suprastruktur dan infrastruktur politik PDF

Title suprastruktur dan infrastruktur politik
Author Fatah Abdillah
Pages 12
File Size 126 KB
File Type PDF
Total Downloads 637
Total Views 973

Summary

Diktat Kekuatan Politik Indonesia Pembagian Berdasarkan Suprastruktur dan Infrastruktur Politik BAB I Pendahuluan Pengertian Suprastruktur dan Infrastruktur Politik Kekuatan Politik Indonesia terdiri dari infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Adapun Suprastruktur politik terdiri dari lemb...


Description

Diktat Kekuatan Politik Indonesia Pembagian Berdasarkan Suprastruktur dan Infrastruktur Politik BAB I

Pendahuluan Pengertian Suprastruktur dan Infrastruktur Politik

Kekuatan Politik Indonesia terdiri dari infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Adapun Suprastruktur politik terdiri dari lembaga tinggi Negara yang biasanya termaktub dalam konstitusi Negara tersebut. Sedangkan Infrastruktur politik merupakan lembaga yang dapat mempengaruhi suprastruktur politik sebagai lembaga Negara yang memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan. Adapun pengertian Suprastruktur adalah struktur politik pemerintahan yang berkaitan dengan lembaga negara yang ada, serta hubungan kekuasaan antara lembaga satu dengan yang lain1. Suprastruktruk diidentifikasikan terdiri dari tiga lembaga yaitu eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.

Diambil

dari

blog

http://tommysyatriadi.blogspot.com/2013/05/suprastruktur-dan-

infrastruktur-politik.html

Infrastruktur Politik adalah mesin politik yang ada dalam masyarakat yang tidak memiliki pengaruh secara langsung dalam pembuatan keputusan politik Negara, seperti perubahan UUD, pembuatan UU, pembuatan keputusan politik

lainnya yang berlaku umum dan memaksa bagi kehiduan bermasyarakat dan bernegara2. Infrastruktur politik terdiri dari lembaga – lembaga yang antara lain disebut sebagai beikut : a. Partai Politik’ b. Interest Group (Kelompok Kepentingan) c. Massa

2.

diambil

dari

https://spi2010b.wordpress.com/2012/11/10/struktur-

politik/

BAB II Pembahasan Relasi Suprastruktur Politik dan Infrastruktur Politik

Pada pembahasan kali ini akan dibahas relasi didalam suprastruktur politik dan Infrastruktur politik. Adapun relasi tersebut hanya akan dibatas sejak berdirinya Negara Indonesia dengan pembagian yang terdiri dari era Soekarno, Era Soeharto, dan Era Reformasi. A. Relasi Supratruktur Politik Eksekutif adalah lembaga pengelola pemerintahan atau lembaga yang menjalankan kebijakan sebagaimana telah diatur oleh undang-undang. Di Indonesia sendiri kekuasaan tersebut berada di tangan Presiden dan Wakil Presiden dibantu oleh kementrian Negara. Kekuasaan eksekutif di Indonesia sendiri berubah-ubah sesuai dengan jamannya. Selanjutnya adalah lembaga perwakilah yang bertugas mewakili rakyat dan berwenang dalam membuat undang-undang sebagai panduan lembaga eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan yaitu lembaga legislatif. Kekuasaan itu sendiri di Indonesia ditempatkan kepada MPR, DPR, dan DPD. Secara umum teori mengenai lembaga legislatif dapat terdiri dari dua kamar (bikameral) ataupun satu kamar (unicameral). Indonesia sendiri menganut system bicameral dengan dua lembaga yang secara efektif disebut sebagai lembaga pembuat undang-undang yaitu DPR dan DPD. Lembaga legislatif atau lembaga kehakiman. Lembaga ini pada awalnya tidak ada melainkan melekat fungsinya pada eksekutif terutama untuk bentuk Negara monarki absolute. Namun, melihat adanya konflik kepentingan manakala kerabat kerajaan melanggar undang-undang maka kekuasaan

legislative ini muncul menjadi salah satu dari tiga kekuasaan politik pada masa kini. Kekuasaan kehakiman di Indonesia sendiri pada saat ini terdiri dari Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan komisi Yudisial. Perkembangan kehakiman di Indonesi dalam beberapa periode mengalami kemajuan dari periode sebelumnya karena adanya pola koreksi terhadap kebijakan yang dibentuk oleh kekuasaan eksekutif ataupun kekuasaan legislatif sejak munculnya Mahkamah Konstitusi. A.1. Era Soekarno (1945 – 1967) Era Soekarno, relasi antara lembaga suprastruktur pada awalnya legislatif heavy namun paska dekrit presiden 5 Juli 1959 menjadi eksekutif heavy dengan aktor tunggal yaitu Soekarno sendiri. Sedangkan Yudikatif tidak memrankan peranan signifikan dan cenderung tunduk dengan kekuasaan yang sedang berkuasa atau tidak memiliki kemandirian dalam bersikap dan bertindak. Legislative heavy ini dikarenakan lembaga Negara Indonesia berbentuk sistem Demokrasi Parlementer yang artinya Presiden hanya sebagai Kepala Negara sedang Kepala Pemerintahannya adalah Perdana Menteri yang membawahi kementrian dengan diisi oleh kader partai politik. Adapun pemerintahannya sering berganti dikarenakan lembaga legislative sering menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet atau perdana menteri. Adapun kebanyakan kabinet sendiri tidak berumur lebih dari satu tahun sehingga program-programnya tidak terlaksana secara tuntas.

Dapat dikatakan periode ini merupakan era ketidakstabilan politik Indonesia dikarenakan tidak adanya kelompok secara efektif menguasai parlemen lebih dari 50% sehingga efektifitas pemerintahan tidak berjalan secara baik. Periode selanjutnya (demokrasi terpimpin) pun keberadaan Soekarno sebagai kelompok elit tunggal yang menguasai struktur politik tidak berjalan lama dan akhirnya tumbang juga melalui gerakan massa (angkatan 66) yang menunjukan bahwa Indonesia terlalu besar untuk dipimpin oleh orang sebesar Soekarno sekalipun. Soekarno gagal menggandeng kekuatan politik lainnya walaupun sudah menelurkan azas nasakom dikarenakan A.2. Era Soeharto (1967 – 1998) Era Soeharto sejak awal sudah dikondisikan untuk eksekutif heavy artinya kedudukan Presiden begitu kuat apalagi di lembaga legislatif sendiri sudah dikooptasi menjadi bagian dari pendukung kepresidenan melalui partai Golkar sebagai partai hegeomik tunggal. Presiden sendiri pun adalah ketua Dewan Pembina Nasional partai golkar sebagaimana kepala daerah tingkat I (Gubernur) dan Kepala Daerah tingkat II (Walikota / Bupati) yang menjadi Dewan Pembina Partai Golkar di setiap jenjang.

A.3. Era Reformasi (1998 – sekarang) Era reformasi ini ketiga lembaga suprastruktural ini seakan mewarnai konstelasi politik di era ini. Seakan-akan lembaga ini berusaha

menunjukan kekuatan dan kekuasaan terhadap lembaga lain. Semisal Presiden benar-benar mewujudkan diri sebagai lembaga eksekutif yang disegani oleh legislative ataupun yudikatif karena Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan tidak dengan mudah dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Legislatif pun juga seakan-akan benar-benar melakukan pengawasan terhadap lembaga lain melalui kewenangan budgeting, legislating dan controlling.Yudikatif pun juga benar-benar menunjukan kekuasaannya melalui tindakan-tindakan memenjarakan actor-aktor di legislative (anggota dewan) ataupun eksekutif (menteri) yang benar-benar telah melakukan tindakan melawan hokum baik korupsi dan sebagainya. B. Relasi Infrastruktur Politik kelompok elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitaskualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Elit disini seperti Soekarno, Seoharto, ataupu seperti Sri Mulyani Kelompok kepentingan (Interest Group) Lembaga di luar pemerintah yang memiliki kepentingan dalam pembuatan kebijakan sehingga berusaha melakukan penekanan agar kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan mereka. Kelompok kepentingan ini terdiri dari : a. Partai politik seperti Masyumi, Golkar, Demokrat, dan sebaginya b. Lembaga kemasyarakatan yang terafiliasi ras, suku, profesi, minat ataupun agama seperti MUI, Muhammadiyah, NU, dan sebagainya,

c. Media Massa seperti Kompas, Suara Merdeka, dan Republika. Massa (mass) atau crowd adalah suatu bentuk kumpulan (collection) individu-individu, dalam kumpulan tersebut tidak terdapat interaksi dan dalam kumpulan tersebut tidak terdapat adanya struktur dan pada umumnya massa berjumlah orang banyak dan berlangsung lama. Massa menjadi salah satu kekuatan perubahan politik di Indonesia seperti perubahan Orde lama menjadi Orde Baru dan perubahan Orde Baru menjadi era Reformasi. Massa di Indonesia dipengaruhi oleh kekuatan Mahasiswa yaitu Mahasiswa Angkatan 66 dengan tuntutan Trituranya dan Angkatan 98 dengan tuntutan Reformasinya. B.1. Era Soekarno (1945 – 1967) Pada era Soekarno Infrastruktur politik di Indonesia yang secara efektif dimulai pada 1950 karena pada era sebelumnya (1945 – 1950) perpolitikan tidak dapat dilakukan dikarenakan adanya usaha mempertahankan kemerdekaan. Pada era ini awalnya didominasi oleh partai politik (demokrasi parlementer) selanjutnyat baru setelah keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959 maka secara otomatis infrastruktur politik dikuasai oleh Presiden Soekarno. Adapun pada era demokrasi parlementer diadakan satu kali pemilu (1955) yang menghasilkan empat besar partai politik yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Dari keempatnya hanya PNI, Masyumi, dan NU yang mendapat tempat di lembaga eksekutif (Kabinet) dalam mengelola pemerintahan. Sedang PKI tidak pernah menjadikan kadernya sebagai Perdana Menteri. Baru pada era paska dekrit Presiden 5 juli 1959 maka PKI mulai mendapat tempat dari Presiden Soekarno melalu azas Nasakomnya

Pada era ini pun infrastruktur politik tidak berkembang dengan baik karena adanya pengalaman ketidakstabilan pada masa demokrasi parlemen maka pada era ini terutama demokrasi terpimpin pihak yang berlawanan atau dianggap tidak bisa diatur cenderung akan dibubarkan semisal pembubaran Masyumi, PSI dan pembredelan beberapa media massa yang terafiliasi dengan partai politik tersebut. B.2 Era Soeharto (1967 – 1998) Era Soeharto melalui azas tunggal pancasila seluruh lembaga infrastruktur politik benar-benar dikontrol oleh pemerintah. Termasuk disini partai politik dan lembaga kepentingan. Partai politik sendiri harus mendapat persetujuan ketika akan mengangkat ketuanya. Bahkan jumlah partai politik pun dibatasi hanya tiga partai politik yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Media massa pun juga dikendalikan melalui lembaga perhimpunan profesi yang dibentuk pemerintah. B.3. Era Reformasi (1998 – sekarang) Pada era ini media massa, partai politik, dan kelompok kepentingan bertebaran berdiri bak cendawan di musim hujan. Lembaga – lembaga tersebut dikuasai tidak lagi oleh pemerintah dan bahkan cenderung ada yang menentang pemerintah dan menyuarakan ideology yang berbeda dengan pemerintah. Namun, Negara pun seakan tabu untuk melakukan pengendalian karena dianggap akan cenderung mengintervensi dan membatasi

BAB III Penutup Kesimpulan

Lembaga perpolitikan di Indonesia masih dikuasai oleh lembaga suprastruktural politik ketimbang infrastruktur politik dalam kesejarahan perpolitikan di Indonesia. Barulah pada era sekarang mulai berkembang infrastruktur politik yang lebih komplek dan terbebas dari intervensi pemerintah. Namun, Infrastruktur politik ini belumnya terlalu dewasa sehingga terkadang juga bertindak berlebihan dan cenderung tidak dapat dikontrol baik oleh masyarakat sendiri. Pemerintah pun tidak boleh melakukan intervensi terlau berlebihan melainkan harus melakukan edukasi secara terus meneru masyarakat bagaimanakah pola perpolitikan yang beradab demi menuju cita-cita bangsa dan Negara Indonesia

Pareto meyakini bahwa elit yang tersebar pada sektor pekerjaan yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas yang sama. Yakni orang-orang yang kaya dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite). Sementara Gaetano Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan- keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan kekerasan. Lebih jauh dijelaskan bahwa birokrasi memiliki beberapa fungsi / tugas diantaranya adalah menjamin pertahanan-keamanan, memelihara ketertiban, menjamin keadilan, peningkatan kesejahteraan rakyat, pemeliharaan sumberdaya alam dan lain-lain. Eksistensi birokrasi merupakan organ utama dalam sisitem dan kegiatan pemerintahan yang oleh karenanya birokrasi dapat menjalankan peran-peran tertentu atas otoritas negara, yang merupakan suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh badan / institusi lain manapun. Dalam kategori negara berkembang, Birokrasi dimata masyarakat tentunya masih mempunyai makna dan fungsi yang sangat dominan ketimbang di negara maju, dimana birokrasi itu sendiri lahir. Hal ini bisa dipahami karena birokrasi masih dipandang sebagi instrumen pokok negara untuk melaksanakan keputusan-keputusan serta kebijaksanaan. Dengan kata lain birokrasi menempati posisi sentral sebagai sistem untuk mengatur jalannya roda pemerinahan. Menurut Idal Bahri Ismadi, salah satu ciri yang menonjol dalam birokrasi modern adalah hirarkhi jabatan-jabatan (atasan dan bawahan) dan terdapat rekruitmen, promosi, penggajian pemisahan bidang pribadi dengan jabatan yang kesemuanya diatur menurut undang-undang. Namun dalam Pandangan Weber , birokrasi legal – rasional merupakan bentuk yang paling murni dari wewenang legal-rasional, impersonal dan netral. Mekanisme kerja biokrasi itu diatur dengan seperangkat aturan formal yang berjalan secara otomatis tanpa pandang bulu. Ditambahkan pula oleh Weber bahwa birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam rasionalitas dunia modern yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses social.

1. Massa menurut Gustave Le Bon (yang dapat dipandang sebagai pelopor dari psikologi massa) bahwa massa itu merupakan suatu kumpulan orang banyak, berjumlah ratusan

atau ribuan, yang berkumpul dan mengadakan hubungan untuk sementara waktu, karena minat dan kepentingan yang sementara pula. Misal orang yang melihat pertandingan sepak bola, orang melihat bioskop dan lain sebagainya (Lih, Gerungan 1900). 2. Massa menurut Mennicke (1948) mempunyai pendapat dan pandangan yang lain shingga ia membedakan antara massa abstrak dan massa konkrit. Massa abstrak adalah sekumpulan orang-orang yang didorong oleh adanya pesamaan minat, persamaan perhatian, persamaan kepentingan, persamaan tujuan, tidak adanya struktur yang jelas, tidak terorganisir. Sedangkan yang dimaksud dengan massa konkrit adalah massa yang mempunyai ciri-ciri: a) Adanya ikatan batin, ini dikarenakan adanya persamaan kehendak, persamaan tujuan, persamaan ide, dan sebagainya. b) Adanya persamaan norma, ini dikarenakan mereka memiliki peraturan sendiri, kebiasaan sendiri dan sebagainya. c) Mempunyai struktur yang jelas, di dalamnya telah ada pimpinan tertentu. Antara massa absrak dan massa konkrit kadang-kadang memiliki hubungan dalam arti bahwa massa abstrak dapat berkembang atau berubah menjadi konkrit, dan sebaliknya massa konkrit bisa berubah ke massa abstrak. Tetapi ada kalangan massa abstrak bubar tanpa adanya bekas. Apa yang dikemukakan oleh Gustave Le Bon dengan massa dapat disamakan dengan massa abstrak yang dikemukakan oleh Mennicke, massa seperti ini sifatnya temporer, dalam arti bahwa massa itu dalam waktu yang singkat akan bubar. d) Massa menurut Park dan Burgess (Lih. Lindzey, 1959) membedakan antara massa aktif dan massa pasif, massa aktif disebut mob, sedangkan massa pasif disebut audience. Dalam mob telah ada tindakan-tindakan nyata misalnya dimontrasi, perkelahian massal dan sebagianya. Sedangkan pada tindakan yang nyata, misal orang-orang yang berkumpul untuk menjadi mob, sebaliknya mob dapat berubah menjadi audience. Contoh Infra Struktur : a.

b. Pertama, kelompok anomik. Kelompok-kelompok anomik ini terbentuk di antara unsur-unsur masyarakat secara spontan dan hanya seketika. seperti demonstrasi, kerusuhan, tindak kekerasan politik, dan seterusnya. Kedua, kelompok nonasosiasional. Seperti kelompok anomik, kelompok ini jarang sekali yang terorganisasi secara rapi. Selain itu, kegiatannya juga tidak begitu intens, hanya kadang kala. Seperti kelompok-kelompok keluarga dan keturunan atau etnik, regional, status, dan kelas yang menyatakan kepentingan secara kadangkala kegiatan kelompok nonasosiasional ini terutama merupakan ciri masyarakat belum maju, di mana kesetiaan kesukuan atau keluarga-keluarga aristokrat mendominasi kehidupan politik,

c. Ketiga, kelompok institusional. Kelompok ini sifatnya formal dan memiliki fungsifungsi politik atau sosial lain di samping artikulasi kepentingan. Karena itu, organisasi-organisasi seperti partai politik, korporasi bisnis, badan legislatif, militer, birokrasi, dan ormas-ormas keagamaan sering kali mendukung kelompok ini atau memiliki anggota-anggota yang khusus bertanggung jawab melakukan kegiatan lobi. Sebagai kelompok yang formal seperti itu, kelompok ini bisa menyatakan kepentingannya sendiri maupun mewakili kepentingan dari kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Jika kelompok institusional ini sangat berpengaruh, biasanya akibat dari basis organisasinya yang kuat. d. Keempat, kelompok asosiasional (lembaga-lembaga swadaya masyarakat). Kelompok asosiasional meliputi serikat buruh, kamar dagang, atau perkumpulan usahawan dan industrialis, paguyuban etnik, persatuan-persatuan yang diorganisasi oleh kelompokkelompok agama, dan seterusnya. Secara khas, kelompok ini menyatakan kepentingan dari suatu kelompok khusus, memakai tenaga staf profesional yang bekerja penuh, dan memiliki prosedur teratur untuk untuk merumuskan kepentingan dan tuntutan....


Similar Free PDFs