Klasifikasi Kuantitas Hadits (Ahad & Mutawatir). Toton Witono PDF

Title Klasifikasi Kuantitas Hadits (Ahad & Mutawatir). Toton Witono
Author Toton Witono
Pages 15
File Size 841.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 428
Total Views 562

Summary

Download Klasifikasi Kuantitas Hadits (Ahad & Mutawatir). Toton Witono PDF


Description

Accelerat ing t he world's research.

Klasifikasi Kuantitas Hadits (Ahad & Mutawatir). Toton Witono Toton Witono

Related papers HADIS MA'LUL Ibnu H Ansori

Hadis andhy jazz Menyingkap Khasanah Ulumul Hadis Dr. H. Saifuddin Herlambang, MA

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

1

KLASIFIKASI KUANTITAS KUANTITAS HADITS (HADITS AHAD DAN MUTAWA MUTAWATIR)1 Toton Witono (2001) 1. PENDAHULUAN Setiap hadits (tradisi verbal) mengandung dua bagian, teks hadits (matan) itu sendiri dan isna>d atau mata rantai transmisi, yang menyebutkan nama-nama penutur/periwayatnya (ra>wi), yang mendukung teks hadits tersebut. Pada awalnya hadits muncul tanpa dukungan isna>d kurang lebih pada akhir abad ke-1 H (7 M). Sekitar masa ini pulalah hadits muncul secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis yang formal mulai dirintis. Meskipun demikian, ada bukti kuat yang langsung atau tidak langsung yang menunjukkan bahwa sebelum menjadi sebuah disiplin yang formal dalam abad ke-2 H (8 M), fenomena hadits telah muncul paling tidak sejak kira-kira tahun 60-80 H (680-700 M).2 Munculnya produk hadits yang sangat melimpah itu, sejumlah ulama mengumpulkan, menyaring, dan men-sistematisir dengan melakukan perjalanan menjelajah seluruh dunia Islam saat itu (disebut “pencarian hadits”). Akhir abad ke-3 (permulaan 10 M) telah dihasilkan beberapa koleksi hadits. Pada masa itu juga muncul pengkategorian hadits untuk menyaringnya.3 Dalam sejarah memang terjadi ada orang atau golongan tertentu yang mencari-cari hadits untuk memperkuat pendapat atau kedudukannya, maka diada-adakanlah hadits. Oleh karena itu timbul pengertian hadits

s}ah}i>h}, yang betul-betul berasal dari Nabi, dan hadits mawd}u>’, yang sebenarnya tidak berasal dari Nabi atau hasil karangan orang saja. Kemudian hadits sahih dibagi lagi menurut sanad atau periwayat ke dalam mutawa>tir, mashhu>r, dan ah}ad.4

Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis Vol. 1, No. 2, 2001 (Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta). 1

2

Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Cetakan III (Bandung: Pustaka, 1997), 68.

3

Ibid., 83.

4

Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cetakan keenam (Jakarta: UI Press, 1986), 25.

2

Penyaringan diadakan dengan melakukan kritik sanad tentang riwayat hidup dan kebonafidan periwayat (ilmu rija>l al-h}adi>th); pengklasifikasian menyangkut bersambung atau tidaknya penyampaian serta tahap penyampaian di mana mata rantainya ‘terputus’; dan pengkategorian menyangkut jumlah periwayat pada waktu yang bersamaan pada setiap saat penyampaian.5 Pengategorian yang terakhir inilah yang akan dijelaskan lebih lanjut pada tulisan ini. 2. KLASIFIKASI KUANTITAS HADITS Pengklasifikasian hadits ditinjau dari sedikit-banyaknya periwayat atau dari segi bilangan ruwah, oleh sebagian besar (jumhu>r) ulama hadits, dibagi menjadi dua;

mutawa>tir dan ah}ad.6 Kemudian dari hadits ahad dibagi lagi menjadi tiga; mashhu>r,

’azi>z, dan ghari>b.7 Namun kebanyakan ahli fiqih dan ahli us}u>l, membaginya menjadi tiga; mutawa>tir, mashhu>r (mustafi>d}), dan ah}ad (lihat Tabel 1). Sedangkan pembagian hadits dari segi pertalian sanad, dibagi menjadi empat tingkatan; mutawa>tir, mashhu>r (mustafi>d}), ah}ad (kha>s}s}ah), dan hadits yang terputus (e.g.; mursal, munqat}i’, etc.).8 Tabel 1. Pembagian hadits dari segi kuantitas periwayat menurut ahli fikih/ushul dan ahli hadits VERSI

KLASIFIKASI HADITS SECARA KUANTITAS

Ahli Fikih dan Ushul



Mutawa>tir



Mashhu>r



Ahli Hadits



Mashhu>r •

Ah}ad

Mutawa>tir Ah}ad (Kha>s}s}ah)

‘Azi>z Ghari>b

Selanjutnya, pembahasan mengenai tingkatan-tingkatan tersebut lebih didasarkan menurut ahli hadits, meskipun versi lain tetap disebutkan sebagai informasi dan pertimbangan.

5

Fazlur Rahman, op. cit., 84.

6

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cetakan ke-10 (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 200. 7 8

Ibid., 207.

Ibid., 200.

3

2.1. HADITS MUTAWATIR Tidak ada kesepakatan ulama secara menyeluruh —paling tidak ada sedikit perbedaan— mengenai konsep hadits mutawatir. Kesepakatan yang dimaksud adalah mulai dari definisi, batasan jumlah periwayat, menentukan keberadaannya (ada atau tidaknya),

sampai

mengakibatkan

dengan

perbedaan

pengkategorian dalam

atau

ber-hujjah

pengklasifikasiannya

dengannya.

9

Namun

yang

tentang

ke-hujjah-annya, secara umum, hadits mutawatir disepakati oleh semua golongan umat Islam untuk dapat dipakai sebagai sumber hukum.10 Secara etimologis, kata mutawatir (mutawa>tir:

fa’il dari bentuk mashdar, tawa>tur (

ُ َ‫َ ا‬

‫ا‬

) merupakan bentuk isim

), berarti al-tata>bi’u (

ّ ‫) ا‬, yakni datang

berturut-turut dan beriring-iringan satu dengan lainnya.11 Definisi mutawatir pertama kali dikemukakan oleh al-Baghdadi. Sebenarnya, ulama sebelumnya (semacam al-Syafi’i) telah mengisyaratkan akan hal itu dengan istilah “khabar ‘a>mmah”. Al-Baghdadi mendefinisikan hadits mutawatir sebagai “suatu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya”. Sementara Ibn S}ala>h} mendefinisikannya lebih lengkap bahwa “mutawatir adalah suatu ungkapan tentang berita yang diriwayatkan oleh orang yang memperoleh pengetahuan, yang kebenarannya dapat dipastikan dan sanadnya konsisten memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad sampai akhirnya”.12 Oleh ulama hadits, dibuat empat syarat hadits mutawatir:13 1. Diriwayatkan oleh orang banyak. 2. Mereka tidak dimungkinkan sepakat berdusta atau secara kebetulan semuanya lupa. 3. Sanad-sanad yang meriwayatkannya bersambung dari awal sampai akhir. 9

M. Abdurrahman, op. cit., 173-4.

10

Harun Nasution, op. cit., 25.

11

Ah}mad ‘Umar Ha>shim, Qawa>’id Us}u>l al-H}adi>th (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), 143.

12

M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits: Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits, Cetakan I (Jakarta: Paramadina, 2000), 170. 13

Ah}mad ‘Umar Ha>shim, op. cit., 143.

4

4. Cara penyampaian khabar melalui indera, bukan lewat intuisi (akal). 5. Sebagian ulama menambahkan syarat bahwa khabar itu bisa memberi manfaat keilmuan (pengetahuan) secara yakin dan pasti. Ada perbedaan di antara para ulama tentang batasan jumlah periwayat. Menurut salah seorang ahli ushul dari golongan Mu’tazilah, Abu> al-Husayn Muh{ammad Ibn ‘Ali Ibn al-T{ayyib (w. 426 H), berpendapat bahwa di antara persyaratan mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan lebih dari empat orang. 14 Nuruddin Itr berpendapat bahwa jumlah periwayat itu tidak dibatasi dengan bilangan. Pembatasannya secara rasional, prinsipnya mereka tidak mungkin (mustahil) sepakat untuk berdusta atau lupa secara serentak. 15 Begitu pula al-Ghazali, menurutnya, membicarakan masalah jumlah periwayat tidak ada acuan yang pasti karena sangat berkaitan dengan kebiasaan dan alasan (indikator; qari>nah) yang diperlukan masing-masing ulama. Artinya walaupun riwayat itu tidak banyak, tetapi hadits itu sudah meyakinkan, maka sudah termasuk mutawatir.

16

Pendapat inilah yang

disahihkan oleh para ahli hadits.17 Sementara di lain pihak, sebagian ulama cenderung membatasi jumlah bilangan tersebut. Ada yang berpendapat, jumlah yang layak untuk menilai suatu hadits dapat dikatakan mutawatir, mencapai 70 orang. Ada juga yang 40 orang, 12 orang, atau bahkan ada yang cukup 4 saja. 18 Perhatikan Tabel 2 pada halaman berikut ini. Tabel 2. Batasan jumlah periwayat dalam hadits mutawatir menurut berbagai versi VERSI JUMLAH PERIWAYAT

14

Berbagai ulama

Al-Ghazali; Nuruddin Itr; Ibn Al-Suyuthi al-Thayyib Ah}mad ‘Umar Ha>shim

Bervariasi: 4, 5, 7,10, 12, 20, Lebih dari Lebih dari 4 40, 50, 70, 313, etc. 10

Tidak pasti, yang penting meyakinkan

M. Abdurrahman, op. cit., 172.

15

Nuruddin Itr, `Ulum Al-Hadits 2, terj. Mujiyo, Cetakan Pertama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), 196. 16

M. Abdurrahman, op. cit., 172-3.

17

Ah}mad ‘Umar Ha>shim, op. cit., 144.

18

Nuruddin Itr, op. cit., 196-7. Bandingkan pula dengan M. Abdurrahman, op. cit., 172, yang mengatakan bahwa ada ulama yang menyebutkan 5, 20, 40, 70, dan 313 periwayat.

5

Ibn Shalah menganggap bahwa hadits mutawatir termasuk bagian dari hadits masyhur. Pengkategorian ini diakui oleh al-‘Asqalani bahwa setiap hadits mutawatir adalah hadits masyhur, tetapi tidak sebaliknya. 19 Ibn Shalah memberitahu bahwa hadits mutawatir itu sangat sedikit jumlahnya, tetapi secara tegas ia menolak suatu anggapan bahwa hadits mutawatir itu tidak ada. Agaknya penolakan tersebut dialamatkan kepada Ibn Hibban dan orang-orang yang sependapat dengannya.20 Pendapat yang ditolak oleh mayoritas ulama adalah pendapat Ibn Hibban tentang keberadaan hadits mutawatir. Ia (juga Hazamy)21 menyatakan bahwa semua hadits adalah ahad, tidak ada hadits mutawatir. Ia juga menganggap bahwa mengamalkan hadits ahad itu hukumnya wajib karena termasuk qat}’i>. Dari segi ini pula pendapatnya ditolak oleh sebagian besar ulama yang menganggap bahwa hadits ahad adalah z}anni>, bukan qat}’i>. Menurut M. Abdurrahman (2000), pendapat Ibn Hibban tersebut bisa dipahami dengan melihat kondisi pada waktu itu, yakni sedang berkembangnya paham rasional Mu’tazilah dan para filosof yang pada umumnya hanya mengakui hadits mutawatir, sedangkan hadits mutawatir sedikit sekali jumlahnya dibanding hadits ahad. Oleh karenanya, Ibn Hibban berpendapat seperti di atas agar setiap orang berpikir bahwa kendati pun hadits itu hanya ahad, namun wajib diamalkan. Artinya seseorang tidak akan dapat mengamalkan agama secara benar jika hanya mempercayai hadits mutawatir yang jarang ada itu.22 Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi dua; lafz}y dan ma’nawy. Hadits

mutawa>tir lafz}y adalah hadits yang mutawatir riwayatnya dengan satu redaksi. Matan (isi redaksi hadits) sama.23 Hadits macam ini sedikit sekali jumlahnya dan terjadi pula perselisihan pendapat tentang kemutawatirannya.24 Contoh hadits macam ini yang terkenal adalah:

19 20

Vide M. Abdurrahman, op. cit., 170.

Ibid., 173.

21

Ah}mad ‘Umar Ha>shim, op. cit., 145.

22

M. Abdurrahman, op. cit., 171-2.

23

Nuruddin Itr, op. cit., 199.

24

M. Hasbi Ash-Shiddieqi, op. cit., 201.

6

‫ا ّر‬

‫ه‬

‫ّأ‬

‫ّ ا‬

‫ب‬ ّ

Adapun hadits mutawa>tir ma’nawy adalah hadits yang mutawatir yang meriwayatkan berbagai peristiwa dengan berbagai ragam ungkapan, namun intinya (maknanya) sama. Dengan kata lain, matan-nya secara redaksional berbeda, namun mempunyai kesamaan makna, 25 atau kesamaan peristiwa. 26 Hadits macam ini jumlahnya relatif banyak dan semua sepakat tentang kemutawatirannya.27 Al-Suyuthi memberikan contoh macam hadits ini dengan hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa.28 Nuruddin Itr mengambil titik temu pendapat tentang sedikit atau banyaknya hadits mutawatir. Terutama pernyataan dari Ibn Shalah yang menganggap hadits mutawatir

itu

sangat

sedikit

jumlahnya,

sedangkan

menganggapnya mempunyai jumlah banyak sekali.

al-Hafizh

Ibn

Hajar

Bahwasanya, pernyataan Ibn

Shalah itu berkenaan dengan hadits mutawatir lafz}y, sedangkan Ibn Hajar mengenai hadits mutawatir ma`nawi. Adapun pendapat tentang tidak adanya hadits mutawatir, menurut Ibn Hajar, muncul karena kurangnya penelitian dan pengkajian.29 Bukti wujud hadits mutawatir dapat dijumpai pada hadits-hadits tentang syiar Islam dan beberapa kewajiban dalam Islam e.g.; shalat, wudlu, dan puasa.30 Cukup banyak literatur hadits yang disusun secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir, baik lafz}y maupun ma’nawy. Menurut Nuruddin Itr, mungkin yang paling lengkap adalah karya yang disusun oleh al-Suyuthi, berjudul al-Azha>r

al-Mutana>thirah fi al-Akhba>r al-Mutawa>tirah. Menurut pengarangnya, karya itu belum ada duanya tentang hadits mutawatir. Disusun berdasarkan bab-bab tertentu dan setiap hadits disertai sanadnya. Literatur ini kemudian diringkas menjadi sebuah buku juz’ kecil, Qat}f al-Azha>r, dengan teknik peringkasan yang mengambil salah satu sanad dari

25

Nuruddin Itr, op. cit., 199.

26

M. Abdurrahman, op. cit., 173.

27

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., 201.

28

Vide M. Abdurrahman, op. cit., 173.

29

Nuruddin Itr, op. cit., 200.

30

Ibid.

7

salah seorang imam yang mengkeluarkannya, kemudian didatangkan sejumlah hadits yang diriwayatkan dengannya.31 2.2. HADITS HADITS AHAD Oleh Ah{mad ‘Umar Ha>shim, disebut sebagai khabar ah}ad, yakni khabar yang dinukil oleh orang banyak, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir (tidak ditemui syarat-syarat mutawatir), entah satu, dua, tiga, empat, atau lima orang periwayat. Ada beberapa syarat periwayat yang menerima khabar ah}ad, yakni:32 1. Adil. 2. Kuat dalam hapalan (d}abit}). 3. Faqih (cerdas dan paham). 4. Melaksanakan amal yang sesuai dengan khabar tersebut. 5. Mendatangkan hadits sesuai dengan h}uruf-nya. 6. Memahami makna hadits dari lafaz}-nya. Ditambah pula beberapa syarat khusus, yakni:33 1. Sanad bersambung sampai Nabi saw. 2. Tidak ada keraguan (sha>dh) dan cacat/kekurangan (‘illah). 3. Tidak bertentangan dengan sunnah masyhur, baik qawliyah ataupun fi’liyah. 4. Tidak bertentangan dengan sahabat, ta>bi’in dan kitab-kitab umum. 5. Tidak ada pertentangan (pencelaan) oleh sebagian ulama salaf. 6. Hadits tersebut tidak mengandung penambahan matan dan sanad yang periwayatannya menyendiri dari segi kepercayaannya. Syarat yang terakhir ini adalah bentuk kehati-hatian para ulama dalam menerima khabar. Para ulama ahli hadits, membagi hadits ahad menjadi tiga; hadits mashhu>r atau

mustafi>d}, ‘azi>z, dan ghari>b. Gambaran sekilas bagi perbedaan pembagian tersebut, diungkapkan oleh S}ubh}i al-S}a>lih} (1984). Bahwa al-ghari>b (dalam konteks disamakan dengan al-fard al-nisby) adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat saja

31

Ibid., 201.

32

Ah}mad ‘Umar Ha>shim, op. cit., 153.

33

Ibid., 157.

8

pada suatu tingkatan sanad. Apabila periwayat itu berjumlah dua atau tiga orang, dinamakan

‘azi>z. Dan apabila jumlah periwayat lebih banyak lagi, dinamakan

mashhu>r. Kemudian bila jumlah periwayat yang banyak itu seimbang dari awal sampai akhir sanad, maka mashhu>r itu dinamakan mustafi>d}.34 Sehingga ada yang mengatakan bahwa mashhu>r lebih umum dibanding mustafi>d}. 2.2.1. Hadits Mashhu>r Secara etimologis berasal dari al-shuhrah (

‫ا "! ة‬

), artinya tersebar atau

tersiar (masyhur; popular).35 Dinamakan hadits masyhur memang karena kemasyhuran dan kepopularannya ( #$

%‫ وو‬# !"

).36 Dalam pengertian istilah hadits, menurut

Ibn Hajar, “hadits masyhur adalah hadits yang memiliki sanad (periwayat) yang terbatas yang lebih dari dua”. “Memiliki sanad yang terbatas” (‫رة‬

)* ‫)ط ق‬

berarti membedakannya dengan hadits mutawatir. Batasan sanad yang lebih dari dua, berarti mengkecualikan hadits ghari>b dan ‘azi>z.37 Hal itu berbeda dengan kebanyakan ahli hadits, yang memberi batasan sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh tiga orang,38 atau lebih, yang tidak mencapai derajat mutawatir.

39

Ahmad Ibn Hanbal

mendefinisikannya sebagai hadits yang diriwayatkan oleh periwayat dari lapisan pertama (

- ‫و‬.‫ ا‬+ , ‫ا‬

) dari kalangan sahabat atau lapisan kedua ( +

/0‫ ا‬+ ,‫ا‬

)

dari kalangan ta>bi’in, dari seorang atau beberapa orang saja, kemudian tersebar luas dan dinukil oleh sekelompok orang yang tidak dimungkinkan adanya kesepakatan untuk berdusta. 40 Konsep definisi tersebut kurang lebih sejalan dengan batasan al-Hakim, dan diikuti pula oleh Ibn Shalah. Sedangkan al-‘Asqalany menjelaskan

34

Shubh{i al-S}a>lih}, ‘Ulu>m al-H}adi>th wa Mus}t}ala>h}uh, Cetakan Kelimabelas (Beirut & Lebanon: Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1984), 229-230. 35

Nuruddin Itr, op. cit., 201.

36

Ah}mad ‘Umar Ha>shim, op. cit., 157.

37

Nuruddin Itr, op. cit., 201-2.

38

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., 204.

39

Ah}mad ‘Umar Ha>shim, op. cit., 157.

40

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., 203.

9

bahwa hadits masyhur adalah hadits yang mempunyai jalan yang banyak atau lebih dari dua.41 Oleh ahli fikih, hadits masyhur merupakan bagian dari hadits ahad. Sering juga disebut sebagai hadits al-mustafi>d} (yang tersebar). Al-Hakim pun pernah menyebut kata mustafi>d} yang disejajarkan dengan kata mashhu>r, sehingga istilah itu menjadi

mustafi>d} mashhu>r.42 Al-mustafi>d} berarti menggambarkan hadits yang tiap tingkatan sanadnya (t}abaqa>t) berimbang, dari awal, tengah, dan sampai akhirnya. Bedanya dengan masyhûr (masih menurut konsep ahli fikih), periwayat tidak lebih dari tiga orang, tiap tingkat berimbang, seluruh ataupun sebagian. Masyhûr lebih umum dibanding al-mustafi>d}.43 Al-Hakim membagi hadits masyhur menjadi dua bagian; yang sahih dan tidak sahih.44 Nuruddin Itr berpendapat pula bahwa hadits masyhur tidak senantiasa sahih. Bila disejajarkan dengan pengklasifikasian hadits menurut kualitas periwayat, maka hadits masyhur ini bisa berupa tiga tingkatan, i.e.; s}ah}i>h}, h}asan, dan d}a’i>f.45 Ditinjau dari segi lingkungan tersiar dan tersebarnya hadits masyhur dapat dibagi menjadi banyak bagian. Lingkungan (kalangan) tersebar dan tersiarnya hadits-hadits masyhur itu antara lain pada; kalangan ahli hadits, kalangan ahli hadits dan ulama lain serta masyarakat umum, kalangan ahli fiqih, kalangan ahli ushul fiqih, kalangan ulama ahli bahasa Arab, kalangan ahli pendidikan, kalangan umum.46

2.2.2. Hadits

‘Azi>z

Istlah ‘azi>z berasal dari

2‫َ َ ﱡ‬5 - 2‫َ ﱠ‬

yang berarti kuat; sedikit atau jarang.47

Dinamakan ‘azi>z karena kemuliaanya, yakni karena kurang dan jarangnya. Adapun

41

M. Abdurrahman, op. cit., 178-9.

42

Ibid., 179.

43

Ah}mad ‘Umar Ha>shim, op. cit., 157.

44

M. Abdurrahman, op. cit., 175.

45

Nuruddin Itr, op. cit., 202.

46

Contoh-contoh hadits yang masyhur pada berbagai kalangan tersebut dapat dilihat pada ibid., 204-8. Lihat juga pada S}ubh}i al-S}a>lih}, op. cit., 233-4. 47

Ibid., 212.

10

keberadaannya karena dikuatkan oleh jalan yang lain. 48 Ibn Hajar dan lainnya berpendapat bahwa definisi hadits ‘azi>z hampir sama dengan hadits mashhu>r, hanya berbeda dari segi jumlah periwayatnya. Hadits ‘azi>z diriwayatkan oleh dua atau tiga orang, sedangkan hadits mashhu>r diriwayatkan lebih dari tiga orang.49 Ulama h...


Similar Free PDFs