Makalah TNI, Pelanggaran HAM, tindak pidana penyalahgunaan narkoba, supremasi dan kaitan keseluruhannya PDF

Title Makalah TNI, Pelanggaran HAM, tindak pidana penyalahgunaan narkoba, supremasi dan kaitan keseluruhannya
Course Pendidikan Kewarganegaraan
Institution Universitas Diponegoro
Pages 13
File Size 154.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 548
Total Views 894

Summary

Daftar Isi Daftar Isi.................................................................................................................................... Kata Pengantar........................................................................................................................... Bab 1 Pe...


Description

Daftar Isi Daftar Isi.....................................................................................................................................1 Kata Pengantar............................................................................................................................2 Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang.................................................................................................................3 1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................4 1.3 Tujuan ..............................................................................................................................5 Bab 2 Pembahasan 2.1 Pertanggungjawaban Anggota TNI..................................................................................6 2.2 Keterlibatan TNI dalam Supremasi Sipil.........................................................................7 2.3 Revisi UU TNI tentang Supremasi Militer.......................................................................8 2.4 Gambaran Kasus Kekerasaan TNI ..................................................................................9 Bab 3 Penutup 3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................11 3.2 Saran...............................................................................................................................11 Daftar Pustaka ..........................................................................................................................12

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari dosen pengampu maupun pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, Saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 5 Oktober 2017

Penyusun

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Tugas dari TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga negara yang dilatih secara khusus, dipersiapkan dan dipesenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata lainnya. Prajurit TNI dalam bertindak selalu berpegang pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Nilai-nilai Sapta Marga dan Sumpah Prajurit perlu dihayati dan diresapi oleh prajurit TNI, sehingga setiap prajurit TNI memiliki sendi-sendi disiplin yang kuat dan kukuh. Ketentuan yang mengatur perilaku anggota TNI yang dituangkan dalam bentuk peraturan disiplin, yaitu tertuang dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, merupakan pedoman perilaku yang senantiasa dipegang oleh anggota TNI dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Namun, ada juga anggota TNI yang berperilaku menyimpang sehingga melanggar peraturan disiplin, bahkan melanggar ketentuan pidana. Pelanggaran ketentuan hukum pidana yang dilakukan oleh setip anggota TNI akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku, yaitu diproses dan diajukan ke pengadilan militer. Perbuatan yang melanggar hukum tersebut membawa konsekuensi bagi anggota TNI untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Namun berdasarkan pengamatan di lapangan, adakalanya anggota TNI yang melakukan tindak pidana, tidak diperiksa dan diadili di pengadilan militer, melainkan cukup diperiksa dalam siding disiplin militer. Tindak pidana kekerasan warga sipil telah merasuki kalangan TNI. Padahal mereka merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan negara, dan merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, serta diharapkan mampu memberikan contoh kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindak kekerasan dan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, mengingat TNI

di Indonesia identik dengan suatu institusi yang anggotanya sangat taat dan disiplin terhadap hukum yang berlaku. Namun dalam kenyataannya banyak anggota TNI yang melakukan suatu tindak pidana, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat tindak kekerasan telah mencoreng kredibilitas TNI sepanjang Agustus 2016 hingga Agustus 2017. Ada 138 tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan serdadu. Di antaranya mengakibatkan 15 orang meninggal, 124 luka-luka, 63 orang ditangkap secara sewenang-sewang dan 65 peristiwa penganiayaan sipil. Contoh kasus Empat tentara yang menyiksa warga sipil di puncak Jaya Papua, Kamis (11/11) divonis oleh Pengadilan Militer III–19 Kodam XVII/Cendrawasih. Komandan pasukan Letnan dua Cosmos divonis 7 bulan penjara. Sementara, tiga anak buahnya, yaitu, Praka Syahminan Lubis, Prada Joko Sulistyo dan Prada Dwi Purwanto dihukum masingmasing 5 bulan penjara. Keempatnya diseret ke pengadilan setelah terlibat dalam penganiayaan warga di Puncak Jaya, Papua, 9 Maret 2010. Namun hukuman kepada mereka diberikan karena melakukan tindak pidana militer, berupa melawan perintah atasan, melanggar sumpah prajurit serta dianggap mencoreng nama baik TNI. Juru bicara Kodam Papua, Letkol Susilo, meyakinkan, hukuman ini sudah sesuai aturan dan memenuhi rasa keadilan. "Dari TNI kami meyakini bahwa itu sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku dan hukuman itu sudah sesuai dengan yang kita dakwakan kepada yang bersangkutan. Ini bukan sekedar sandiwara belaka." Berdasarkan hal di atas, maka saya tertarik untuk melakukan kajian tentang “TNI MASIH BERKUBANG PELANGGARAN”. Karena tentunya pelanggaran-pelanggaran oleh oknum TNI ini harus dikaji lebih luas agar dapat diatasi.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang dikemukakan pada uraian di atas, maka yang menjadi fokus permasalahan yang akan di bahas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anggota TNI atas kekerasan terhadap sipil? 2. Bagaimana keterlibatan TNI dalam supremasi Sipil?

3. Perlukah revisi UU TNI tentang supremasi militer?

4. Bagaimana Gambaran Kasus Kekerasan oleh TNI? 1.3 Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah membuka wawasan kita tentang TNI, Pelanggaran HAM, tindak pidana penyalahgunaan narkoba, supremasi dan kaitan keseluruhannya. 1)

Memberikan wawasan terhadap TNI dan pelanggarannya

2)

Mengembangkan

daya

kreativitas

dalam

penalaran

sekaligus

untuk

mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh. 3)

Memberikan masukan serta tambahan pengetahuan dibidang hukum terutama tentang tindak pidana kekerasan oleh oknum TNI

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pertanggungjawaban Pidana anggota TNI Minimnya akses publik dan pemantau sipil dalam proses peradilan militer terhadap anggota TNI yang terlibat kekerasan ini telah menyulitkan upaya-upaya transparansi, sebuah amanat penting dalam reformasi tentara pasca-Orde Baru. Akibatnya, peradilan itu kerap meringankan pelaku dan gagal memberi efek jera bagi aparat TNI yang terlibat kekerasan. Kontras mendesak pemerintah dan DPR merevisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Aspek transparansi bisa terbuka bila pelaku tentara dalam kasus-kasus pidana diproses lewat pengadilan

sipil.

Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, mengatakan bahwa seluruh elemen yang menjadi bagian dari fungsi kekuasaan negara harus bertindak sesuai hukum. Jika aparat militer melakukan tindak pidana, ia harus diadili secara fair dan jujur, lantas dievaluasi secara menyeluruh. Perbuatan yang melanggar hukum tersebut membawa konsekuensi bagi anggota TNI untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Teori/dasar pertimbangan hakim adalah hakim di beri kebebasan untuk menjatuhkan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal (1) menyebutkan bahwa “kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Dalam menjatuhkan putuasan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (2) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar/landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktiaan memiliki asas mimimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti untuk

membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Pertimbangan hakim sangatlah berpengaruh terhadap putusan hakim tentang berat ringannya penjatuhan hukuman atau sentencing (straftoemeting), atau yang disebut dengan pemidanaan.

2.2 Keterlibatan TNI dalam Supremasi Sipil Sejak 72 tahun berdirinya institusi TNI pada 5 Oktober 1945, peran TNI dalam supremasi sipil masih dinilai belum jelas. TNI bahkan dianggap masih sering mencampuri urusan sipil dalam tugasnya sebagai instasi pertahanan negara. Dewan Direksi Lokataru menyampaikan TNI adalah instansi yang sangat disiplin terhadap perintah politik atasannya tanpa terkecuali. Namun masalah yang timbul adalah keterlibatan TNI sering di luar kewenangannya. Keterlibatan TNI dalam RUU Tindak Pidana Terorisme juga dinilainya belum jelas. Pasalnya, dari 10 fraksi di DPR, Mufti menjelaskan hanya ada 2 fraksi yang menentang keterlibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme, sedangkan 8 fraksi lainnya masih

belum

tegas

menyatakan

pendapatnya.

Selain itu, hal lain yang menjadi sorotannya adalah soal regulasi Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan cara pendelegasiannya kepada TNI. Pemerintah dan DPR (Komisi I DPR) harus lebih detail membahas hal ini sampai dengan teknis keterlibatan TNI dalam

OMSP

atau

urusan

supremasi

sipil.

Menanggapi hal ini, mantan dosen Universitas Pertahanan, Rujito, beranggapan bahwa tidak ada niat TNI untuk kembali memasuki masa dwifungsi ABRI/TNI. Namun, bila memang ada pemberitaan yang mengatakan TNI mencoba untuk memasuki ranah sipil, ia menegaskan

bahwa

TNI

AU

punya

sikap

tersendiri

terhadap

hal

itu.

Sementara itu, peneliti P2P-LIPI, Sarah Nuraini Siregar mengatakan peran TNI dalam supremasi sipil memang belum diatur secara jelas, terutama soal keamanan. Regulasi yang dibuat, kata dia, malah menciptakan penafsiran yang memicu terjadi bentrokan antara Polri dan

TNI

di

lapangan.

Sebagai contoh, dalam penanganan teroris Santoso di Poso atau Gerakan Aceh Merdeka di Aceh yang menurutnya memunculkan konflik antara TNI-Polri. Di satu sisi TNI merasa

porsi kewenangannya berkurang karena hanya ditempatkan di bagian pertahanan dan juga terkesan dijadikan ‘pemadam kebakaran’ oleh polisi untuk masalah keamanan ketika Polri sudah

kesulitan

menangani

masalah

terorisme.

Selain itu, contoh supremasi sipil yang dilanggar oleh TNI dalam reformasi militer salah satunya adalah pendapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang berseberangan dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian soal isu dugaan makar di Indonesia. Menurut Sarah, Tito sebagai Kapolri yang menjaga keamanan mempunyai kewenangan untuk menjelaskan bahwa ada ancaman makar yang mungkin terjadi di Indonesia. Sedangkan Gatot sebagai bagian pertahanan malah menampik dugaan tersebut dan menyatakan bahwa kabar itu hanya untuk menakuti rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, Sarah menilai perlu adanya aturan tegas yang mengatur hubungan antara TNI dengan Polri. “Jika hal ini berlanjut terus, sementara kelompok politik sipil ‘terpecah’ dan kurang serius dalam menerjemahkan aturan-aturan teknis mengenai hubungan TNI-Polri, maka bukan tidak mungkin militer perlahan masuk dalam ruang politik dan menjadi kekuatan penyeimbang dari kekuasaan otoritas sipil itu sendiri,” tegas Sarah.

2.3 Revisi UU TNI tentang Supremasi Militer Peneliti senior P2P-LIPI, Sri Yanuarti menilai bahwa perlu adanya kejelasan pada Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI agar supremasi militer agar tidak turut campur supremasi sipil. Menurutnya, selama ini supremasi sipil masih tidak berhasil seluruhnya karena seringkali militer memasuki ranah sipil. Ihwal ini dikatakan oleh wanita yang kerap disapa Yanur ini di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Yanur menuturkan bahwa perlu ada kejelasan pada beberapa pasal dalam UU TNI 34/2004, yakni soal ‘kepentingan negara’ atau ‘kepentingan nasional’ yang tertuang dalam

pasal

tersebut.

Dalam pasal 2 huruf (c) misalnya tentang jati diri TNI dituliskan bahwa TNI bertugas demi kepentingan negara dan di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama. Dalam pasal 20 ayat (1), hal ini diperjelas kembali dengan menyebutkan bahwa penggunaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dilakukan untuk kepentingan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yanur berpendapat bahwa ketidakjelasan ‘kepentingan negara/nasional’ tersebut bisa memberi celah bagi usaha OMSP militer untuk memasuki ranah sipil. “Apa yang disebut

ancaman itu harus di-declare secara jelas, threat negara, keamanan negara, kepentingan nasional harus di-declare secara jelas, secara rigid, jadi tidak ada interpretasi,” tegas Yanur hari

ini,

Jumat

(6/10/2017).

Sayangnya, hingga saat ini, hal itu belum jelas, sehingga TNI bisa saja memasuki ranah supremasi sipil – misalnya ikut dalam tindak pidana pencegahan terorisme, tanpa melalui koordinasi dengan Polri. Padahal seharusnya penggunaan tentara bisa dilakukan atas perintah Presiden, dan koordinasi dengan Polri agar menghindari konflik di lapangan. Sedangkan peneliti P2P-LIPI lainnya, Diandra Megaputri Mengko mengamini penilaian dari Yanur. Menurutnya, keterangan mengenai pasal 2 soal kepentingan nasional tidak pernah terdefinisi dengan baik. “Semua bisa menjadi ancaman, semua bisa jadi tidak ancaman,” katanya. Lebih jauh, ia menilai bahwa sebenarnya keterlibatan TNI bisa dipahami secara lebih mudah dalam supremasi sipil. Apabila memang TNI tidak diperintahkan melalui supremasi sipil, yakni Presiden Joko Widodo, seharusnya TNI tidak perlu mengambil langkah untuk masuk dalam ranah sipil ataupun OMSP. Dalam RUU Tindak Pidana Terorisme yang sedang dikaji di DPR tentang perlunya keterlibatan TNI dalam tindak pidana terorisme contohnya, seharusnya TNI tidak perlu dipertimbangkan lagi. “Sebenarnya tanpa adanya revisi Undangundang (Tindak Pidana Terorisme) itu pun TNI sudah bisa terlibat, yaitu dengan keputusan politik negara. Kenapa makanya TNI merasa khawatir dan perlu legitimasi ulang? Seolaholah TNI ingin terlibat secara konstan,” katanya bingung. “Kesannya seperti itu, bisa juga tidak.”

2.4 Gambaran Kasus Kekerasan TNI Di antara gambaran kasus itu terjadi pada 10 April 2017 ketika prajurit dari Korps Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU menganiaya waga sipil di Pare, Jawa Timur. Muhammad Rais, sang korban, luka memar akibat dipukul oleh Sersan Mayor Nurcholis. Kasus lain menimpa seorang guru di Boven Digoel, selatan Papua, yang ditembak oleh serdadu TNI pada 28 Maret 2017. Kasus lain lagi adalah seorang warga sipil dibunuh oleh serdadu TNI AD di Lubuk Basung, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kasus perbuatan sewenang-wenang TNI juga terlihat pada peristiwa di Sari Rejo, Medan Polonia, Sumatera Utara. Regu baret jingga dari AU berebut tanah sengketa seluas 260 hektare dengan penduduk sekitar. Meski warga memenangkan gugatan di Mahkamah

Agung pada 1995, tetapi penyerobotan lahan terus dilakukan TNI hingga 2016. Warga dan wartawan yang meliput kasus ini jadi target kekerasan dan subjek korban pelanggaran HAM.

Dari temuan Komnas HAM atas kasus di Sari Rejo itu, ada indikasi kekerasan sporadis oleh aparat gabungan TNI AU Lanud Soewondo, Paskhas, Polisi Militer, dan dugaan bantuan dari Batalyon Artileri Medan Angkata Darat. Setidaknya dua warga ditembak, 20 orang

luka-luka,

selain

merusak

fasilitas

umum

dan

properti

pribadi

warga.

Aparat TNI AU juga melontarkan kekerasan verbal yang merendahkan martabat manusia terhadap warga Sari Rejo. Dari rekaman CCTV dan hasil pemeriksaan saksi, ada bukti bahwa salah satu serdadu Angkatan Udara memasuki masjid tanpa melepas sepatu, menendang

kotak

amal

di

depan

masjid.

Kontras menilai TNI kerap bertindak main hukum sendiri dalam peristiwa yang mengancam kebebasan sipil seperti kasus-kasus pembubaran paksa perpustakaan jalanan di Bandung, penganiayaan kepada sejumlah pekerja media untuk kasus sengketa tanah di Medan, dan penganiayaan bermotif emosi di Maluku Utara dan Sumatera Utara. Komnas Perempuan juga mencatat ada 31 kasus kekerasan TNI terhadap perempuan sepanjang 2016. Selain itu, ada 6 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam proses penangkapan dan penahanan oleh aparat kepolisian dan TNI di Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, dan Jawa

Tengah. Di Jakarta, dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, ada 57 persen kasus

penggusuran paksa yang melibatkan aparat TNI sepanjang 2016. Dari 90 kasus penggusuran paksa, 53 kasus di antaranya mengerahkan aparat TNI. Pada 2015, 65 dari 113 kasus penggusuran

paksa

melibatkan

TNI.

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tugas TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga negara yang dilatih secara khusus, dipersiapkan dan dipesenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata lainnya. Namun, ada juga anggota TNI yang berperilaku menyimpang sehingga melanggar peraturan disiplin, bahkan melanggar ketentuan pidana. Pelanggaran ketentuan hukum pidana yang dilakukan oleh setip anggota TNI akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku, yaitu diproses dan diajukan ke pengadilan militer. Perbuatan yang melanggar hukum tersebut membawa konsekuensi bagi anggota TNI untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Namun berdasarkan pengamatan di lapangan, adakalanya anggota TNI yang melakukan tindak...


Similar Free PDFs