Sejarah dan Fenomena Pers Mahasiswa PDF

Title Sejarah dan Fenomena Pers Mahasiswa
Author Satrio Arismunandar
Pages 20
File Size 421.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 393
Total Views 762

Summary

Sejarah dan Fenomena Pers Mahasiswa Oleh Satrio Arismunandar Pendahuluan Pers dalam arti sempit adalah media cetak sebagai sarana penyampaian berita kepada masyarakat, seperti suratkabar, majalah, tabloid, dan buletin. Pers umumnya menjalankan berbagai macam fungsi, yaitu sebagai: sumber informasi a...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Sejarah dan Fenomena Pers Mahasiswa Satrio Arismunandar

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Tanya-Jawab t ent ang Pers Mahasiswa Sat rio Arismunandar

Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan Wisnu Praset ya Ut omo Media dan Reformasi Sekt or Keamanan Sat rio Arismunandar

Sejarah dan Fenomena Pers Mahasiswa Oleh Satrio Arismunandar

Pendahuluan Pers dalam arti sempit adalah media cetak sebagai sarana penyampaian berita kepada masyarakat, seperti suratkabar, majalah, tabloid, dan buletin. Pers umumnya menjalankan berbagai macam fungsi, yaitu sebagai: sumber informasi atau medium pendidikan, medium hiburan, dan pengamat lingkungan. Sebagai pengamat lingkungan, pers bisa menjadi alat kritik sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan pers mahasiswa di sini dalam pengertian yang sederhana adalah pers yang dikelola oleh mahasiswa. Sebenarnya ada definisi resmi lain dari Departemen Penerangan era Orde Baru, yang menggunakan sebutan ―penerbitan kampus mahasiswa‖ untuk pers mahasiswa. Penerbitan kampus mahasiswa didefinisikan sebagai penerbitan berkala yang diselenggarakan oleh mahasiswa di dalam kampus dan untuk kepentingan kampus. Definisi ini jelas sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan sekarang. Ada berbagai macam pers mahasiswa. Didik Supriyanto1 membedakan dua jenis pers mahasiswa. Pertama, pers mahasiswa yang diterbitkan oleh mahasiswa di tingkat fakultas atau jurusan. Penerbitan ini biasanya menyajikan hal-hal khusus yang berkaitan dengan bidang studinya. Kedua, pers mahasiswa yang diterbitkan di tingkat universitas. Penerbitan ini menyajikan hal-hal yang bersifat umum. Dalam makalah ini, pemilahan berdasarkan tingkatan penerbitan (jurusan, fakultas, universitas) itu dianggap tidak relevan. Yang dipandang lebih pas adalah melihat langsung materi isinya, apakah bersifat umum atau spesifik keilmuan. Dalam konteks peran pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa, tentu yang lebih relevan adalah pers mahasiswa yang isinya bersifat umum, tidak spesifik keilmuan.

1

Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK, Penerbit Pustaka Sinar Harapan dan Yayasan Sinyal, Jakarta, 1998, hal. 232.

1

Didik masih membedakan lagi ―pers mahasiswa‖ dari ―pers kampus‖ atau ―pers kampus mahasiswa‖. Pers kampus dikelola oleh dosen, sedangkan pers kampus mahasiswa dikelola oleh dosen dan mahasiswa. Makalah ini hanya memfokuskan pada pers mahasiswa yang dikelola oleh mahasiswa, tanpa mempermasalahkan apakah pers mahasiswa itu diterbitkan di dalam kampus atau di luar kampus. Istilah pers mahasiswa sendiri telah dikukuhkan oleh tokoh-tokoh pers mahasiswa tahun 1950-an, seperti Nugroho Notosusanto, Teuku Jacob, dan Koesnadi Hardjasoemantri, ketika melahirkan Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI), Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI), yang keduanya lalu dilebur menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Menurut Nugroho Notosusanto, di negeri-negeri yang sudah tua, yang tidak lagi underdeveloped, pers mahasiswa sungguh-sungguh merupakan community paper daripada masyarakat mahasiswa. Ia tidak ambil bagian terhadap persoalan-persoalan nasional, atau setidaknya ia tidak ambil pusing. Namun di Indonesia dan negeri-negeri lain yang baru lahir (new-born countries), di mana jumlah kaum intelegensia sangat minim, keadaannya lain. Kaum intelegensia, sejak ia masih menuntut ilmu, sudah dituntut menyumbangkan pikiran, kepandaian, pengetahuan, dan pertimbangannya.2 Kajian tentang Pers Mahasiswa Kajian tentang peran pers mahasiswa sangat kurang dilakukan di lingkungan akademis. Literatur pun sangat terbatas. Padahal pers mahasiswa telah turut terlibat bersama komponen-komponen mahasiswa lain dalam gerakan reformasi Perhatian yang cukup besar terhadap peran pers mahasiswa pernah dinyatakan Amir Effendi Siregar [1983], lewat studi dan analisisnya tentang faktor-faktor penyebab perkembangan dan hidup-matinya pers mahasiswa Indonesia periode 1966-1978. Francois Raillon [1984] menyusul kemudian dalam disertasinya, yang membahas peran yang dimainkan Koran Mahasiswa Indonesia dalam pembentukan dan konsolidasi Orde Baru 1966-1974.3

2

Notosusanto, Nugroho. 1958. Peranan Pers Mahasiswa Indonesia Dalam Pembinaan Bangsa . Jakarta: Serikat Pers Mahasiswa Indonesia, hlm. 6-7, sebagaimana dikutip dalam Siregar, Amir Effendi, op. cit., hlm. 2. 3 Raillon, Francois. 1984. Les etudiants indonesiens et l’ORDRE NOUVEAU. Paris: Association Archipel. Disertasi Raillon ini telah diterjemahkan oleh Nasir Tamara ke Bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh LP3ES pada 1985, lalu cetak ulang pada 1989, dengan judul Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966 – 1974.

2

Setelah itu, lama tidak ada karya yang secara khusus mengulas peran pers mahasiswa. Didik Supriyanto [1998] baru menyusul kemudian, dengan mengulas perlawanan pers mahasiswa dalam menghadapi penerapan konsep NKK/BKK di perguruan tinggi, dengan fokus penerbitan pers mahasiswa di Yogyakarta (UGM) dan Jakarta (Universitas Nasional).4 Atmakusumah [1981]5 mengungkapkan, mungkin karena tirasnya rata-rata kecil, sehingga penyebaran di masyarakat tidak begitu luas, ada kecenderungan pers mahasiswa dianaktirikan dalam sejarah pers Indonesia. Penulisan sejarah pers tidak memberikan perhatian khusus kepada perkembangan pers mahasiswa dalam kaitannya dengan proses perkembangan masyarakat. Berbagai Peran Pers Mahasiswa Pers mahasiswa memiliki posisi unik. Di satu segi, pembahasan terhadap kegiatan pers mahasiswa sebenarnya tidaklah bisa dipisahkan dari pembahasan terhadap gerakan mahasiswa secara keseluruhan. Aktivitas pers mahasiswa merupakan bagian penting dari gerakan mahasiswa. Namun di segi lain, pers mahasiswa –seperti juga pers umum— memiliki peran dan fungsi lain, yang terkait dengan posisinya sebagai pers. Dalam arti luas, komunikasi bukanlah sekadar pertukaran berita dan pesan, tetapi juga aktivitas individu dan kolektif yang mencakup seluruh penyaluran dan pembagian ide, fakta, dan data.6 Fungsi atau peran utama komunikasi secara luas dalam setiap sistem sosial dapat diidentifikasi sebagai berikut: memberi informasi; sosialisasi, motivasi, debat dan diskusi, edukasi, promosi budaya, hiburan, dan integrasi. Jadi dari peran pers mahasiswa sebagai komunikator, masih bisa dipecah ke beberapa peran turunan lagi. Peran-peran itu adalah: Peran pemasok informasi: Mengumpulkan, menyimpan, memproses dan menyebarkan berita, data, gambar, fakta dan pesan, opini dan komentar, yang dibutuhkan oleh mahasiswa untuk memahami dan bereaksi terhadap berbagai kondisi yang ada, agar bisa mengambil keputusan yang tepat.

4

Supriyanto, Didik. 1998. Perlawanan Pers Mahasiswa, Protes Sepanjang NKK/BKK. Jakarta: Penerbit PT. Pustaka Sinar Harapan dan Yayasan Sinyal. Buku ini adalah hasil modifikasi dari skripsi karya Didik Supriyanto di Fisipol UGM. 5 Atmakusumah. 1981. Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Lembaga Studi Pembangunan, hlm. 49. 6 MacBride, Sean, et.al. 1983. Many Voices, One World. London: Kegan Page. Hlm. 14.

3

Peran motivator: Mempromosikan sasaran dan tujuan gerakan mahasiswa, merangsang pilihan dan aspirasi mahasiswa, serta memupuk atau mengembangkan aktivitas pribadi dan komunitas mahasiswa dalam mengejar sasaran dan tujuan gerakan mahasiswa tersebut. Peran sosialisasi: Menyediakan basis pengetahuan bersama, yang memungkinkan mahasiswa bertindak sebagai anggota yang efektif dari gerakan mahasiswa di lingkungan mereka, dan yang akan menumbuhkan kohesi sosial dan kesadaran, dan dengan demikian memungkinkan keterlibatan aktif mahasiswa dalam gerakan mahasiswa. Peran integrasi: Menyediakan akses bagi mahasiswa dan kelompok mahasiswa terhadap beragam pesan, yang mereka butuhkan untuk saling mengenal satu sama lain, dan untuk saling mengapresiasi kondisi, sudut pandang, dan aspirasi mahasiswa dan kelompok mahasiswa lain. Peran sebagai wahana debat dan diskusi: Menyediakan dan mempertukarkan faktafakta yang dibutuhkan untuk memfasilitasi kesepakatan atau mengklarifikasikan sudutsudut pandang yang berbeda di kalangan mahasiswa tentang isu-isu publik. Penyediaan bukti yang relevan itu dibutuhkan untuk menumbuhkan minat dan keterlibatan mahasiswa yang lebih besar dalam masalah-masalah yang menjadi keprihatinan bersama. Peran edukator: Menyampaikan pengetahuan begitu rupa, untuk memupuk perkembangan intelektual, pembentukan karakter, dan keterampilan serta kapasitas mahasiswa. Dari pengamatan terhadap pers mahasiswa yang pernah ada selama ini, kemungkinan ada beberapa peran lain dari pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa. Seperti: peran mediator, yakni perantara atau penengah antara berbagai faksi/kelompok dalam gerakan mahasiswa; peran inspirator, yakni memberi inspirasi bagi gerakan mahasiswa; peran provokator, yakni memprovokasi gerakan mahasiswa; dan peran korektor, yakni mengoreksi atau ―meluruskan‖ sikap atau tindakan yang dipandang keliru dari gerakan mahasiswa. Sejarah Pers Mahasiswa di Indonesia Cikal bakal pers mahasiswa Indonesia tampaknya adalah Majalah Indonesia Merdeka yang diterbitkan pada 1924 oleh Perhimpoenan Indonesia di Nederland. Indonesia Merdeka merupakan nama baru dari Hindia Poetra, majalah yang diterbitkan Indische Vereeniging, yakni perkumpulan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang

4

studi di negeri Belanda dan didirikan pada tahun 1908. Indische Vereeniging kemudian berubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging pada 1922, dan berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia pada 1924.7 Perubahan nama ini juga mencerminkan perubahan orientasi politik ketika itu, yakni para mahasiswa pribumi yang mulai terbuka kesadaran politiknya berkat pendidikan, menyadari realitas ketertindasan bangsanya. Oleh karena itu, mereka secara tegas menuntut Indonesia merdeka. Sejarah mencatat, para mahasiswa Indonesia yang belajar di Nerderland ini kemudian pulang ke Tanah Air dan meneruskan perjuangannya bagi kemerdekaan negerinya. Mereka antara lain Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Nazir Datoek Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan lain-lain. Selain di negeri Belanda, para mahasiswa Indonesia yang belajar di Cairo, Mesir, pada 1930 juga menerbitkan berkala bernama Oesaha Pemoeda. Redaksinya adalah Abdoellah Aidid dan Ahmad Azhari. Beberapa aktivis mahasiswa di Cairo ini setelah pulang ke Tanah Air banyak yang ikut memegang tampuk pemerintahan, atau aktif di bidang dakwah dan pendidikan. Sementara itu, pergerakan pemuda di Jawa sendiri dalam tahun 1914 juga sudah memiliki suratkabar sendiri. Berkala bernama Jong Java, yang pada tahun 1920 sudah mencantumkan tahun penerbitan yang ke-6, dan dicetak sampai 3.000 eksemplar. Suatu jumlah yang tidak sedikit pada waktu itu. Motonya: orgaan v.d studerenden. Jong Java, Perserikatan Pemoeda Djawa, Madoera dan Bali dari Sekolah Pertengahan dan Tinggi. Di antara nama-nama yang tercantum sebagai pengasuh berkala itu adalah: Soekiman (yang kemudian menjadi Dr. Soekiman Wirjosandjojo, pernah jadi Perdana Menteri RI) dan Wiwoho (yang kemudian menjadi Wiwoho Poerbohadidjojo, anggota Volksraad zaman Hindia Belanda). Sedangkan yang dijadikan beschermheer (pelindung) adalah Zijne Hoogheid Prins Prangwadono, yang kemudian menjadi Mangkoe Negoro VII. Selain Jong Java, ada berkala Ganeca yang diterbitkan organisasi mahasiswa BSC pada 1923, dan Jaar Boek yang diterbitkan mahasiswa THS (sekarang ITB) pada tahun 19301941. Ketika para pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda dan politik mengadakan kongres di Jakarta pada 1928, lahirlah Indonesia Moeda, yang mencetuskan Sumpah Pemuda: Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa Persatuan: 7

Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia. 1971. Jakarta: SPS Pusat. Hlm. 91.

5

Indonesia. Organisasi pemuda dari berbagai suku bangsa ini lalu menerbitkan Soeara Indonesia Moeda. Organisasi lain yang memiliki onderbouw gerakan pemuda, seperti Moehammadiah (Pemuda Moehammadiah), Partai Sjarekat Islam Indonesia (Pemoeda Moeslimin), Nahdatul Oelama (Pemuda Ansor), masing-masing juga menerbitkan berkalanya. Di zaman pendudukan Jepang, karena represi yang sangat keras, praktis kiprah pers mahasiswa tak terdengar. Namun ketika kemerdekaan Indonesia baru diproklamasikan, para pemuda mempelopori terbitnya suratkabar pembawa suara rakyat Republik Indonesia yang baru lahir itu. Soeadi Tahsin, yang waktu itu pelajar Kenkoku Gakuin bersama beberapa temannya menerbitkan harian Berita Indonesia secara ilegal, untuk melawan pemberitaan propaganda dari Jepang yang disiarkan lewat Berita Goenseikanbu. Dengan bantuan para pelajar, mahasiswa dan pemuda lainnya, Berita Indonesia disiarkan bukan cuma di Jakarta, tetapi juga dibawa dengan kereta api dan alat angkutan lainnya ke pelosok-pelosok. Namun karena risiko yang terlalu besar di Jakarta waktu itu, Berita Indonesia lalu berhenti terbit.8 Sesudah pemerintahan RI hijrah ke Yogyakarta, perjuangan mempertahankan kemerdekaan pindah ke ke pedalaman. Sementara itu, para pemuda pelajar SLTP dan SLTA di Jawa dan Sumatra yang tergabung dalam Ikatan Peladjar Indonesia (IPI) –yang lalu setelah digabung dengan beberapa organisasi mahasiswa menjadi Ikatan Pemuda Peladjar Indonesia—juga menyelenggarakan penerbitan pers. Entah bersifat mingguan, tengah bulanan, atau bulanan. Beberapa cabang IPI –seperti cabang Solo, Jawa Timur, Blitar, Kediri dan Cirebon—serta Pengurus Besar IPI di Yogyakarta juga menerbitkan organ masing-masing. Penyerbuan Belanda ke wilayah de facto RI menghentikan semua kegiatan penerbitan. Setelah kedaulatan RI diakui Belanda, tidak banyak lagi penerbitan mahasiswa. Banyak pemuda, pelajar dan mahasiswa kembali menuntut ilmu di sekolah masing-masing untuk mengejar ketinggalan mereka. Setelah 1950, baru pers mahasiswa mulai tumbuh lagi. Dan pada 1955, komunitas penerbitan mahasiswa tumbuh lagi. Tercatat di Jakarta: Akademica, Mahasiswa, Forum, Vivat, Fiducia, Pemuda Masyarakat, PTD-Counrier, Ut Ommes Umum Sint. (GMNI), Pulsus, dan Aesculapium (Kedokteran).

8

Ibid. hlm. 95.

6

Di Bandung: Bumi Siliwangi (IKIP), Gema Physica, Gunadharma, Intelegensia (FT ITB), Mesin, Suluh Pengetahuan, IDEA (PMB), Scientia (FIPIA), Synthesia (CMB-CGMI) dan Ganeca. Di Yogyakarta: Criterium (IAIN), Gajah Mada (UGM), GAMA (UGM), Media (HMI), Tunas, Pulsus (PMKRI), Pantai Thei (Perhimi), Uchuwah (Islam), Universitas (Komunis). Di Surabaya: Ut Omnes Umum Sint (GMKI) dan Ta Hsueh Ta Chih. Di Makasar: Duta Mahasiswa (Dema Hasannudin). Di Medan: Vidia dan Gema Universitas. Di Padang: Tifa Mahasiswa (Dema Universitas Andalas).9 Karena jumlah pers mahasiswa yang tumbuh pesat, timbul keinginan untuk meningkatkan mutu redaksional maupun perusahaan. Atas inisiatif Majalah GAMA dan dukungan sejumlah majalah lain, diadakan Konferensi I bagi pers mahasiswa Indonesia di Yogyakarta pada 8 Agustus 1955, dihadiri wakil 10 majalah mahasiswa. Terpengaruh oleh organisasi di kalangan pers umum, konferensi itu menghasilkan dua organisasi: IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dengan Ketua T. Jacob dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia) dengan Ketua Nugroho Notosusanto. Konferensi juga berhasil menyusun Anggaran Dasar IWMI dan SPMI, dan Kode Jurnalistik Mahasiswa. Pada 1957, SPMI dan IWMI mengikuti Konferensi Pers Mahasiswa Asia I di Manila, yang diikuti wakil pers mahasiswa dari 10 negara. Konferensi itu menyetujui bahwa dalam negara yang sedang berkembang dituntut peranan lebih banyak dari pers mahasiswa untuk nation building. IWMI dan SPMI juga mengadakan kerjasama segitiga dengan Student Information Federation of Japan dan College Editors Guild of The Philippines. Pada 16-19 Juli 1958, diadakan Konferensi Pers Mahasiswa Indonesia II, yang meleburkan IWMI dan SPMI menjadi satu: IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Jadi IPMI lahir pada akhir zaman Demokrasi Liberal dan awal Demokrasi Terpimpin, yang memberlakukan kontrol ketat terhadap kegiatan pers. Ini menjadi situasi yang sulit buat IPMI dan anggota-anggotanya yang menyatakan diri ―independen.’ Padahal pers umum waktu itu banyak menjadi suara kepentingan kelompok atau partai politik. Pers mahasiswa pun mengalami banyak kemunduran. Di Yogyakarta, Majalah Gajah Mada dan GAMA mati. Di Jakarta, Majalah Forum dan Mahasiswa berhenti terbit. Namun ada juga yang bertahan, seperti di Bandung: Arena (1959), Tjarano (1960),

9

Tentang data nama-nama penerbitan pers mahasiswa ini, lihat Amir Effendi Siregar. 1983. Pers Mahasiswa Indonesia. Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta: PT. Karya Unipress. Hlm 41.

7

Pembina (Sospol Unpad, 1960), Harian Berita-berita ITB (1961), Gelora Teknologi (Dewan Mahasiswa ITB, 1964). Di Jakarta: Mahajaya (1961). Menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin, oleh ormas kiri, IPMI sempat dituduh sebagai anak Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, karena tidak memasukkan ManipolUsdek dalam AD/ART-nya. Untuk menyelamatkan organisasi, IPMI mengeluarkan pernyataan pada 10 September 1965, yang menegaskan bahwa IPMI adalah pembawa suara seluruh mahasiswa Indonesia, dan bukan golongan tertentu di kalangan mahasiswa Indonesia. IPMI merencanakan kongres pada Desember 1965, namun Peristiwa G30S keburu meletus. Setelah PKI ditumpas akibat G30S, IPMI terlibat aktif dalam menghapus sistem politik Demokrasi Terpimpin. Setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto, dan dimulailah periode awal Orde Baru. Suhu politik meningkat dan sejumlah pers mahasiswa yang menyatakan diri sebagai anggota IPMI bermunculan. Di Jakarta ada: Mahasiswa Indonesia (sudah terbit menjelang G30S/PKI) dan Harian KAMI (26 Juni 1966). Di Bandung: Mahasiswa Indonesia (Edisi Jawa Barat, 1966) dan Mimbar Demokrasi (30 September 1966). Di Yogyakarta: Mahasiswa Indonesia (Edisi Jawa Tengah) dan Muhibbah (UII, 11 Maret 1967). Di Banjarmasin: Mimbar Mahasiswa (1968). Di Pontianak: Mingguan KAMI (Edisi Kalimantan Barat, 1968). Di Surabaya: Mingguan KAMI (Edisi Jawa Timur, 1968). Di Malang: Gelora Mahasiswa Indonesia (1967). Di Makasar: Mingguan Kami (akhir 1966), dan lain-lain. Pada periode awal Orde Baru ini, pers mahasiswa yang pemberitaannya memang lebih berani dan lebih kritis ketimbang pers umum kembali berjaya. IPMI sebagai organisasi pers mahasiswa melibatkan diri dalam politik dengan sekaligus menjadi Biro Penerangan dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. IPMI waktu itu diakui sejajar dengan organisasi pers lain oleh Departemen Penerangan RI. Hal itu menimbulkan dilema antara amatirisme dan profesionalisme, dan ramai diperdebatkan pada Kongres II IPMI di Kaliurang, 28-30 Juli 1969. Namun bandul berayun mundur. Kebebasan yang dinikmati pada awal Orde Baru makin surut, dan rezim Orde Baru mulai menunjukkan watak otoriternya dengan mengontrol aktivitas kemahasiswaan. Pemerintah mengeluarkan konsep back to campus. Akibatnya, IPMI dan pers mahasiswa yang berada di luar kampus pun mau tak mau sangat dipengaruhi suasana itu. Dalam Kongres III di Jakarta, 1971, IPMI menerima konsep back

8

to campus untuk mempertahankan kelangsungan eksistensinya, meski lewat perdebatan sengit. Saat itu, Harian KAMI melepaskan diri dari IPMI dan menyatakan diri sebagai pers umum. Banyak penerbitan IPMI yang mati. Memang masih ada yang bertahan, namun hanya pers mahasiswa yang kecil-kecil di dalam kampus. Tahun 1971-1974 adalah tahun kemunduran bagi pers mahasiswa. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974, sejumlah pers umum yang besar dibreidel oleh pemerintah. Sementara itu di dalam kampus lahir sejumlah pers mahasiswa dan mereka diberi angin untuk hidup, sebagai subsistem dari sistem pendidikan tinggi. Muncullah Suratkabar Kampus Salemba (UI), Gelora Mahasiswa (UGM), Atmajaya (Unika Atmajaya), Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), Arena (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Airlangga (Universitas Airlangga, Surabaya). Seluruh pers mahasiswa yang terbit dalam kampus itu mendapat subsidi dari universitas masing-masing minimal 50% dari biaya penerbitannya, sehingga terjadi ketergantungan pers mahasiswa pada pimpinan universitas. IPMI dalam Kongres IV di Medan, Maret 1976, masi...


Similar Free PDFs