MAKALAH USHUL FIQIH 2 Qiyas dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam PDF

Title MAKALAH USHUL FIQIH 2 Qiyas dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam
Author Mumud Salimudin
Pages 21
File Size 228.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 516
Total Views 731

Summary

MAKALAH USHUL FIQIH 2 Qiyas dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah 2 Dosen Pengampu : Dr. LATIEF AWALUDIN, MA., ME. Disusun Oleh : MUMUD SALIMUDIN - 18.05.0178 AGUNG NUGRAHA - 18.05.0179 PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH SEKOLAH TINGGI AG...


Description

MAKALAH USHUL FIQIH 2 Qiyas dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah 2

Dosen Pengampu : Dr. LATIEF AWALUDIN, MA., ME.

Disusun Oleh : MUMUD SALIMUDIN - 18.05.0178 AGUNG NUGRAHA - 18.05.0179

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS BANDUNG 2019

KATA PENGANTAR

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah SWT. kita memuji, meminta pertolongan, meminta ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah SWT. dari kejahatan diri dan keburukan perbuatan kita. Siapapun yang diberi petunjuk oleh Allah SWT., maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Kami bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak untuk disembah selain Allah SWT. dan tiada sekutu baginya. Dan Kami bersaksi bahwa Muhammad SAW. adalah hamba dan Rasul-Nya. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah firman Allah SWT. dan sebaikbaik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW. Seburuk-buruk perkara adalah yang ditambah-tambah dan setiap yang ditambah-tambah adalah bid’ah. Setiap yang bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan masuk neraka (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah). Saya sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ushul Fiqih 2 – Qiyas dan Penerapannya Dalam Ekonomi Islam” tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqih 2 yang diasuh oleh Bapak Dr. Latief Awaludin, MA., ME. Selain itu, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik. Saya menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari berbagai pihak i

demi penyempurnaan makalah ini. Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Demikian, semoga Allah SWT. memberikan kita kekuatan dan keikhlasan untuk berjuang demi kemajuan umat di segala bidang kehidupan. Aamiin.

Bandung, November 2019 MUMUD SALIMUDIN AGUNG NUGRAHA

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2 C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3 A. Pengertian dan Kedudukan Qiyas ......................................................... 3 B. Rukun dan Syarat Qiyas ....................................................................... 4 C. Pembagian Qiyas.................................................................................. 8 D. Operasionalisasi Qiyas ........................................................................ 12 E. Penerapan Qiyas dalam Ekonomi Islam .............................................. 13 BAB III PENUTUP .................................................................................. 15 A. Kesimpulan ........................................................................................ 15 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 17

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa Qiyas (Analogical Reasoning) merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh). Para ulama dan praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Secara metodologi dan operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum (‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah, maka kasus yang pertama itu ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya. Imam Syafi’i sebagai perintis pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl, furu’ dan ‘illat. Keempat syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari ‘illat hukum, karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam. Banyak

1

produk-produk hukum fiqh yang bertumpu pada metode qiyas seperti halnya penerapan zakat profesi, dan seperti kasus klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah sesudah wafatnya nabi dan beberapa kasus lain yang serupa. Selanjutnya dalam makalah ini penulis mencoba akan jelaskan rumusan qiyas, yang penulis uraikan dengan memaparkan analisis dari aspek definisi, syarat, rukun dan jenis qiyas yang selanjutnya penulis tuangkan ke dalam makalah yang berjudul “Qiyas dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam”.

B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian dan Kedudukan Qiyas? 2. Apa Rukun dan Syarat Qiyas? 3. Apa Pembagian Qiyas? 4. Bagaimana Operasionalisasi Qiyas? 5. Apa Contoh Penerapan Qiyas dalam Ekonomi Islam?

C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui Pengertian dan Kedudukan Qiyas 2. Untuk mengetahui Rukun dan Syarat Qiyas 3. Untuk mengetahui Pembagian Qiyas 4. Untuk mengetahui Operasionalisasi Qiyas 5. Untuk mengetahui Contoh Penerapan Qiyas dalam Ekonomi Islam

2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kedudukan Qiyas Qiyas secara bahasa, bisa berarti mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan Qiyas sebagai mengukur dan menyamakan. Pengertian Qiyas menurut ulama ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadits dengan cara membandingkannya

dengan

sesuatu

yang

ditetapkan

hukumnya

berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum. Dengan cara Qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya al-Qur’an dan Hadits. Sebab hukum Islam, kadang tersurat jelas dalam nash al-Qur’an dan Hadits, kadang kuga bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Mengenai Qiyas ini, Imam Syafi’i mengatakan “setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah Qiyas”.

3

Qiyas merupakan sumber hukum keempat setelah al-Qur’an, asSunnah dan Ijma’. Walaupun keududkan Qiyas sebagai sumber hukum keempat, tetapi tingkat urgensinya melebihi ijma. Qiyas menjadi kebutuhan zaman agar syariah ini bisa menjawab permasalahan karena dengan menyamakan masalah-masalah kontemporer dengan ketentuan hukum yang ada dalam nash, maka Qiyas bisa menjawab masalahmasalah baru yang selalu berkembang.

B. Rukun dan Syarat Qiyas Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena ‘illat serupa., maka rukun Qiyas ada empat makan yaitu : 1. Al-Ashl (‫)االصل‬, sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum. Al-Ashl

ialah

sumber

yang

menjelaskan

hukum

yang

dipergunakan sebagai Qiyas dari far’ (cabang) atau yang mempunyai sasaran hukum. Sebagaimana kalau kita berbicara tentang sasaran hukum, tentu tidak terlepas dari soal sumber hukum itu sendiri. Jadi dua pengertian di atas saling menguatkan. Menurut sebagian besar ulama fiqh, sumber hukum

yang

dipergunakan sebagai dasar Qiyas harus berupa nash baik nash al-

4

Qur’an atau Hadits atau Ijma’. Jadi, tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan : a. Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala sumber hukum. Segangkan sumber hukum yang lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. b. Nash

hukum

dengan

berbagai

bentuk

dan

kemungkinan

kandungannya mengandung isyarat adanya ‘illat. c. Sesungguhnya Qiyas sendiri berpegang dengan al-Qur’an dan Hadits.

2. Al-Far’ (‫)الفرع‬, sesuatu yang tak ada ketentuan nash. Al-Far’ ialah kasus yang hendak diketahui hukumnya melalui Qiyas terhadap hukum asalnya. Al-Far’ atau kasus baru itu harus memeuhi dua persyaratan : a. Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam al-Qur’an dan Hadits. Sebab, Qiyas tidak belaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nashnya. b. ‘Illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘illat hukum asal.

5

3. Al-Hukm (‫)الحكم‬, hukum yang dipergunakan Qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke far’ (cabang). Al-Hukm ialah hukum ketetapan nash, baik al-Qur’an maupun Hadits, tau hukum ketetapan ijma (bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan. Penetapan hukum asal kepada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya, harus memenuhi persyaratan, antara lain : a. Harus berupa hukum syara’ yang amaliah, Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali pada hukum-hukum yanbg bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran atau obyek fiqh Islam, dalam kerangka luas. b. Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na), hukum rasional ialah suatu hukum yang dapat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu. c. Hukum asal harus tidak berlawanan dengan Qiyas, misalnya bepergian yang membolehkan berbuka, tidak sah diqiyaskan dengannya perbuatan-perbuatan berat yang lain. d. Hukum asal bukan berupa hukum yang ditetapkan sebagai kekhususan, misalnya persaksian tunggal Khuzaimah, ketiak

6

Rasulullah memfungsikan seperti persaksian dua orang saksi; dan kekhususan Rasul yang menikah lebih dari empat orang istri.

4. Al-‘Illat (‫)العللة‬, alasan serupa anatara asal dan far’ (cabang). ‘Illat ialah pokok yang menjadi landasan Qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah menegaskan bahwa ‘illat merupakan rukun Qiyas dan landasan dari

bangunan Qiyas.

Sebagian Ulama

mendefiniskan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum. Definisi lain dikemukakan oleh sebagian ulama ushul, ‘illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum. Terdapat lima syarat yang mensahkan ‘illat menjadi dasar Qiyas ialah sebagai berikut : a. ‘Illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan. Apabila ‘illat berupa sesuatu yang tidak jelas, maka syari’ akan menjadikan suatu indikasi lain yang menggambarkan isi kandungan hukum. b. ‘Illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif. c. Harus ada korelasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat.

7

d. Sifat-sifat yang mnejadi ‘illat yang kemudian melahirkan Qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu. e. ‘Illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.

C. Pembagian Qiyas Pembagian Qiyas dalam hubungannya dengan keberadaan ‘illat, dapat dilihat dari dua aspek, pertama aspek kekuatan ‘illat pada ashal dan far’ dan kedua aspek jelas dan tidaknya ‘illat. 1. Aspek kekuatan ‘illat pada ashal dan far’, bisa diklasifikasikan mnejadi tiga bagian : a. Qiyas Aulawi, yaitu Qiyas dimana ‘illat pada far’ lebih kuat dari ‘illat pada hukum ashal. Contoh dalam surat al-Zalzalah : 6-7,

Dalam ayat ini ditemukan hukum pujaan dan celaan bagi orang yang berbuat baik dan berbuat baik sebesar dzarrah saja, yaitu pada : ▪ Ashal, pada ashal ditemukan ‘illat pada hukum pujaan dan celaan bagi orang yang beramal baik dan buruk sebesar dzarrah saja. ▪ Far’, pada far’ ditemukan ‘illat pada hukum beramal baik yang lebih besar dan beramal jelek yang lebih berat dari sebesar dzarrah yang ada pada ashal.

8

▪ ‘Illat-nya adalah pujaan dan celaan. ▪ Logikanya adalah amal baik yang lebih besar dari dzarrah berstatus lebih terpuja dan amal jelek yang lebih besar dari sebesar dzarrah berstatus lebih celaka. Contoh dalam hadits riwayat Imam Muslim, sabda Rasulullah “sesungguhnya Allah mengharamkan darah orang mukmin dan berprasangka kepadanya kecuali dengan prasangka baik”. Jika

berprasangka

buruk

terhadapnya

dengan

tetap

menunjukkan sikap-sikap permusuhan, maka hukumnya tentu lebih berat. ▪ Ashal, pada ashal ditemukan ketentuan hukum haram dalam bentuk larangan berburuk sangka, tetapi tidak ada sikap permusuhan. ▪ Far’, pada far’ ditemukan hukum haram dalam bentuk berburuk sangka, tapi disertai dengan sikap-sikap permusuhan. ▪ ‘Illat-nya adalah keimanan, sedang fungsi keimanannya sebagai pelindung dari tindakan berburuk sangka kepada orang lain, sekalipun tidak disertai sikap permusuhan. ▪ Logikanya adalah hukum larangan arau keharaman yang ada pada far’ dalam berburuk sangka yang diikuti sikap permusuhan lebih kuat dan lebih besar dari ashal.

9

b. Qiyas Musawi, yaitu Qiyas dimana ‘illat pada hukum far’ sama dengan ‘illat pada hukum ashal. Contoh dal;am surat an-Nisa : 25, “...tapi jika mereka telah kawin, jika melakukan perbuatan keji, maka hukumannya seperdua hukuman wanita yang telah kawin.” Ayat ini sebagai contoh kasus pezina wanita yang bertsatus budak, yang hukumannya separo dari hukuman pezina wanita yang berstatus merdeka. Jika terjadi kasus pezina laki-laki yang berstatus budak, maka kasus ini dapat diqiyaskan kepada kasus pezina wanita yang berstatus budak, sebab ber’illat sama, yaitu : ▪ Ashal, ‘illatnya adalah status budak pada pezina wanita. ▪ Far’, ‘illatnya adalah status budak pada pezina laki-laki. ▪ Logikanya adalah lantaran keduanya sama-sama menjadi pelaku perzinaan dan berstatus budak, maka hukuman keduanya sama, yaitu seperdua dari hukuman pezina yang berstatus merdeka.

c. Qiyas Adna, yaitu Qiyas dimana ‘illat pada hukum far’ kurang jelas dari ‘illat pada hukum ashal. Contoh perasan buah-buahan seperti anggur yang diqiyaskan dengan khamr, illatnya adalah : ▪ Ashal, kuatnya ‘illat memabukan pada khamr.

10

▪ Far’, lemahnya ‘illat memabukkan pada perasan buah-buahan lainnya. ▪ Logikanya adalah kuatnya ‘illat memabukkan pada perasan buahbuahan lain lebih ringan daripada illat memabukkan pada khamr.

2. Aspek jelas dan tidaknya ‘illat, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian : a. Qiyas Ma’na atau Qiyas fi Ma’na Ashliy, yaitu Qiyas di mana ashalnya satu nash, karena fr; semakna dengan ashalnya. Makna dan tujuan hukum furu’ sudah tercakup dalam kandungan hukum ashal, sebagaimana tiga macam Qiyas di atas. Kandungan hukum furu’ sudah merupakan bagian dari pengertian hukum ashal. Oleh sebab itu, korelasi antara keduanya jelas dan tegas. b. Qiyas Syabah, yaitu Qiyas yang hukum far’nya dapat diketahui dengan cara mengqiyaskannya pada salah satu dari beberapa ashal dalam beberapa nash yang keadaannya lebih mirip dengan far’. Dalam masalah ini, seorang mujtahid harus menentukan unsur dan hukum asal yang lebih dekat serta lebih sesuai dengan tujuan pembuat hukum. Sebagai contoh ialah minuman yang terbuat dari perasan tebu. Kalau ingin mengetahui hukumnya, kita harus kembali kepada sumber hukum asal. Dalam hal ini terdapat beberapa hukum asal

11

yang bisa menjadi sandaran. Apakah kepada khamr dengan pertimbangan pada tahap tertentu memabukkan atau kepada minuman biasa yang mubah dengan pertimbangan bahwa menurut tabiatnya, perasan tebu tidak memabukkan.

D. Operasionalisasi Qiyas Bidang operasi teori Qiyas adalah semua bidang hukum yang diperbolehkan untuk diqiyaskan. Sedang hukum-hukum yang boleh diqiyaskan dapat dibagi menjadi dua bentuk : 1. Hukum yang statusnya ma’qul ma’na Hukum-hukum yang bisa dipahami dan dicerna akal tentang tujuan yang dijadikan alasan penetapan hukumnya oleh syari’. Mkasudnya adalah setiap hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, bahkan ditemukan pula petunjuknya, baik dalam ketetapan itu sendiri maupun dalam beberapa ketetapan lainnya yang menetapkan bahwa ia telah ditetapkan karena sesuatu makna dari beberapa makna. Dengan demikian, hukum Allah dan Rasul-Nya yang bisa diqiyaskan adalah hukum-hukum yang ma’qul ma’na, sebagai contoh : a. Hukum kebolehan meringkas shalat bagi orang yang sedang dalam perjalanan. b. Hukum keharaman meminum minuman keras. c. Keharaman perjudian dan lain sebagainya. d. Keharaman menghisap sabu-sabu atau ganja dan lain sebagainya.

12

2. Hukum-hukum yang ghairu ma’qul ma’na Hukum-hukum yang tidak bisa dipahami atau dicerna akal tetang alasan atau tujuan yang dijadikan alasan penetapan hukumnya oleh syari’. Misalnya : a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan peribadatan b. Hukum-hukum jinayah yang tergolong bersanksi hudud, kafarah dan muqaddarah.

E. Penerapan Qiyas dalam Ekonomi Islam 1. Para ulama mengqiyaskan sewa (ijarah) dengan jual beli (bai) karena keduanya pada hakikatnya adalah jual beli. Akad bai adalah jual beli barang, sedangkan ijarah jual beli jasa/manfaat (bai al-manafi’). Dalam qiyas tersebut, ketentuan hukum jual beli telah dijelaskan dalam banyak sekali nash-nash al-Qur’an dan Hadits daripada ketentuan tentang sewa. Dengan demikian, maka seluruh ketentuan hukum jual beli berlaku dalam ketentuan hukun ijarah. 2. Para ulama mengqiyaskan wakalah ‘amah dengan wakalah khashshah. 3. Para ulama mengqiyaskan pihak yang menyewakan tenaganya dengan orang yang diberi wewenang dengan imbalan karena keduanya mendapatkan imbalan upah walaupun karakteristik dasar dalam akad wakalah adalah akad ghairu lazim sedangkan ijarah adalah akad lazim.

13

4. Para ulama mengqiyaskan khiyar naqd dengan khiyar syarth karena memiliki kesamaan illat yaitu keduanya memiliki syarat yang membolehkan untuk membatalkan jual beli.

14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Qiyas adalah sumber hukum keempat dalam Islam, terlepas dari pertentangan yang terjadi di kalangan ulama tentang kehujjahan Qiyas, metode pengambilan hukum ini memberikan ruang jalan yang lebar bahwa seluruh persoalan yang kita hadapi bisa dicarikan dasar hukumnya. Dengan cara ini berarti tidak ada alasan bagi kita untuk membiarkan sesuatu tanpa kejelasan hukum. Meski hal ini menjadi alasan bagi kalangan yang menolak Qiyas, meski mendasarkan penolakannya kepada firman Allah SWT., tapi secara logika pula tidak mungkin sesutau dibiarkan tanpa keputusan hanya karena masalah itu idak terbahas dalam nash. Meski demikian, metode Qiyas sebagai sumber hukum keempat harus tetap mengedepankan ketetapan yang ada pada tiga sumber hukum sebelumnya. Menilik pada macam-macam ‘illat, maka penggalian hukum lewat jalan Qiyas, harus dilaksanakan secara betul. Tidak bisa secara gegabah kita mengatakan ‚dengan megqiyaskan kepada…‛ atau‚ seperti yang ada pada…..‛ dan sejenisnya, karena ini menyangkut penetapan suatu hukum. Dinamika perk...


Similar Free PDFs