Rev - 1 Nov - SGD Askep Gadar Hellp sindrom & Emboli Cairan Ketuban PDF

Title Rev - 1 Nov - SGD Askep Gadar Hellp sindrom & Emboli Cairan Ketuban
Author MUHAMMAD BAGUS SETYAWAN
Course Keperawatan Gawat Darurat
Institution Universitas Airlangga
Pages 36
File Size 419.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 320
Total Views 635

Summary

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT OBSTETRIK PADA KLIEN DENGAN HELLP SYNDROM DAN PADA KLIEN DENGAN EMBOLI CAIRAN KETUBAN Kelompok 5 Program Alih Jenis (B) Muhammad Tarmizi Muhammad Bagus Setyawan Fatichul Muhtadi Alpian Umbu Dewa Titah Khalimatus Rina Afriani Yumiati Tuwa Ringu Heny Suliatyarini PROGR...


Description

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT OBSTETRIK PADA KLIEN DENGAN HELLP SYNDROM DAN PADA KLIEN DENGAN EMBOLI CAIRAN KETUBAN

Kelompok 5 Program Alih Jenis (B) Muhammad Tarmizi

(131611123033)

Muhammad Bagus Setyawan

(131611123034)

Fatichul Muhtadi

(131611123035)

Alpian Umbu Dewa

(131611123036)

Titah Khalimatus Sya’diyah

(131611123037)

Rina Afriani

(131611123038)

Yumiati Tuwa Ringu

(131611123039)

Heny Suliatyarini

(131611123040)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2017

i

DAFTAR ISI

!Unexpected End of Formula 1

BAB I EKLAMPSI DENGAN KOMPLIKASI HELP SYNDROM DAN EMBOLI

CAIRAN KETUBAN ......................................................................................................... 1 1.1

Eklampsi dengan Komplikasi Help Syndrom ..................................................... 1

1.1.1

Definisi........................................................................................................ 1

1.1.2

Etiologi........................................................................................................ 1

1.1.3

Manifestasi Klinis ....................................................................................... 1

1.1.4

Patofisiologi ................................................................................................ 1

1.1.5

WOC ........................................................................................................... 1

1.1.6

Pemeriksaan Diagnostik .............................................................................. 1

1.1.7

Penatalaksanaan .......................................................................................... 1

1.1.8

Komplikasi .................................................................................................. 2

1.1.9

Asuhan Keperawatan .................................................................................. 2

1.2

Emboli Cairan Ketuban....................................................................................... 3

1.2.1

Definisi........................................................................................................ 3

1.2.2

Etiologi........................................................................................................ 3

1.2.3

Manifestasi Klinis ....................................................................................... 3

1.2.4

Patofisiologi ................................................................................................ 3

1.2.5

WOC ........................................................................................................... 1

1.2.6

Pemeriksaan Diagnostik .............................................................................. 1

1.2.7

Penatalaksanaan .......................................................................................... 1

1.2.8

Komplikasi .................................................................................................. 3

1.2.9

Asuhan Keperawatan .................................................................................. 3

1.3 ................................................................................................................................... 4

ii

2

BAB 2 PENUTUP ..................................................................................................... 4 2.1

Kesimpulan ......................................................................................................... 4

2.2

Saran ................................................................................................................... 5

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 6

iii

1

BAB I

HELLP SYNDROM DAN EMBOLI CAIRAN KETUBAN

1.1

HELLP Syndrom

1.1.1 Definisi Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah

sejak

lama

dikenal

sebagai

komplikasi

dari

preeklampsi-

eklampsi.Singkatan HELLP pertama kali diperkenalkan oleh Weinsteint (1982) yang menjelaskan, bahwa Sindroma HELLP, berarti preeclampsia - eclampsia yang mengalami : H : hemolisis : penghancuran sel darah merah EL : elevated liver enzyme : tanda adanya disfungsi hepar LP : low platelet : thrombositopenia Permasalahan yang sering timbul pada sindroma ini baik pada diagnosis maupun dalam hal penatalaksanaan. Karena gejala dan tanda sindroma HELLP sangat bervariasi sehingga seringkali diagnosis ditegakkan saat penyakit sudah berada dalam stadium lanjut. Akibatnya morbiditas ibu lebih tinggi lagi. Morbiditas yang paling sering terjadi adalah penggunaan transfusi darah atau produk-produk darah. Disamping itu resiko terjadinya edema paru, “consumptive coagulopathy“, gagal ginjal, infark dan ruptur hepar serta gagal jantung paru sangat tinggi. 1.1.2 Etiologi Penyebab dari Hellp syndrome masih belum jelas. Normalnya pada kehamilan terutama pada trimester III akan terjadi penurunan tekanan darah, sedang renin, angiotensin II, prostasiklin dan volume darah meningkat. Angka kejadian hellp syndrome umunya terjadi pada minggu ke 27 hingga ke 37 minggu gestasional (Chawla, Marwaha and Agarwal, 2015). Pada PEB terjadi tekanan darah yang meningkat, sedang renin, angiotensin II, prostasiklin menurun. Prostasiklin menyebabkan penurunan vasokonstriksi, platelet agregation, uterine activity dan peningkatan utero-plasental blood flow. Sedang Tromboksan bekerja

1

sebaliknya. Perubahan material-material diatas dianggap berperan untuk terjadinya Hellp sindrome. 1.1.3 Manifestasi Klinis Kira-kira 90 persen pasien terdapat lelah, 65 persen dengan nyeri epigastrium, 30 persen dengan mual dan muntah, dan 31 persen dengan sakit kepala. Karena diagnosis awal pada sindrom ini sangat penting, setiap pasien dengan gejala lemah atau gejala yang mirip penyakit viral pada trimester ketiga harus dievaluasi dengan pemeriksaan darah rutin dan tes fungsi hati. Dengan penemuan ini, sindrom HELLP dapat diklasifikan termasuk sindrom HELLP total (memiliki semua kelainan) atau parsial (kurang dari tiga kelainan). Dapat juga diklasifikasikan berdasarkan jumlah trombosit menjadi kelas I ( 70 iu) dan LDH (> 600 iu) maka merupakan tanda degenerasi hati akibat vasospasme luas. LDH > 1400 iu, merupakan tanda spesifik akan kelainan klinik. 3. Low platelets Jumlah trombosit < 100.000/mm3 merupakan tanda koagulasi intravaskuler. Pada pemeriksaan darah tepi terdapat bukti-bukti hemolisis dengan adanya kerusakan sel eritrosit, antara lain burr cells, helmet cells. Hemolisis ini

2

mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin dan lactate dehydrogenase (LDH). Disfungsi hepar direfleksikan dari peningkatan enzim hepar yaitu Aspartate transaminase

(AST/GOT),

Alanin

Transaminase

(ALT/GPT),

dan

juga

peningkatan LDH.Semakin lanjut proses kerusakan yang terjadi, terdapat gangguan koagulasi dan hemostasis darah dengan ketidak normalan protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen, bila keadaan semakin parah dimana trombosit sampai dibawah 50.000 /ml biasanya akan didapatkan hasil-hasil degradasi

fibrin

dan

aktivasi

antitrombin

III

yang

mengarah

terjadinya Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC). Insidens DIC pada sindroma hellp 4-38%. Klasifikasi Sindroma HELLP berdasarkan klasifikasi Missisippi,terdiri dari : 1. kelas I bila trombosit dibawah sampai dengan 50.000/ml, 2. kelas II trombosit antara >50.000-100.000/ml, 3. kelas III trombosit antara >100.000-150.000/ml. LDH > 600 iu/l, AST dan ALT > 40 iu/l. 1.1.4 Patofisiologi Penyebab sindrom HELLP secara pasti belum diketahui, sindrom menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial mikrovaskuler dan aktivasi platelet intravaskuler(Yates and Yates, 2010). Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan tromboksan A dan serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi, agregasi platelet, serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa dihentikan dengan terminasi kehamilan. Sel-sel darah merah yang mengalami hemolysis akan keluar dari pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan fibrin di sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar, akibatnya enzim hepar akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati, dan dapat menyebabkan terjadinya iskemia yang mengarah kepada nekrosis periportal dan akhirnya mempengaruhi organ lainnya. Ada beberapa kondisi yang diduga sebagai penyebab terjadinya 3

eklampsia dan pre eklampsia. Salah satunya adalah adanya peningkatan sintesis bahan vasokonstriktor (angiotensin dan tromboksan A2) dan sintesis bahan vasodilator yang menurun (prostasiklin), yang mengakibatkan terjadinya kerusakan endotel yang luas. Manifestasinya adalah vasospasme arteriol, retensi Na dan air, serta perubahan koagulasi. 2,3 Penyebab lain eclampsia diduga terjadi akibat iskemia plasenta, hubungan antara lipoprotein dengan densitas yang rendah dengan pencegahan keracunan, perubahan system imun, dan perubahan genetik. Berkurangnya resistensi vaskuler serebral, ditambah dengan adanya kerusakan endotel, menyebabkan terjadinya edema serebri. Meskipun dikatakan bahwa kejang yang diakibatkan oleh eklampsia tidak akan menyebabkan kerusakan otak yang menetap, tetapi perdarahan intrakranial dapat terjadi.

4

1.1.5 WOC Factor predisposisi

Sindrome HELLP

Pelepasna Tromboksan A

Hemolisis

vasospasme

Darah yang rusak

Agregasi platelet

Timbunan fibrin di sinusoid

Kerusakan endotelial Kerusakan endothelial meluas

Obstruksi darah di hepar

Iskemia

Enzim hepar meningkat

Nekrosis periportal Mengganggu organ lain (uterus)

Retensi Na dan Air (Hiponatremia)

Berkurangnya resistensi vaskuler cerebral Edema serebri Kejang

1

1.1.6 Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan Laboratorium berdasarkan adanya tanda-tanda hemolisis, yaitu kadar laktat dehidrogenase yang tinggi, dan bilirubin total yang meningkat, adanya peningkatan enzim hati, Aspartate aminotransferase (AST) - 2 kali batas referensi atas (untuk memenuhi kriteria) serta adanya trombositopenia ( 80%) tetapi jarang terjadi (1:50.000 12

kelahiran) pada persalinan dan periode pascapartum; komplikasi akibat masuknya cairan amnion ke dalam sirkulasi darah maternal. Gambaran klinisnya meliputi sel-sel skuamosa janin, musin, lanugo dan lemak verniks kaseosa di dalam mikrosirkulasi pulmoner maternal. Sindrom ini ditandai oleh dispnea hebat yang mendadak, sianosis dan syok hipotensif dengan diikuti serangan kejang dan koma. Edema paru, kerusakan alveoli yang difus dan koagulasi intravaskuler diseminata terjadi karna pelepasan substansi yang toksik yang toksik (asam lemak) serta trombogenik ke dalam cairan amnion. 1.2.2 Etiologi Faktor predisposisi dari emboli cairan amnion bisa disebabkan faktor dari ibu maupun dari janin itu sendiri. Faktor-faktor tersebut meliputi : 1.

Multiparitas(Lakshmi and Madumitha, 2016)

2.

Usia lebih dari 30 tahun

3.

Janin besar

4.

Kematian janin intrauterine

5.

Mekonium dalam cairan amnion

6.

Kelahiran dengan operasi

7.

Overdistensi uterus akibat his/kontraksi persalinan berlebih, yang umumnya terjadi pada penggunaan obat-obatan perangsang persalinan yang tidak terkontrol.

8.

Rupture uteri

9.

Polihydramnion

10. Laserasi serviks yang luas 11. Solusio plasenta 12. Eklamsia. 1.2.3 Manifestasi Klinis Menurut morgan, manifestasi klinis yang terjadi pada emboli cairan amnion ini meliputi : 1.

Distress pernafasan

2.

Hipotensi

13

3.

Abnormalitas koagulopati

4.

Kejang

Sedangkan menurut Analisis Clarke’s National Registry (1995) manifestasi klinis yang terjadi sebelum persalinan meliputi : 1.

Kejang

2.

Dyspnea

3.

Bradikardia fetal

4.

Hipotensi

5.

Koagulopati yang mengakibatkan perdarahan post partum.

1.2.4 Patofisiologi Studi-studi pada primate dengan menggunakan injeksi cairan amnion homolog, serta study yang dilakukan secara cermat terhadap model kambing, menghasilkan penanaman yang penting tentang kelainan hemodinamik sentral (Adamsons dkk, 1971, Hankins dkk,1993, Stolte dkk, 1976). Setelah suatu fase awal hipertensi paru dan sistemik yang singkat, terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik dan indeks kerja pulsasi ventrikel kiri ( Clark dkk, 1988). Pada fase awal sering dijumpai desaturasi oksigen transient tetapi mencolok sehingga sebagian besar pasien yang selamat mengalami cedera neurologist (Harvey dkk, 1996). Pada wanita yang bertahan hidup melewati fase kolaps kardiovaskuler awal, sering terjadi fase sekunder berupa cedera paru dan koagulopati. Keterkaitan hipertonisitas uterus dengan kolaps kardiovaskuler tampaknya lebih berupa efek daripada kausa emboli cairan amnion (Clark dkk, 1995). Memang aliran darah uterus berhenti total apabila tekanan intrauterine melebihi 35 sampai 40 mmHg (Towell, 1976). Dengan demikian. kontraksi hipertonik merupakan waktu yang paling kecil kemungkinannya terjadi pertukaran janin-ibu. Demikian juga, tidak terjadi hubungan sebab akibat antara pemakaian oksitosin dengan emboli cairan amnion dan frekuensi pemakaian oksitosin tidak meningkat pada para wanita ini (American College Of Obstetricians and Gynecologists, 1993). Patofisiologi dari EAK yang kurang dipahami. Berdasarkan deskripsi awal, ia berteori bahwa cairan ketuban dan sel-sel janin memasuki sirkulasi ibu,

14

mungkin memicu reaksi anafilaksis terhadap antigen janin. Namun, bahan janin tidak selalu ditemukan dalam sirkulasi ibu pada pasien dengan EAK, dan materi berasal dari janin yang sering ditemukan pada wanita yang tidak mengembangkan EAK. Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin melalui laserasi pada vena endoservikalis selama diatasi serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada segmen uterus bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena rasa mulas yang luar biasa, air ketuban beserta komponennya berkemungkinan masuk ke dalam sirkulasi darah. Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan masalah tapi pada beberapa ibu dapat terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat menyumbat pembuluh darah di paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan bisa menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru. Pada fase I, akibat dari menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri koroner dan arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia myocardium. Mengakibatkan gagal jantung kiri dan gangguan pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini mungkin memasuki fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan pendarahan besar dengan atoni rahim dan Diseminata Intaravakuler Coagulation (DIC). Masalah koagulasi sekunder mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalam kejadian awal. Pada perempuan yang hamil hormone estrogen meningkat, hal ini akan mensekresi hormone LH, hormone LH berperan dalam pembekuan pada perempuan yang sedang hamil. Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau kontaminasi dengan mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler.

15

1.2.5 WOC Ruptur membran, perbedaan cairan amnion dari uterus Cairan amnion (sel-sel gepeng, musin, verniks, dan lanugo) memasuki sirkulasi maternal

Embolus cairan amnion Obstruksi humoral

Obstruksi mekanis

Obstruksi kritis pembuluhpembuluh darah pulmonal

Vasospasme Pembuluhpembuluh darah pulmonal

Hipertensi pulmoner akut

Cardiogenic and non cardiogenic pulmonary edema

Intra pulmonary shunting

Hipoksemia

Gagal jantung kiri Bronko konstriksi Gangguan perfusi jaringan

Desaturasi oksigen

Dypnea, broncospasme, cyanosis, pulmonary edema

Penurunan aliran darah jantung Penurunan inotropism Penurunan cardiac output dan pulmonary congesti Syok hipotensi

1

1.2.6 Pemeriksaan Diagnostik 1. Gas darah arteri : pO2 biasanya menurun. 2. Tekanan vena sentralis dapat meningkat, normal, atau subnormal tergantung pada kuantitas hilangnya darah. Darah vena sentralis dapat mengandung debris selular cairan amninon. 3. Gambaran koagulasi (fibrinogen, hitung jumlah trombosit, massa protrombin, produk pecahan fibrin. Dan massa tromboplastin parsial biasanya abnormal , menunjukkan DIC. 4. EKG dapat memperlihatkan regangan jantung kanan akut. 5. Keluaran urin dapat menurun, menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat. 6. Foto toraks biasanya tidak diagnostik tapi dapat menunjukkan infiltrate. Scan paru dapat memperlihatkan defek perfusi yang sesuai dengan proses emboli paru. 1.2.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan emboli air ketuban bersifat non spesifik dan suportif. Oksigen diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen yang normal, dan pemasangan pulse oximeter bermanfaat untuk mengawasi saturasi oksigen pada pasien yang kritis. Oksigen diberikan dengan sungkup muka atau dengan tekanan positif melalui endotracheal tube untuk pasien yang tidak sadar atau pasien yang sadar dengan hipoksemia yang berat. Resusitasi kardiopulmoner harus dikerjakan segera setelah terjadi cardiorespiratory arrest. Jika pasien dengan henti jantung tidak respon terhadap tindakan resusitasi dalam beberapa menit pertama, seksio sesarea perimortem sebaiknya dikerjakan secepat mungkin. Bantuan hemodinamik perlu diberikan untuk mengatasi hipotensi dan syok. Penggantian volume darah yang hilang dengan cairan kristaloid atau darah mutlak diperlukan. Obat-obat vasopressor seperti dopamine, ephineprine dan ephedrine dapat bermanfaat untuk mempertahankan tekanan darah, tetapi tidak ada obat tertentu yang lebih baik dibandingkan yang lain pada keadaan ini. Karena biasanya terjadi gagal jantung kiri, pemberian obat inotropik dengan digoksin

1

perlu diberikan pada pasien dengan non hipoksia. Kateterisasi arteria pulmonalis dapat memberikan informasi penting terhadap penanganan pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Edema pulmonum sangat sering terjadi dan harus mendapat perhatian terhadap

status

keseimbangan

cairan.

Kortikosteroid

membantu

dalam

penanganan emboli air ketuban, karena terdapat proses im...


Similar Free PDFs