PERKAWINAN CAMPUR : KATOLIK DAN ISLAM PDF

Title PERKAWINAN CAMPUR : KATOLIK DAN ISLAM
Author B. Prima
Pages 19
File Size 102 KB
File Type PDF
Total Downloads 8
Total Views 95

Summary

PENDIDIKAN AGAMA PERKAWINAN CAMPUR : KATOLIK DAN ISLAM Disusun oleh: Dhara Bella Trixy 130904869 Naillatul Khasanah 130904935 Dion Reynaldo 130904933 Benedicta Alvinta 130904987 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2014 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahir, tumbuh, ber...


Description

PENDIDIKAN AGAMA

PERKAWINAN CAMPUR : KATOLIK DAN ISLAM

Disusun oleh: Dhara Bella Trixy

130904869

Naillatul Khasanah

130904935

Dion Reynaldo

130904933

Benedicta Alvinta

130904987

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2014

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Lahir, tumbuh, berteman, pacaran, menikah, memiliki anak dan meninggal adalah siklus yang pasti dilalui oleh setiap manusia. Pada dasarnya, manusia tidak dapat hidup sendiri sebagai mahkluk sosial. Dalam siklus hidupnya, manusia membutuhkan bantuan dari orang lain. Mulai dari bayi hingga tua nanti, manusia memerlukan orang – orang terdekatnya untuk saling membantu. Pada tahapan lahir dan tumbuh, manusia memiliki orangtua yang akan selalu mendampingi. Seiring dengan berjalannya waktu, manusia dituntut untuk semakin mandiri dalam beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk beradaptasi dengan teman – teman baru. Saat beranjak dewasa, tidak dapat dipungkiri, sebagai mahkluk biologis manusia juga memiliki hasrat untuk berkembang biak, sama seperti hewan. Tradisi sejak awal telah mengakui adanya pernikahan yang terjadi antara pria dan wanita. Pernikahan merupakan ikatan yang memberi hak hidup dan moral suami istri untuk hidup bersama, hidup serumah, berhubungan seksual, menurunkan dan mendidik anak ( Susilawati & Suryanti, 2010:127) Pernikahan kemudian tidak secara sederhana menyatukan dua insan yang berbeda. Permasalahan yang sering dihadapi pasangan adalah perbedaan agama. Di Indonesia, agama menjadi hal yang fundamental dalam menjalin relasi. Walaupun Indonesia bukan negara agamis, namun agama menjadi nilai – nilai penting yang berperan dalam aktivitas setiap hari. Kasus pernikahan beda agama sering kita dengar melalui televisi, misal artis Lidia Kandauw - Jamal Mirdad dan Titi Kamal – Christian Sugiono. Kedua artis tersebut melangsungkan pernikahan di luar Indonesia, karena UU perkawinan di Indonesia tidak memperbolehkan pernikahan beda agama. Kecendurungan bahwa perilaku artis seringkali sebagai model, membawa pemikiran bahwa banyak pasangan yang berbeda agama di

Indonesia. Dilema ini sering dialami oleh mahasiswa/i. Tetapi pada dasarnya menikah adalah hak asasi setiap orang diluar agamanya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa agama juga memiliki aturan yang mengikat umatnya. Untuk memperjelas hal ini, maka kelompok kami akan membahas pernikahan beda agama, khususnya agama Islam dan Katolik.

B. Rumusan Masalah 1. Dampak apa yang ditimbulkan dari hukum Indonesia yang belum memadai bagi pernikahan beda agama? 2. Bagaimana pandangan hukum Gereja tentang pernikahan beda agama? 3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang pernikahan beda agama? 4. Bagaimana pandangan moral tentang pernikahan?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari hukum Indonesia yang belum memadai pernikahan beda agama 2. Untuk mengetahui pandangan hukum Gereja tentang pernikahan beda Agama 3. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang pernikahan beda agama 4. Untuk mengetahui pandangan moral tentang pernikahan

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pandangan Moral tentang Pernikahan Pernikahan merupakan salah satu bentuk lembaga sosial. Sejak dahulu pernikahan diakui sebagai tradisi untuk menyatukan perempuan dan laki – laki dalam ikatan yang bertujuan untuk melestarikan keturunan. Semua negara mengakui, mengatur dan melindungi perkawinan warganya. Negara juga menentukan sifat atau cirri – cirri perkawinan yang diharapkan seperti monogamy dan tak terceraikan. Namun demikian ketentuan negara tentang hukum perkawinan tidak menjadi pedoman moral,tetapi sebagai pengaturan dan ketertiban hidup bersama. Maka setiap warga negara perlu memperhatikan norma – norma yang lainnya. Dalam pernikahan, agama juga menjadi

pedoman moral.

Kebanyakan agama menganggap perkawinan adalah hal yang suci karena itu merupakan kehendak Allah sendiri. Maka dari itu, pernikahan melalui tahap peneguhan melalui ibadat. Agama juga mengakui pernikahan bersifat monogamy dan tak terceraikan, namun ada beberapa agama yang memperbolehkan poligami dan bisa bercerai dengan beberapa alasan. Hidup perkawinan memiliki beberapa tuntutan moral, yaitu kemampuan untuk berhubungan seksual, kemampuan untuk setia, kemampuan untuk menurunkan dan mendidik anak – anak. Dalam hal ini pemilihan partner sebaiknya direfleksikan dengan pertimbangan – pertimbangan moral. Menurut

pandangan

moral.

Perkawinan

dianggap

sebagai

persekutuan hidup dan cinta yang diadakan oleh sang pencipta dan dikukuhkan dengan hukum – hukumnya. Ini menunjukkan bahwa perkawinan menyatukan seluruh hidup pribadi; jiwa dan raga, mental dan spiritual suami – istri seumur hidup. Persekutuan ini akan lebih

mudah dan lancar dicapai kalau suami – istri memeluk agama yang sama. Tetapi bukan berarti perkawinan beda agama dapat dikatakan buruk secara moral, sebab dasar pernikahan adalah cinta bukan agama. Nilai – nilai dasar yang dapat mejamin cinta sejati dan kehidupan perkawinan yang manusiawi adalah : o Monogami : perkawinan antara satu suami dan satu istri. Perkawinan ini bersifat utuh, total dan tak terbagi. Suami – istri memiliki ruang dan kemampuan untuk memberikan diri mereka secara total dan sempurna sebagai suami – istri dan sebagai ayah dan ibu bagi anak – anak mereka. o Tak terceraikan : perceraian menunjukkan bahwa suami – istri gagal mengembangkan cinta sejati. Secara moral perceraian dinilai buruk dan layak untuk ditolah oleh mereka yang menjunjung tinggi kesucian perkawinan dan kesetiaan. o Subur : perkawinan harus bersifat subur, artinya prokreatif, yakni memunculkan suatu kehidupan baru. Suami – istri tidak boleh menolak kehadiran anak, karena itu adalah buah cinta mereka. o Heteroseksual : hubungan seks harus terjadi antara laki – laki dan perempuan. Perkawinan sejenis secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka bernilai buruk. B. UU Perkawinan Aturan tentang perkawinan di Indonesia telah diatur dalam UU no. 1 tahun 1974. Berikut beberapa pasal yang memuat aturan mengenai pernikahan beda agama: Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 (1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

C. Pandangan Agama Islam Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Menikah adalah sunnahku.Siapa yang tidak mengamalkan sunnahku,ia bukan termasuk umatKu.Menikahlah sebab Aku akan senang dengan jumlah besar kalian dihadapan umat umat yang lain.Siapa yang telah memiliki

kesanggupan,maka

menikahlah,Jika tidak maka

berpuasalah karena puasa adalah benteng.” (H.R.Ibn Majah) Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Wahai para pemuda,jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah ,maka hendaklah dia menikah karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan

mata

dan

lebih dapat

memelihara

kelamin (kehormatan) dan barang siapa tidak mampu menikah hendaklah ia berpuasa,karena puasa itu menjadi penjaga baginya.”(H.R Bukhari Muslim) Pengertian Non-Muslim di dalam Islam Sebelum kita membahas tentang pernikahan BedaAgama,sebaiknya kita perlu mengetahui tentang perngertian non-muslim didalam agama Islam.Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Golongan Orang Musyrik Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali S Shobuni,orang musrik ialah orang-orang yang telah berani menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-NYA (penyembahan patung ,berhala dsb) b. Golongan Ahli Kitab Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni,Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu agama Nabi Musa As,atau mereka yang berpegang teguh pada Kitab Injil agama Nabi Isa As ,atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani. Pembagian perkawinan Beda Agama dalam Hukum Islam Secara umum pernikahan lintas agama atau beda agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : a. Perkawinan antar pria Muslim dengan wanita Non-Muslim •

pernikahan antara pria muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab

itu,menurut

pendapat

Ulama

diperbolehkan.Hal

ini

didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat AlMaidah ayat 5 yang artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan

dihalalkan

mengawini)

wanita-wanita

yang

menjaga

kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.



Lelaki Muslim dengan perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak

ulama

yang

Baqarah(2):222,“Dan

melarang, janganlah

dengan kamu

Al

dasar

nikahi

wanita-

wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

b. Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah Pernikahan

antara

wanita

muslimah

dengan

pria

nonmuslim,menurut kalangan Ulama’tetap diharamkan ,baik menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musrik.Hal ini dikhawatirkan muslim tidak

wanita

yang

dapat menahan

kepadanya.Seperti

halnya

telah

menikah

godaan yang wanita

tersebut

dengan pria akan tidak

nondatang dapat

menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangan dengan syariat Islam,atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan.Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah Al-Quran Surat Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya

wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman,sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Jadi, wanita musliman dilarang atau diharamkan menikah dengan non muslim, apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran di atas. Bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan dianggap berzina. D. Pandangan Agama Katolik -

Hakekat Perkawinan Hakekat perkawinan menurut kanon 1055 adalah perkawinan sebagai

sebuah perjanjian antara seorang laki – laki dan perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup. Dalam perjanjian perkawinan terdapat unsur kontrak, yakni forma, objek, dan akibat. Forma merupakan kesepakatan pribadi antara seorang laki – laki dan seorang perempuan. Objek merujuk pada kebersamaan hidup dan Akibat merujuk pada hak atas kebersamaan seluruh hidup, termasuk hubungan suami istri. -

Pengertian Perkawinan Perkawinan dalam agama Katolik dimengerti sebagai persekutuan

hidup – antara seorang pria dan seorang wanita – yang terjadi karena persetujuan pribadi, yang tidak dapat ditarik kembali dan harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami isteri dan kepada pembangunan keluarga. Oleh karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian. (imanKatolik.or.id) -

Macam Perkawinan

Kitab Hukum Kanonik secara jelas dan tegas membedakan dua kategori perkawinan, yakni perkawinan campur dan perkawinan beda agama. Perkawinan campur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh orang baptis Katolik dengan orang non-baptis Katolik (Kristen). (Rubiyatmoko,

2011:

131)

Perkawinan

ini

mempunyai

sifat

sakramental sejauh dilaksanakan secara sah antara dua orang yang sama – sama dibaptis secara sah (bdk. Kanon 1055 – 1056). Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah perkawinan yang terjadi antara seorang baptis Katolik dengan seorang yang tak dibaptis (Rubiyatmoko, 2011: 131). Perkawinan ini tidak sakramental.

-

Hukum kanon Kanon 1055 nomer satu menjelaskan ada tiga tujuan utama untuk

perkawinan, yakni kesejahteraan suami – istri, prokreasi dan pendidikan anak. Selain itu, Kanon 1055 menjelaskan pula bahwa perkawinan diantara orang – orang yang dibaptis adalah sakramen. Ide tentang sakramentalitas ini didasarkan pada Ef 5:22 – 23. (Rubiyatmoko, 2011:20) Sedangkan Kanon 1056 menjelaskan ciri – ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. Kanon 1058 menjelaskan semua orang dapat melangsungkan perkawinan, sejauh tidak dilarang hukum. Kanon ini menegaskan hak untuk

menikah,

sebagai

hak

asasi

dan

fundamental

manusia.

(Rubiyatmoko, 2011:27) Namun, hak asasi ini perlu diatur dalam hukum. Beberapa alasan berat dan masuk akal, memungkinkan untuk menghalangi terjadinya perkawinan. Kanon lain yang secara tegas mengatur perkawinan campur dan perkawinan beda agama:

1124

Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima didalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.

1125

Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut 1. pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik; 2. mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak Katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik; 3. kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

1126

Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata-lahir, dan cara pihak tidak Katolik diberitahu.

1127 § 1 Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan Kanon 1108;tetapi jikalau pihak Katolik melangsungkan perkawinan dengan pihak bukan Katolik dari ritus timur, tata peneguhan kanonik perayaan itu hanya diwajibkan demi licitnya saja; sedangkan demi sahnya dituntut campur tangan pelayan suci, dengan mengindahkan ketentuan- ketentuan lain yang menurut hukum harus ditaati.

§ 2 Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak Katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama. § 3 Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh Katolik dan pelayan tidak Katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri. 1128

Para Ordinaris wilayah serta gembala jiwa-jiwa lain hendaknya mengusahakan agar pasangan yang Katolik dan anak-anak yang lahir dari perkawinan campur tidak kekurangan bantuan rohani untuk memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, serta hendaknya mereka menolong pasangan untuk memupuk kesatuan hidup perkawinan dan keluarga.

1129

Ketentuan-ketentuan Kanon 1127 dan Kanon 1128 harus juga diterapkan pada perkawinan-perkawinan yang terkena halangan beda agama, yang disebut dalam Kanon 1086 § 1.

III.

PEMBAHASAN

A. Pandangan Moral tentang Pernikahan Secara moral, pernikahan dianggap sebagai suatu hal yang suci yang diatur dan dilindungi oleh negara. Namun, agama juga menjadi pegangan utama dalam melakukan pernikahan, karena aturan yang dibuat negara hanya untuk ketertiban bersama. Pernikahan dipandang sebagai suatu kesatuan hidup dan cinta sepasang suami – istri yang berlandaskan cinta, bukan agama.

Dalam hal ini, secara moral

pernikahan beda agama diperbolehkan asal saja memenuhi nilai – nilai monogami, heteroseksual, tak terceraikan, dan subur. B. UU No. 1 Tahun 1974 Isi dari UU No. 1 Tahun 1974 mengenai pernikahan, pasal 2 ayat 1 adalah Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Pasal tersebut kemudian ditafsirkan bahwa Negara hanya mengakui pernikahan yang seagama saja. Saat ini beberapa mahasiswa UI meminta agar Undang – Undang ini agar segera di revisi. Menurut mereka, ada yang belum jelas dalam pasal tersebut. Pasal 2 ayat (1) menyatakan 'Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut

hukum

masing-masing

agamanya

dan

kepercayaannya itu'. Namun, kenyataannya saat mempelai berbeda agama ingin mendaftarkan ke dinas catatan sipil ada yang ditolak, dengan alasan beda agama dan ada juga yang diterima."Padahal bunyi pasalnya kan perkawinan a...


Similar Free PDFs