Persagi, Sejarah dan Karya PDF

Title Persagi, Sejarah dan Karya
Author Masfiatus Aisya
Pages 16
File Size 191.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 199
Total Views 690

Summary

TUGAS KAJIAN SENI RUPA I – 2017/2018 PERSAGI DAN AWAL KEMUNCULAN SENI MODERN INDONESIA Nama Mahasiswa : Masfiatus Aisya NIM : 17015023 Program Studi : Kajian Seni Rupa PROGRAM STUDI SENI RUPA FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG OKTOBER 2017 1. Latar Belakang Persagi (Persatuan A...


Description

TUGAS KAJIAN SENI RUPA I – 2017/2018 PERSAGI DAN AWAL KEMUNCULAN SENI MODERN INDONESIA

Nama Mahasiswa NIM Program Studi

: : :

Masfiatus Aisya 17015023 Kajian Seni Rupa

PROGRAM STUDI SENI RUPA FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG OKTOBER 2017

1. Latar Belakang Persagi (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia) adalah perkumpulan pelukis pertama di Indonesia yang dibentuk tanggal 23 Oktober 1938 oleh Sudjojono dan Agus Djaja sebagai ketua. Tujuan dibentuknya adalah mengembangkan seni lukis di kalangan bangsa Indonesia dengan mengembangkan corak Indonesia baru. Para pelukis yang bergabung dalam Persagi kebanyakan para pelukis untuk bidang reklame di percetakan atau calon pelukis muda yang keterampilannya di sektor melukis masih belum terasah dan baru belajar awal_Anggota-anggota tersebut rata-rata tidak ada dokumentasi karya yang tersisa. Modal mereka bukan didikan akademi seni rupa, melainkan lebih mengandalkan semangat. Karena kondisi yang demikian, Sudjojono dan Agus Djaja selalu mendorong anggota-anggotanya untuk berani dulu dalam melukis dan mengesampingkan teknik. Semboyan ekstrimnya adalah; “Teknik tidak penting. Yang penting isi jiwa ini ditumpahkan di atas kanvas.” Dalam Persagi tidak ada guru pembimbing. Sesama anggota menjadi guru dan murid bagi yang lainnya, berbagi pengetahuan dan pemahaman masing-masing. Persagi berumur pendek, karena pada tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia, banyak organisasi-organisasi perjuangan yang dibubarkan dan digabungkan dalam Poetera (Poesat Tenaga Rakjat). Namun, ideologi dan nilai estetika seni modern Indonesia yang dicetuskan Persagi tetap berpengaruh hingga kini, khususnya pada seni lukis Indonesia. Saya akan mengkaji bagaimana Persagi muncul di Indonesia, perannya dalam kemunculan seni modern Indonesia serta karya-karya yang dibuat di dalamnya.

2. Tentang Persagi a. Sejarah Dibangunnya Persagi Seiring dengan berkembangnya nasionalisme, kebutuhan untuk menciptakan seni yang lebih menunjukkan identitas Indonesia. Kondisi politik di Indonesia berubah; oposisi terhadap pemerintah kolonial Belanda semakin meningkat, dan seni menjadi alat ekspresi yang digunakan oleh para penggerak nasionalisme. Naturalisme Mooi Indie begitu populer di Indonesia ketika zaman kolonialisme. Banyak seniman-seniman Belanda yang melancong ke Indonesia untuk menangkap kehidupan pemandangan alamnya lewat lukisan. Seniman-seniman Indonesia_yang saat itu rata-rata merupakan warga kelas atas, karena kehidupan sosialnya menjadi terpengaruh selera estetika seniman-seniman Belanda kelas menengah tersebut. Di antaranya seperti Mas Pirngadi, Wakidi, Abdullah SR, dll. Sudjojono, yang tidak puas dengan teknik konvensional Belanda abad 19 yang diajarkan oleh gurunya (Mas Pirngadi), mencoba beralih ke pendekatan yang lebih bebas. Ia menentang teknik, gaya dan estetika naturalisme. Sapuan kuasnya kasar dan ia memilih warna yang “seenaknya sendiri”. Sudjojono beranggapan bahwa pelukis harus bebas dari kaidah-kaidah, agar jiwa bisa tercurah isinya dengan sebebas-bebasnya. Dengan demikian, lukisan diukur tidak dari ketetapannya melukiskan objek, tetapi dari bagaimana intensnya suatu kegemasan (hubungan subjek-objek) dapat terlihat pada garis-garis yang disapukan di atas kanvas. Mengutip perkataannya bahwa “Lukisan adalah jiwa nampak” (Sanento Yuliman, 1976: 9), Sudjojono banyak mempengaruhi pelukis-pelukis lain. Baginya, seni tidak

hanya soal unjuk kemampuan teknik melukis seperti yang pada naturalisme Mooi Indie. Pada tahun 1937, Sudjojono berhasil mengikuti pameran bersama pelukis Eropa di Bataviasche Kunstkring, Jakarta. Inilah awal namanya dikenal sebagai pelukis. Lalu setahun kemudian ia membangun Persagi bersama Agus Djaja sebagai ketuanya. Sudjojono sendiri sempat menjabat sebagai sekretaris dan juru bicara Persagi.

b. Perkembangan Persagi Persagi ingin memperlihatkan pada dunia bahwa orang Indonesia pun bisa melukis dan mampu menciptakan kesenian sendiri yang baru. Persagi juga berusaha menghubungkan aspirasi-aspirasi negara lewat pencapaian seni. Ide-ide ini secara langsung mencerminkan perasaan Sudjojono mengenai perjuangan negaranya meraih kemerdekaan. Dalam medan seni, filosofi baru tersebut mendapat tantangan yang besar; karena Indonesia masih didominasi oleh kejayaan seni masa lampau yang direpresentasikan oleh Borobudur dan karya seni kuno lainnya. Keadaan penjajahan yang menciptakan lingkungan kesenian hanya tersedia bagi orang Belanda saja, dan menghalangi seniman Indonesia untuk muncul dan terkenal. Indonesia masih belum siap untuk menerima bentuk seni modern. Persagi pun kesulitan untuk membuat pameran pertamanya. Persagi menyelenggarakan pameran pertama kali sekitar tahun 1938 di toko buku Kolff, Jakarta, setelah sebelumnya ditolak oleh pengurus yayasan saat mengajukan proposal ke Bataviascshe Kuntkrings. Menurut sekretarisnya, J de Loos Haaxman,

permintaan Persagi ditolak karena stereotipe bahwa kaum pribumi hanya cocok menjadi petani. Namun ternyata, pameran di Kolff tersebut mengejutkan para kritikus seni dan para pelukis Belanda, antara lain Henry van Velthuysen yang mengakui kualitas gambar para anggota Persagi. Barulah kemudian pada pameran kedua, Persagi dapat diselenggarakan di Kunstkring pada akhir tahun 1938. Para anggota Persagi sepakat untuk membuat “akademi” sendiri untuk merespon terhadap seni lukis “akademis” yang berkembang di sekeliling mereka. Caranya adalah dengan berlatih di rumah masing-masing dan bersama-sama. Karakteristik Persagi adalah penempatan pandangan pribadi seniman dalam pernyataan seni, dengan melepaskan pengaruh tradisi-tradisi yang telah ada. Dan Soedjojono beranggapan; "Ini tidak berarti bahwa kita harus membuang pengaruh rasa Barat itu, tidak, sama sekali tidak. Kita harus mempelajari teknik mereka yang bagus itu dan kita pada waktu ini terpaksa ke Barat dahulu untuk ke Timur ... Olahlah rasa asli kita dan rasa asing tadi, dan kita akan mendapat rasa Indonesia baru, yang cocok dengan zaman kita" (Bentara Budaya, 2009). Sumbangan PERSAGI bagi seni modern Indonesia diantaranya adalah pemikiran Sudjojono; bahwa karya seni harus mencerminkan pandangan pribadi senimannya yang hidup di lingkungan tertentu, dan bahwa karyanya harus mengekspresikan pemikiran kebudayaan yang membentuk karakter suatu bangsa. Dengan masuknya Jepang pada bulan Maret 1942 semua organisasi perjuangan bangsa dibubarkan dan digabung dalam Poetera (poesat Tenaga Rakyat), mengakhiri sejarah Persagi yang pendek.

3. Anggota Anggota Persagi antara lain: a. S. Sudjojono (1913-1986) Sudojono adalah seorang seniman, kritikus, pemikir, penulis, politisi, organisator, dan pendidik. Ia lahir di Kisaran, Sumatra Utara tahun 1913. Pada tahun 1928 Sudjojono menjadi murid Mas Pirngadi. Sudjojono menentang teknik konvensional yang diajarkan gurunya tersebut. Penentangan ini, dan pendapatnya yang terkenal; “lukisan adalah jiwa nampak,” menginspirasi sejumlah pelukis lain. Dan di tahun 1937, ia berhasil mengikuti pameran bersama orang-orang Eropa. Di tahun selanjutnya ia membentuk Persagi. b. Agus Djaja Suminta.(1913-1994) Lahir di Banten 1913 dan meninggal di Jakarta tahun 1994. Ayah Djaja, seorang keturunan keluarga bangsawan Banten, adalah seorang pegawai pemerintah, yang pernah menjadi kepala sebuah agen bank dan mampu menyediakan pendidikan yang baik bagi puteranya. Setelah mengikuti pendidikan seni di Jakarta dan Amsterdam, Agus mulai mengajar menggambar serta mata pelajaran lain pada tahun 1934. Agus bekerja sama dengan Sudjojono membentuk Persagi pada tahun 1938-1942, dan menduduk posisi sebagai ketua. Hal tersebut membuatnya dianggap menjadi salah satu pencetus seni lukis Indonesia modern. c. Otto Djaja (1916-2000) Otto Djaja adalah adik dari Agus Djaja. Sejak masa Persagi Otto Djaja kerap terlibat pameran bersama di dalam maupun luar negeri dengan sejumlah rekan pelukis

lainnya. Otto Djaja pernah mendapat pendidikan ketentaraan untuk perwira Pembela Tanah Air (Cu Dancho) di Bogor. Dengan pangkat Mayor TNI, ia ikut terlibat dalam perjuangan bersenjata di masa revolusi fisik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. d. Emiria Soenassa (1891-1964) Tidak banyak informasi yang diketahui dari Emiria Soenassa. Mengenai tempat dan tanggal lahir hanya tercatat ia lahir Pulau Tidore, Maluku Utara, tahun 1891. Hal ini diketahui karena Emiria merupakan anak dari Sultan Tidore. e. Abdul Salam (?-1987) Abdul Salam adalah seorang priyayi sekaligus pionir ilustrasi seni grafis masa awal seni rupa Indonesia. Semasa hidupnya, Abdul Salam pernah bekerja di Statistik Pasar Baru Batavia dan bergabung dengan banyak seniman antara lain S. Soedjojono, S. Tutur, dan Agus Djaya mendirikan Persagi. Sebagai pionir bidang seni ilustrasi grafis di Indonesia, Abdul Salam melahirkan karya awalnya berupa cukilan kayu, kemudian etsa sejak tahun 1945. Dia juga seorang Delinafit atau pelukis uang pada masa awal kemerdekaan. f. Herbert Hutagalung (1917-1942) Herbert lahir di Tapanuli tahun 1917. Sebulan setelah pameran kedua Persagi yang diadakan di Kunstkring 3-19 September 1942, Herbert meninggal di rumah sakit karena sakit parah. g. Wakidi (1889-1979) Wakidi lahir di Palembang pada tahun 1889. Wakidi adalah pelukis naturalisme bercorak Mooi Indie yang terkemuka di masanya. Menurut buku “Perkembangan

Seni Rupa Indonesia”, ada sumber yang menyebutkan bahwa Wakidi dan Hendrodjasmoro adalah anggota Persagi di luar Jakarta yang terpaksa mengirimkan melalui pos wessel untuk membayar iuran. h. Hendrodjasmoro Hendrodjasmoro lebih dikenal sebagai pematung. Ia lahir di Kebumen, 11 Januari 1915. Di zaman pemerintahan kolonial Belanda, Hendro Djasmoro aktif di Partai Indonesia (Partindo), Indonesia Muda (IM), Pandu Rakyat dan di Persagi. Di antara banyak peninggalan karya patungnya, tiga diantaranya yang hingga kini masih bisa dilihat adalah Patung Ki Hadjar Dewantoro di Pendopo Taman Siswa Yogyakarta, patung perunggu Jenderal Urip Sumohardjo di AKABRI Magelang, dan patung Jenderal Sudirman di Hankam, Jakarta. Hendrodjasmoro meninggal di Yogyakarta, 8 Juni 1987. i. Sindusisworo j. Saptarita Latif k. Ramli l. Syuaib Sastradiwilja m. Sukirno n. Suromo

4. Tinjauan Karya Anggota

Karya

Tinjauan

Sebelum

membangun

kecenderungan

Persagi,

ekspresionisme

Sudjojono masih ada unsur realisme. Hal ini terlihat pada karya “Ibuku Sudjojono

Menjahit”. Walaupun latar belakang terlihat menggunakan sapuan yang berantakan, namun figur subjek tetap digambar dengan detail, terutama “Ibuku Menjahit” (1935), oil on canvas

fokus lukisan yang adalah wajah si Ibu. Pada

lukisan

“Ibuku”,

kecenderungan

ekspresionisme

Sudjojono sudah sangat nampak. Ekspresi wajah subjek digambarkan sedemikian rupa hingga emosinya dapat terlihat dengan jelas, tanpa harus

menggambar

detail

yang

berlebihan. Mata dan alisnya hanya dibentuk dari sedikit sapuan kuas. “Ibuku” (1935), oil on canvas Namun bentukan alis dan mata dalam lukisan

tersebut

mencerminkan

raut

sangat muka

yang

terlihat enggan, bahkan sedikit sedih. Secara

gestural,

subjek

lukisan

terlihat berusaha rileks walaupun masih ada ketegangan yang terasa dari pundaknya yang tegak dan tidak sepenuhnya bersandar pada kursi. Pada “Di Depan Kelambu Terbuka”, “Di Depan Kelambu Terbuka” (1939), oil on canvas

sapuan kuas Sudjojono nampak lebih

kasar dan bebas. Figur subjek juga terlihat terdistori dan tidak lagi mengikuti prinsip perspektif yang benar. Bagian-bagian wajah dan tangan subjek juga tidak terlalu detail. Namun unsur dekoratifnya kuat, terlihat pada motif baju dan hiasan kelambu serta renda-renda di latar belakang.

Dalam lukisan “Laki-Laki Bermain Seruling” unsur realisme sedikit lebih menonjol, menunjukkan subjek yang digambar dengan detail, walau sapuan Agus Djaja

kuasnya tetap kasar. Karya ini tidak memberikan narasi yang kompleks, namun emosi subjek lukisan tetap “Laki-Laki Bermain Seruling” (1942), oil on canvas

tergambarkan dengan baik.

Emiria

Emiria banyak mengambil subjek-

Soenassa

subjek

yang

dekat

dengan

kebudayaan dan kehidupan rakyat jelata dalam lukisan-lukisannya.

“Potret Wanita Tua” (1930-1960)

“Pengantin Dayak” (1942-1948) Otto Djaja

Karya-karya Otto Djaja secara garis besar dianggap mempunyai banyak kemiripan dengan karya kakaknya. Namun Otto Djaja lebih banyak memiliki “Pertemuan” (1947), oil on canvas

kecenderungan

menggambar dengan gaya kekanak-

anakan.

Karena

dalam

perkembangannya di Persagi, ia dan kakaknya mempelajari gambar anakanak yang masih murni dan tidak terpengaruh paham estetis dari barat. Secara khusus pula Otto Djaja seringkali menggambar wajah subjek manusia

mirip

dengan

wajah

pewayangan. Dalam karya “Pertemuan”, Otto Djaja menggambarkan adegan perempuan dan pria yang sedang duduk di ranjang

sebuah

kamar.

Walau

semestinya adegan yang digambarkan intim, tapi justru si perempuan terlihat ingin menjauh dari si laki-laki yang mencondongkan badannya agar lebih dekat, keadaan

merasa

canggung

tersebut.

Gestur

dengan yang

digambarkan terlihat jenaka dan ekspresif. Subjek-subjek lain dalam

lukisan digambarkan dengan sangat sederhana dan kekanakan. Sindu

Tidak banyak dokumentasi karya oleh

Sisworo

seniman ini yang saya temukan. Namun kecenderungan seniman ini lebih

pada

ekspresionisme.

Penggunaan warnanya juga terbatas, mungkin hanya menggunakan 3-5 jenis warna. Emosi kecemasan dan Portret Laki-Laki (1949)

kekhawatiran lebih terlihat pada karyanya.

Abdul Salam

Karya-karya

Abdul

Salam

lebih

banyak terdiri dari cetak grafis. Secara

gaya,

karya-karyanya

didominasi oleh realisme dan portret.

“Portret Diri”, etsa

5. Kesimpulan Persagi menghasilkan seniman-seniman yang berbeda gaya tiap individunya. Namun secara umum kecenderungan yang muncul didominasi oleh ekspresionisme. Hal ini dikarenakan pengaruh Sudjojono dan Agus Djaja yang mendorong anggota-anggota Persagi untuk mengesampingkan teknik dalam melukis. Anggapan Sudjojono bahwa gaya modernisme seni lukis barat patut dipelajari juga menyumbang visualisasi karyakarya Persagi yang cenderung ekspresionisme. Pemikiran tersebut lah yang membuat seni rupa Indonesia modern mulai berkembang di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Sumardjo, Jakob. 2009. Asal-Usul Seni Rupa Modern di Indonesia. Bandung: Kelir Bentara Budaya. 2004. Perjalanan Seni Lukis Indonesia. Jakarta: Gramedia Siregar, Aminuddin dan Enin Supriyanto. Seni Rupa Modern Indonesia. Indonesia: Nalar Supangkat, Jim. 2003. Indonesian Heritage: Visual Art. Butterworth-Heinemann http://archive.ivaa-online.org/pelaku-seni/persagi-persatuan-ahli-gambar-indonesia-1 http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2275/Persagi https://www.rem.routledge.com/articles/persagi-persatuan-ahli-ahli-gambar-indonesia...


Similar Free PDFs