SHAKAI KAIZO 100 tahun reformasi di Jepang --dari demokrasi ke reformasi PDF

Title SHAKAI KAIZO 100 tahun reformasi di Jepang --dari demokrasi ke reformasi
Author Susy Ong
Pages 102
File Size 1.3 MB
File Type PDF
Total Downloads 127
Total Views 340

Summary

SHAKAI KAIZO 100 tahun reformasi di Jepang -- dari demokrasi ke reformasi Susy Ong (2020.5) Pendahuluan 1 Bab 1 Meredam dampak negatif modernisasi 3 Bab 2 Peralihan dari Demokrasi ke Reformasi 21 Bab 3 Pendidikan Luar Sekolah 35 Bab 4 Rekreasi sebagai kebijakan nasional 54 Bab 5 Perang dan masyaraka...


Description

SHAKAI KAIZO

100 tahun reformasi di Jepang -- dari demokrasi ke reformasi Susy Ong (2020.5)

Pendahuluan

1

Bab 1 Meredam dampak negatif modernisasi

3

Bab 2 Peralihan dari Demokrasi ke Reformasi

21

Bab 3 Pendidikan Luar Sekolah

35

Bab 4 Rekreasi sebagai kebijakan nasional

54

Bab 5 Perang dan masyarakat ‘adil dan makmur’

68

Bab 6

Perempuan Jepang = ibu rumah tangga?

81

Bab 7

Reformasi pendidikan di Jepang pasca Perang Dunia II

93

Kesimpulan

102

Tahun 2019 menandai tepat 100 tahun reformasi di Jepang. Pada tahun 1918, terjadi kerusuhan sosial yang menggemparkan di Jepang, yaitu penjarahan berskala nasional; dari 45 propinsi di Jepang, hanya 5 propinsi yang luput dari amukan massa. Kerusuhan dipicu oleh keresahan sosial akibat inflasi dan kesulitan hidup. Pihak kepolisian tidak sanggup mengatasi keadaan, sehingga pemerintah terpaksa mengerahkan pasukan untuk memulihan keamanan dan ketertiban nasional. Setelah kerusuhan redam 2 bulan kemudian, perdana menteri waktu itu, Terauchi Masatake, mengundurkan diri; sebagai penggantinya ditunjuk Hara Takashi, yang merupakan perdana menteri Jepang pertama yang bukan berasal dari kelas bangsawan (sehingga dijuluki Perdana Menteri Rakyat Jelata). Selain faktor inflasi dan kesulitan hidup, kerusuhan di tahun 1918 juga dipicu oleh pengaruh faham demokrasi (hak protes) dari Eropa dan faham sosialisme (tuntutan akan keadilan sosial), akibat Revolusi Rusia di tahun 1917 (berdirinya negara Sosialis pertama di dunia). Menanggapi gejolak sosial tersebut, pemerintah Jepang, terutama kementerian dalam negeri dan kementerian pendidikan, mulai merumuskan dan mengimplementasikan sejumlah kebijakan sosial, yaitu intervensi ke dalam kehidupan sosial bahkan individu.

1

Pada tahun 1919, kementerian pendidikan membentuk direktorat khusus untuk menangani pendidikan luar sekolah, yang fokus memberikan arahan kepada masyarakat umum (bukan hanya warga usia sekolah) mengenai pola hidup rasional (= yang sesuai dengan perkembangan jaman), melalui media perpustakaan umum, museum, pemutaran film yang bersifat edukatif sekaligus menghibur, kuliah umum di balai desa / balai kota di seluruh penjuru negeri untuk sosialisasi pola hidup rasional. Pada tahun 1920, kementerian dalam negeri membentuk Dirjen Sosial di dalam kementerian dalam negeri, yang membawahi sejumlah direktorat dan menangani masalah-masalah sosial seperti ketenagakerjaan dan penanggulangan kemiskinan. Segera setelah kerusuhan 1918 reda, pada awal tahun 1919, di Tokyo terbit majalah Kaizo (secara harafiah artinya reformasi), yang menjadi forum diskusi dan perdebatan mengenai masalah-masalah sosial, dan dalam waktu singkat menjadi salah satu majalah yang paling populer dan bergengsi di Jepang. Terbitnya majalah tersebut ditandai dengan munculnya semangat jaman ‘dari era demokrasi ke era reformasi.’ Publik Jepang sepakat bahwa era euforia demokrasi telah berakhir; bahwa sistem demokrasi tidak serta merta membawa kesejahteraan hidup dan ketenteraman sosial; masalahmasalah sosial seperti ketimpangan sosial, yang kemudian memicu frustrasi massa dan tindakan anarkis, perlu segera ditangani; perubahan sistem sosial (=reformasi sosial) perlu segera dilakukan, untuk meningkatkan efisiensi dan menciptakan kepuasan hidup bagi rakyat. Pada tulisan sebelumnya, saya telah memaparkan bahwa kemajuan Jepang yang kita saksikan hari ini, BUKAN berakar dari tradisi atau karena menjaga tradisi, melainkan justru dimulai dengan membuang tradisi dan proaktif menyerap ilmu pengetahuan asing (=Barat), dan mensosialisasikan pola hidup Barat modern secara terus menerus selama 100 tahun terakhir ini (Susy Ong. Seikatsu Kaizen. Reformasi Pola Hidup Jepang. Elex Media Komputindo, 2017). Dalam buku ini, saya akan memaparkan implementasi kebijakan oleh pemerintah, yang dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat, dalam mewujudkan negara Jepang modern. Dari pemaparan dalam buku ini, para pembaca juga akan mengetahui bahwa era modernisasi di Jerman dan Amerika hanya terpaut sekitar satu generasi dibandingkan dengan Jepang; menanggapi dampak negatif dari modernisasi, akademisi dan birokrat (dan tokoh agama Kristen) di Jerman dan Amerika segera mengeluarkan ide-ide untuk perbaikan, yang dengan segera juga diserap dan diimplementasikan oleh Jepang. Inilah menyebabkan Jepang dapat maju dan setara dengan negaranegara Barat. Kesigapan bangsa Jepang untuk terus menerus belajar dari negara-negara maju lainnya agar dapat terus maju, merupakan sikap yang patut kita tiru. 2

Bab 1 Meredam dampak negatif modernisasi Keberhasilan negara Jepang dalam membangun industri dan SDM sehingga mencapai tingkat yang setara dengan Amerika dan negara-negara maju Eropa, mengundang kekaguman dunia, termasuk Indonesia. Restorasi Meiji yang terjadi pada tahun 1868, seringkalinya dianggap sebagai titik awal menuju keberhasilan tersebut. Memang terjadi pergantian rezim di tahun tersebut, yang dibarengi dengan konflik senjata (Perang Boshin) yang menelan korban jiwa 1 dan melibatkan kepentingan asing (pedagang Inggris sebagai pemasok senjata bagi pemberontak dan penasehat militer yang dikirim oleh Kaisar Napoleon III dari Perancis kepada pihak penguasa), namun peristiwa pergantian pemimpin itu sendiri tentu tidak mungkin secara otomatis membawa perubahan pada kehidupan dan mentalitas suatu bangsa. Perubahan dalam kehidupan bangsa Jepang, baik dalam hal meningkatnya kesejahteraan, meningkatnya kedisiplinan dan rasa nasionalisme (tanggung jawab sosial), adalah hasil dari serangkai usaha yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah dan kelas atas, yang mempunyai kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang-orang Barat (Barat = Amerika dan negara-negara Eropa maju), atau mengunjungi negara-negara Barat, dan menyadari betapa Jepang tertinggal; mereka berusaha mencari tahu usaha-usaha konkrit yang memungkinkan tercapainya kemajuan negara-negara Barat, kemudian mensosialisasikan usaha-usaha tersebut di Jepang. Bahwa sekarang Jepang dikagumi sebagai negara maju yang setara dengan negara-negara Barat, adalah karena pemerintah Jepang telah menerapkan kebijakan yang persis sama dengan yang diterapkan di negara-negara Barat tersebut. Perubahan terjadi karena manusia secara sadar melakukan tindakan untuk mengubah, dan tindakan tersebut didasari oleh 2 faktor, yaitu kesadaran bahwa tindakan harus segera diambil, dan pengetahuan mengenai tindakan apa yang harus diambil. Untuk kondisi Jepang menjelang Restorasi Meiji tahun 1868, tindakan diambil oleh tokohtokoh di pihak pemberontak maupun di dalam pemerintah, setelah mereka mengunjungi atau tinggal di negara-negara Barat, sejak tahun 1860, baik sebagai mahasiswa maupun sebagai anggota delegasi

1

Tahun 2018 menandai 150 tahun (1868-2018) peristiwa tersebut. Pihak pemerintah (pihak yang menang dalam perang di tahun 1868, yang sebagian besar berasal dari Jepang selatan) merayakannya sebagai 150 tahun Restorasi Meiji, sedangkan keturunan dari pihak yang kalah (sebagian besar dari Jepang utara), memperingatinya sebagai 150 tahun kekalahan dalam perang Boshin. Boshin adalah sebutan tahun 1868 dalam penanggalan Jepang waktu itu.

3

pemerintah dalam misi perundingan ataupun misi dagang 2 . Mereka terkagum-kagum dengan kemajuan negara-negara tersebut, dan sadar bahwa Jepang harus berubah dengan mencontoh negaranegara tersebut. Segera setelah pergantian rezim pada tahun 1868, pemerintahan baru (dibantu oleh tokohtokoh dalam pemerintahan lama yang berhaluan progresif) mengeluarkan kebijakan sentralisasi pemerintahan, seperti revisi sistem perpajakan (dari pemungutan pajak in natura (beras) menjadi pajak dalam bentuk uang kontan), undang-undang wajib belajar, undang-undang wajib militer dan sebagainya. Revisi sistem perpajakan dilakukan berdasarkan usul dari Kanda Takahira, seorang ahli bahasa Belanda yang bekerja pada pemerintah sebelumnya. Kanda menerjemahkan buku Outline of Social Economy karya W. Ellis 3 . Berdasarkan sistem perpajakan yang baru, tanah (waktu itu sebagian besar adalah lahan pertanian) bebas diperjualbelikan, dan pemilik tanah harus membayar pajak tanah dengan prosentase sesuai dengan ketentuan pemerintah. Dengan dana dari pemungutan pajak, pemerintah Jepang mulai membangun industri seperti pabrik dan tambang, membeli mesin dan mendatangkan teknisi dari negara-negara Barat untuk alih teknologi kepada tenaga kerja Jepang. Selain pemerintah pusat, penguasa dan pengusaha lokal di berbagai daerah juga mengambil inisiatif membangun industri dan perdagangan luar negeri, dengan tujuan mengurangi impor keperluan hidup rakyat sehari-hari dan merebut laba yang waktu itu dinikmati oleh perusahaan dagang luar milik negara-negara Barat. Dari segi modal dan jumlah, skala perusahaan swasta jauh di bawah perusahaan yang didirikan oleh pemerintah. Artinya, pada tahap awal industrialisasi, hampir semua industri besar adalah BUMN. Pada tahun 1880an, pemerintah mulai melakukan privatisasi; pabrik modern (terutama pabrik tekstil) dan tambang dijual kepada pihak swasta. Dalam proses privatisasi, terjadi skandal kolusi dan korupsi, karena sebagian besar dijual ke pengusaha yang dekat dengan pemegang kekuasaan, dan harga jual di-mark down (lebih rendah dari pada harga pasar). Sebagaimana yang terjadi di semua negara pada awal industrialisasi, peraturan undangundang belum memadai, penguasa dan pengusaha yang berkolusi dengan penguasa berkesempatan 2

Anggota delegasi pemerintah Jepang ke Amerika Serikat untuk menyerahkan hasil Ratifikasi Perjanjian Perdagangan Jepang-Amerika, yang ditandatangani oleh di tahun 1858; anggota delegasi pemerintah Jepang ke Perancis untuk negosiasi ulang perjanjian dagang, tahun 1862 dan 1864; para mahasiswa yang dikirim untuk studi di Belanda dan Inggris oleh pemerintah Jepang maupun oleh pemerintah lokal di tahun 1862 s/d 1868. Mereka yang merupakan tulang punggung pemerintah setelah pergantian rezim di tahun 1868. 3 Kanda menerjemahkan buku tersebut dari edisi bahasa Belanda, karena waktu itu di Jepang tidak ada yang menguasa bahasa Inggris dengan baik. Sedangkan pemerintah Jepang sejak awal 1600an terus mendidik ahli bahasa Belanda.

4

berbuat curang, kesenjangan sosial melebar, kelompok lemah tidak dilindungi secara hukum sehingga makin terpuruk. Industrialisasi memicu keterpurukan sektor pertanian (harga jual produk industri jauh di atas harga jual produk pertanian), sedangkan sektor industri belum mampu menyerap semua tenaga kerja yang beralih dari sektor pertanian, sehingga menimbulkan pengangguran di daerah urban dan munculnya kelas proletariat; ini memicu frustrasi massa sehingga mudah dihasut untuk melakukan tindakan anarkis. Pada kenyataannya, pada tahun 1870an telah terjadi sejumlah aksi protes yang dibarengi dengan kekerasan (serangan ke aparat keamanan dan tindakan merusak kantor polisi) di berbagai wilayah di Jepang. Pemerintah berusaha meminimalisir kondisi ini dengan akselerasi pembangunan industri untuk menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan kualitas pendidikan agar para lulusan sekolah bisa siap masuk ke dunia industri. Selain pemerintah, pihak swasta juga bergerak memberi solusi atas kondisi sosial waktu itu, yaitu mengarahkan anak-anak remaja untuk merantau ke luar negeri, dan memberi masukan kepada pemerintah agar mengesahkan undang-undang perlindungan tenaga kerja. 1. Merantau dan belajar ke luar negeri Setelah Jepang menandatangani perjanjian perdagangan dengan Amerika, Perancis, Belanda, Rusia dan Inggris pada tahun 1858, yang mengizinkan orang asing (Barat) untuk tinggal di Jepang, para misionaris pun berdatangan ke Jepang untuk menyebarkan ajaran Kristen. Di antaranya, yang paling antusias adalah para misionaris dari Amerika. Mereka mendirikan sekolah di berbagai tempat di Jepang, dengan tujuan mempersiapkan calon misionaris bumiputera (=orang Jepang) untuk proyek Kristenisasi Jepang. Selain para misionaris Amerika, terdapat pula sejumlah sekolah yang didirikan oleh para tokoh Kristen Jepang, yang pernah berkunjung ke Amerika atau belajar pada misionaris Amerika. Restorasi Meiji tahun 1868, pada hakikatnya adalah pergantian rezim akibat perebutan kekuasaan yang dibarengi dengan pertumpahan darah, dan dimenangkan oleh pihak pemberontak. Akibatnya, yang memegang kekuasaan di semua lini pemerintah pasca 1868 adalah kelompok yang mendukung pemberontak pada pertempuran di tahun 1868. Selain beberapa tokoh yang memiliki pengalaman berkunjung ke negara-negara Barat dan menguasai bahasa Inggris, sebagian besar orang-orang yang sebelum tahun 1868 berpihak pada pemerintah, tidak mendapat jabatan pada pemerintahan baru pasca 1868. Mereka inilah (barisan sakit hati) yang sebagian besar ditarik ke kubu misionaris Amerika, masuk Kristen, dan berusaha mengukuhkan kembali eksistensi diri mereka sebagai pemimpin masyarakat Jepang melalui koneksi dengan Amerika. Banyak di antara mereka yang 5

melanjutkan studi ke Amerika, berkat koneksi dengan tokoh Kristen Amerika; setelah kembali ke Jepang, mereka mensosialisasikan informasi mengenai kesempatan untuk studi ke Amerika, melalui ceramah dan penerbitan buku & majalah. Tahun 1880an, pemerintah Jepang sudah berhasil menumpas semua kerusuhan anti pemerintah; dan seiring dengan berkembangnya industri dan dibukanya sekolah-sekolah yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang melalui pendidikan, gerakan anti pemerintah tidak lagi menarik simpatik dari massa. Di saat yang bersamaan, Amerika sedang berada di era pembangunan ekonomi yang pesat pasca Perang Saudara dan Era Rekonstruksi (1861-1877). Industri berkembang pesat sehingga membutuhkan tenaga kerja asing. Ini berarti terbuka peluang bagi orang asing. Sebelumnya, pekerja migran dari Cina banyak yang bekerja di Amerika. Pada tahun 1882, pemerintah Amerika mengeluarkan larangan bagi imigran Cina. Akibatnya, pengusaha Amerika yang membutuhkan pekerja migran, mulai melirik pekerja migran dari Jepang. Pengiriman tenaga kerja Jepang ke luar negeri sebenarnya sudah dimulai tahun 1868, yaitu ke kepulauan Hawaii (waktu itu masih berupa negara merdeka), karena kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan tebu. Setelah Hawaii dijadikan negara bagian Amerika Serikat pada tahun 1899, pengiriman pekerja migran Jepang tetap berlanjut, melalui 5 agen pengiriman pekerja migran yang beroperasi di Jepang. Pertumbuhan jumlah imigran Jepang ke Amerika di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah sebagai berikut: Tahun

Jumlah

1871-1880

149 orang

1881-1890

2.270 orang

1891-1900

25.942 orang,

1901-1910

129.797 orang

sumber: http://www.japanusencounters.net/immigrant_2.html Banyak pekerja migran menjadi korban eksploitasi oleh agen-agen tersebut, sehingga memasuki tahun 1900, pemerintah Jepang melalui perwakilan di Amerika, mulai melakukan penertiban 4 .

4

http://www.ndl.go.jp/brasil/s1/s1_1.html. Pada tahun 1917, pemerintah Jepang melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri melakukan merger terhadap agen pengiriman pekerja migran, dan lahirlah Kaigai Kogyo Kabushikigaisha sebagai satu-satunya agen (perusahaan) pengiriman pekerja migran Jepang ke luar negeri, sampai dengan tahun 1941 (karena pecahnya Perang Asia Pasifik); selain itu, di setiap propinsi di Jepang, pemprov mendirikan asosiasi untuk sosialisasi informasi untuk calon pekerja migran, terutama ke Brazil (坂口満宏「誰が移民を送り出した

6

Seiring dengan semakin banyaknya warga Jepang yang merantau ke luar negeri demi kehidupan yang lebih baik, pada tahun 1914, Kementerian Dalam Negeri Jepang mensponsori berdirinya Asosiasi Emigrasi Jepang (Nihon Imin Kyokai) dan mengirim petugas penyuluhan ke Pemda dan Karang Taruna di seluruh Jepang, untuk mensosialisasikan informasi yang diperlukan untuk merantau ke luar negeri5. Selain agen pengiriman pekerja migran komersial, terdapat pula asosiasi yang didirikan oleh para tokoh Kristen Jepang, yang memberikan informasi tentang kondisi di Amerika melalui majalah dan buku. Di antaranya adalah Tobei Kyokai (Asosiasi untuk Perantauan ke Amerika) dan Nihon Rikkokai (Asosiasi untuk Mendorong agar Orang Jepang Tekun Berusaha). Kesamaan dari 2 organisasi tersebut adalah keduanya dimotori oleh tokoh Kristen Jepang, dan bertujuan mendorong para pemuda Jepang untuk merantau ke Amerika dan meraih sukses. Ini sesuai dengan semangat Protestan waktu itu, yaitu self help (sukses tergantung pada usaha diri sendiri). Tidak ada informasi mengenai kapan Tobei Kyokai didirikan dan siapa pendirinya, namun yang jelas adalah Katayama Sen (1859-1933) menulis dan menerbitkan beberapa buku pedoman bagi orang Jepang yang ingin merantau ke Amerika. Katayama sendiri merantau ke Amerika pada tahun 1884 (ketika usia 25 tahun), bekerja serabutan (sebagai pencuci piring, juru masak dan sebagainya) sambil menyelesaikan studi di universitas; selama di Amerika, Katayama dibaptis dan dipengaruhi pula oleh ide sosialisme ala Amerika (perbaikan kehidupan kaum miskin melalui upaya yang konkrit, bukan melalui protes). Setelah kembali ke Jepang pada tahun 1896, ia mulai memimpin gerakan buruh sambil menerbitkan buku pedoman bagi pemuda yang ingin merantau ke Amerika, termasuk informasi mengenai hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan sebelum berangkat, bidang-bidang pekerjaan apa saja yang prospeknya baik, tips agar para pelajar Jepang dapat mencari nafkah sendiri sambil menyelesaikan studi di Amerika (misalnya, sebagai pengantar susu dan surat kabar, school boy atau pembantu di rumah orang Amerika), serta lampiran pedoman untuk belajar bahasa Inggris 6.

のか」(Sakaguchi Mitsuhiro. Dare ga imin wo okuridashita noka (Siapa yang telah mengirim emigran?) Ritsumeikan Studies in Language and Culture 21 (4), pp.53-66, 2010-03. Ritsumeikan University). Pasca kekalahan perang, pada tahun 1954, pemerintah Jepang melalui Kementerian Luar Negeri mendirikan Nihon Kaigai Kyokai Rengokai (Federasi Asosiasi Luar Negeri Jepang), untuk mengirim pekerja migran Jepang ke luar negeri, terutama ke Brazil dan negaranegara Amerika Latin lainnya. Tahun 1963, federasi tersebut merger dengan organisasi lain dan membentuk Kaigai Iju Jigyodan (Asosiasi untuk Emigrasi).Program pengiriman tersebut berlanjut hingga tahun 1974. Setelah 1974, asosiasi tersebut merger dengan organisasi lain dan membentuk Japan International Cooperation Agency (JICA), dengan misi memberi bantuan kepada negara-negara berkembang di seluruh dunia. 5 日本移民協会編『海外移住』日本移民協会、大正十二年(Nihon Imin Kyokai (ed.) Kaigai Iju. Nihon Imin Kyokai, 1923) 6 片山潜『渡米案内』渡米協会、明治 34、35(Katayama Sen. Tobei Annai (Pedoman untuk Merantau ke Amerika), Tobei Kyokai, 1901, 1902). Pada tahun 1911, Katayama ditangkap dan dipenjarakan karena memimpin mogok kerja massal pekerja bis listrik Tokyo; tahun 1912, ketika Kaisar baru naik tahta, Katayama diberi amnesti, dan berangkat ke

7

Nihon Rikkokai didirikan oleh Shimanuki Hyodayu (1866-1913), seorang pendeta Protestan, pada tahun 1897; Shimanuki tergugah oleh pelayanan sosial dari para misionaris Bala Keselamatan di Jepang. Melihat kondisi sulit di Jepang waktu itu, Shimanuki sampai pada kesimpulan bahwa jika pemuda miskin Jepang ingin memperbaiki nasib dengan usaha sendiri, maka cara yang terbaik adalah dengan merantau ke Amerika 7 . Nihon Rikkokai membentuk divisi Tobei (Merantau ke Amerika), menerbitkan majalah Tobei Shinpo, untuk sosialisasi informasi bagi mereka yang berminat merantau ke Amerika. Shimanuki sendiri berkunjung ke Amerika pada tahun 1900, dan pada tahun 1901, ia menerbitkan buku pedoman untuk merantau ke Amerika, berdasarkan pengalamannya sendiri. Dalam buku tersebut, ia menekankan perlunya pemuda Jepang untuk merantau ke Amerika, demi meraih sukses bagi dirinya dan bagi kejayaan negara Jepang 8. Selain pihak swasta, pemerintah Jepang juga berupaya mendorong agar generasi muda Jepang merantau ke luar negeri guna meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Pada tahun 1896, Kementerian Perdagangan dan Pertanian memulai program Magang Keluar...


Similar Free PDFs