Pendidikan Pancasila PDF

Title Pendidikan Pancasila
Author Isnawan DP
Pages 102
File Size 1.2 MB
File Type PDF
Total Downloads 473
Total Views 761

Summary

Indonesia adalah negara besar. Wilayahnya mencakup seluas ± 5,2 juta km2 terbentang dari Sabang hingga Merauke. 65% wilayah Indonesia terdiri atas perairan/lautan, sedangkan 35% berupa daratan yang terdiri atas 17.506 pulau besar maupun kecil. Negeri yang subur kang sarwo tinandur gemah ripah lohjin...


Description

Indonesia adalah negara besar. Wilayahnya mencakup seluas ± 5,2 juta km2 terbentang dari Sabang hingga Merauke. 65% wilayah Indonesia terdiri atas perairan/lautan, sedangkan 35% berupa daratan yang terdiri atas 17.506 pulau besar maupun kecil. Negeri yang subur kang sarwo tinandur gemah ripah lohjinawi tata titi tentrem karta raharja. Penggambaran tanah Indonesia yang subur seperti diungkapkan subur kang sarwo tinandur ‚dapat membuat tongkat kayu dan batu pun dapat menjadi tanaman‛. Negara yang dihuni oleh beraneka ragam penduduk, dengan perbedaan suku, etnis, bahasa, dan golongan. Oleh karena itu tepatlah kiranya semboyan Bhinneka Tunggal Ika dicanangkan sebagai persatuan bagi bangsa Indonesia yang memang multi etnis dan kultur ini. Pada kenyataannya, memang bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur; Indonesia tercatat sebagaiu negeri yang besar kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Nusantara dan beberapa bagian di Semenanjung Malaka. Kebesaran Indonesia ditandai dengan wilayah laut dan daratan yang sangat luas, dan masing-masing memberikan kekayaan alam yang melimpah-ruah. Dua bentuk wilayah itu pula yang menempatkan Indonesia sebagai ‚negara bahari‛ dan negara agraris‛ sekaligus.

Pancasila merupakan Ideologi Negara Republik Indonesia, secara resmi Pancasila ditetapkan sebagai Ideologi Negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh para pemimpin Indonesia pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 1945 yang pada akhirnya memperoleh kesepakatan. Kesepakatan ini merupakan konsensus nasional pertama bangsa Indonesia yakni menetapkan Pancasila sebagai dasar bagi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Konsensus nasional tersebut merupakan hasil puncak yang gemilang sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia pada waktu mendirikan Negara Indonesia. Teks Pancasila yang diakui oleh negara tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, kemudian diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 Ditempatkannya Pancasila dalam Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Negara Indonesia, maka Pancasila mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai pokok kaidah negara yang fundamental bagi negara. Dengan kedudukan dan fungsi yang demikian, maka Pancasila merupakan faktor utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Di samping faktor utama Pancasila di dalam sistem ketatenegaraan Indonesia terdapat faktor Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, membicarakan kehidupan ketatanegaraan Indonesia tidak dapat lepas harus juga membicarakan faktor Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain dalam teori maupun dalam praktek ketatanegaraan. Di satu pihak Pancasila sebagai sistem dasar dan merupakan landasan ideal, maka di lain pihak UUD 1945 adalah sub sistem dari Pancasila yang merupakan landasan struktural dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.

Pancasila merupakan faktor utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maka mekanisme penyelenggaraan nNegara Indonesia haruslah didasarkan dan diukur dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Dalam arti Pancasila menjadi dasar seluruh Peraturan Perundang-undangan yang mengarus segala segi kehidupan di dalam negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, merupakan pedoman yang tertinggi dan kaidah dasar Hukum Nasional. Sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa Pancasila mencakup kesatuan integral normanorma fundamental bangsa Indonesia, yakni suatu keyakinan dan pendirian hidup bangsa Indonesia dalam melangsungkan dan mempertahankan eksistensinya terhadap tantangan dunia dalam menghadapi era globalisasi, pasar bebas, dan beserta masalah-masalah lainnya. Sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan sendi dasar dan pedoman bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat. Sebagai falsafah bangsa, maka Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang tumbuh dari diri pribadi bangsa Indonesia sebagai kumpulan manusia yang menyatukan diri, dengan demikian Pancasila merupakan pencerminan realitas bangsa Indonesia. Sebagai sesuatu yang berkembang tentunya faktor-faktor ketatanegaraan mempunyai kemungkinan dapat berubah dan bergeser dari isi dan bentuk semula, akan tetapi sepanjang sejarah ketatanegaraan faktor Pancasila belum pernah berubah, faktor Pancasila bersifat tetap dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berbeda halnya dengan faktor konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, pernah mengalami beberapa kali perubahan atau pergeseran. Sejarah konstitusi kita sejak UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, kemudian diganti dengan konstitusi RIS pada akhir tahun 1949, dan delapan bulan kemudian diganti dengan UUDS 1950, kemudian kembali lagi ke UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan sekarang dengan bergulirnya reformasi pada akhir abad ke20, maka UUD 1945 telah diamandemenkan (4 tahap dari tahun 1999 hingga 2002) walaupun masih muncul lagi tuntutan untuk amandemen ulang, bahkan adapula yang menginginkan kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen. Eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia telah mengalami berbagai macam interpretasi dam manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi mempertahankan kekuasaan dengan berlindung di balik legitimasi ideologi Pancasila. Singkatnya Pancasila tidak diposisikan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara melainkan direduksi, dibatasi, dan dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa. Seiring berjalannya reformasi di Indonesia, maka monopoli Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa secara absolut sebagai satu-satunya azas tunggal di Indonesia harus diakhiri. Imbas yang dirasakan dunia pendidikan khususnya Perguruan Tinggi mempunyai tugas yang sangat berat, yaitu harus mengkaji dan memberikan pengetahuan kepada peserta didik terutama kalangan mahasiswa untuk benar-benar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan objektif tanpa muatan kepentingan politik tertentu. Muncul anggapan dari banyak kaum elit politik dan masyarakat yang beranggapan bahwa Pancasila merupakan label Orde Baru, sehingga mengembangkan serta mengkaji Pancasila dianggap identik dengan keinginan mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Pandangan yang miring dan sinis serta upaya melemahkan peranan ideologi Pancasila sebagai dasar falsafah negara yang fundamentalis, pasca era reformasi akan berakibat fatal bagi bangsa Indonesia, yaitu lemahnya kepercayaan rakyat terhadap ideologi negara dan kemudian dalam realita kehidupan akan menggoncangkan desintegrasi bangsa. Kondisi ini dapat kita lihat dengan terjadinya kekacauan di beberapa daerah di Indonesia.

Upaya untuk mempelajari, memahami, menghayati serta mengamalkan Pancasila dalam tatanan kehidupan bangsa yang remuk redam seiring bergulirnya reformasi merupakan tugas yang sangat berat bagi bangsa Indonesia. Interpretasi terhadap Pancasila mengalami berbagai macam perkembangan serta dinamika itu sebetulnya justru membuktikan bahwa sifat Pancasila yang terbuka, aktual, dinamis, serta reformatif yang senantiasa dikembangkan selaras dengan aspirasi masyarakat sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena itu perlu kiranya mengkaji Pancasila secara netral dan ilmiah sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa seperti yang diharapkan dan diteladankan oleh para pendiri negara kita. Proses terbentuknya bangsa Indonesia sebagai negara Republik Indonesia melalui proses sejarah yang panjang. Dimulai zaman Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Mataram Kuno, Majapahit, hingga masuknya bangsa lain yang menjajah sertai menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia berjuang untuk menemukan jati diri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Dalam hidup berbangsa dan bernegara dewasa ini terutama pasca bergulirnya reformasi, maka bangsa Indonesia harus memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat dan kokoh agar tidak terombang-ambing di tengah kancah masyarakat internasional. Pendeknya bangsa Indonesia harus mempunyai nasionalisme serta rasa kebangsan yang kuat. Hal ini akan dapat terlaksana bukan melalui suatu kekuasaan atau hegemoni ideologi melainkan suatu kesadaran berbangsa dan bernegara yang berakar pada sejarah bangsa. Bangsa Indonesia telah mengalami kejayaan pada masa Sriwijaya dan Majapahit yang dibangun atas dasar modal kekayaan alam (aspek material) dan semangat persatuan (aspek spiritual). Akan tetapi modal dasar ketiga, yakni: Sumber Daya Manusia (aspek intelektual) belum berhasil diwujudkan. Bahkan hingga bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan yang cukup panjang, masih tetap belum mempunyai sumber daya manusia yang cukup memadai. Kurangnya aspek intelektual tersebut mengakibatkan kurangnya kemampuamn untuk memberdayakan kekayaan alam secara tepat guna dan kemampuan untuk mempertahankan semangat persatuan dan kesatuan secara solid. Faktor inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia menjadi incaran bagi bangsa-bangsa maju, dan itulah juga yang menyebabkan bangsa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan kemudian Jepang dapat dengan mudah menguasai Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia bangkita kembali para pertengahan penaklukan penjajahan Belanda. Di sisi lain kehadiran bangsa penjajah di Indonesia memberikan angin segar perubahan, yakni orientasi perjuangan dan sikap hidup dari perjuangan dan sikap hidup yang bercorak kedaerahan dan golongan berubah menjadi sikap hidup dan perjuangan yang berorientasi pada persatuahn seluruh bangsa Indonesia. Tiap daerah merasa mempunyai nasib yang sama, dengan demikian kehadiran penjajah telah berjasa menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia. Dengan dideklarasikannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang dipelopori oleh kaum pemuda, bangsa Indonesia menyatakan ikrar berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, dan bertanah air satu tanah air Indonesia. Ikrar pemuda ini merupakan sumpah dan janji bangsa Indonesia untuk menegakkan kembali semangat nasionalisme, menghilangkan fanatisme kedaerahan maupun kelompok dan golongan. Pada dasarnya setiap bangsa di dunia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara senantiasa mempunyai suatu dasar filsafat, suatu pandangan hidup. Setiap bangsa mempunyai ciri khas serta pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa lain. Nilai-nilai kenegaraan dan

kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukanlah hanya merupakan hasil konseptual perseorangan saja, melainkan hasil karya besar bangsa Indonesia yang diangkat dari nilai-nilai kultural para pendiri negara seperti Soekarno, Muh. Yamin, Soepomo dan tokoh-tokoh pendiri negara lainnya. Oleh karena itu para generasi penerus bangsa terutama kalangan intelektual sudah seharusnya untuk mendalami Pancasila secara dinamis dalam arti mengembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. [ ]

Dengan jumlah pulau 17.506 dengan berbagai ukuran dan kepadatan penduduk, maka sudah sepatutnya Indonesia adalah negara kepulauan. Negara yang dihuni oleh aneka-ragam suku, bahasa, dan kebudayaan ini tentunya sangat rentan terhadap konflik sehingga memungkinkan munculnya desintegrasi bangsa. Oleh karena itu, tepatlah kiranya dahulu para tokoh nasionalis pendiri negara memilih Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan kebangsaan sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam kondisi teritorial tersebut, maka ditemukan dua tingkatan struktur dalam masyarakat Indonesia, yakni kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas adalah masyarakat kalangan petani, yang biasa hidup di daerah pedesaan lazim disebut dengan rakyat jelata. Sedangkan kelompok minoritas adalah para administrator, pegawai negeri, dan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan tinggi. Kelompok minoritas ini secara sosial-ekonomi lebih beruntung, kebanyakan mereka tinggal di daerah perkotaan dalam konteks sosial mereka dikenal sebagai ‚kaum priyayi‛. Di Indonesia terdapat dua kultur karakter tradisi yang sangat kuat, yakni: kultur Jawa dan Minangkabau. Kedua kultur dan tradisi tersebut diakui lebih kaya dan memiliki peran yang berlainan di daerah-daerah lain di Indonesia. Sartono Kartodirdjo membagi kelompok masyarakat Indonesia, khususnya pada masyarakat perkotaan dalam stratifikasi, sosial, golongan-golongan sosial, dan segementasi sosio-kultural (Sartono Kartodirdjo, 1993). Stratifikasi sosial meliputi feodalisme dan emansipasi. Golongangolongan sosial meliputi elite birokrasi, priyayi birokrasi, dan priyayi profesional. Sedangkan segmentasi sosio-kulutral terdiri atas elite agama, orang kecil, dan golongan Belanda (Indo). Feodalisme, merupakan kelompok elite birokrasi speerti bupati yang masih memegang teguh otoritarianisme dan tradisionalisme. Sistem pendidikan barat sebagai saluran mobilisasi sosial secara vertikal adalah unsur utama yang dapat diterima masyarakat umum. Bahasa Belanda menjadi lambang status, tidak hanya berkaitan dengan tingkat pendidikan tetapi juga dengan tingkat derajad sosial dalam masyarakat. Politik kolonial Belanda yang non-asimilatif pada satu sisi membuat elite birokrasi condong pada konservatisme dan pada pihak lain menghambat lajunya gerakan menuju emansipasi. Emansipasi, pada awal mulanya dipelopori oleh RA Kartini lewat tulisan-tulisan korespondensi dengan sahabat karibnya Nyonya Abendanon. Tulisan-tulisan ini kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul Habis Gelap Terbitlah terang (1911). Dalam tulisannya, ia mengungkapkan

bagaimana kehidupan keluarga bupati digariskan menurut tradisi, kedudukan orang tua terhadap anak-anaknya, ketaatan dan kepatuhan kepada adat, kaidah-kaidah tata susila, sopan-santun, dan aturan hubungan sosial baik di lingkungan keluarga maupun sosial masyarakat. Jika dipahami dan ditelaah secara lebih dalam sebenarnya tulisan-tulisan Kartini, justru mempertanyakan, mempersoalkan, dan menyangsikan segala sesuatu dari tradisi seperti yang dialaminya sendiri dalam lingkup keluarga priyayi feodal. Kesempatan bergaul dan bersosialisasi dengan anak-anak Belanda membuka cakrawala dan wacananya, sehingga membangkitkan kesadaran akan dunia luar terhadap nilai-nilai kehidupan lain yang dialaminya. Elite Birokrasi, kelompok ini mempunyai jalur kehidupan yang berpangkal pada birokrasi dengan hierarkhi yang ketat dan merpakan kepanjangan tangan pemerintah dari atas ke bawah. Posisi raja di pucuk pimpinan diganti oleh penguasa kolonial, selain itu terbentuk pula suatu hierarkhi pribumi. Sebagai keturunan aristokrasi kuno, kelompok ini menguasai jaringan sosial secara vertikal maupun horizontal. Hal ini diperkuat dengan perkawian antarkeluarga dan kecenderungan untuk menjadikan jabatan secara turun-temurun. Priyayi Birokrasi dan Priyayi Profesional, pada awal abad ke-20 terjadi mobilisasi kaum pribumi yang digerakkan oleh sekelompok orang yang memperoleh pendidikan tinggi. Oleh karena itu, kemudian muncul kelompok Priyayi Birokrasi dan Priyayi Profesional, priyayi birokrasi merupakan bentuk lain dari aristokrasi lama (kaum ningrat). Sedangkan priyayi profesional merupakan unsurunsur masyarakat baru yang lewat jalur pendidikan, sehingga mereka dapat menduduki tingkat status sosial lebih tinggi dari tingkat asalnya. Tata kehidupan priyayi birokrasi terpola pada tradisi lama yang kolot, sedangkan priyayi profesional yang memperoleh pendidikan khususnya dari sekolah Belanda menganggap pola kehidupan priyayi birokrasi ini menghambat kemajuan. Hubungan kedua kelompok priyayi tersebut terbatas pada hubungan kedinasan. Di luar kedinasan, interaksi mereka hanya praktis terjadi pada kesempatan formal seperti pada pesta-pesta keluarga. Apabila interaksi sosial priyayi birokrasi terbatas, sebaliknya di lingkup kota kecil, interaksi antargolongan priyayi profesional lebih intensif serta melampui batas bidang profesional. Untuk menggalang komunikasi yang lebih intensif, maka kemudian ada tempat-tempat yang dapat dipergunakan untuk berkumpul menyampaikan gagasan-gagasan dan melakukan musyawarah, tempat ini sering dikenal sebagai soos (societiet). Di tempat seperti inilah para golongan elite priyayi profesional melakukan penggalangan dalam rangka mencapai persatuan dan kesatuan bangsa. Elite Agama, golongan ini merupakan kelompok masyarakat yang sangat berpengaruh dan menentukan dalam sejarah Indonesia. Sejarah perlawanan menentang kolonial penjajah tidak pernah lepas dari peranan para elite agama (Islam), ulama dan kiai selalu tampil memegang kendali dan menjadi pemimpin nonformal yang didukung di atas keterikatan batin rakyat dan kharisma para ‘pemimpin psikologis’ ini. Secara jujur dan objektif harus diakui bahwa sebetulnya semangat nasionalisme ini pertama kali justru muncul dari kalangan Islam (santri), dari kalangan santri inilah semangat nasionalisme dan patriotisme telah muncul sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa di wilayah Nusantara. Ketika bangsa-bangsa Eropa datang ke bumi Nusantara, maka komunitas Islam adalah komunitas pertama kali terusik keberadaannya. Beberapa penulis membuktikan kebenaran fakta tersebut, Justus M. Van Kroef melukiskan, bahwa Pangeran Diponegoro sebagai the pregenitor of Indonesia Nationalisme (cikal bakal nasionalisme Indonesia). Perang Diponegoro (1825-1830), dinyatakan bahwa Pangeran

Diponegoro melawan kolonialisme Belanda di bawah panji Islam (H.J. Benda, 1980: 38). Nasionalisme Indonesia dimulai nasionalisme Muslim, dengan demikian bagaimana mungkin Islam tidak identik dengan nasionalitas. Fenomena perlawanan rakyat yang sebagian besar dipimpin oleh kaum ulama dan tokoh agama (Islam), memaksa pemerintah kolonial membuat aturan untuk menjauhkan dan memisahkan kaum ulama dengan rakyat. Ulama dan pemimpin ruhani ditempatkan pada posisi rendah dan jauh dari urusan politik. Usaha kolonialis ini gagal, sebab di sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, para pemimpin ruhani tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Mereka mempunyai ikatan batin yang sangat kuat. Para pemimpin ruhani dan ‘pemimpin spiritual’ tersebut tidak saja mempunyai tugas dan fungsi sebagai pengayom lahir-batin masyarakat, tetapi mereka juga menjadi panutan, digugu lan ditiru. Sabdo para pemimpin ruhan atau orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai alim-ulama, merupakan ‘hukum atau keputusan’ yang seringkali tidak perlu dipertimbangkan lagi. Terlebih lagi, di daerah tertentu ucapan alim-ualama merupakan undang-undang/hukum bagi sistem kehidupan masyarakat. Meskipun ulama atau kiai itu bukan pemimpin formal yang dipilih dengan pemilihan melalui suatu sistem musyawarah dalam forum resmi, akan tetapi kedudukan mereka dalam hati rakyat yang dipimpin jauh lebih tegus dan suci daripada pemimpin pergerakan yang berorganisasi atau pegawai pemerintah yang manapun. Oleh karena itu, penempatan para ulama dan tokoh agama sebagai bagian dari pemerintahan walaupun tidak resmi, merupajkan suatu keharusan. Kedekatan hubungan antara para ulama dan kiai dengan rakyat juga berfungsi sebagai mediator antara rakyat dengan pemerintah. Untuk itu, menjalin kerjasama pemerintah dengan para tokoh agama merupakan suatu hal yang sangat penting. Fungsi dan kedudukan pada ulama itu merupakan aset bangsa yang cukup potensial bagi sistem penyelenggaraan pemerintah. Hubungan kerjasama itu disamping merupakan upaya menempatkan para tokoh agama dan pemimpin ruhani pada tempat yang sepantasnya, juga dalam rangka menghindari kesalah-pahaman, kekacauan, dan keteganganketegangan dalam masyarakat, selanjutnya akan tercipta stabilitas politik dan keamanan dalam bernegara. Fakta sejarah membuktikan, bahwa hampir setiap kolonialisme selalu membaca visi-misi ke negeri yang dijajahnya, misi dan visi ini tidak pernah lepas dari motif yang mendasarinya, lazim dikenal dengan Gold, Glory, Gospel (emas, kejayaan, dan penyebaran agama). Setiap penjajah selalu berusaha mengeruk semaksimal mungkin kekayaan negeri jajahan, agar negeri yang dijajah tidak mudah bangkit maka diusahakan persatuan dan kesatuan bangsa jangan terwujud (devide et empera), selain itu tentu saja menyebarluaskan agama yang mereka anut lebih dikenal dengan proses Kristenisasi terhadap sebagian besar orang Indonesia (H.J. Benda, 1980: 39). Bagi komunitas Pondok Pesantren, ketiga motif penjajah tersebut khususnya Kristenisasi dianggap sebagai tantangan yang paling serius. Politik kristenisasi yang dilancarkan tentu saja...


Similar Free PDFs