Pemberontakan Petani Banten 1888, Sartono Kartodirdjo. PDF

Title Pemberontakan Petani Banten 1888, Sartono Kartodirdjo.
Author Ummu Aiman
Pages 277
File Size 21.6 MB
File Type PDF
Total Downloads 660
Total Views 719

Summary

Oleh Sartono Kartodirdjo PRAKATA Tujuan pertama studi ini adalah membahas aspek-aspek tertentu dari gerakan-gerakan sosial yang melibatkan lapisan-lapisan luas rakyat biasa di Indonesia. Di dalam historiograti Indonesia, pembahasan pokok persoalan seperti ini memang masih jarang sekali, dan satu- s...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Pemberontakan Petani Banten 1888, Sartono Kartodirdjo. ummu aiman

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

MAKALAH INT EGRASI NASIONAL Ali Aspar TASBIH DAN GOLOK St udi t ent ang Kharisma Kyai & Jawara di Ban t en Mohamad Hudaeri JAWARA BANT EN Abu Mufakhir



Oleh Sartono Kartodirdjo

PRAKATA Tujuan pertama studi ini adalah membahas aspek-aspek tertentu dari gerakan-gerakan sosial yang melibatkan lapisan-lapisan luas rakyat biasa di Indonesia. Di dalam historiograti Indonesia, pembahasan pokok persoalan seperti ini memang masih jarang sekali, dan satusatunya contoh yang menonjol adalah analisa Schrieke mengenai komunisme di pantai barat Sumatera (Schrieke, 1959, hal. 85-166). Seperti Schrieke, saya membatasi pembahasan saya pada satu gerakan spesifik di seta daerah spesiflk. Saya telah mempelajari pemberontakan Banten tahun 1888 dengan latar belakang masyarakat Banten abad XIX, dan, dalam hal kebangkitan kembali kehidupan keagamaan yang dibahas dalam Bab V, di dalam kerangka gerakan keagamaan pada umumnya di Jawa abad XIX. Harapan saya adalah bahwa karya ini akan sekedar menandai suatu awal dari kegiatan studi semacam ini dan mungkin akan digunakan sebagai sebuah contoh dalam riset mengenai messiah ini di masa-masa mendatang. Dengan demikian maka dapatlah kiranya diharapkan suatu pemahaman yang lebih baik mengenai implikasi-implikasi - di bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan - dari dampak dominasi Barat terhadap masyarakat tradisional Indonesia di satu pihak, dan mengenai peranan rakyat biasa dalam pembentukan sejarah Indonesia di lain pihak. Kita, yang hidup dalam abad krisis-krisis, yang melahirkan pembaharuan dan revolusi, tentunya akan menganggap studi mengenai gerakan-gerakan sosial tidak hanya menarik tetapi juga bermanfaat. Selain dari itu, di dalam suatu kurun waktu yang penuh dengan konflik dan ketegangan, sebagai akibat perubahan sosial yang cepat, semakin dirasakan perlunya memahami kekuatankekuatan penggerak di dalam masyarakat. Studi kasus mengenai gerakangerakan sosial ini tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi faktual mengenai pemberontakan tahun 1888 di Banten, melainkan juga dimaksudkan sebagai sumbangsih kepada usaha-usaha untuk menjelaskan proses sosial umumnya di Indonesia abad XIX. Pemahaman mengenai hakikat gerakan-gerakan sosial di masa lampau sering kali dapat diterapkan kepada studi mengenai gerakan-gerakan di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Kiranya perlu dikemukakan di sini bahwa dengan istilah "pribumi" ("native") di dalam buku ini senantiasa dimaksudkan penduduk asli bukan Eropa dalam masyarakat Indonesia. Dengan Batavia dimaksudkan Jakarta sekarang. Penggunaan sebutan-sebutan itu hanyalah untuk memudahkan saja, sesuai dengan terminologi resmi yang berlaku di zaman kolonial, dan kiranya tak perlu lagi dijelaskan di sini bahwa penggunaan sebutan-sebutan itu tidak

mencerminkan suatu pendirian tertentu. Sepatah kata perlu dikemukakan mengenai ejaan kata-kata Indonesia, termasuk kata-kata Banten, Jawa, Sunda dan Melayu. Saya telah senantiasa berusaha menggunakan ejaan sebagaimana yang lazim di Indonesia sekarang ini. Kata-kata yang berasal dari bahasa Arab ditulis sesuai dengan lafal dan ejaan Indonesia yang lazim. Ejaan yang biasa digunakan oleh para ahli Islamologi diberikan dalam daftar kata-kata. Dalam beberapa hal saya tetap menggunakan ejaan Balanda yang lama, misalnya nama surat-surat kabar. Tanpa kebaikan hati orang lain, kiranya sedikit saja penyelidikan yang dapat diselesaikan. Dalam hal saya, saya benar-benar sangat mengandalkan kepada dorongan semangat, bantuan dan perhatian yang diberikan oleh penasihat-penasihat intelektual saya selama empat tahun terakhir masa belajar saya sebagai mahasiswa di Universitas Yale dan Universitas Chicago, dan sebagai tenaga riset di Universitas Amsterdam. Saya sangat berterima kasih kepada Profesor Harry J. Benda dan Profesor Karl J. Pelzer, keduanya dari Yale, atas dukungan dan dorongan semangat yang telah mereka berikan kepada saya. Minat saya dalam pokok masalah yang dibahas dalam buku ini telah dibangkitkan selama pertemuan-pertemuan seminar yang dipimpin oleh Profesor Harry J. Benda. Saya telah beruntung mendapat kesempatan mengikuti kuliahkuliah yang diberikan oleh ilmuwan-ilmuwan terkemuka di Yale dan di Universitas Chicago, dan yang telah memberikan kepada saya sejumlah alat dan konsep kerja antar cabang ilmu pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial. Saya ingin menyatakan terima kasih saya kepada Profesor L.O. Schuman dari Lembaga Penyelidikan Timur Dekat Modern dari Universitas Amsterdam, atas kesabarannya selama ia membahas sekian banyaknya soal-soal Islamologi dengan saya, dan atas kritik-kritik yang telah diberikannya sebagai seorang ahli, sehingga saya terhindar dari kekeliruan-kekeliruan tertentu. Saya juga berutang budi kepada Profesor A.JR Kobben, yang telah membaca bab-bab yang menyangkut bidang keahliannya, dan saya berterima kasih atas kritik-kritiknya yang sangat bermanfaat. Secara khusus saya merasa berutang budi kepada Profesor W.F. Wertheim dari Departemen Sosiologi dan Sejarah Modern Asia Tenggara Universitas Amsterdam, yang telah bertindak sebagai sponsor selama saya tinggal di Negeri Belanda. la telah memberikan dorongan kepada studi saya dengan segala cara, telah dengan sabar memupuk pertumbuhan karya ini melalui sekian banyak konferensi dan pembahasan dan sesungguhnya telah membantu mengusahakan agar buku ini bisa terbit. Pendekatan sosiologisnya terhadap sejarah Indonesia telah mendasari sebagian besar pekerjaan saya, dan utang budi saja kepadanya tak temilai. Dengan rasa terima kasih saya mengenang kembali rangsangan dan kecerahan pikiran yang telah saya peroleh dari pembahasan-pembahasan dengan Profesor G.F. Pijper dan Profesor G.WJ. Drewes, Dr. Th. Pigeaud, dan Drs. R. Nieuwenhuys. Profesor Drewes telah berbaik hati memberikan kesempatan kepada saya untuk membaca manuskrip Sejarah Haji Mangsur dari Koleksi Snouck Hurgronje. Dr. J. Noorduyn, Sekretaris Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, dengan ramahnya telah mengizinkan saya untuk membaca bahan-bahan yang belum diterbitkan. Saya juga berhutang budi kepada Drs. The Siauw Giap, yang telah memberikan saransaran yang bermanfaat mengenai sumber-sumber bahan; kepada Dr. C. Vreedede Stuers, Drs. R. Mollema dan Mr. A. van Marle, yang telah membantu saya dengan pelbagai cara. Tanpa fasilltas-fasilitas dan bantuan praktis yang telah disediakan oleh Departemen Sosiologi dan Sejarah Modern Asia Tenggara Universitas Amsterdam, tugas saya tentunya akan jauh lebih sulit. Kepada Drs JB. van Hall, kepala perpustakaan Perpustakaan Pusat Lembaga Tropis Kerajaan di Amsterdam, dan stafnya, saya sangat berhutang budi atas bantuan untuk memperoleh bahan-bahan terbitan. Saya juga ingin menyatakan terima kasih saya kepada staf perpustakaan Universitas Amsterdam dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde atas keramah-tamahan mereka terhadap seorang mahawiswa asing. Pernyataan terima kasih yang khusus saya tujukan kepada Mr. H.G. Wondaal dari Arsip

Negara di Schaarbergen dan stafnya, atas bantuan mereka yang sangat saya hargai; mereka telah menyediakan fasilitas-fasilitas kerja sehingga saya dapat menggunakan dokumendokumen dan data-data. Saya juga menyatakan terima kasih saya kepada staf Algerneen Rijksarchief di dan Haag atas bantuan yang telah mereka berikan. Pernyataan-pemyataan terima kasih saya tujukan kepada orang-orang yang telah membantu memungkinkan studi ini. saya terutama berterima kasih kepada Fakultas Kesenian dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada dan Departemen Sejarahnya, atas dukungan yang telah mereka berikan kepada pelaksanaan studi ini; mereka mempunyai visi untuk melihat nilai dalam studi yang telah saya usulkan itu dan telah mengizinkan saya untuk menjalani cuti besar. Di sini saya ingin menyatakan terima kasih saya kepada Profesor H. Johannes dan Profesor Siti Baroroh-Baried, Drs. T. Ibrahim Alfian, Soeri Soeroto M.A. dan banyak rekan sejawat saya. Kepada pejabat-pejabat Rockefeller Foundation saya tujukan terima kasih saya karena mereka telah memungkinkan studi ini dari segi keuangannya melalui suatu fellowship, yang mula-mula membawa saya ke Amerika Serikat dan kemudian ke Negeri Belanda. Saya terutama berterima kasih kepada Mr. Boyd R. Compton, Assistant Director Rockefeller Foundation, yang telah memberikan dukungan kepada studi saya dengan penuh perhatian dan pengertian. Sebuah award dari Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Negeri Belanda yang bermurah hati telah memungkinkan saya untuk menyelesaikan penyelidikan-penyelidikan saya. Pernyataan teriina kasih juga saya tujukan kepada Kementerian ini, dan khususnya kepada Miss E. Talsma, M.L., atas bantuan keuangan yang telah memungkinkan diadakannya koreksi terhadap naskah Inggris saya yang asli. Saya berterima kasih kepada Mrs. C.M. van Staalen yang telah melakukan tugas yang berat, yakni mengoreksi manuskrip dan membaca cetakan percobaannya. Saya ingin menyatakan terima kasih saya kepada Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde yang telah memungkinkan diterbitkannya tesis ini. Terima kasih saya yang khusus saya tujukan kepada Dr. J. Noorduyn atas bantuannya dalam mernpersiapkan penerbitan buku ini. saya sangat berterima kasih kepada Netherlands Organization for the Advancement of Pure Research, yang dengan bantuan keuangannya telah memungkinkan terbitnya buku ini. Saya juga ingin menyatakan rasa terima kasih saya kepada ayah dan ibu mertua saya, R.M.E. Kadarisman Pusposudibjo, atas kebaikan mereka memelihara anak-anak saya selama saya dan istri saya berada di luar negeri. Kepada istri saya tertuju rasa terima kasih saya atas bantuannya yang tak ternilai dan kesabarannya selama saya mempersiapkan buku ini. Saya ingin menyatakan rasa terima kasih saya kepada semua orang yang telah menunjukkan perhatian mereka terhadap pekerjaan saya; di antaranya, Dr. H.J. de Graaf, Dr. L. Sluimers, Dr. M. Makagiansar, dan Drs. A.B. Lapian. Dalam pada itu, meskipun saya telah mendapat bantuan dari banyak pihak, namun buku ini dengan sendirinya menjadi tanggung jawab saya sendiri, dan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya adalah kesalahan-kesalahan saya. e-books a.mudjahid chudari 2006





Bab I

PENGANTAR POKOK PEMBAHASAN Pemberontakan tahun 1888 yang dibahas dalam studi ini terjadi di distrik Anyer di ujung barat laut Pulau Jawa. Meskipun pemberontakan berkobar dalam jangka waktu yang relatif singkat - dari tanggal 9 sampai denpn tanggal 30 Juli - pergolakan sosial yang mendahuluinya harus ditelusuri kembali sampai ke awal tahun-tahun tujuh puluhan. Pemberontakan ini hanya merupakan satu di antara serentetan pemberontakan yang telah terjadi di Banten selama abad XIX, dan ia juga merupakan satu contoh dari ledakan-ledakan sosial yang sedang melanda seluruh Pulau Jawa ketika itu. Dokumen-dokumen Kementerian Urusan Jajahan yang mencakup abad yang lalu memuat laporan tentang banyak pemberontakan dan percobaanpercobaan pemberontakan di kalangan petani.[1] Gerakan-gerakan milenari yang menyertai kegelisahan dan gejolak sosial, bermunculan di pelbagai daerah di Pulau Jawa, sementara gerakan kebangkitan kembali agama menampakkan diri dalam bentuk sekolah-sekolah agama dan perkumpulan mistik keagamaan yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Sesungguhnya abad XIX merupakan suatu periode pergolakan sosial yang menyertai perubahan sosial sebagai akibat pengaruh Barat yang semangkin kuat. Orang dapat menyaksikan suatu modernisasi perekonomian dan masyarakat politik yang semakin meningkat. Seluruh proses peralihan dari tradisionalitas ke modernitas ditandai oleh goncangan-goncangan sosial yang silih berganti dan yang menyerupai pemberontakan tahun 1888 di Banten. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di harnpir semua keresidenan di Jawa dan di daerah-daerah Kerajaan[2], memperlihatkan karakteristik yang sama. Pemberontakanpemberontakan itu bersifat tradisional, lokal atau regional, dan berumur pendek. Sebagai gerakan sosial, pemberontakan-pemberontakan itu semuanya tidak menunjukkan ciri-ciri modern seperti organised, ideologi-ideologi modern, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri.[3] Bagian terbesar dari pemberontakan-pemberontakan petani itu bersifat lokal dan tak mempunyai hubungan satu sama lain. Petani-petani itu tidak tahu untuk apa mereka berontak; secara samar-samar mereka ingin menggulingkan pemerintah, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang mengambil bagian di dalam suatu gerakan sosial yang revolusioner. Yang pasti adalah bahwa tidak ada realisme dalam tujuan yang dikemukakan oleh kaum pemberontak. Mungkin sekali pemimpin-pemimpin mereka pun tidak memiliki pengetahuan politik yang diperlukan untuk membuat rencana rencana yang realistic seandainya pemberontakan berhasil. Oleh karena itu, maka pemberontakan-pemberontakan itu sudah seharusnya gagal, dan semua ledakan itu dengan pasti disusul oleh tragedi tindakan-tindakan penumpasan yang sama.[4] Arti penting jenis pemberontakan ini tidaklah pertama-tama karena dampaknya terhadap perkembangan politik, melainkan terletak dalam fakta bahwa kejadiannya yang endemik selama abad XIX dapat dipandang sebagai suatu manifestasi dari pergolakan agraris yang merupakan arus bawah dari alur perkembangan politik selama periode "Pax Neerlandica".[5] Sampai saat jatuhnya rezim Belanda, nampaknya ada rasa tidak puas yang meluas yang senantiasa membara di bawah permukaan. Kebanyakan penulis masa itu menganggap pemberontakanpemberontakan itu sebagai suatu ledakan fanatisme atau suatu huru-hara menentang pajak yang tidak disenangi. Mereka biasanya sudah puas dengan mengemukakan faktor-faktor agama atau ekonomi sebagai penyebabnya. Sesungguhnya, pelbagai macam rasa tidak senang mencapai puncaknya selama kerusuhan-kerusuhan seperti itu; baik di bidang ekonomi dan sosial maupun di bidang keagamaan dan politik. Di dalam rangka kontak antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Indonesia,

pemberontakan-pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan-gerakan protes terhadap masuknya perekonomian Barat yang tidak diinginkan dan terhadap pengawasan politik, dua hal yang merongrong tatanan masyarakat tradisional.[6] Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, timbulnya buruh upahan dan ditegakkannya administrasi pusat, maka terjadilah keruntuhan umum struktur ekonomi dan politik yang tradisional.[7] Terganggunya keseimbangan lama masyarakat tradisional tidak disangsikan lagi telah menimbulkan frustrasi dan rasa tersingkir yang umum, dan perasaan-perasaan itu, jika dikomunikasikan, lalu berkembang menjadi keresahan dan kegelisahan yang meluas. Keadaan seperti itu tak boleh tidak akan meledak apabila dapat difokuskan di bawah suatu pimpinan yang mampu mengarahkan potensi agresif itu terhadap sasaran-sasaran tertentu yang dianggap bermusuhan atau menuju pewujudan gagasan-gagasan tentang milenari. Di daerah-daerah, di mana agama memainkan peranan yang dominan, pemimpin-pemimpin agama dengan mudah menempati kedudukan sebagai pernimpin dalam gerakan-gerakan rakyat dengan jalan membungkus pesan milenari mereka itu dengan istilah-istilah keagamaan. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan itu juga dapat dianggap sebagai gerakan keagamaan dan gerakan milenaris.[8] Studi ini terutama menyoroti gerakan-gerakan pemberontakan di daerah yang sejak dulu merupakan daerah yang paling rusuh di Pulau Jawa, yakni Banten.[9] Dibandingkan dengan pemberontakan-pemberontakan petani di negeri lain dan dalam periode-periode lain, pemberontakan tahun 1888 di Banten itu tidak merupakan suatu pemberontakan yang besar. Pemberontakan ini dipilih sebagai pokok studi, bukan pertama-tama mengingat konsekuensikonsekuensinya, melainkan sebagai suatu gejala yang khas dari perubahan sosial dan perkembangan yang menyertainya, yakni pergolakan sosial, yang begitu menonjol di Jawa abad XIX. Selain dari itu, akan dicoba menyelidiki masalah-masalah yang oleh para ahli sejarah dianggap kurang penting, untuk membuat sejarah Indonesia lebih komprehensif. Untuk maksud ini tidak boleh tidak kita harus memperluas lingkup permasalahannya, bukan topiknya-dan memperhalus metodologi yang relevan. Istilah "Pemberontakan petani" ("Peasant revolt") memerlukan sedikit penjelasan. Istilah itu tidak berarti bahwa peserta-pesertanya terdiri dari petani semata-mata. Sepanjang sejarah pemberontakan-pemberontakan petani, pemimpin-pemimpinnya jarang sekali petani biasa. Mereka berasal dari golongan-golongan penduduk pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka, dan mereka adalah pemuka-pemuka agama, anggota-anggota kaum ningrat atau orang-orang yang termasuk golongan penduduk desa yang terhormat, jadi orang-orang yang statusnya memudahkan penilaian mengenai tujuan suatu gerakan dan yang dapat berfungsi sebagai suatu fokus identifikasi simbolis. Hanya dalam arti yang terbatas saja pemberontakan yang terjadi dalam abad XIX di Indonesia dapat dikatakan sebagai pemberontakan petani yang murni. Peranan yang dimainkan oleh golongan-golongan lain dalam pemberontakanpemberontakan itu akan ditelaah kemudian. Pemimpin-pemimpinnya mempakan satu golongan elite, yang mengembangkan dan menyebarkan ramalan-ramalan dan visi sejarah yang sudah turun-temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau Mahdi. Dalam banyak hal, pemukapemuka agamalah yang telah memberikan bentuk yang populer kepada ramalan-ramalan itu dan menerjemahkannya ke dalam perbuatan dengan jalan menarik massa rakyat agar berontak. Anggota-anggota gerakan itu terdiri dari petani, akan tetapi pimpinan organisasinya berada di tangan kaum elite pedesaan. Seperti akan kita lihat nanti, guru agama atau pemimpin mistik memainkan peranan utama dalam hampir semua pemberontakan besar dalam arti relatif - yang tercatat. ORIENTASI-ORIENTASI HISTORIS YANG ADA Kepustakaan yang ada sekarang mengenai historiografi kolonial di Indonesia memberikan kesan bahwa belum ada pemberontakan petani yang telah dibahas secara khusus, dan bahwa pemberontakan-pemberontakan itu hanya disinggung sambil lalu saja.[10] Akan tetapi tidaklah benar kesimpulan bahwa kaum tani tidak memainkan peranan apa-apa dalam sejarah

Indonesia, bahwa mereka bersikap masa bodoh, selalu penurut dan pasrah kepada nasib. Huruhara dan pemberontakan-pemberontakan petani yang terjadi berulang-ulang dan merupakan wabah sosial dalam sejarah Jawa abad XIX, merupakan bukti tentang peranan histons yang telah dimainkan oleh kaum tani. Gambaran sejarah mengenai abad itu akan menjadi lebih jelas apabila tekanan tidak lagi diberikan hanya kepada sejarah politic dan ekonomi semata-mata, yang hanya mencatat perdebatan-perdebatan parlemen mengenai pembaruan-pembaruan kolonial dan tindakan-tindakan resmi pemerintah.[11] Kritik saya terhadap pendekatan konvensional dalam historiografi kolonial didasarkan atas fakta bahwa pendekatan itu mengenggap rakyat pada umumnya dan kaum tani pada khususnya hanya memainkan peranan yang sangat pasif saja: Pertama, historiografi kolonial mengenai abad XIX memberikan tekanan yang besar kepada susunan lembaga-lembaga pemerintah pada umumnya dan kepada soal pembuatan undang-undang dan pelaksanaannya, dan jarang melampaui tingkat struktur-struktur formal.[12] Kedua, sikap yang Belanda sentris memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh karenanya, menurut pandangan itu, rakyat Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif.[13] Dengan demikian, maka sejarah Indonesia abad XIX untuk sebagian besar hanya merupakan sejarah rezim kolonial Belanda. Padahal, meskipun sejarah kaum petani di Indonesia dalam historiografi kolonial mungkin kelihatannya begitu datar dan seragam, namun ia mengandung arus-arus yang mengalir terus sampai ke zaman modern. Selama abad-abad XIX dan XX nampak tanda-tanda yang jelas tentang adanya pergolakan petani dan revolusionisme agraris yang aktif. Hingga kini, sedikit sekali, kalaupun ada, yang telah ditulis mengenai kaum petani Indonesia dan pemberontakanpemberontakan mereka, sementara dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan mereka jarang saja dipelajari. Pemberontakan-pemberontakan itu, yang merupakan gerakan-gerakan sosial dalam arti yang luas, telah dilupakan oleh ahli-ahli sejarah ko...


Similar Free PDFs