-Ku yang beriman, bertakwa, dan suci”; takwa dalam pengertian ini adalah menjaga agar hati tidak cenderung kepada selain al-H{aq, atau agar hati sama sekali tidak menyimpan rasa cinta berlebihan terhadap dunia, sedangkan makna ‘suci’ berarti benar-benar bersih dari ketergantungan terhadap sesuatu selain-Nya, sekian. [Wa al-s}ala>h]; menurut bahasa, kata ini berarti: ’kelembutan’; kemudian, jika dinisbatkan kepada Allah taala, berarti ’kasih sayang’, kepada malaikat berarti ’permohonan ampun’, dan jika dinisbatkan kepada manusia berarti ’doa’, dengan menggunakan kata sandang ’alla>m’, yakni doa sebahagian mereka bagi sebahagian yang lain, [wa alsala>m], keselamatan dari tertimpa marabahaya, atau dari tidak memperoleh kesempurnaan dan kebaikan [‘ala> al-maz}har al-atamm Muh}ammad wa-a>lihi wa-sah}bihi ajma‘i>n], semoga dilimpahkan kepada manifestasi yang paling sempurna, Muhammad beserta keluarga dan sahabat semuanya; semoga Allah memberikan rahmat serta salam kepadanya, dan kepada mereka semua, dengan rahmat dan salam yang terus mengalir bagi yang terdahulu dan yang kemudian, sebanyak bilangan makhluk Allah, sepanjang kerajaan Allah, Maharaja yang paling Mulia. Adapun disebutnya (Muhammad) Saw. sebagai manifestasi yang paling sempurna adalah karena ia menjadi tempat munculnya perwujudan (tajalli>) paling luas, paling, tinggi, dan paling sempurna, yang merupakan penampakan awal (al-ta‘ayyun al-awwal) dari ketersembunyian yang mutlak; dan semua tingkatan yang dapat dianggap berada di bawahnya adalah merupakan elaborasi darinya, karena Dia adalah yang Pertama, dan kepada-Nya lah semua akan kembali, sebagaimana firman-Nya taala: “Dan kepada Tuhanmu lah akhir segala sesuatu” (53: 42), “Dan kepada-Nya lah tempat kembali” (96: 8). Dan perwujudan ini hanya bagi (Muhammad) Saw. pada permulaanya, serta berikutnya bagi para pengikutnya.

Ith}af> al-Dhaki>

43

Fad}l Alla>h alal-Burha>nbu>ri> di Mata alal-Ku>ra>ni> [Amma> ba‘d}: fa yaqu>lu al-‘abd al-mudhnib al-muh}ta>j ila> shafa>‘at al-nabi>

s}alla> Alla>hu ‘alayhi wa-sallam, al-Shaykh Muh}ammad ibn al-Shaykh Fad}l Alla>h] (Kemudian, berkatalah hamba yang hina, yang membutuhkan syafaat Nabi Saw., yakni al-Shaykh Muh}ammad ibn alShaykh Fad}l Alla>h) al-Hindi> al-Burha>nbu>ri>. Aku tidak banyak mengetahui riwayat hidup pengarang, semoga Allah taala memberikan rahmat kepadanya, kecuali bahwa ia adalah sahabat dan saudara sep...


Similar Free PDFs