Perkembangan Islam di Korea Selatan: Sejarah dan Tantangan Mutakhir PDF

Title Perkembangan Islam di Korea Selatan: Sejarah dan Tantangan Mutakhir
Author M. Irsyadi
Pages 7
File Size 140.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 375
Total Views 461

Summary

Islam di Korea Selatan : Sejarah dan Tantangan Mutakhir Apa yang terlintas pertama kali ketika berbicara Korea Selatan hari ? pop culture-nya (k-pop, drama, film) ? teknologi dan otomotif (Samsung, Hyundai, KIA ?, atau makanan dan pariwisatanya yang kini mulai terus digemari ? Ya, yang disebutkan ta...


Description

Islam di Korea Selatan : Sejarah dan Tantangan Mutakhir Apa yang terlintas pertama kali ketika berbicara Korea Selatan hari ? pop culture-nya (k-pop, drama, film) ? teknologi dan otomotif (Samsung, Hyundai, KIA ?, atau makanan dan pariwisatanya yang kini mulai terus digemari ? Ya, yang disebutkan tadi memang tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan mengenai Korea Selatan. Kini, membicarakan Korea berarti termasuk membicarakan budaya populernya yang bisa dikatakan kuat mewarnai perkembangan budaya populer. Lewat kampanye Hallyu (Korean Wave), Korea Selatan bisa dikatakan melangkah habis-habisan untuk menjadikan budaya populernya menjadi salah satu tren baru tidak hanya budaya Asia, tapi juga pop-culture yang disukai dunia. Namun, kali ini kami bukan ingin membicarakan soal itu semua. Kali ini penulis ingin membicarakan tentang Islam dan Korea Selatan. Memang seperti tidak ada irisan sama sekali antara kepesatan budaya populer Korea Selatan dengan soal perkembangan Islam di sana Jika membicarakan Islam dan Korea Selatan, siapa kira-kira yang pertama kali terlintas di kepala para pembaca, khususnya pembaca di Indonesia ? Kalau saya, jujur saja, Ayana Moon, perempuan Korea Selatan yang memeluk Islam dan kini dikenal luas sebagai selebgram dan model muslimah yang mengembangkan karirnya di Indonesia dan Malaysia. Sejatinya, Ayana Moon hanyalah satu dari kurang lebih 35.000 muslim Korea (korean muslim, sebutan untuk orang Korea Selatan yang memeluk Islam) baru yang saat ini terus berdinamika dalam menjalankan ajaran agamanya di negara yang kini dikenal – dan mungkin « dipujapuja » oleh banyak orang di seluruh dunia – dengan industri hiburannya yang sangat jaya, terbentang dari film hingga musik. Interaksi Semenanjung Korea dengan Orang Muslim Era Pra-Modern Para akademisi dan sejarawan, baik dari Korea Selatan maupun pengamat dari luar, punya pandangan yang beragam sejak kapan sebenarnya persinggungan semenanjung Korea dengan agama Islam tersebut. Jeeyun Kwon dalam artikelnya The Rise of Korean Islam : Migration and Da’wai mengutip pendapat Lee Hee-soo dalam bukunya The History of Korean-Islamic Cultural Exchange bahwa persinggungan semenanjung Korea dengan Islam dimulai saat pelaut-pelaut dari Arab dan Persia mulai berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Korea di awal abad ke-9 M. Di awal abad ke-11, mereka sudah sampai membangun sebuah masjid di kota Kaesong, ibukota dari Dinasti Goryeo/Koryo yang saat ini masuk ke dalam wilayah Korea Utara. Keberadaan muslim di sana berkembang seiring dengan penaklukan Dinasti Mongol terhadap semenanjung Korea di tahun 1270. Fakta tersebut memang didukung dengan catatan sejarah bahwa banyak orang-orang Islam yang sudah tinggal dan bertempat di wilayah pelabuhan-pelabuhan di timur semenanjung China seperti Ghuangzhou, sebagai bagian dari aktivitas keberadaan jalur sutra pada waktu itu. Lebih detail, Lee Hee-soo dalam tulisannya, Early Korea-Arabic Maritime Relations Based on Muslim Sources, para pakar geografi Arab, seperti yang paling pertama misalnya adalah Ibn Karabidh, sudah menyebut Korea dengan sebutan Silla/Shilla, nama yang digunakan untuk menyebut sebuah semenanjung di bagian paling timur dari Cina. Disebut-sebut, nama itu memiliki nama daerah yang indah dan tempat dimana banyak penyakit yang tidak bisa disembuhkan bisa diobati disana. Dalam sejarah Korea, disebutkan Silla adalah kerajaan di sebagian besar wilayah timur semenanjung Korea dan juga satu dari tiga kerajaan terakhir yang berada di Semenanjung Korea, bersama dengan Goguryeo di sebelah utara dan Baekje di sebelah barat daya. Kemudian terjadi kekacauan di Baekjae dan Silla hingga kemudian dua kerajaan ini dikuasai oleh Kerajaan Goguryeo dan berubah nama menjadi Goryeo/Koryo.

Interaksi dengan orang-orang di semananjung Korea dan orang-orang Islam, sudah sampai terdengar di kalangan intelektual Islam di masa itu semisal para sejarawan. Ibn Khurdaddhbih, seperti dikutip oleh Lee Hee-soo dalam artikelnya 1500 years betweean Korea and Middle East (1500 Tahun Hubungan Korea dengan Timur Tengah), adalah orang pertama yang membicarakan orang-orang Islam yang tinggal di China. Ibn Khurdaddhbih menyebut kalau orang-orang Silla adalah keturunan Nabi Nuh, “…Silla berada di bagian ujung China dan bangsanya adalah ras kulit putih. Orang-orang Silla adalah keturunan anak Nabi Nuh, Japhet, dan anak Japhet, Amur. Silla adalah negeri yang kaya emas. Orang-orang Islam yang tinggal di sana, merasa terpikat dengan lingkungannya yang menyenangkan, cenderung untuk tinggal di sana terus dan tidak ingin kembali lagi.”ii Selain ibn Khurddadhbih, Hee-soo meneliti sekian literatur dari orang-orang Muslim baik dari para sejarawan atau ahli geografi yang membicarakan wilayah Silla tersebut sejak awal abad ke-9 hingga abad ke-16. Nama-nama sejarawan dan pakar geografi yang disebut diantaranya adalah Ibn al-Bakuwi, al-Mas’udi, al-Idrisi, Ibn Said, al-Maqrizi, hingga Ibn Khaldun. Dalam amatan See-hoo, makin kontemporer, ahli geografi dari kalangan muslim makin akurat menentukan posisi Silla tersebut.iii Masih menurut Hee-soo, sebagian orang-orang Bani Alawi (keturunan Ali bin Abi Thalib) yang dipersekusi di masa Dinasti Umayyah, ada yang sampai melarikan diri hingga ke wilayahwilayah di pantai timur China. Hee-soo mengutip sumber dari penulis bernama Nuruddin Muhammad al-‘Awfi, yang menyebutkan bahwa sudah ada komunitas dengan jumlah pengikut dalam jumlah besar yang berada di Pulau Hainan, pulau yang kini menjadi pulau paling selatan di wilayah Tiongkok. Dari kutipan ini, melihat posisi pulau Hainan berada di sepanjang pantai timur China, Hee-soo memandang besar kemungkinan mereka pun berkemungkinan sudah berinteraksi dengan wilayah Semenanjung Korea. Walhasil, keberadaan Islam di semenanjung Korea sebenarnya cukup jelas sejak awal-awal abad ke-7 sebagai bagian dari aktivitas perdagangan pantai timur Tiongkok dan pantai barat semenanjung Korea. Menurut rujukan yang disebut Koryosa, sebuah kronik resmi sejarah kerajaan Goryeo, orangorang Taishi (istilah lama dalam bahasa China untuk orang Arab), di tahun 1024 sudah datang ke Korea untuk memperkenalkan produk-produk mereka kepada Raja saat itu. Kehadiran orang-orang Taishi di semenanjung Korea tersebut merupakan bagian dari gelombang kehadiran para pedagang yang tidak hanya berasal dari wilayah-wilayah di dataran China, tapi bahkan dunia Islam. Bisa dibiang, keberadaan orang Taishi tersebut adalah bagian dari gelombang kedatangan orang-orang Asia Tengah ke Asia bagian Timur. Penyebabnya adalah menguatnya Dinasti Mongol di semenanjung China, yang menyebabkan jalur perdagangan Asia (sering disebut: jalur sutera) menguat. Di samping stabilitas yang dibangun Mongol, kebijakan tersebut membuka jalan kedatangan berbagai bangsa lain ke sisi timur Asia, termasuk semenanjung Korea. Di antara mereka, ada yang merupakan orang-orang Uighur, yang umumnya selain sebagai pedagang, pengembara/imigran biasa, atau yang menjadi pegawai dinasti Mongol. Hee-soo menyebut, salah satu orang Uighur yang pegawai dinasti Mongol itu yang diutus melayani kerajaan Goryeo, menikah dengan seorang putri raja Goryeo dan menjadi sumber dari klan Deoksu Jang. Orang tersebut disebut bernama Jang Sun Ryong, dan sang putri adalah anak dari raja bernama Chungyeol. Kehadiran orang-orang yang beragama Islam di masa Dinasti Goryeo tersebut diterima karena disebut-sebut membawa peradabandan teknologi, dimana Dinasti Yuan disebut sangat mendapatkan keuntungan dari peradaban itu. Produk peradaban itu berupa teknologi astronomi, almanak, pengobatan, dan persenjataan. Selain peradaban, beberapa orang muslim

baik yang sudah menjadi orang China maupun orang Arab, bahkan dipersilahkan untuk menunjukkan aktivitas keagamaannya, mulai dari membangun masjid, membaca Al-Quran di acara-acara resmi kerajaan, sampai mendoakan raja yang berkuasa agar selalu panjang umur. Namun, seiring dengan terintegrasinya orang-orang beragama Islam sebagai bagian dari masyarakat Korea, muncul sebuah keputusan dari Dinasti Joseon untuk melakukan penyeragaman identitas dan larangan menunjukkan identitas lain selain identitas Kecinaan pada waktu itu.iv Kondisi tersebut terus berjalan hingga membuat semenanjung Korea menjadi pemerintahan yang tertutup, dan relasinya dengan komunitas-komunitas muslim berakhir sama sekali. Relasi Islam dan Korea Awal Abad ke-20 : Efek Perang Korea Semenanjung Korea di awal abad ke-20 disibukkan dengan tarik ulur pengaruh antara Tiongkok dan China. Lama di bawah bayang-bayang Kekaisaran China, di awal abad ke-20 Dinasti Qing di China kalah dalam perang melawan Kekaisaran Jepang, dan kondisi itu dimanfaatkan oleh Jepang menyatakan Korea sebagai wilayah Protektorat di tahun 1910. Kondisi kembali berubah ketika Jepang mulai kalah oleh sekutu (Amerika, Inggris, bahkan Rusia) di tahun 1945. Jepang pun menarik diri dari Korea. Di sini masalah kembali naik ke permukaan. Siapa yang berhak memimpin wilayah Korea saat itu ? Di masyarakat Korea, khususnya di kalangan para aktivis kemerdekaannya, ada yang memiliki kecenderungan kepada komunisme, dan yang lain kepada modernisasi ala Barat (istilah untuk menyebutkan negara-negara yang menentang komunisme Soviet. Walhasil, pasca Jepang menarik diri, masing-masing kelompok berada di bawah pengaruh dua kekuatan besar dunia pada waktu itu. Amerika yang sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di Asia, salah satunya menyokong Syngman Rhee, aktivis Korea yang sempat mendirikan pemerintahan sementara di Beijing saat Korea dianeksasi Jepang, didukung menjadi Presiden dengan mendirikan Korea Selatan. Sementara di utara, kelompok yang disebut tentara Merah Korea juga didukung untuk mendirikan negara dengan asas komunisme oleh Tiongkok dan Uni Soviet. Berdirilah Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Jong-Il. Masing-masing berdiri di tahun 1948. Dalam persaingan kekuatan itu, pecahlah Perang Korea di awal tahun 1949. Korea Selatan sempat ditinggalkan Amerika Serikat, dan menyebabkan Korea Selatan diserang oleh Korea Utara tanpa kekuatan yang cukup karena Utara masih didukung penuh secara persenjataan oleh China dan Soviet. Sejumlah kecil pasukan Amerika sempat bertahan membantu Korea Selatan. Belakangan AS dengan didukung oleh PBB, memandang perlu untuk mengakhiri penyerangan Korea Utara itu dengan argumen perdamaian dan mengkikis pengaruh fasisme. Saat itulah datang sejumlah pasukan PBB – dengan pendukung utama, Amerika Serikat – untuk membantu mengakhiri serang Korea Utara. Salah satu pasukan PBB ini ada yang merupakan orang-orang Turki. Selain menjadi tentara PBB, sebagian orang-orang Turki ini melakukan kegiatan sosial dengan mendirikan sekolah kepada anak-anak Korea yang menjadi korban peperangan. Salah satu yang dilakukan juga adalah mendakwahkan agama Islam. Penerangan Islam oleh orang-orang Turki ini, bisa dikatakan menjadi persinggungan kembali semenanjung Korea dengan Islam setelah vakum sejak kebijakan pelarangan identitas non-China oleh Dinasti Joseon. Korea dan Krisis Minyak: Relasi Korea dengan Negara-Negara Timur Tengah Setelah perang Korea berakhir, jejak keberadaan Islam di Korea Selatan bisa dikatakan tidak berkembang terlalu signifikan. Sebagian orang-orang Korea Selatan memang ada yang memutuskan untuk berpindah agama menjadi agama Islam ketika mereka mengenal Islam dari Tentara PBB asal Turki. Di tahun 1955, dua orang Korea Selatan yang memeluk Islam meminta

bantuan seorang imam Turki yang ditempatkan di Beijing untuk membantu mereka membuat komunitas muslim. Saat terbentuk, komunitas muslim tersebut berjumlah 200 orang. Komunitas ini yang nantinya berkembang menjadi salah satu organisasi yang diakui menaungi orang-orang Islam di Korea Selatan, bernama KMF (Korean Muslim Federation). KMF bahkan diakui legalitasnya sebagai badan hukum oleh Kementerian Kebudayaan dan Penerangan Korea Persinggungan orang-orang Korea dengan Islam kembali terjadi ketika Korea Selatan banyak berhubungan dengan negara-negara Timur Tengah di saat mereka memiliki kebutuhan yang tinggi akan minyak di tengah upaya Korea Selatan membangun negaranya pasca porak poranda oleh perang saudara. Di saat itu, Korea Selatan menjadi salah satu negara yang banyak mengirimkan pekerjanya untuk bekerja di perusahaan-perusahaan di negara-negara Teluk. Dari hubungan ini, di tahun 1976, dibangunlah masjid pertama di korea selatan. Terletak di wilayah Itaewon (wilayah yang sampai saat ini menjadi simbol multikulturalisme Korea Selatan), masjid ini didirikan di atas tanah yang diberikan Presiden Korea Selatan saat itu, Park Chungheev dan didukung secara pendanaan oleh negara-negara Arab dan mayoritas muslim, salah satunya, Malaysia. Berdirinya masjid ini kemudian menjadi salah satu simbol persahabatan antara Korea Selatan dengan negara-negara Arab.vi Di periode itu juga, KMF berkesempatan untuk mengirimkan orang-orang Korea yang memeluk Islam dan tertarik untuk memperdalam agamanya, untuk belajar di berbagai negaranegara mayoritas muslim seperti Arab Saudi, Mesir, Sudan, Malaysia dan Indonesia. Ali An Sun Geun, adalah salah seorang muslim Korea yang diutus belajar Islam ke IAIN Jakarta di tahun 80-an, atas hasil kerjasama KMF dengan Kementerian Agama yang waktu itu dipimpin oleh Munawir Syadzali. Ali bahkan meneruskan pendidikan keislamannya hingga jenjang doktoral di almamater sarjananya, UIN Jakarta dan menghasilkan disertasi di tahun 2011 berjudul Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran dan Dinamika Islam di Korea .vii Kader KMF lainnya yang juga telah kembali ke Korea Selatan dan menjadi pendakwah diantaranya adalah Abdur Rahman Lee Ju-Hwa. Ia kini menjadi imam utama di Masjid Pusat Seoul di Itaewon. Di tahun 80-an, ia pernah dikirim untuk belajar di Universitas Islam Madinah. Saat itu ia sudah menjadi imam di Itaewon. Di Madinah, ia mulai memperdalam bahasa Arab dan kuliah di Fakultas Ushuludin. Menghadapi Prasangka Pasca 9/11 : Islamofobia Sebagai Tantangan Islam di Korea Selatan Eksistensi Islam di Korea Selatan bisa dikatakan sangat dinamis di satu sisi, tapi juga penuh tantangan. Di bawah tahun 2000, eksistensi Islam di Korea Selatan bisa dikatakan berjalan perlahan, namun tidak terlalu pesat dan tidak terlalu mendapatkan sorotan dari publik Korea Selatan sendiri secara luas. Akibat pengetahuan masyarakat Korea sendiri terhadap orang Islam, pandangan yang berkembang waktu itu hanya pandangan sumir tentang Timur Tengah sebagai negara yang mengekang perempuan atau perselisihan kultural yang dialami muslim migran di Korea akibat perbedaan budaya yang cukup signifikan. Namun, pelan tapi pasti, masjid misalnya tetap berdiri di Korea Selatan. Sampai saat ini, tercatat ada 11 masjid yang didirikan di Korea Selatan. Ini belum termasuk masjid dan mushala yang didirikan oleh para pekerja migran yang beragama Islam. Yang didirikan oleh orang Indonesia misalnya – umumnya dalam status kontrak – jumlahnya sampai 50-an. Umumnya, masjid dan mushala ini memang dibuat agar para pekerja migran asal Indonesia bisa dengan mudah melaksanakan ibadahnya. Ini pun terjadi, karena perusahaan-perusahaan tempat bekerja mereka memberikan keleluasaan kepada para pekerja migran untuk beribadah selama tidak mengganggu pekerjaannya.viii

Peristiwa 11 September (9/11) kehancuran gedung WTC yang disebut-sebut akibat gerakan teroris dibawah pimpinan Osama bin Laden, menjadi titik tolak meningkatnya intensi tentang Islam di Korea Selatan. Korea Selatan yang sejak awal kemerdekaanya berafiliasi secara politik dengan negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat, masih menjadikan fokus keamanan negara pada persoalan hubungan dengan Korea Utara.ix Namun, pasca 9/11, apalagi dipicu dengan penyanderaan 23 warga negara Korea Selatan oleh anggota Taliban di Afganistan tahun 2007 hingga kemunculan ISIS, membuat persoalan terorisme menjadi fokus keamanan baru negeri ginseng ini.x Memang hal tersebut tidak terlalu terwujud dalam kebijakan yang serius mengekslusi orang yang memiliki identitas keislaman misalnya. Namun, secara sosial peristiwa 9/11 di satu sisi, dan kedatangan imigran asal negara-negara muslim di sisi lain, membuat media-media di Korea Selatan sempat meningkatkan diskursus Islam sebagai agama ekstrimis dan radikal. Jeong-Min Seo dalam risetnya terhadap pemberitaan surat kabar Korea tentang Islam selama tahun 2006-2009, misalnya menemukan bahwa banyak pemberitaan yang menyebutkan bahwa geliat kemunculan Islam di Korea akan berdampak pada kemunculan fenomena islamisasi Korea sampai meningkatnya potensi aktivitas terorisme. Berita lainnya misalnya menyebutkan salah satu cara agar penyebaran Islam di Korea Selatan tidak bertambah positif, adalah dengan cara meningkatkan solidaritas di kalangan penganut agama di Korea (Kristen, Budha, dan Kepercayaan Lokalnya) sampai mengawasi aliran uang dari perbankan dunia Islam.xi Meski terlihat memiliki sentimen yang kuat, sebenarnya fakta diatas tidak bisa dijadikan fenomena tunggal persinggungan Korea dan Islam. Korea Selatan sendiri menyadari sejak lama akan terjadinya kondisi multikulturalisme di negaranya. Baik dikarenakan kehadiran orangorang dari berbagai negara yang bekerja atau bahkan memutuskan tinggal di Korea Selatan akibat berpindah warga negara atau menikah dengan orang Korea sendiri. Salah satu gejala multikulturalisme tersebut adalah eksistensi orang-orang Islam di Korea Selatan. Saya akan sebutkan beberapa contoh positif terkait hal itu. Yannie Kim, orang Indonesia yang berkeluarga dengan pria Korea Selatan selama hampir 20 tahun dan kini dikenal luas karena tampil di sejumlah acara televisi dan drama di Korea Selatan. Yannie yang juga dikenal lewat akun Youtube-nya misalnya mengisahkan bahwa keterlibatannya di layar kaca Korea Selatan dimulai ketika sekitar tahun 2009 kehidupan keluarganya pernah dijadikan salah satu acara televisi di Korea Selatan yang membahas tentang kehidupan multikulturalisme di Korea Selatan. Menurut Yannie, sebelum ia diliput tersebut sebenarnya ada banyak tayangantayangan di layar kaca Korea yang menyerukan kesadaran tentang multikulturalisme. Contoh berikutnya adalah ditayangkannya acara My Neighbour, Charles di stasiun televisi milik negara, KBS (Korean Broadcasting Service). Dengan mengusung konsep multikulturalisme Korea, orang-orang yang memiliki latar belakang berbagai bangsa dan budaya, diundang untuk berbagi cerita dan kesehariannya. Salah satunya adalah keluargakeluarga muslim. Beberapa orang dengan identitas keislaman yang jelas seperti hijab, diundang ke acara ini seperti yang berasal dari Uzbekistan atau Irak. Sejumlah orang Indonesia, termasuk Yannie Kim, juga sudah pernah menjadi bintang tamu di acara My Neighbour, Charles. Islam Sebagai Kenyataan Ceruk Pasar: Kebijakan Korea Selatan Tentang Produk Halal Sadar kalau negaranya menjadi sorotan – dan kini bisa dikatakan demikian – begitu diminati oleh banyak penduduk-penduduk Asia juga dunia sebagai bagian dari dampak Hallyu (Korean Wave), membuat Korea Selatan menyadari pentingnya menyediakan produk yang ramah terhadap muslim tersebut. Turis-turis dari negara muslim semakin menjadikan Korea menjadi salah satu destinasi wisatanya. Dan, khususnya mereka yang memang beragama Islam dan memegang teguh ajarannya, membuat Korea fokus membenahi apa yang disebut wisata halal. Korean Tourism Organization (KTO), misalnya kini membangun situs yang memberikan

petunjuk di mana saja orang dapat menemukan restoran yang bersertifikat halal atau bebas dari unsur babi (free-pork). Dari kalangan sipil, organisasi bernama Korean Food Foundation membuat aplikasi Korean Halal untuk mencari petunjuk makanan dan wisata-wisata yang ramah muslim.xii Meski bisa dikatakan semakin mudahnya menemukan produk-produk halal yang tersedia di atau berasal dari Korea, namun sebagian besar merupakan inisiatif masyarakat sipil, bukan kebijakan negara pada awalnya. Namun, seperti dicatat Ikran Eum, Korea sempat menjadikan penguatan ekspor produk halal sebagai salah satu produk kebijakan utama negara. Ini terjadi di era Presiden Korea Selatan Park Geun-Hye. Di medio tahun 2015, Geun-Hye bahkan mendirikan divisi halal di Kementerian Pertanian, Makanan, dan Urusan Pedesaan Korea Selatan. Langkah proaktif pun dilakukan Geun-Hye untuk mengaktifkan divisi halal dengan mengunjungi negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab dan Iran untuk membicarakan kerjasama ekspor produk-produk Korea yang sudah bersertifikasi halal. Menurut analisis Ikran, tujuan dari agenda ini ...


Similar Free PDFs