Makalah Sejarah - Jakarta Informal Meeting PDF

Title Makalah Sejarah - Jakarta Informal Meeting
Author Aisya Assrafy
Pages 11
File Size 609.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 316
Total Views 396

Summary

Makalah Sejarah Indonesia Peran Indonesia Dalam Menjaga Perdamaian Jakarta Informal Meeting (JIM) Aisya Assrafy (02/7494) XII MIPA-5 Tahun Pelajaran 2018/2019 1.1. Latar Belakang Konflik antar negara biasanya terjadi dalam bentuk perang terbuka karena alasan perebutan wilayah dan penyebaran pengaruh...


Description

Makalah Sejarah Indonesia

Peran Indonesia Dalam Menjaga Perdamaian Jakarta Informal Meeting (JIM)

Aisya Assrafy (02/7494)

XII MIPA-5 Tahun Pelajaran 2018/2019

1.1. Latar Belakang Konflik antar negara biasanya terjadi dalam bentuk perang terbuka karena alasan perebutan wilayah dan penyebaran pengaruh bahkan ideologi. Namun sejak berakhirnya Perang Dunia II, telah terjadi pergeseran dari bentuk konflik terbuka menjadi konflik yang terjadi di dalam suatu negara. Konflik yang terjadi di dalam suatu negara atau disebut dengan konflik internal dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah sistem politik nasional serta lembaganya tidak mampu berfungsi secara efektif dan didukung pula oleh berbagai latar belakang seperti etnis, budaya, dan ekonomi (Maradona, 2009). Konflik internal sering secara signifikan menyebabkan jatuhnya korban sipil dalam jumlah banyak di suatu negara, sehingga akan dapat mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan di wilayah regional, hingga keamanan dan perdamaian dunia secara umum. Hal ini terjadi karena konflik internal dapat memicu munculnya krisis ekonomi, krisis pangan, hingga masalah pengungsian yang dapat mengganggu stabilitas negara lain. Kondisi tersebut menyebabkan konflik internal rentan terhadap intervensi dari pihak luar. Berbagai kasus konflik internal dengan marak muncul di beberapa negara seperti di Somalia, Yugoslavia, Rwanda, Sri Lanka, dan juga negara-negara di kawasan Asia, yaitu Filipina dan Kamboja. Salah satu contoh konflik internal yang memakan waktu cukup lama dan menelan cukup banyak korban, sehingga membutuhkan peran pihak ketiga dalam penyelesaiannya adalah konflik internal yang terjadi di Kamboja. Kronologi Terjadinya Konflik Internal Kamboja Konflik ini pertama kali dipicu oleh bangkitnya pergolakan dan besarnya friksi ketegangan politik dalam negeri. Sihanouk yang diangkat sebagai Pangeran Kamboja sejak tahun 1951 mendeklarasikan untuk pertama kalinya politik luar negeri Kamboja sebagai negara yang netral sehingga ia berusaha untuk tidak terlibat dalam perang Vietnam yang tengah berkecamuk. Namun keputusan tersebut ternyata malah memancing reaksi negatif dari para petinggi militer Pangeran Sihanouk yaitu Jenderal Lon Nol yang merupakan aliansi pro-Amerika. Pada bulan Maret 1970, saat Sihanouk tengah melakukan kunjungan ke Moskow, Lon Nol berhasil mengambil kesempatan untuk menggulingkan Sihanouk dari tampuk kepemimpinan. Sihanouk kemudian memilih untuk mengasingkan diri di Jakarta Informal Meeting | 2

Beijing dan memutuskan untuk beraliansi dengan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menentang pemerintahan Lon Nol dan akhirnya untuk dapat merebut kembali tahtanya. Pada tahun 1975 Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil menggulingkan Lon Nol dan mengubah format kerajaan menjadi sebuah Republik Demokratik Kamboja (Democratic Kampuchea/ DK) yang dipimpin oleh Pol Pot. Namun sayangnya, semasa Pol Pot berkuasa, Kamboja terperosok dalam tragedi yang mengenaskan di mana Khmer Merah menjalankan program Cambodia the Year Zero, yaitu dengan menjadikan Kamboja sebagai negara agraris. Namun program ini justru berakhir dengan tewasnya sekitar tiga juta orang rakyat Kamboja akibat kelaparan, wabah penyakit, dan pembantaian.

Gambar 1 Norodom Sihanouk (Raja Kamboja pada 1941-1955 dan 19932004)

Gambar 2 Jendral Lon Nol (Politikus dan Jendral Kamboja)

Gambar 3 Pol Pot, mantan Perdana Menteri Kamboja dan pemimpin Khmer Merah 1963-1997

Pada akhir 1978, terjadi bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer Merah dengan Vietnam. Dalam kurun waktu itu juga terjadi pembantaian orang-orang keturunan Vietnam di Kamboja, sehingga Vietnam menyerbu Kamboja dengan tujuan untuk menghentikan genosida besar-besaran tersebut. Invasi Vietnam berhasil menggulingkan rezim Khmer Merah dan pada bulan Januari 1979, Vietnam mendirikan rezim baru di Kamboja dengan Heng Samrin bertindak sebagai kepala negaranya. Pembentukan pemerintahan baru ini ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja, termasuk Sihanouk sendiri, yang kemudian membentuk kelompok perlawanan yang dikenal sebagai Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK) yang terdiri dari kelompok Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan Vietnam, Front Uni National

pour

un

Cambodge

Independent,

NeutrePacifique

et

Cooperatif

Jakarta Informal Meeting | 3

(FUNCINPEC) di bawah pimpinan Sihanouk dan Khmer People Liberation Front (KPNLF) di bawah pimpinan Son Sann. Perang saudara yang menyebabkan kesengsaraan sangat memprihatinkan bagi rakyat Kamboja inilah yang kemudian mendorong Indonesia bersama negara-negara anggota ASEAN lainnya memulai upaya mediasi guna mencari penyelesaian yang damai dan adil. Dalam kerangka penyelesaian konflik Kamboja, berbagai upaya telah dilaksanakan untuk mencapai sebuah perdamaian. Salah satu negara yang memainkan peran signifikan dalam penyelesaian konflik Kamboja, adalah Indonesia. Hal tersebut bermula dari awal tahun 1980-an di mana konflik internal tengah mengalami kenaikan yang memprihatinkan, Indonesia semakin meningkatkan perhatiannya terhadap masalah yang terjadi di Kamboja. Hal ini tentunya sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang turut aktif dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dunia. Reputasi Indonesia sebagai mediator yang disegani di kawasan ASEAN telah memperoleh pengakuan oleh negara-negara ASEAN. Hal ini dibuktikan dengan dipilihnya Indonesia sebagai ‘Interlocutor’ antara ASEAN dan Vietnam yang menunjukkan peranan Indonesia dalam penyelesaian konflik ataupun rekonsiliasi di Kamboja. Tercatat pada bulan Mei 1984 berlangsung pertemuan tahunan ASEAN tingkat menteri di Jakarta, yang tujuan pokoknya adalah rekonsiliasi nasional dan pembahasan upaya penyelesaian konflik Kamboja melalui jalan damai. Perjuangan diplomasi Indonesia tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja yang secara aktif mulai menyusun berbagai strategi sebagai Interlocutor guna mengupayakan penyelesaian konflik secara damai di Kamboja. Beliau merintis perjuangan awal diplomasi Indonesia untuk mengundang para pihak terkait yang terlibat dalam pertikaian untuk duduk bersama di meja perundingan, dan mengusulkan agar pertemuan yang dimaksud harus diadakan di tempat yang netral seperti Indonesia, agar pihak-pihak bertikai merasa bebas dalam membicarakan masalah Kamboja dan masa depannya.

Jakarta Informal Meeting | 4

Gambar 4 Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tahun 1978-1988

Gambar 5 Ali Alatas, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tahun 1988-1999

Perjuangan selanjutnya dalam upaya membawa perdamaian atas konflik internal yang berkecamuk di Kamboja kemudian diperankan oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas yang bertindak sebagai tokoh kunci terhadap jalannya berbagai proses mediasi, hingga tercapai suatu babak baru dalam lembaran sejarah perdamaian di Kamboja. Pada tahun 1988, beliau membuat gebrakan awal dengan melakukan kunjungan perkenalan ke ibukota negara-negara egara ASEAN, yaitu dalam rangka menindaklanjuti usulan Mochtar untuk mengadakan pertemuan informal di Jakarta. Mengemban tugas sebagai Interlocutor,, Indonesia mampu menjalankan fungsi tersebut dengan baik.

Jakarta karta Informal Meeting | 5

1.2. Tujuan Pada dasarnya, dibentuknya Jakarta Informal Meeting adalah upaya Indonesia untuk berkontribusi dalam hal perdamaian dunia, yaitu dengan menyelenggarakan perundingan atau negosiasi untuk konflik yang terjadi di Kamboja. Penyelesaian konflik di Kamboja dilakukan melalui mediasi, yaitu sebuah tindakan yang berkenaan untuk memunculkan intervensi demi membantu menyelesaikan konflik dan sengketa diantara pihak yang terlibat. Indonesia sebagai salah satu mediator bertindak menjembatani masing-masing pihak yang bersengketa. Sementara itu, demi mencapai penyelesaian konflik, dibutuhkan independensi dari masing-masing negara mediator, yaitu dituntut untuk tidak berpihak pada salah satu pihak yang berkonflik.

1.3. Proses Perundingan Pada bulan November 1985, Indonesia menyatakan kesediaannya untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Cocktail Party. Terhitung sejak wacana Cocktail Party direncanakan, hingga penentuan tanggal pelaksanaan acara, tercatat

serangkaian

kendala

yang

berpotensi

untuk

menggagalkan

penyelenggaraan acara ini. Munculnya berbagai kendala ini disebabkan oleh perbedaan pendapat dan agenda kepentingan masing-masing pihak yang bertikai. Kendati jalan panjang dan melelahkan harus dilewati untuk merealisasikan rencana gagasan pertemuan tersebut, akhirnya rencana pertemuan resmi pertama tersebut berhasil diadakan pada tanggal 25–28 Juli 1988 di Bogor, Indonesia. Pertemuan yang dikenal dengan Jakarta Informal Meeting I (JIM I) ini menampilkan terobosan untuk pertama kalinya, di mana pihak-pihak yang secara langsung terlibat di dalam konflik, yaitu keempat faksi, kedua tetangga Indochina dan enam negara ASEAN bertemu untuk mendiskusikan elemen-elemen mekanisme penyelesaian awal. Sekalipun pembicaraan antar faksi berjalan cukup alot karena masing-masing bersikeras mempertahankan posisinya, namun hasil dari pertemuan ini dinilai cukup efektif untuk menyepakati persepsi dan kesepahaman bersama sehingga beberapa rekomendasi dapat dilahirkan dengan penekanan pada pemisahan dua isu yaitu berkaitan dengan invasi Vietnam, Vietnam untuk menarik mundur pasukannya dari Kamboja sebagai itikad baik penyelesaian

konflik,

kesepahaman

mengenai

pentingnya

pencegahan

Jakarta Informal Meeting | 6

berkuasanya kembali rezim Pol Pot yang telah mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Kamboja, pembentukan kelompok kerja guna membahas elemen-elemen dasar dari konflik itu sendiri dan menyusun usulan-usulan sebegai bahan masukan bagi pertemuan selanjutnya. Dalam rangka menindaklanjuti JIM I, pada tanggal 16-18 Februari 1989 digelar JIM II yang turut dihadiri oleh negara-negara peserta JIM I. Pada pertemuan ini dapat disepakati berbagai kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan penyeragaman persepsi dari hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang menonjol diantaranya adalah penarikan seluruh pasukan Vietnam yang harus segera dilakukan dengan batas waktu 30 September 1989 sebagai bagian dari kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Kemudian dibahas pula mengenai himbauan penghentian keterlibatan pihak asing termasuk dukungan militer dan persenjataan terhadap masing-masing pihak yang bertikai di Kamboja. Demi lancarnya rencana maka perlu dibentuk suatu mekanisme pengawasan internasional yang memiliki tanggung jawab untuk memantau jalannya proses perdamaian ini. Selanjutnya adalah penentuan langkah-langkah tepat yang harus diambil guna mengantisipasi munculnya kembali kebijakan rezim kekerasan dan kekejaman yang dapat mengakibatkan kesengsaraan masyarakat Kamboja, dan yang tidak ketinggalan adalah kesepakatan dari setiap pihak untuk dimulainya program internasional dalam rangka pemulihan dan pembangunan ekonomi di Kamboja serta negara-negara di kawasan dan pengumpulan dana dalam rangka pelaksanaan proses perdamaian di Kamboja. Pertemuan ASEAN di Brunei pada tanggal 3-4 Juli 1989 telah memformulasikan suatu pijakan bersama atas konflik Kamboja sebagai hasil dari pertemuan JIM I dan JIM II. Selanjutnya, pertemuan-pertemuan pasca JIM I dan II mulai melibatkan negara-negara di luar ASEAN yang menunjukan bahwa upaya untuk mencapai perdamaian di Kamboja telah mencapai tingkat internasional. Bahkan memasuki tahun 1980 terobosan untuk mencapai resolusi atas konflik Kamboja yang diperankan oleh Indonesia selaku mediator memasuki tahapan yang lebih progresif lagi dengan adanya partisipasi aktif PBB melalui Dewan Keamanan dalam berbagai tahapan mediasi. Melalui kesepakatan yang dicapai pada Konferensi Internasional Paris/Paris International Conference (PIC), dihasilkan suatu kerangka kerja PBB yaitu dengan dibentuknya Supreme National Council Jakarta Informal Meeting | 7

of Cambodia (SNC). Kemudian dalam rangka mematangkan kerangka kerja tersebut guna mencapai suatu dokumen akhir tentang penyelesaian damai yang menyeluruh terhadap konflik Kamboja, digelarlah Informal Meeting on Cambodia (IMC) I dan II di Jakarta. Akhirnya, setelah melalui proses perundingan yang panjang dan melelahkan seperti yang telah dijelaskan secara singkat di atas, maka pada tanggal 23 Oktober 1991, digelarlah Paris International Conference on Cambodia (PICC) di bawah pimpinan Ketua bersama

(Co-Chairmen)

Indonesia

dan

Perancis

yang

memberi

hasil

ditandatanganinya dokumen perjanjian Paris. Kesepakatan ini telah menandai perjuangan akhir dari upaya perdamaian di Kamboja dan memulai babak baru dalam pemerintahan yang demokratis.

Jakarta Informal Meeting | 8

1.4. Hasil Perundingan Jakarta Informal Meeting I (25–28 Juli 1988) Pemerintahan Koalisi Demokratis Kamboja (Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK)) mengusulkan tiga tahap rencana penyelesaian Perang Indochina 3. 1. Gencatan senjata antara kedua belah pihak, 2. Pasukan penjaga perdamaian PBB untuk mengawasi penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja; 3. Penggabungan semua kelompok bersenjata Kamboja ke dalam satu kesatuan. Usulan tersebut disetujui dan akan kembali dibahas dalam Jakarta Informal Meeting II. Jakarta Informal Meeting II (16-18 Februari 1989) Keikutsertaan Australia melalui perdana menterinya, Gareth Evans, mengusulkan rancangan Cambodia Peace Plan yang berisi: 1. Mendorong upaya gencatan senjata; 2. Menurunkan pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayah yang konflik; 3. Mendorong pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk menjaga kedaulatan Kamboja sampai pemilihan umum diadakan.

Gambar 6 Cambodia Peace Plan yang digagas oleh Perancis

Jakarta Informal Meeting | 9

Berakhirnya Jakarta Informal Meeting II ditindak lanjuti dengan kesepakatan Paris yang menjadi akhir dari rangkaian proses perdamaian Kamboja  Paris International Conference on Cambodia (PICC) mengenai Kamboja. Kesepakatan ini telah menandai perjuangan akhir dari upaya perdamaian di Kamboja dan memulai babak baru dalam pemerintahan yang demokratis.  Persetujuan tentang penyelesaian masalah politik secara menyeluruh konflik Kamboja berikut juga lampiran-lampirannya berupa mandat UNTAC, masalah militer, pemilihan umum, repatriasi para pengungsi Kamboja, dan prinsip-prinsip konstitusi baru Kamboja.  Kesepakatan tentang kedaulatan, kemerdekaan, integrasi wilayah, netralitas, dan keutuhan nasional Kamboja.  Deklarasi mengenai rehabilitasi dan pembangunan Kamboja.

1.5. Peran Indonesia Setelah Perundingan Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Jakarta Informal Meeting ternyata mendapat apresiasi dari Dewan Keamanan PBB. Seluruh anggota Dewan keamanan PBB menyetujui upaya pembentukan pemerintahan transisi di Kamboja dengan membentuk United Nation Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) tanggal 28 Februari 1992 berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 745. Pasca pembentukan UNTAC, Indonesia mengambil peran dengan mengirimkan pasukan Kontingen Garuda XII A – XII D yang terdiri 2.000 personil militer ataupun polisi untuk menjaga transisi pemerintahan di Kamboja.

Jakarta Informal Meeting | 10

Daftar Pustaka A.R, M. (2009). Universitas Indonesia. Peran Indonesia Dalam ..., 1-24. Aqil, A. (t.thn.). Diambil kembali dari http://eprints.umm.ac.id/27852/2/jiptummpp-gdlachmadaqil-32160-2-bab1.pdf Kharti, I. S. (2018, Mei 14). Sejarah Kelas 12 | Peran Indonesia dalam Menjaga Perdamaian di Asia. Dipetik Februari 16, 2019, dari Ruangguru: https://blog.ruangguru.com/peran-indonesia-dalam-menjaga-perdamaian-di-asia Yusof Ishak Institute - ISEAS. (Juni 1989). Contemporary Southeast Asia Vol. 11, No. 1. Consensus Statement of the Chairman of the Jakarta Informal Meeting, 107-111.

Jakarta Informal Meeting | 11...


Similar Free PDFs