Paradigma-profetik PDF

Title Paradigma-profetik
Author Asep Miftah
Pages 51
File Size 3.2 MB
File Type PDF
Total Downloads 383
Total Views 466

Summary

makalah sarasehan februari 2011 PARADIGMA PROFETIK - MUNGKINKAH ? PERLUKAH ? - Heddy Shri Ahim sa-Putra Antropologi Budaya Fakultas Ilm u Budaya Universitas Gadjah M ada Makalah disampaikan dalam “Sarasehan Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 201...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Paradigma-profetik asep miftah

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Mercusuar Peradaban: Manifest o Gerakan Pelajar Berkemajuan Azaki Khoirudin

Paradigma Islam dalam Pembangunan Ilmu Int egralist ik : Membaca Pemikiran Kunt owijoyo Muhammad Zainal Abidin FORMAT PENDIDIKAN PROFET IK DI T ENGAH T RANSFORMASI SOSIAL BUDAYA Darojat Ajib

makalah sarasehan februari 2011

PARADIGMA PROFETIK - MUNGKINKAH ? PERLUKAH ? -

Heddy Shri Ahim sa-Putra Antropologi Budaya Fakultas Ilm u Budaya Universitas Gadjah M ada

Makalah disampaikan dalam “Sarasehan Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011

DAFTAR ISI

I. PENGANTAR II. ILM U (SOSIAL) PROFETIK : PANDANGAN KUNTOW IJOYO 1. Asal-M uasal Gagasan Ilm u (Sosial) Profetik, Transform atif di UGM 2. Ilm u Sosial Profetik, Ilm u Sosial Transform atif 3. W ahyu : Basis Epistem ologis dan Im plikasinya a. Sum ber Pengetahuan : W ahyu - Akal b. Pendekatan : Strukturalism e Transendental c. Analisis / Tafsir : Sintetik - Analitik 4. Etika: Hum anism e-Teosentris 5. Tujuan : Hum anisasi / Em ansipasi, Liberasi Transendensi 6. Telaah Kritis atas Pandangan Kuntow ijoyo

/

Pem bebasan,

III. PARADIGM A PROFETIK : APA ITU ? 1. Paradigm a : Sebuah Definisi 2. Unsur-unsur (kom ponen-kom ponen) Paradigm a a. Asum si-asum si/Anggapan-anggapan Dasar ( Basic Assumptions ) - (1) b. Etos / Nilai-nilai ( Ethos / Values ) - (2) c. M odel-m odel ( Models ) - (3) d. M asalah Yang Diteliti/Yang Ingin Dijaw ab - (4) e. Konsep-konsep Pokok ( Main Concepts, Key Words ) - (5) f. M etode-m etode Penelitian ( Methods of Research ) - (6) g. M etode-m etode Analisis ( Methods of Analysis ) - ( 7 ) h. Hasil Analisis / Teori ( Results of Analysis / Theory ) - (8) i. Representasi (Etnografi) - (9) 3. Skem a Paradigm a 4. Paradigm a Profetik dan Islam a. Al Qur’an dan Sunnah Rasul b. Rukun Im an

1

c. Rukun Islam IV. BASIS EPISTEM OLOGIS PARADIGM A PROFETIK 1. Asum si Dasar tentang Basis Pengetahuan a. b. c. d. e. 2. 3. 4. 5. 6.

Indera Kem am puan Strukturasi dan Sim bolisasi (Akal) Bahasa (Pengetahuan K olektif) W ahyu - Ilham Sunnah Rasulullah s.a.w .

Asum si Asum si Asum si Asum si Asum si

Dasar Dasar Dasar Dasar Dasar

tentang tentang tentang tentang tentang

Obyek M aterial Gejala Yang Diteliti Ilm u Pengetahuan Ilm u Sosial dan/atau Alam Profetik Disiplin Profetik

V. ETOS PARADIGM A PROFETIK 1. Basis Sem ua Etos : Penghayatan 2. Etos : Pengabdian a. Pengabdian kepada Allah s.w .t. b. Untuk Pengetahuan (Ilm u) c. Untuk Diri Sendiri d. Untuk Sesam a e. Untuk Alam 3. Etos Kerja Keilm uan a. Pengem bangan Unsur Paradigm a b. Pengem bangan Paradigm a Baru 4. Etos Kerja Kem anusiaan a. Kejujuran b. Keseksam aan / Ketelitian c. Kekritisan d. Penghargaan VI. M ODEL PARADIGM A PROFETIK 1. M odel (Struktur) Rukun Im an dan Transform asinya 2. M odel (Struktur) Rukun Islam dan Trasform asinya VII. IM PLIKASI EPISTEM OLOGI PROFETIK 1. Im plikasi Perm asalahan 2. Im plikasi Konseptual

2

3. 4. 5. 6.

Im plikasi Im plikasi Im plikasi Im plikasi

M etodologis Penelitian M etodologis Analisis Teoritis Representasional (Etnografis)

VIII. IM PLIKASI PARADIGM A PROFETIK 1. Transform asi Individual 2. Transform asi Sosial (Kolektif) IX. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA

ooooo

3

PARADIGMA PROFETIK - MUNGKINKAH ? PERLUKAH ? Heddy Shri Ahimsa-Putra Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

I. PENGANTAR Kira-kira sembilan tahun yang lalu, tepatnya 2 Nopember 2002, sebuah sarasehan ilmu-ilmu profetik digelar di UGM di gedung Pascasarjana. Sejumlah makalah dari berbagai disiplin dipresentasikan, di antaranya dari bidang Ilmu Humaniora, Ilmu MIPA dan Teknik, Ilmu Sosial, Ilmu Pertanian dan Ilmu Kesehatan. Tidak semua makalah berupa makalah yang ditulis secara rinci dan jelas. Ada yang hanya berisi butir-butir pemikiran yang juga tidak mudah dimengerti maksudnya; ada yang ditulis dengan panjang lebar, tetapi isi dan arah pembicaraan juga tidak sepenuhnya jelas, sehingga setelah membaca makalah-makalah tersebut saya tidak memperoleh gambaran yang cukup jelas tentang apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu profetik itu sendiri. Singkatnya kelemahan-kelemahan dalam berbagai makalah tersebut dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, makalah-makalah itu belum memaparkan dengan jelas, mengapa ilmu profetik perlu dibangun. Kedua, belum memaparkan secara sistematis apa yang dimaksud dengan profetik, dan bagaimana mewujudkannya dalam kegiatan keilmuan, agar kemudian dapat terbangun ilmu-ilmu yang profetik. Ketiga, belum memaparkan dengan cukup jelas kerangka pemikiran tentang ilmu pengetahuan dengan berbagai unsurnya, sehingga ilmu profetik yang ingin dibangun juga tidak dapat diketahui sosoknya secara jelas. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa pemikiran tentang ilmu profetik tidak ada. Seingat saya, gagasan mengenai ilmu profetik di Indonesia ini pada mulanya berasal dari Prof. Dr. Kuntowijoyo, guru besar sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Gagasan ini dituangkan lebih lengkap oleh beliau dalam bukunya yang berjudul Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, yang diterbitkan pada tahun 2004. Jadi belum begitu lama. Meskipun demikian, pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo -yang selanjutnya akan saya sebut Mas Kunto, sapaan akrab saya untuk beliau- mengenai ilmu profetik tersebut bibit-bibitnya sudah ditebar lebih awal dalam bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Mizan, 1991). Saya tidak tahu apa persisnya reaksi pu-

4

blik cendekiawan Indonesia ketika buku-buku tersebut terbit, karena saat itu saya mash di Amerika Serikat, menyelesaikan s-3. Saya sendiri pada awalnya tidak banyak menaruh perhatian pada pemikiran-pemikiran mas Kunto, yang lebih saya kenal sebagai sejarawan. Apalagi perhatian saya sedang saya curahkan pada persoalan bagaimana strategi yang tepat dan mudah untuk dapat mengembangkan antropologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan. Topik ini tentu saja membawa saya pemikiran-pemikiran dari Thomas Kuhn mengenai revolusi ilmu pengetahuan, yang dituangkan dalam bukunya yang memicu perdebatan panjang di kalangan ilmuwan di Barat, The Structure of Scientific Revolutions. Kemudian suatu hari saya di-sms oleh mas Indra Bastian dari fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM. Dia minta saya menulis makalah tentang Strukturalisme Transendental. Saya agak terkejut. Memang saya banyak menulis tentang paradigma Strukturalisme dalam antropologi, tetapi bukan strukturalisme transendental. Akhirnya setelah saya bertemu dengan mas Indra dan pak Edimeyanto dari fakultas Farmasi, dan mereka menjelaskan kepada saya mengapa mereka menghubungi saya, barulah saya memahami apa yang mereka inginkan dari saya 1). Hasil dari pertemuan tersebut adalah saya sepakat untuk membahas kembali masalah ilmu-ilmu profetik, yang pernah dibahas oleh mas Kunto, tetapi dengan perspektif saya sendiri tentu saja. Dalam makalah ini saya mencoba memaparkan kembali secara ringkas pandanganpandangan mas Kunto mengenai ilmu sosial profetik -karena mungkin tidak banyak yang tahu dengan cukup mendalam pandangan-pandangan tersebut-, dan kemudian membahasnya dengan agak kritis. Atas dasar beberapa kelemahan yang masih terdapat dalam pemikiran mas Kunto, saya mencoba untuk mengembangkan lebih lanjut gagasan mas Kunto untuk membangun paradigma profetik yang lebih jelas komponennya lebih kokoh dasarnya, dan juga lebih jelas sosoknya. Tentu saja, karena terbatasnya ruang di sini, tidak semua komponen paradigma profetik akan saya ulas. Bagian yang akan saya ulas terutama adalah bagian tentang epistemologi. II. ILM U (SOSIAL) PROFETIK : PANDANGAN KUNTOW IJOYO Di Indonesia, pandangan mengenai ilmu sosial profetik -dan ini bisa juga kita artikan sebagai ilmu alam profetik- yang cukup komprehensif terdapat pada tulisan-tulisan mas Kunto, karena beliaulah yang secara sadar bermaksud membangun sebuah paradigma baru ilmu pengetahuan, yakni ilmu pengetahuan yang profetik, dengan agama Islam sebagai landasannya. Apa yang digagas oleh mas Kunto pada dasarnya bukanlah hal yang sama sekali baru dalam jagad pemikiran Islam. Dari tulisan-tulisannya kita dapat menemukan tokoh-tokoh pemikir Islam yang banyak mempengaruhi dan memberikan inspirasi pada mas Kunto. 1. Asal-M uasal Gagasan Ilm u (Sosial) Profetik, Transform atif di UGM Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi. Menurut Oxford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to a prophet or prophecy”; “having the character or function of a prophet”; (2) “Characterized by, containing, or )

) Alhamdulillah, saya dipertemukan oleh Allah s.w.t. dengan mas Indra Bastian dan pak Edimeyanto, sehingga saya terlibat dalam membangun pemikiran mengenai ilmu (sosial) profetik, transformatif. Saya berterimakasih kepada mas Indra dan pak Edimeyanto yang telah mengajak saya terlibat dalam pergulatan pemikiran mengenai ilmu profetik ini.

5

of the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi ‘kenabian’. Akan tetapi, adakah ilmu sosial kenabian? Ilmu sosial seperti apa ini? Mas Kunto menulis bahwa “Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy”. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam, sedang Roger Garaudy adalah ahli filsafat Prancis yang masuk Islam. Mas Kunto banyak mengambil gagasan dua pemikir untuk mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena mas Kunto adalah seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial. Dikatakan oleh mas Kunto bahwa gagasan mengenai ilmu sosial profetik yang dikemukakannya dipicu antara lain oleh perdebatan yang terjadi di kalangan cendekiawan Islam mengenai teologi, yang terjadi dalam sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu yang berseberangan pendapat di situ, yakni kubu teologi konvensional, yang mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, “yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik” dengan kubu teologi transformatif, yang memaknai teologi sebagai “penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan. Jadi lebih merupakan refleksi-refleksi empiris” (83). Menurut mas Kunto, perbedaan pandangan ini sulit diselesaikan, karena masing-masing memberikan makna yang berbeda terhadap konsep paling pokok di situ, yaitu konsep teolo-gi itu sendiri. Untuk mengatasi kemacetan dialog ini Kuntowijoyo mengusulkan digantinya istilah teologi menjadi ilmu sosial, sehingga istilah Teologi Transformatif diubah menjadi Ilmu Sosial Transformatif. Peristiwa lain yang menjadi pemicu gagasan mas Kunto tentang ilmu profetik adalah Kongres Psikologi Islam I di Solo, 10 Oktober 2003. Ketika itu ada pemakaian istilah “Islamisasi pengetahuan”, yang menggelisahkan mas Kunto, karena makna istilah tersebut kemudian “diplesetkan” ke arah “Islamisasi non-pri”, yang dihubungkan dengan “sunat secara Islam”, atau tetakan (bhs.Jawa). “Tentu saja saya sakit hati dengan penyamaan itu, meskipun ada benarnya juga” begitu tulisa mas Kunto,”Saya sakit hati karena sebuah gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan disamakan dengan gerakan bisnis pragmatis. Oleh karena itu saya tidak lagi memakai istilah “Islamisasi pengetahuan”, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan” menjadi “Pengilmuan Islam”. Dari reaktif menjadi proaktif” (2006: vii-viii). Mas Kunto kemudian menghimpun gagasan-gagasan yang masih terserak di sanasini menjadi sebuah “nonbuku darurat”, “nonbuku comat-comot” -begitu dia menyebut buku kecilnya- yang diberi judul Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Menurut mas Kunto “Pengembangan Paradigma Islam itu merupakan langkah pertama dan strategis ke arah pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan sosial-budaya ke arah sistem Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban. Dengan demikian Islam akan lebih credible bagi pemeluknya dan bagi non-Muslim…” (2006: ix). Apa yang mas Kunto lakukan adalah sebuah langkah awal untuk mewujudkan sebuah Paradigma Islam dalam jagad ilmu pengetahuan, yang sampai saat ini umumnya menggunakan basis paradigma dari dunia Barat.

6

Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan wacana filsafat ilmu pengetahuan, paparan mas Kunto dalam buku tersebut masih termasuk sulit dipahami, meskipun mas Kunto tampaknya telah berusaha untuk menggunakan bahasa yang semudah mungkin, agar apa yang diuraikannya dapat dimengerti oleh banyak orang. Paparan mas Kunto masih tidak mudah dicerna karena selain mengandung sejumlah konsep yang tidak selalu jelas maknanya bagi setiap orang, butir-butir yang dipaparkannya juga tidak tersusun dengan runtut dan sistematis. Beberapa gagasan yang mestinya dijelaskan di awal buku ternyata muncul di bagian tengah atau agak akhir. Selain itu, gagasan-gagasan tersebut juga tidak semuanya telah cukup lengkap untuk disajikan, sehingga keterkaitan satu gagasan dengan gagasan yang lain seringkali tidak sangat jelas. Di sini saya mencoba untuk memaparkan kembali apa yang telah dijelaskan oleh mas Kunto dalam bukunya secara lebih ringkas. Mudah-mudahan berbagai butir pemikiran mas Kunto kemudian lebih dapat dipahami dan dikembangkan di kemudian hari. Jika penjelasan saya ini, tafsir saya ini, ternyata tidak membuat pemikiran mas Kunto bertambah jelas dan mudah dimengerti oleh orang lain, maka itu sepenuhnya adalah kesalahan saya sebagai penafsir. 2. Ilm u Sosial Profetik, Ilm u Sosial Transform atif Sebenarnya paradigma Islam untuk ilmu pengetahuan ayng dikembangkan oleh mas Kunto akan mencakup juga ilmu-ilmu alam, tetapi karena mas Kunto adalah ahli sejarah, yang berarti juga ilmuwan sosial, maka gagasan mas Kunto lebih terfokus pada upaya mengembangkan ilmu sosial profetik, yang pada dasarnya juga merupakan ilmu sosial yang transformatif. Menurut mas Kunto Ilmu Sosial Transformatif adalah ilmu yang didasarkan pada hasil “elaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial”. Sasaran utamanya adalah “rekayasa untuk transformasi sosial. Oleh karena itu ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif yang permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal..” (p.85) Ilmu Sosial Transformatif, “tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial namun juga berupaya untuk mentransformasikannya”. Masalahnya kemudian adalah, “ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Ilmu Sosial Transformatif tidak memberikan penjelasannya. Oleh karena itu, Kuntowijoyo kemudian mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial “yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu”. Pertanyaannya kemudian adalah etik yang mana, dan profet (nabi) yang mana? Sebagai seorang Muslim, tentu saja mas Kunto kemudian menengok ke agama Islam. Akan tetapi, bukan hanya ini saja alasannya. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tidak adanya agama-agama lain yang dijadikan basis bagi ilmu pengetahuan yang kita geluti sekarang ini. Ilmu pengetahuan yang kita warisi dari masyarakat dan pandangan hidup Barat adalah ilmu pengetahuan yang telah kehilangan roh spiritualnya.

7

Menurut mas Kunto, “kita perlu memahami Al Qur’an sebagai paradigma”, dan paradigma yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo adalah paradigma sebagaimana yang dimaksud oleh Kuhn. Katanya, “Dalam pengertian ini, paradigma Al Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al Qur’an memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh Al Qur’an pertamatama dengan tujuan agar kita memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Al Qur’an, baik pada level moral maupun pada level sosial. Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan ini juga memungkinkan kita untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal ini sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigma Al Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis…” (p11). Sehubungan dengan itu mas Kunto terlihat sangat setuju dengan pandangan Roger Garaudy. Garaudy -sebagaimana dikutip oleh mas Kunto- mengatakan bahwa filsafat Barat (filsafat kritis) “tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing antara dua kubu, idealis dan materialis, tanpa kesudahan. Filsafat Barat (filsafat kritis) itu lahir dari pertanyaan: bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Dia [Garaudy] menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi: bagaimana wahyu itu dimungkinkan..” (2006: 97). Garaudy berpendapat bahwa “Filsafat Barat sudah “membunuh” Tuhan dan manusia”. Oleh karena itu dia menyarankan “supaya umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam (Garaudy, 1982: 139-168) dengan mengakui wahyu” (2006: 98). 3. W ahyu : Basis Epistem ologis dan Im plikasinya Gagasan Garaudy mengenai wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan rupanya sangat menarik perhatian mas Kunto, karena ini merupakan sebuah alternatif yang ditawarkan oleh Garaudy untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam ilmu pengetahuan empiris. Bagaimana wahyu ini harus dimasukkan dalam sistem ilmu pengetahuan profetik? a. Sum ber Pengetahuan : W ahyu - Akal Menurut Kuntowijoyo “Wahyu” itu sangat penting”, tulisnya. Unsur wahyu inilah yang membedakan epistemologi Islam dengan “cabang-cabang epistemologi Barat yang besar seperti Rasionalisme atau Empirisme, yang mengakui sumber pengetahuan sebagai hanya berasal dari akal atau observasi saja”. Dilihat dari perspektif Islam, epistemologi Rasionalisme dan Epirisme menurut Kuntowijoyo menja-di “tampak….terlalu sederhana” (17). Dalam epistemologi Islam menurut Kuntowijoyo, “unsur petunjuk transendental yang berupa wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting. Pengetahuan wahyu, oleh karena itu menjadi pengetahuan apriori. “Wahyu” menempati posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas, sebab wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang Muslim. Dalam konteks ini, wahyu lalu menjadi unsur konstitutif di dalam paradigma Islam” (p.17). Dalam Islam wahyu yang dianggap paling sempurna dan karena itu memiliki otoritas tertinggi adalah Al Qur’an. Al Qur’an merupakan kumpulan wahyu yang diyakini diturunkan oleh Allah s.w.t. melalui perantaraan malaikat Jibril kepada manusia yang dipilih oleh Allah s.w.t. untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada seluruh umat manusia,

8

yaitu Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, dalam keyakinan umat Islam Muhammad s.a.w. adalah seorang Nabi dan utusan Allah (Rasulullah). b. Pendekatan : Strukturalism e Transendental Menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan juga mempunyai implikasi lebih jauh, yaitu pengakuan adanya struktur transendental yang dapat menjadi referensi untuk menafsirkan realitas; “Pengakuan mengenai adanya ide yang murni, yang sumbernya berada di luar diri manusia; suatu konstruk tentang struktur nilai-nilai yang berdirisendiri dan bersifat transendental”. Hal ini juga berarti “mengakui bahwa Al Qur’an harus dipahami sebagai memiliki bangunan ide yang transendental, suat orde, suatu sistem gagasan yang otonom dan sempurna”. Mengapa pengakuan itu diberikan? Oleh karena pesan utama Al Qur’an, menurut mas Kunto, “sesungguhnya bersifat transendental, dalam arti melampaui zaman”. Untuk itu diperlukan metodologi yang “mampu mengangkat teks (nash) Al Qur’an dari konteksnya”. Bagaimana caranya? Tidak lain adalah “dengan...


Similar Free PDFs