PERAN HKBP DALAM POLITIK DI INDONESIA PDF

Title PERAN HKBP DALAM POLITIK DI INDONESIA
Author B. Pakpahan
Pages 12
File Size 744.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 672
Total Views 842

Summary

PERAN HKBP DALAM POLITIK DI INDONESIA Binsar Jonathan Pakpahan Pendahuluan Menjelang Pemilihan Gubernur Sumatra Utara 2018, HKBP kembali dihadapkan kepada pertanyaan yang sering muncul menjelang pemilihan, baik itu pilkada mau pun pilpres, yaitu sejauh apa gereja boleh berpolitik? Pertanyaan ini men...


Description

PERAN HKBP DALAM POLITIK DI INDONESIA Binsar Jonathan Pakpahan Pendahuluan Menjelang Pemilihan Gubernur Sumatra Utara 2018, HKBP kembali dihadapkan kepada pertanyaan yang sering muncul menjelang pemilihan, baik itu pilkada mau pun pilpres, yaitu sejauh apa gereja boleh berpolitik? Pertanyaan ini menjadi lebih krusial pada saat ini karena bangsa Indonesia sebenarnya berada pada krisis kebangsaan, ketika ideologi agama hendak dimasukkan sebagai landasan negara untuk mengganti Pancasila. Lantas, apa peran gereja, terutama HKBP, sebagai gereja terbesar di Indonesia dalam dunia politik Indonesia? Untuk mencoba menganalisis bagian ini, saya akan mengajukan pemikiran Philip Wogaman (2000) sebagai landasan teori pemeriksaan pemahaman HKBP akan perannya dalam negara berdasarkan Pengakuan Iman (Konfesi 1951 & 1996) dan Rencana Strategis Kerja HKBP 2016-2020 (2016). Kedua dokumen ini akan memberikan pemahaman kepada kita mengenai apa yang HKBP pahami secara teologis mengenai perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bagaimana melihat posisi tersebut dari model yang diajukan oleh Wogaman. Seperti tipologi relasi Kristus dan budaya versi Richard H. Niebuhr (1975), Philip Wogaman mengajukan lima pola hubungan antara gereja dan negara. Pertama, adalah pemahaman teokrasi, erastianisme, pemisahan dengan tidak ramah (baca: pemisahan mutlak), dan pemisahan dengan ramah (baca: pemisahan dengan kerja sama). Keempat pola relasi ini umumnya dikenal di dunia dengan kecenderungan masa kini lebih mengerucut kepada pola kerja sama antara negara dan lembaga agama (lht. Yewangoe 2009). Meski demikian, pola kerja sama juga memiliki tantangannya sendiri, misalnya ketakutan Abraham van de Beek, seorang teolog sistematika Belanda, yang mengingatkan bahwa pemerintah sering memiliki agendanya sendiri dan akhirnya memaksakan agama untuk masuk ke dalam kerangka kerja “untuk kesejahteraan bersama” (2006). Van de Beek mengatakan bahwa agama harusnya punya tujuan untuk memuliakan Tuhan dan bukan untuk menyejahterakan rakyat. Kesejahteraan rakyat adalah akibat dari kepatuhan orang kepada kehendak Allah, bukan sebagai tujuan dari agama. Ketakutan ini tentu bukan tidak beralasan, karena jika kita melihat beberapa pola hubungan antara agama Kristen dan

2

negara misalnya, di China, kita akan mendapatkan banyak pesan titipan negara supaya warga Kristen tunduk kepada kepentingan negara untuk rakyatnya (Xie 2006 bnd. Van Der Borght 2006). Namun, di sisi lain, kita juga melihat kemungkinan buruk gereja yang tidak mau ikut dalam kehidupan politik karena menganggap itu bukan urusannya. Pola apatis seperti ini tentu tidak baik karena gereja hidup dalam dunia dan diutus ke dalam dunia sehingga memang bagian dari polis di mana dia tinggal (lht. Yer. 29:7) Tulisan ini saya buat untuk seorang yang saya anggap sebagai guru dan teladan saya dalam menimba ilmu dan mengabdikannya kepada gereja dan bangsa, amang Pdt. Nelson F. Siregar. Saya tidak akan pernah lupa pengalaman saya berjumpa dengan beliau sebagai Praeses HKBP Distrik VII Samosir pada tahun 2001, ketika saya sedang praktik jemaat dari kampus STT Jakarta di HKBP Ressort Onan Runggu. Sebagai orang muda yang penuh semangat pembaruan, dan agak sedikit naif, saya merasa bahwa saya akan bisa berkontribusi banyak bagi gereja yang saya cintai. Lalu dalam sermon distrik yang dipimpin oleh beliau, saya menemukan banyak hal baru yang menyenangkan. Pertama, beliau memimpin sermon dengan sandal dan kaus berkerah. Kedua, beliau memaparkan teks Alkitab mengenai kekuatan Daud mengalahkan Goliat yang berasal dari IQ (kecerdasan menganalisis kelemahan musuh), EQ (pemain musik), dan SQ (kedekatannya dengan Allah). Buat saya, menemui seseorang yang berada di Samosir, yang mampu menerangkan penggunaan multiple intelligence quotiënt dengan sangat baik (Gardner 1993), membuka mata saya bahwa saya perlu lebih banyak belajar dari orang seperti beliau. Itulah perkenalan pertama saya yang membuat saya banyak berdiskusi dengannya di kemudian hari mengenai perkembangan HKBP.

Tipologi Peran Politik Gereja menurut Philip Wogaman Pola relasi seperti apakah yang baik dan secara teologis bertanggung jawab yang perlu dilakukan oleh gereja dalam hubungannya dengan kebijakan politis negara? Di sini, saya hendak kembali mengajukan tipologi yang diajukan Wogaman dalam memandang relasi ini. Menurutnya, gereja bisa aktif dalam politik melalui tujuh langkah atau level berikut. 1. Gereja mempengaruhi etos. Dalam konteks ini, gereja menjadi suara moral yang selalu mengingatkan negara akan kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Gereja tidak terlibat langsung, namun muncul sesekali ketika dibutuhkan.

3

2. Gereja memberikan pendidikan bagi warga gereja mengenai politik. Dalam level ini, gereja menjadi lembaga aktif yang mengajar rakyat mengenai politik, namun tidak memberi suara atau pengaruh kepada kelompok atau partai tertentu. Contoh konkret hal ini bisa kita lihat dalam berbagai surat pastoral yang dikeluarkan oleh gereja atau Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menjelang pemilu. 3. Gereja melakukan berbagai lobi. Lobi bukanlah suatu hal asing bagi gereja apalagi ketika ada peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan gereja. Contoh beberapa lobi yang dilakukan adalah ketika pemerintah Indonesia hendak membahas RUU Antipornografi atau RUU Pendidikan yang kemudian mendapatkan penolakan dari gereja. 4. Gereja mendukung kandidat tertentu. Sebuah gereja tentu memiliki hak untuk mendukung calon tertentu yang dianggap mewakili kepentingan mereka. Namun, level keempat ini adalah batas di mana gereja sekarang mulai turut dalam politik praktis. Politik praktis adalah sebuah situasi di mana seseorang/sebuah badan mulai melakukan aksi konkret dalam mewujudkan pilihan politiknya. Pengarahan warga atas sebuah pilihan tertentu juga terjadi di Pilpres 2014 dan Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2012 dan 2017, di mana ada persekutuan gereja/gereja yang mendukung calon tertentu melalui surat pastoral resmi. Kelemahan dari cara ini tentu adalah ketika warga gereja justru mendukung calon lain yang berlawanan dengan calon yang didukung gerejanya. Sementara itu, gereja-gereja evangelikal di Amerika Serikat tidak asing lagi dengan kampanye untuk mendukung calon presiden tertentu. 5. Gereja mendirikan partai politik. Di Pemilu 1999, beberapa gereja sepakat mendirikan Partai Demokrasi Kasih Bangsa dan Partai Katolik Demokrat adalah contoh keterlibatan langsung gereja membentuk partai politik di Indonesia. Hasilnya, kedua partai ini tidak mendapatkan cukup suara untuk tetap muncul di pemilu berikutnya. Partai Damai Sejahtera juga tidak mendapatkan cukup suara di Pemilu 2009. 6. Gereja melaksanakan pembangkangan sosial. Gereja bisa aktif berkampanye untuk menyuruh warganya untuk tidak membayar pajak atau tidak mematuhi aturan pemerintah yang dianggapnya berlawanan dengan pesan moral mereka. Contoh ini bisa kita lihat ketika Gereja Katolik di Filipina berhasil menjalankan pembangkangan terhadap pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos.

4

7. Gereja ikut serta dalam gerakan revolusi. Ini adalah tahap keterlibatan politik praktis gereja. Dalam langkah ini, gereja justru menjadi motor dari penggulingan atau revolusi terhadap pemerintahan yang dianggap otoriter dan melanggar berbagai norma moral. Ketika semua pilihan sudah habis, jalan ini adalah langkah terakhir yang bisa dilakukan oleh gereja untuk menyuarakan kebenaran. Dari berbagai pilihan di atas, pilihan nomor 4 adalah ambang batas keterlibatan politik praktis gereja. Jika pilihan 1-3 adalah soal ajaran internal gereja dalam bentuk suara dan advokasi untuk menyikapi situasi politik, pilihan 4-7 adalah aksi gereja secara langsung di luar gerejanya untuk memengaruhi jalannya proses politik sebuah negara. Tentu langkah di atas bukanlah tangga yang harus diikuti untuk sampai ke level berikutnya. Sebuah gereja bisa saja melompati level tertentu untuk sampai kepada praktik politik yang lebih aktif. Sebagai organisasi, gereja tentu dilihat sebagai sebuah vote-getter organization yang seksi, apalagi jika gereja menjadi institusi yang diikuti oleh kebanyakan masyarakat di sebuah lokasi tertentu. Praktik-praktik keagamaan yang bersifat searah seperti khotbah membuat warga tidak terlalu menggunakan filter kritisnya, karena dia memiliki sikap percaya terhadap pendeta dan materi khotbah yang akan disampaikan adalah soal Firman Tuhan. Sikap seperti ini bisa menjadi celah yang digunakan oleh mereka yang ingin berkampanye dan menyampaikan pesan politik praktis mengenai pemilihan calon atau kelompok tertentu dalam khotbah. Karena itu, salah satu kode etik yang harus dipegang dalam khotbah adalah prinsip untuk tidak berkampanye politik dalam penyampaian Firman Tuhan.

Pemahaman Teologis HKBP mengenai Pemerintah Bagaimana dengan peran gereja/sinode yang mengarahkan warganya untuk memilih calon tertentu dalam bentuk endorsement resmi gereja? Lalu apa sikap politik HKBP dalam dokumen resminya? Pengakuan Iman HKBP 1951, Pasal 8 poin A tentang Gereja menyatakan, A. Kita percaya dan menyaksikan : Gereja ialah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, yang dipanggil, dihimpun, dikuduskan dan ditetapkan Allah dengan Rohu'l Kudus (1Kor. 1:2; 1Ptr.2: 9; Ef. 1:2,22; 1Kor. 3).

5

Dalam penjelasan poin 3, dicantumkan, Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan: …3. Pemikiran bahwa Gereja harus menjadi Gereja Negara, sebab kewajiban dari Gereja dan kewajiban negara adalah berlainan.

Dari poin di atas kita bisa menyimpulkan bahwa HKBP memahami dirinya bukan sebagai gereja negara, namun tetap harus terlibat dalam kehidupan berbangsa seperti tercantum di poin C di bawah ini, C. Kita percaya serta menyaksikan : Gereja itu adalah "Am, ialah persekutuan semua orang kudus, yang telah percaya di dalam Yesus Kristus dan pemberian-Nya, ialah Injil, Rohu'l Kudus, Iman, Kasih dan Pengharapan. Ialah orang-orang dari tiap negeri, bangsa, suku dan bahasa, walaupun berlainan kebiasaan dan keturunannya (Why. 7:9). Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan ajaran yang menghendaki agama kebangsaan dan juga pendirian, bahwa satu-satu Gereja dapat hidup terpisah dari yang lain.

Di bagian ini, kita bisa merasakan kuatnya pengaruh Deklarasi Barmen yang berusaha mengingatkan bahwa gereja tidak boleh menjadi Der Volkskirche (gereja bangsa), yang mementingkan suara bersama dalam persekutuan orang-orang percaya (lht Barmen Declaration 1934 dalam Bradstock & Rowland 2002, 201-203). Tema penolakan ide Der Volkskirche ini kembali diulangi di Konfesi HKBP 1996 Pasal 7 C dengan kalimat yang kurang lebih serupa. Lebih lanjut, pemahaman HKBP mengenai relasi gereja dan pemerintah di atas diperkuat dalam pasal 12 tentang Pemerintah yang menyatakan, Kita menyaksikan : Pemerintah yang berkuasa adalah dari Allah datangnya. Ialah pemerintah yang melawan kejahatan, yang mempertahankan keadilan yang berusaha agar orang percaya dapat hidup sejahtera seperti tercantum pada Roma 13 dan 1 Timotius 2:2. Pada lain pihak kita harus ingat yang tercantum pada Kisah Rasul 5:29: “Wajiblah orang menurut Allah lebih daripada manusia.” Dengan ajaran ini kita menyaksikan: Gereja harus mendoakan Pemerintah agar berjalan di dalam keadilan. Sebaiknya Gereja pada saat-saat yang perlu harus memperdengarkan suaranya terhadap Pemerintah. Dengan ajaran ini kita menolak paham yang mengatakan: Negara adalah negara keagamaan, sebab Negara dan Gereja mempunyai bidang-bidang tersendiri (Mat. 22:21b).

6

Jika perlu di hadapan hakim untuk menyaksikan kebenaran, orang Kristen boleh bersumpah, demikian pula waktu menerima jabatan atau pangkat.

Dari pemahaman di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa HKBP melihat dirinya sebagai suara kritis terhadap pemerintahan. Dia tidak menentang pemerintah karena pemerintah berasal dari Allah, namun kepatuhan terhadap Allah tetap di atas kepatuhan terhadap pemerintah dunia. Karena sikap kritis ini, HKBP bukanlah gereja negara, namun juga bukan gereja yang tidak aktif dalam kehidupan berbangsa. Bahkan, gereja dilihat sebagai penyuara norma moral terhadap pemerintahan. Pengakuan Iman (Konfesi) HKBP 1951 berasal dari konteks yang tentu harus disesuaikan dengan keadaan masa kini. Konfesi HKBP 1951 dibuat ketika HKBP akan masuk ke dalam Lutheran World Federation, sebagai salah satu syarat yang diajukan pada saat itu (Lumbantobing 1963, 120). Pada 1996, HKBP kembali merumuskan Pengakuan Imannya. Namun ini juga jauh dari sempurna karena dirumuskan dalam masa konflik HKBP sehingga fungsi kritis yang disebutkan di Konfesi HKBP 1951 sepertinya agak diperhalus. Pada tahun 1992-1998, ada dua kubu HKBP yang berkonflik, satu pihak secara jelas mengandalkan kerjasama dengan pemerintah yang terbentuk di dalam Sinode Agung Istimewa di Hotel Tiara, Medan, (SAI Tiara) tahun 1993, sementara pihak lain menamakan dirinya pihak Setia Sampai Akhir (SSA) dan memilih untuk bersikap kritis terhadap pemerintah yang dianggapnya turut campur tangan dalam masalah internal gereja (Lht. Pakpahan 2012). Konfesi HKBP 1996 ditulis oleh kubu HKBP yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Pasal 13 tentang Pemerintah mencantumkan, Kita mempercayai dan menyaksikan: Pemerintah yang berwibawa datang dari Allah untuk mewujudkan keadilan, melindungi, memelihara, melawan kejahatan dan menyediakan yang perlu bagi warga negara dan kehidupan umat. Yesus Kristuslah dasar dari Gereja yang hidup di dunia ini, dan kita juga menyaksikan bahwa Allah lah yang memberikan keselamatan di dalam Yesus Kristus. Kita mengingat bahwa kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia (Roma 13:1; 1Kor. 3:11, Kis. 5:29; 1Ptr. 2:13 -17; Why. 13). Dengan ajaran ini: Kita menekankan, Allah lah yang memberikan kemerdekaan itu kepada bangsa Indonesia yang berazaskan Pancasila dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

7

Kita menekankan, Yesus Kristus, Panglima Gereja, sebagai jalan kita untuk meminta. Kita menekankan cita-cita dan tanggung jawab warga masyarakat dalam memperjuangkan keadilan, kasih, damai dan kesejahteraan melalui Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila. Kita menekankan bahwa kita turut serta menegakkan dan memelihara kebenaran, demikian juga turut menikmati hasil pembangunan nasional. Gereja terpanggil mendoakan pemerintah dan aparatnya (1Tim. 2:1- 2; Rm. 13:1-7).

Di bagian ini, ada beberapa bagian dari Konfesi 1951 yang tidak dicantumkan lagi, dan ada bagian eksplisit mengenai Pancasila yang kemudian ditambahkan. Bagi mereka yang mengetahui sejarah konflik HKBP 1992-1998, perbedaan eksplisit ini dipahami sebagai pemahaman kedua kelompok yang berbeda mengenai peran kritis gereja terhadap pemerintah. Untuk lebih jelas, saya akan mencantumkan kedua bagian ini dalam tabel di bawah dengan keterangan yang saya buat sendiri sebagai analisis saya akan pasal mengenai pemerintah. Konfesi HKBP 1951 Pemerintah yang berkuasa adalah dari Allah datangnya. Ialah pemerintah yang melawan kejahatan, yang mempertahankan keadilan yang berusaha agar orang percaya dapat hidup sejahtera seperti tercantum pada Roma 13 dan 1 Timotius 2:2.

Pada lain pihak kita harus ingat yang tercantum pada Kisah Para Rasul 5:29: “Wajiblah orang

Konfesi HKBP 1996

Catatan Analisis Pemerintah yang Konfesi HKBP 1996 memberikan berwibawa datang dari perbaikan redaksional dengan tata Allah untuk bahasa yang lebih baik, dan mewujudkan keadilan, menambahkan bagian “dan kehidupan melindungi, umat.” Penambahan kata kehidupan memelihara, melawan umat sebenarnya tidak perlu karena kejahatan dan menyediakan yang perlu setiap umat yang ada dalam suatu negara adalah warga negara. bagi warga negara dan Bagian ayat Alkitab di Konfesi 1951 kehidupan umat. dipindahkan ke bagian berikutnya dan disatukan dengan ayat lainnya. Yesus Kristuslah dasar dari Gereja yang hidup di dunia ini, dan kita juga menyaksikan bahwa Allah lah yang memberikan keselamatan di dalam Yesus Kristus.

Konfesi HKBP 1996 memberi penekanan kepada peran Kristus sebagai dasar hidup bergereja.

Kita mengingat bahwa kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia (Rm. 13:1; 1Kor. 3:11, Kis.

Pemberian teks Kisah Para Rasul 5:29 di bagian ini memiliki efek yang sedikit berbeda antara Konfesi HKBP 1951 dan Konfesi HKBP 1996. Di bagian terdahulu, ayat tersebut disebut secara eksplisit

8

menurut Allah lebih daripada manusia.”

Dengan ajaran ini kita menyaksikan: Gereja harus mendoakan Pemerintah agar berjalan di dalam keadilan. Sebaiknya Gereja pada saat-saat yang perlu harus memperdengarkan suaranya terhadap Pemerintah.

5:29; 1Ptr. 2:13 -17; Why. 13).

sebagai warning terhadap kemungkinan negara memaksa gereja tunduk kepadanya, seperti yang terjadi di Perang Dunia II yang baru beberapa tahun berakhir dari pembuatan Konfesi tersebut. Sementara, pencantuman beberapa ayat yang memiliki tema yang beragam di Konfesi HKBP 1996 lebih menunjukkan bahwa peringatan ini hanya bersifat general dan tidak terlalu penting diperhatikan secara khusus. Dengan ajaran ini: Kita Konfesi HKBP 1996 menambahkan menekankan, Allah lah bagian penting bahwa Allah memberi yang memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia kemerdekaan itu yang berazaskan Pancasila. Kita bisa kepada bangsa melihat dukungan eksplisit yang Indonesia yang diberikan oleh HKBP terhadap negara berazaskan Pancasila Indonesia dan Pancasila yang telah dalam hidup ditetapkan sebagai satu-satunya azas bermasyarakat, hidup bermasyarakat pada waktu itu berbangsa dan oleh Presiden Soeharto. bernegara. Sementara itu, bagian “Sebaiknya Gereja pada saat-saat yang perlu harus memperdengarkan suaranya terhadap Pemerintah” tidak lagi dicantumkan di sini. Peran gereja yang lebih suportifkritis di Konfesi HKBP 1951 menjadi lebih suportif di Konfesi HKBP 1996. Kita menekankan, Yesus Konfesi HKBP 1996 kembali secara Kristus, Panglima eksplisit menambahkan bagian Gereja, sebagai jalan dukungan terhadap pemerintah di kita untuk meminta. bagian ini. Saya sendiri tidak melihat Kita menekankan citakesinambungan antara kalimat pertama cita dan tanggung jawab dan kedua di paragraf ini, khususnya warga masyarakat dalam memperjuangkan mengenai Yesus sebagai jalan meminta (kalimat pertama) dengan cita-cita dan keadilan, kasih, damai tanggung jawab warga masyarakat). dan kesejahteraan melalui Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila. Kita menekankan bahwa Bagian ini kembali memperlihatkan kita turut serta dukungan eksplisit kepada menegakkan dan pemerintahan dalam tugas yang memelihara kebenaran,

9

demikian juga turut menikmati hasil pembangunan nasional. Gereja terpanggil mendoakan pemerintah dan aparatnya (1Tim. 2:1- 2; Rm. 13:1-7). Dengan ajaran ini kita menolak paham yang mengatakan: Negara adalah negara keagamaan, sebab Negara dan Gereja mempunyai bidangbidang tersendiri (Mat. 22:21b). Jika perlu di hadapan hakim untuk menyaksikan kebenaran, orang Kristen boleh bersumpah, demikian pula waktu menerima jabatan atau pangkat.

memang sesuai dengan panggilan gereja yaitu menegakkan dan memelihara kebenaran. Meski demikian, saya masih mempertanyakan mengapa bagian turut menikmati hasil pembangunan nasional dimasukkan sebagai tugas gereja. Bagian ini dihilangkan oleh Konfesi HKBP 1996, dengan dua teori alasan yang bisa saya ajukan. Pertama, karena bagian ini dianggap redundant setelah disebutkan di Pasal 7 tentang Gereja bagian C. Konfesi HKBP 1951 perlu kembali menekankan hal ini karena menolak penggunaan gereja sebagai instrumen negara. Kalimat ini sudah disebut di paragraf terakhir penjelasan Konfesi HKBP 1996 Pasal 2 tentang Firman Allah dengan sedikit modifikasi mengenai kata “bersumpah” menjadi “menyatakan janjinya.”

Setelah melihat perbandingan dari kedua Pengakuan Iman HKBP mengenai Pemerintah, kita bisa menyimpulkan bahwa ada perbedaan mendasar dari keduanya. Pengakuan Iman HKBP 1951 menempatkan gereja dalam posisi yang lebih kritis terhadap pemerintah dibandingkan Pengakuan Iman HKBP 1996. Dalam Renstra HKBP 2016-2020, poin Misi HKBP poin 2 dan 4 kembali mencerminkan tema gereja sebagai pendukung dan penyuara moral kepada pemerintah: 2. Mendidik jemaat supaya s...


Similar Free PDFs