LAPORAN PENDAHULUAN MOBILITAS FISIK PDF

Title LAPORAN PENDAHULUAN MOBILITAS FISIK
Author Naviani Nurlitasari
Pages 16
File Size 1.1 MB
File Type PDF
Total Downloads 21
Total Views 137

Summary

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK DI RUANG AL FAJR RSUI KUSTATI SURAKARTA Disusun Oleh N. Nurlitasari, S.Kep PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS SAHID SURAKARTA 2021 KONSEP DASAR MOBILITAS FISIK A. Pengertian Mobilitas ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

LAPORAN PENDAHULUAN MOBILITAS FISIK Naviani Nurlitasari

Related papers akt ivit as lat ihan BAB I-V.docx rosid muhammad

LP FIX MOBILISASI baiqindahsuci helmayani ambulasi dan mobilisasi A Ningsih

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK DI RUANG AL FAJR RSUI KUSTATI SURAKARTA

Disusun Oleh N. Nurlitasari, S.Kep

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS SAHID SURAKARTA 2021

KONSEP DASAR MOBILITAS FISIK

A. Pengertian Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak dan melakukan kegiatan secara mudah, bebas dan teratur guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, baik secara mandiri, dengan bantuan orang lain, maupun hanya dengan bantuan alat (Wulandari, 2018). Gangguan mobilitas atau imobilitas merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya (Wulandari, 2018). Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah.

B. Jenis Mobilitas Kemampuan mobilitas secara umum dibedakan menjadi dua, mobilitas penuh dan mobilitas sebagian. Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak atau beraktivitas secara bebas tidak terbatas, sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi dari saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang. Sedangkan mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena adanya gangguan pada saraf motorik dan sensorik di satu atau lebih ekstremitas tubuhnya. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 1. Mobilitas sebagian temporer Kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal, contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang. 2. Mobilitas sebagian permanen Kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadi hemiplegia karena stroke, parapelgia karena cedera tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik (Widuri, 2010).

C. Jenis Imobilitas 1. Imobilitas Fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan. 2. Imobilitas Intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit. 3. Imobilitas Emosional, keadan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai. 4. Imobilitas Sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakit sehingga dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial (Widuri, 2010).

D. Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal 1. Tulang (Osteon) Struktur tulang terdiri atas dua macam yaitu; tulang padat (compact) dan tulang berongga (spongiosa). Tulang padat biasanya terdapat pada bagian luar semua tulang sedangkan tulang berongga biasanya terdapat pada bagian dalam tulang, kecuali bagian yang digantikan oleh sumsum tulang. Bila tulang diklasifikasikan berdasarkan morfologi (bentuknya), maka dapat dibagi menjadi lima jenis yaitu ; tulang panjang/tulang pipa (long bone), tulang pendek (short bone), tulang tipis/pipih (flat bone), tulang tidak teratur (irreguler bone) dan tulang sesamoid. Terdapat 11 tulang rangka penyusun tubuh manusia yang apabila dihitung mencapai 206 tulang. Berikut tabel rinciannya (Purwanto, 2016): No.

Tabel 1. Tulang Rangka Penyusun Tubuh Manusia Jenis Tulang Rangka Jumlah

1.

Tulang tengkorak

6 buah

2.

Tulang wajah

14 buah

3.

Tulang telinga dalam

6 buah

4.

Tulang lidah

1 buah

5.

Tulang belakang (ruas tulang belakang)

26 buah

6.

Tulang iga

24 buah

7.

Tulang dada

1 buah

8.

Tulang gelang bahu

4 buah

9.

Tulang anggota gerak/badan atas

60 buah

10.

Tulang gelng panggul

2 buah

11.

Tulang anggota gerak/badan bawah

60 buah

2. Sendi (Artikulasio) Klasifikasi sendi secara fungsional ada tiga, yaitu sendi yang tidak dapat bergerak (sinartrosis), sendi yang gerakannya minimal (amfiartrosis) dan sendi yang bergerak bebas (diartrosis). Klasifikasi sendi secara struktural ada dua yaitu; sendi fibrosa (dihubungankan dengan jaringan fibrosa) seperti sutura, sindesmosis, gomfosis, sendi kartilago (sendi yang dihubungkan dengan jaringan kartilago) seperti sinkondrosis, simfisis, dan 3) sendi sinovial. Sedangkan berdasarkan tipe gerakkan yang ditimbulkan, sendi sinovial dapat digolongkan menjadi; sendi datar, sendi engsel, sendi poros, sendi elipsoid, sendi pelanan, dan sendi peluru (Purwanto, 2016). 3. Ligamen, Otot, Fasia, dan Tendon Otot dapat dibedakan berdasarkan lokasi, struktur mikroskopis dan kontrol persyarafannya. Terdapat tiga jenis otot yaitu : otot skelet, otot jantung dan otot polos. a. Otot Skelet / Otot Rangka / Otot Lurik, dengan karakter: 1) Terdapat pada rangka dan dinamai sesuai dengan tulang yang berhubungan 2) Bergaris 3) Volunter (bekerja dengan pengendalian secara sadar) b. Otot Jantung 1) Membentuk dinding jantung 2) Bergaris c. Otot Polos 1) Terdapat pada dinding struktur interna (visera) antara lain: lambung, kandung kemih, pembuluh darah dll. 2) Tidak bergaris 3) Involunter (bekerja di luar kesadaran)

Secara makroskopis, otot memiliki bagian-bagian antara lain: 1) Origo, yaitu tempat perlekatan ujung proksimal pada otot rangka, 2) Venter (badan otot), yaitu bagian tengah dari otot (di antara ujung proksimal dan distal), dan 3) Insersio, yaitu tempat perlekatan ujung distal otot pada rangka (Purwanto, 2016). 4. Fungsi Pokok Otot a. Motion Yaitu fungsi untuk menghasilkan gerakan, baik gerakan seluruh tubuh (berjalan, lari, dll). Maupun gerakan lokal (memegang, mengangguk, dll) b. Mempertahankan postur Yaitu fungsi otot rangka dalam berkontraksi guna mempertahankan tubuh dalam posisi tetap saimbang, seperti duduk tegak, berdiri, dll. c. Menghasilkan kalori Yaitu fungsi untuk mempertahankan suhu tubuh yang normal melalui panas yang dihasilkan oleh otot rangka saat berkontraksi. Agar otot dapat berkontraksi, maka diperlukan suatu stimulus. Adapun proses stimulus adalah sebagai berikut : a. Stimulus datang dan diterima oleh sel saraf (neuron sensorik) yang selajutnya diubah menjadi impuls saraf b. Impuls dilanjutkan oleh neuron motorik menuju otot, melalui myoneura junction (motor end plate), yaitu pertemuan antara neuron motorik dan otot. Pada tempat ini terdapat sinapsis, yaitu tempat penyaluran neurotransmitter dari neuron ke otot. c. Di sinapsis, neurotransmitter meneruskan impuls ke sarkolemma dan akhirnya kontraksi dimulai (Purwanto, 2016). 5. Fungsi Tendon Tendon merupakan serabut kolagen yang melekatkan otot ke tulang. Tendon menyalurkan gaya yang dihasilkan oleh otot yang berkontraksi ke tulang dan dengan demikian menggerakkan tulang. Sedangkan fungsi ligamen adalah membatasi pergerakan sendi, karena ligamen adalah taut fibrosa yang kuat antar tulang, biasanya terletak di sendi (Purwanto, 2016). 6. Fungsi Tulang Tulang yang matur terdiri dari 30% materi organik dan 70% deposit garam. Materi organik terdiri dari 90% serabut kolagen dan 10% proteoglikan. Deposit garam terpenting adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium bikarbonat, dan ion magnesium.

Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh stimulasi hormonal, faktor makanan, dan stres tulang (keberadaan osteoblas). Aktivitas osteoblas ditentukan oleh diet, stimulasi hormonal, dan olahraga. Vitamin D mampu menstimulasi kalsifikasi tulang secara langsung dengan bekerja pada osteoblas, dan secara tidak langsung dengan menstimulasi absorpsi kalsium di usus. Peningkatan absorpsi kalsium meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang, dengan demikian peranan vitamin D sangat penting. Tulang memiliki fungsi sebagai berikut: a. Kerangka penunjang badan (penopang badan) b. Pengungkit untuk otot (tempat otot bertumpu) c. Pelindung alat tubuh tertentu d. Sebagai tempat pembuatan sel-sel darah (sistem hemopoiesis) e. Sebagai gudang penyimpanan kalsium dan fosfor (Purwanto, 2016).

E. Pathway Sistem Muskuloskeletal

Tulang

Kerusakan kartilago dari tulang

Otot

Tendon ligamen melemah

Sendi

Kekakuan sendi

Gangguan Neuromuskuler

Kerusakan pusat gerakan motorik di lobus frontalis (hemisper/hemiplagia)

Terbatasnya gerakan sendi

Hilangnya kekuatan otot Gangguan mobilitas fisik

Tirah baring

Resiko cedera Defisit perawatan diri

Resiko kerusakan integritas kulit (dekubitus)

F. Etiologi Menurut Tim Pokja DPP PPNI (2017), faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan mobilitas fisik, adalah sebagai berikut : 1. Penurunan kendali otot 2. Penurunan kekuatan otot 3. Kekakuan sendi 4. Kontraktur 5. Gangguan muskoloskeletal 6. Gangguan neuromuskular 7. Keengganan melakukan pergerakan

G. Manifestasi Klinis Respon fisiologis dari perubahan mobilisasi yang mungkin muncul, diantaranya : 1. Muskuloskeletal sepeeti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atropi dan abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme kalsium 2. Kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan pembentukan thrombus. 3. Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah beraktifitas. 4. Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan (seperti konstipasi). 5. Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal. 6. Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia jaringan. 7. Neurosensori: sensori deprivation (Wulandari, 2018).

H. Penatalaksanaan Keperawatan Menurut Saputra (2013) dalam Adha (2017), ada beberapa penatalaksanaan gangguan mobilisasi secara umum diantaranya, yaitu : 1. Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas dapat disesuaikan dengan tingkat gangguan, seperti posisi fowler, sim, trendelenburg, dorsal recumbent, lithotomi, dan genu pectoral.

a. Posisi Fowler Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, di mana bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien. b. Posisi Sim Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kiri. Posisi ini dilakukan untuk memberi kenyamanan dan memberikan obat per anus (supositoria). c. Posisi Trendelenburg Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah daripada bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak. d. Posisi Dorsal Recumbent Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau direnggangkan) di atas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk merawat dan memeriksa genitalia serta pada proses persalinan. e. Posisi Lithotomi Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan menariknya ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi. f. Posisi Genu Pectoral Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa daerah rektum dan sigmoid. 2. Latihan ROM Pasif dan Aktif Pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena penyakit, diabilitas, atau trauma memerlukan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilitas. Menurut Junaidi (2011) dalam Adha (2017) setelah keadaan pasien membaik dan kondisinya telah stabil baru diperbolehkan dilakukannya mobilisasi. Berikut beberapa gerakan latihan ROM yang dilakukan untuk memelihara dan mempertahankan kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian : a. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Tangan b. Fleksi dan Ekstensi Siku c. Pronasi dan Supinasi Lengan d. Pronasi Fleksi Bahu

e. Abduksi dan Adduksi f. Rotasi Bahu g. Fleksi dan Ekstensi Jari – jari h. Infersi dan Efersi Kaki i. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Kaki j. Fleksi dan Ekstensi Lutut k. Rotasi Pangkal Paha l. Abduksi dan Adduksi Pangkal Paha 3. Latihan Ambulasi a. Duduk diatas tempat tidur b. Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk di kursi roda c. Membantu berjalan

I. Pengkajian Keperawatan 1. Identitas 2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan utama b. Riwayat kesehatan (sekarang dan dahulu) c. Riwayat kesehatan keluarga 3. Pola pengkajian ADL a. Pola nutrisi b. Pola aktivitas dan latihan Biasanya pasien tidak akan mampu melakukan aktivitas dan perawatan diri secara mandiri karena kelemahan anggota gerak, kekuatan otot berkurang, mengalami gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan mudah lelah. Aktivitas fisik yang kurang dapat mempengaruhi frekuensi denyut jantung menjadi lebih tinggi sehingga otot jantung harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Otot jantung yang bekerja semakin keras dan sering memompa, maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri sehingga dapat menyebabkan tekanan darah meningkat (Adha, 2017). c. Pola tidur dan istirahat

Biasanya pasien lebih banyak tidur dan istirahan karena semua sistem tubuhnya akan mengalami penurunan kerja dan penurunan kesadaran sehingga lebih banyak diam (Adha, 2017). d. Pola eliminasi Kemungkinan terjadi retensi urin dan inkontinensia akibat kurang aktivitas dan pengontrolan urinasi menurun, dan terjadi konstipasi dan diare akibat impaksi fekal (Adha, 2017). 4. Pemeriksaan Fisik Pengkajian pada mobilisaasi berfokus pada ROM, gaya berjalan, latihan dan toleransi aktivitas, serta keseimbangan tubuh. Pemeriksaan fisik pada pasien dengan ganguan mobilisasi bertujuan untuk menilai adanya fraktur terbuka/tertutup, dislokasi sendi, paralisis/paresis motorik: hemiplegia/hemiperesis, kelemahan otot wajah, tangan, gangguan sensorik: kehilangan sensasi pada wajah, lengan, dan ektermitas bawah, disphagia : kesulitan mengunyah, menelan, paralisis lidah, dan laring, gangguan visual : pandangan ganda, lapang padang menyempit, kesulitan berkomunikasi: kesulitan menulis, kesulitan membaca, disatria ( kesulitan mengucapkan artikulasi/pelo, cadel), kelemahan, otot wajah, lidah, langitlangit atas, pharing, dan bibir, kemampuan emosi : perasaan, ekspresi 15 wajah, penerimaan terhadap kondisi dirinya, memori : pengenalan terhadap lingkungan, orang, tempat, waktu, tingkat kesadaran, fungsi bladder dan fungsi bowel. 5. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yaitu CT Scan mengidentifikasi jika adanya area perdarahan (biasanya untuk pemakaian darurat) dan MRI (Magnetik Resonance Imaging) mengidentifikasi lokasi iskemik (Basuki, 2018).

J. Diagnosa Keperawatan Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul untuk klien dengan gangguan sistem muskuloskeletal adalah (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) : 1. Gangguan mobilitas fisik 2. Defisit perawatan diri

K. Rencana Keperawatan No. DX 1

Diagnosa Keperawatan

Tujuan Keperawatan dan Kriteria Hasil

Rencana Tindakan

Gangguan

mobilitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. x 24 jam fisik Mobilitas Fisik membaik dengan kriteria hasil : - Pergerakan ekstremitas meningkat Subyektif : - Kekuatan otot meningkat - Mengeluh sulit - Nyeri menurun menggerakkan - Kecemasan menurun ekstremitas - Nyeri saat bergerak - Merasa cemas saat bergerak

-

- Enggan melakukan pergerakan Obyektif : - Kekuatan

oto

menurun - Rentang

gerak

(ROM) menurun - Sendi kaku

-

-

-

Dukungan Ambulasi O: Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi T: Fasilitasi aktivitsas ambulasi dengan alat bantu (mis. tongkat, kruk, dsb) Fasilitasi melakkan mobilisaasi fisik, jika perlu Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi E: Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi Anjurkan mobilasi dini Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan seharihari

- Gerakan

tidak

terkoordimasi - Gerakan terbatas - Fisik lemah 2

Defisit perawatan diri Subyektif : - Menolak melakukan perawatan diri Obyektif : - Tidak mampu mandi / mengenakan pakaian / makan / ke toilet / berhias secara mandiri - Minat melakukan perawaatan diri kurang

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. x 24 jam Perawatan diri meningkat dengan kriteria hasil : - Kemampuan mandi meningkat - Kemampuan mengenakan pakaian meningkat - Kemampuan makan meningkat - Kemampuan ke toiley (BAB/BAK) meningkat - Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri - Mempertahankan kebersihan mulut

-

-

Dukungan perawatan diri O: Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia Monitor tingkat kemandirian Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias, dan makan. T: Sediakan lingkungan yang terapeutik Siapkan keperluan pribadi Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan Jadwalkan rutinitas perawatan diri E: Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan

3.

Resiko cedera Faktor Resiko : - Ketidakamanan transportasi - Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh - Perubahan fungsi psikomotor - Perubahan fungsi kognitif

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. x 24 jam Termoregulasi - Kejadian cedera menurun - Luka / lecet menurun - Pendarahan menurun - Fraktur menurun -

-

-

-

Pencegahan cidera O: Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cidera Identifikasi kesesuaian alas kaki pada ekstremitas bawah T: Sediakan pencahayaan yang memadai Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan rawat inap Sedaiakan alas kaki antislip Sediakan urinal untuk eliminasi di dekat tempat tidur, jika perlu Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan E: Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga Anjurkan berganti posisi perlahan dan duduk beberapa menit sebelum berdiri Manajemen keselamatan lingkungan O: Identifikasi kebutuhan keselamatan Monitor perubahan status keselamatan lingkungan T: Hilangkan bahaya keselamatan, jika memungkinkan

-


Similar Free PDFs