SISTEM PENGETAHUAN SUKU BANGSA BUGIS PDF

Title SISTEM PENGETAHUAN SUKU BANGSA BUGIS
Author Masyithah Nurul Haq
Pages 10
File Size 143 KB
File Type PDF
Total Downloads 383
Total Views 845

Summary

SISTEM PENGETAHUAN SUKU BANGSA BUGIS Paper diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia yang diampu oleh Dosen: Dr. H. Didin Saripudin, S. Pd, M. Si. Dr. Syarif Mouis oleh Masyithoh Nurul Haq 1407264 DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUA...


Description

SISTEM PENGETAHUAN SUKU BANGSA BUGIS Paper diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia yang diampu oleh Dosen: Dr. H. Didin Saripudin, S. Pd, M. Si. Dr. Syarif Mouis

oleh Masyithoh Nurul Haq 1407264

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2015

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang bernama La Sattumpugi yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini. Rakyat La Sattumpugi menamakan diri mereka dengan merujuk pada raja mereka, yaitu dengan julukan to ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. (Ginanjar, dkk, 2011) Suku Bugis merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan. Di samping suku asli, orang-orang Melayu dan Minangkabau yang merantau dari Sumatera ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di kerajaan Gowa, juga dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak 6 juta jiwa. Kini suku Bugis menyebar pula di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, bahkan hingga manca negara. (Ginanjar, dkk, 2011) Suku Bugis memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang meliputi sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, sistem seni, sistem hukum, sistem moral, adat, dan kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam tulisan kali ini, penulis akan coba fokus pada pendalaman dari sistem pengetahuan Suku Bugis. Uraian mengenai pokok-pokok khusus yang merupakan isi dari sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan, akan merupakan suatu uraian tentang cabang-cabang pengetahuan. Cabang-cabang itu sebaiknya dibagi berdasarkan pokok perhatiannya. Menurut Koentjaraningrat (1979, hlm. 372-373) setiap suku bangsa di dunia biasanya mempunyai pengetahuan tentang: 1. Alam sekitarnya, 2. Alam flora di daerah tempat tinggalnya, 3. Alam fauna di daerah tempat tinggalnya, 4. Zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya, 5. Tubuh manusia, 6. Sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, dan 7. Ruang dan waktu 1

Demikian juga dengan sistem pengetahuan orang Bugis, yang memiliki sistem pengetahuan di antaranya: pengetahuan tentang alam, flora, fauna, pengetahuan tentang ramuan obat, pengetahuan kedutan pada bagian badan, pengetahuan tentang appesissikeng (sifat dan waktu) manusia, dan pengetahuan tentang hari baik dan buruk. Dari pengetahuan di atas, mempunyai perbedaan pengetahuan dari dimana orang Bugis itu berada, terutama pada alam flora dan fauna, sedangkan tentang pengetahuan ramuan obat yang berbeda adalah jenis tumbuh-tumbuhan dan namanya tumbuhan tersebut. Dari dua macam sistem pengetahuan yang berbeda tiap pemukiman orang Bugis, nampak adanya pengaruh lingkungan alam terhadap pembentuk pengetahuan mereka. Adapun pengetahuan tentang hari baik dan buruk, kedutan-kedutan pada bagian badan dan pengetahuan appesissikeng terdapat kesamaan yang umum dimengerti. (Badollah, 2015) Pengetahuan tentang Alam Pengetahuan tentang alam misalnya tentang musim, sifat-sifat gejala alam, tentang binatang, dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang alam ini sering mendekati wilayah religi. Pengetahuan tentang alam ini juga sering berbentuk dongeng yang dianggap suci, seperti kosmologi dan folklor dalam kesusastraan. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 373) Sistem pengetahuan suku bangsa bugis tentang alam representatif dengan melihat kepercayaan asli mereka yaitu animisme dan dinamisme, yang masih mereka anggap ada. Warisan inilah yang dianggap oleh mereka sebagai agama dan kepercayaan yang benar dan dikenal dengan nama Toani Tolotang, Patuntung, dan Aluk Todolo. (Mukhlis, dkk, 1995, 30-31) Contoh sistem pengetahuan tentang alam dalam sebuah dongeng mitologi terkenal di Suku Bugis, yaitu mitologi I Lagaligo, ini yang menghubungkan antara ‘dunia atas’ dengan ‘dunia bawah’. Baik ‘dunia atas’ maupun ‘dunia bawah’ adalah tempat keluarnya dewa yang nanti akan menurunkan para raja mereka. Adanya gejala alam seperti hujan lebat disertai kilat dan petir, bumi berguncang, dan lain-lain adalah pertanda kedatangan dewa dari ‘dunia atas’. Sementara gejala alam seperti bambu petung, buih air (biasanya dari lautan), dan sebagainya adalah pertanda datanganya dewa dari ‘dunia bawah’. (Mukhlis, dkk, 1995, hlm. 78) Pengetahuan tentang Flora Pengetahuan tentang flora sudah tentu merupakan salah satu dasar bagi kehidupan manusia dalam masyarakat kecil, terutama jika mata pencaharian hidupnya dari bertani, namun tak menutup kemungkinan juga bagi masyarakat dengan mata pencaharian lainnya ikut merasa perlu memiliki pengetahuan tentang flora dalam rangka mengobati penyakit, bumbu rempah-rempah untuk makan, upacara keagamaan, ilmu dukun, racun senjata, dan lan sebagainya. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 373-374)

2

Dalam masyarakat Bugis dulu dikenal penggunaan serat tumbuh-tumbuhan dan kulit kayu untuk pembuatan pakaian. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai berkembang mereka menemukan bahan yang lebih baik yakni bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain sarung dan pakaian tradisional. Orang Bugis juga banyak memanfaatkan tumbuhan untuk mengobati penyakit, contohnya pemanfaatan Kasumba / Kesumba Bugis (sejenis pucuk bunga) untuk mengobati cacar air, dalam pengetahuan mereka kesumba ini ada dua jenis, yaitu cippe lamacui (sejenis tanaman benalu yang menempel di tanaman besar) dan putik kuma-kuma (putik / bunga seperti teratai tapi tumbuhnya di daratan). Orang Bugis dalam membuat ramuan Kasumba ini bisa dengan cara merebus bunganya denga dua gelas air, bisa juga dengan diseduh air mendidih dan meminumnya setelah dingin sebanyak tiga gelas sehari. (Alilah, 2015) Pengetahuan tentang Fauna Pengetahuan tentang fauna merupakan pengetahuan dasar bagi suku-suku yang hidup berburu dan suku yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan, tapi tak berarti tak terharga juga bagi masyarakat petani, karena daging binatang cukup penting juga bagi suku bangsa tani untuk makanan mereka, dan sifat-sifat binatang juga mereka harus tahu untuk melindungi tumbuhan-tumbuhan mereka dari serangan para binatang perusak. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 374) Orang Bugis sudah mengenal olahan fauna untuk dijadikan makanan khas mereka, contohnya olahan ikan mentah untuk dijadikan makanan yang lebih dikenal dengan istilah lawa bale, jenis makanan ini mirip dengan sushi di Jepang. Lawa bale terdiri dari ikan mentah yang sudah dipisahkan dari tulang dan kepalanya yang dicampurkan dengan parutan kelapa. Selain itu ada beberapa fauna yang menjadi khas dan sering dijumpai para orang Bugis ini, mereka cukup bersahabat dengan mereka, hewan-hewan itu seperti anoa (hewan yang mirip kerbau tapi kecil seperti kambing), kura-kura paruh betet (karena mulutnya yang runcing seperti paruh burung betet), burung maleno (yang telurnya lima kali lebih besar dari telur ayam kampung), babi rusa (hewan yang sepert babi tapi memiliki ukuran yang lebih besar dan punya taring yang panjang), dan kera hitam. (Untad, tt) Pengetahuan tentang Zat, Bahan, dan Benda Lingkungan Pengetahuan tantang ciri-ciri dan sifat-sifat bahan mentah, benda-benda di sekelilingnya, juga sangat penting bagi manusia untuk membuat alat-alat dalam hidupnya, karena sistem teknologi dalam suatu kebudayaan sudah tentu terkait dengan sistem pengetahuan tentang zat-zat, bahan-bahan mentah, dan benda-benda ini. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 374)

3

Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda, maka secara perlahan tapi pasti, tatanan kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok, kemudian membentuk sebuah masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup tersebut. Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagaihasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa umum, hasil ciptaan yang berupa peralatan fisik disebut teknologi dan proses penciptaannya dikatakan ilmupengetahuan dibidang teknik.Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi Selatan terkenal sebagai pelaut yang ulung. Mereka sangat piawai dalam mengarungi lautan dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi. (Nur, 2014) 1. Perahu Pinisi Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugis yang sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi. 2. Sepeda dan Bendi Sepeda ataupun Dokar, koleksi perangkat pertanian tadisional ini adalah bukti sejarah peradaban bahwa sejak zaman dahulu bangsa indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutama tanaman padi sebagai bahan makanan pokok. 3. Koleksi peralatan menempa besi dan hasilnya Jika anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masalampau masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melalui koleksi tradisional menempa besi, hasil tempaan berupa berbagai jenis senjata tajam, baik untuk penggunan sehari – hari maupun untuk perlengkapan upacara adat. 4. Koleksi Peralatan Tenun Tradisional Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui bahwa budaya menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah, yakni ditemukan berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan di beberapa daerah seperti Leang – Leang kabupaten Maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat – serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun dengan 4

bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain saung dan pakaian tradisional contohnya baju Bodo, baju adat Bugis-Makassar, dengan Lipa' Sabbe (sarung sutra) yang biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo . Pengetahuan tentang Tubuh Manusia Pengetahuan tentang tubuh manusia, tetutama dulu saat ilmu kedokteran belum begitu berkembang seperti saat ini, sangat dibutuhkan dan seringkali memang sudah diketahui secara luas sendiri oleh masyarakat. Di desa, orang yang biasanya dapat menyembuhkan orang sakit disebut dengan dukun, tukang pijat. Seorang dukun ilmunya disebut dengan ilmu dukun. Ilmu dukun ini biasanya banyak menggunakan banyak sekali ilmu gaib, di samping itu mereka juga banyak memiliki ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia, letak, dan susunan urat-urat, dan lain sebagianya. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 374) Pengobatan tradisional leluhur Bugis berdasarkan lontarak Bone ini juga didasarkan pada pemahaman terhadap tumbuh-tumbuhan alam yang ada di lingkungan sekitar, filsosofi yang diajarkan dalam kebudayaan mereka, serta ajaran Islam. Salah satu filosofi yang dipegang teguh adalah bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya yang disediakan oleh Tuhan di alam semesta (Abdul Hamid, 2008). Penulis contohkan pada penyakit panas, orang Bugis mengatasi demam bisa dengan berbagai cara yaitu di antaranya dengan memarut pisang muda, lalu ditempelkan pada kepala, atau menggiling halus tawak, lalu ditempelkan pada kepala. Bisa juga minum minyak labu pada waktu pagi. Atau dengan memasak minyak wijen dan minyak pacar hingga airnya habis, dicampur, lalu diminum. Cara lainnya bisa dengan mencampurkan asam, gula pasir, dan jalawe, lalu makan saat pagi atau ketika akan tidur. Ada lagi dengan menggiling pucuk jambu, menyiramnya dengan air panas, lalu diminum. Cara terakhir bisa dengan mencampur air pencuci beras yang pertama dengan kemiri, lalu diminum. (Efendi, 2011) Contoh berikutnya akan penulis berikan pada cara pengobatan penyakit cacar, yaitu dengan membakar daun kemiri yang gugur dan pepang, kemudian abunya diambil dengan menambahkan air, lalu sapukan pada puru-puru. Bisa juga dengan membakar kulit jeruk yang kering sampai hangus, lalu menggosokkannya pada puru-puru. Ada lagi dengan mencampurkan jadam dengan asam cuka, dan menambahkan padanya jintan hitam yang telah dihalsukan dengan minyak zaitun, terakhir menyapukannya pada puru-puru. (Efendi, 2011) Pengetahuan tentang Hubungan Sesama Manusia Pengetahuan tentang sesama manusia juga tidak dapat diabaikan. Sebelum terpengaruh ilmu psikologi modern, sebuah suku bangsa dalam bergaul dengan sesamanya biasanya berpegangan dengan ilmu firasat (pengetahuan tantang tipe-tipe wajah) atau pengetahuan 5

tentang tanda-tanda tubuh tersebut. Dalam hal ini bisa dikategorikan ada di dalamnya yaitu pengetahuan tentang sopan-santun, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat, silsilah, sejarah, dsb. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 374-375) Dalam Suku Bugis, adat istiadat (yang juga dikenal dengan konsep ade‘), kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di masa lalu mengacu kepada kehidupan dewa - dewa yang diyakini. Di sana juga dikenal istilah pamali sebuah ungkapan yang bersifat spontan sebagai bentuk pelarangan dengan penekanan pada kejiwaan, untuk tidak melanggar hal yang dianggap pemali. (Fitriyani, 2015) Ada pula istilah siri’, yaitu ajaran moralitas untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya. Siri’ juga bisa dikatakan hukum adat karena jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia dianggap menginjak ajaran siri’ dan akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Siri’ terbagi menjadi dua yaitu, siri' nipakasiri‘ dan siri' masiri'. (Fitriyani, 2015) Sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral atau sistem yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Dalam suku Bugis zaman dulu dikenal tiga strata sosial atau kasta, yaitu ana’ arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi (kasta tertinggi), to maradeka atau orang merdeka (orang kebanyakan sebagai kasta pertengahan), dan yang terakhir kasta terendah yaitu kasta ata atau budak. Perlu dicatat pula dalam status sosial yang berhubungan dengan status gender di suku Bugis ada yang dikenal dengan istilah bissu, sebutan untuk seorang transgender (waria), menariknya bissu dalam masyarakat Bugis memiliki kedudukan terhormat dan mendapat julukan manusia setengah dewa. (Nur, 2014) Pengetahuan tentang Ruang dan Waktu Pengetahuan tentang ruang dan waktu juga ada dalam banyak kebudayaan yang belum terpengaruh ilmu pasti modern. Di sana dikenal ilmu untuk menghitung jumlah-jumlah besar, untuk mengukur, menimbang, menganggal, dsb. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 375) Umumnya orang Bugis berbentuk rumah yang bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dengan konstruksi yang dibuat secara lepas-pasang (knock down). Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan, tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, menikah, dan meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur. (Nur, 2014) Konstruksi rumah berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah yang juga sudah di-setting dengan fungsi-fungsi khusus yaitu: tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai 6

tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan kandang ternak. Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku. (Nur, 2014) Berkaitan dengan tempat ada juga kepercayaan masyarakat tentang adanya dewa yang bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyi’ li’timo’ kemudian melahirkan Patoto E. Dewa Patoto E kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru. Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas dipuncak Himalaya. (Ginanjar, dkk, 2011) Kemudian, pengetahuan tentang tempat juga membentuk sistem pencaharian masyarakat Bugis, dijelaskan sistem mata pencaharian hidup orang Bugis pada umumnya adalah petani, ada juga sebagai pedagang untuk mereka yang tinggal cukup jauh dari pantai dan yang lain bekerja sebagai nelayan untuk penduduk yang bertempat tinggal di pinggir pantai. Sistem pengatahuan tentang ruang dan waktu juga berhubungan dengan sistem pernikahan dalam suku. Mereka mengenal tahap-tahap dalam pernikahan juga waktu-waktu baik untuk menetapkan tanggal nikah. Tahap pernikahan itu ada lettu (lamaran), mappettuada (kesepakatan pernikahan) di sinilah pihak laki-laki dan pihak perempuan membicarakan waktu pernikahan, jenis sunrang atau mas kawin, balanja atau belanja pernikahan, penyelanggaran pesta, dan sebagainya, lalu ada madduppa (mengundang) ialah kegiatan kesepakatan antar kedua belah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai pelaksanakan nikah. Kemudian mappaccing (pembersihan) ialah ritual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah dimulai yang biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati, cara pelaksanaannya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar), kemudian para undangan dipersilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai. (Ginanjar, dkk, 2011) Pengetahuan tentang Bahasa dan Tulisan Ada juga pengetahuan tentang bahasa dan tulisan etnografi, di mana huruf yang jadi unsur di dalamnya dapat mengabstraksikan suatu konsep dan suara. Masyarakat atau suku bangsa sering manganalisa alam sekeliling tampat tinggal mereka dan mengupas suara-suara dalam bahasa. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 375) 7

Dari segi aspek budaya, orang Bugis mempunyai bahasa tersendiri yang dikenal sebagai Bahasa Bugis (juga dikenal sebagai Ugi / Ugidan). Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-Pare, Kabupaten Pinrang, sebagian Kabupaten Enrekang, sebagian Kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. (Ginanjar, dkk, 2011) Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugidan dengan kesusastraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Sehingga konsonan di dalam Ugi dikenal sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta. (Ginanjar, dkk, 2011) Menurut Coulmas (1989), pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatatkan firman-firman tuhan, karena itu tulisan disakralkan dan dirahasiakan. Namun dalam perjalanan waktu dengan berbagai kompleksitas kehidupan yang dihadapi oleh manusia, maka pemikiran manusia pun mengalami perkembangan demikian pula dengan tulisan yang dijadikan salah satu jalan keluar untuk memecahkan problem manusia secara umumnya. (Ginanjar, dkk, 2011) Kemudian mengenai Lontara Bugis, bagi masyarakat Bugis klasik, Lontara dianggap sebagai , hal itu disebabkan epos La Galigo / I Galigo / I La Galigo yang dianggap sakral bagi mereka ditulis dengan haruf lontara, karena memang para penyair Bugis dulu banyak menuangkan fikiran dan ekspresi hatinya di atas daun lon...


Similar Free PDFs