Tugas Ortodonti PDF

Title Tugas Ortodonti
Author Setiawan Permata
Pages 35
File Size 325.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 384
Total Views 686

Summary

0 PERAWATAN ORTODONTI Disusun Oleh : Arum Dewi RH 10611012 Ason Leite 10612096 Dewantari Kris W 10613007 Dian Permata P 10613007 Fransisco Xavier P 10613107 Freedian Natasa ERW 10613052 Latifatul Umami 10613015 Lidia Borges Ximenes 10613111 Linda Agustin E 10613057 Nuno Da Costa DJ 10613114 Ruth Res...


Description

0

PERAWATAN ORTODONTI

Disusun Oleh : Arum Dewi RH

10611012

Ason Leite

10612096

Dewantari Kris W

10613007

Dian Permata P

10613007

Fransisco Xavier P

10613107

Freedian Natasa ERW 10613052 Latifatul Umami

10613015

Lidia Borges Ximenes 10613111 Linda Agustin E

10613057

Nuno Da Costa DJ

10613114

Ruth Restina Datu

10611060

Samsul Arifin

10613070

Shobibur Rochmah

10613023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI INSTITUT ILMU KESEHATAN KEDIRI 2015

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Upaya manusia untuk menfapatkan susunan gigi yang baik dapat ditelusuri

pada bukti peninggalan masa lalu sampai sejauh tahun 3000 sebelum Masehi, misalnya peranti untuk memperbaiki gigi yang tidak terletak normal dapat ditemukan di Mesir. Kemudian pada tahun 1850 Norman Williams Kingsley di Amerika Serikat menulis Oral Deformities yang berisi etiologi, diagnosis dan perawatan kelainan letak gigi (Rahardjo, 2012). Diagnosis di bidang ortodontik dapat didefinisikan sebagai suatu studi dan interpretasi data klinis untuk menetapkan ada tidaknya maloklusi. Diagnosis merupakan suatu langkah dalam perawatan ortodontik sebelum merencanakan perawatan ortodontik (Rahardjo, 2011). Pengertian ortodonti yang lebih luas menurut American Board of Orthodontics (ABO adalah cabang spesifik dalam profesi kedokteran gigi yang bertanggung jawab pada studi dan supervise pertumbuhkembangan geligi dan struktur anatomi yang berkaitan, sejak lahir sampai dewasa, meliputi tindakan preventif dan korektif pada ketidakteraturan letak gigi yang membutuhkan reposisi gigi dengan peranti fungsional dan mekanik untuk mencapai oklusi normal dan muka yang menyenangkan. Tujuan perawatan ortodonti adalah memperbaiki letak gigi dan rahang yang tidak normal sehingga didapatkan fungsi geligi dan estetik geligi yang baik maupun wajah yang menyenangkan dan dengan hasil akan meningkatkan kesehatan psikososial seseorang (Rahardjo, 2012). Maloklusi yang merupakan penyimpangan pertumbuhkembangan geligi dan struktur anatomi yang terkait dapat menganggu kondisi psikologi seseorang. Maloklusi dapat dirawat dengan menggunakan peranti ortodonti agar didapat oklusi yang normal dan muka yang menyenangkan (Rahardjo, 2012).

1

2

1.2

Rumusan Masalah Apakah maloklusi berpengaruh terhadap diagnosa dalam perawatan

ortodonti.

1.3

Tujuan Untuk mengetahui pengaruh maloklusi terhadap diagnosa dalam perawatan

ortodonti.

1.4

Hipotesa Maloklusi berpengaruh terhadap diagnosa dalam perawatan ortodonti.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Maloklusi Pengertian Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi

lengkung geligi (rahang) diluar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga bisa merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan menggangu estetik sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk melakukan perawatan. Terdapat bukti bahwa prevalensi maloklusi meningkat, peningkatan ini sebagian dipercayai sebagai suatu proses evolusi yang diduga akibat meningkatnya variabilitas gen dalam populasi yang bercampur dalam kelompok ras atau bisa juga dikatakan Maloklusi merupakan keadaan yang menyimpang dari oklusi normal (Mavreas, 2008). 2.1.2 Etiologi Maloklusi Kadang-kadang suatu maloklusi sukar ditentukan secara tepat etiologinya karena adanya berbagai faktor (multifaktor) yang mempengaruhi proses tumbuh kembang. Secara garis besar, etiologi atau penyebab suatu maloklusi dapat digolongkan dalam faktor herediter (genetik) dan faktor lokal (Rahardjo, 2012). 1. Faktor herediter Menurut Rahardjo (2012), pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu: a. Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai (Rahardjo, 2012). b. Disproporsi ukuran, posisi, dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis (Rahardjo, 2012).

3

4

Beberapa hal yang terjadi akibat faktor herediter menurut Rahardjo (2012), yaitu: a. Kelainan Gigi Beberapa kelainan gigi yang dipengaruhi faktor herediter ialah kekurangan

jumlah

gigi

(hipodonsia),

kelebihan

jumlah

gigi

(hiperdonsia), misalnya adanya mesiodens, bentuk gigi yang khas misalnya karabeli pada molar, kaninus yang impaksi di palatal, transposisi gigi misalnya kaninus yang terletak di antara premolar pertama dan kedua (Rahardjo, 2012). b. Kekurangan Jumlah Gigi Kelainan jumlah gigi dapat berupa tidak ada pembentukan gigi atau agenesis gigi. Anodonsia adalah suatu keadaan tidak terbentuk gigi sama sekali, untungnya frekuensinya sangat jarang dan biasanya merupakan bagian dari sindrom dysplasia ectodermal. Bentuk gangguan

pertumbuhan

yang

tidak

separah

anodonsia

adalah

hipodonsia, yaitu suatu keadaan beberapa gigi mengalami agenesis (sampai dengan 4 gigi), sedangkan oligodonsia adalah gigi yang tidak terbentuk lebih dari 4 gigi. Sebagai panduan dapat dikatakan apabila gigi sulung agenesis maka gigi permanennya juga agenesis, tetapi meskipun gigi sulung ada bisa saja gigi permanennya agenesis (Rahardjo, 2012). c. Kelebihan Jumlah Gigi Umumnya, yang paling sering ditemukan adalah gigi kelebihan yang terletak di garis median rahang atas yang biasa disebut mesiodens. Jenis gigi kelebihan lainnya adalah yang terletak di sekitar insisivus lateral sehingga ada yang menyebut laterodens, premolar tambahan bisa sampai dua premolar tambahan pada satu sisi sehingga pasien mempunyai empat premolar pada satu sisi (Rahardjo, 2012). d. Disharmoni Dentomaksiler Disharmoni dentomaksiler ialah suatu keadaan disproporsi antara besar gigi dan rahang dalam hal ini lengkung geligi. Menurut Anggraini

5

(1975) etiologi disharmoni dentomaksiler adalah faktor herediter. Karena tidak adanya harmoni antara besar gigi dan lengkung gigi maka keadaan klinis yang dapat dilihat adalah adanya lengkung geligi dengan diastema yang menyeluruh pada lengkung geligi bila gigi-geligi kecil dan lengkung geligi normal, meskipun hal ini jarang dijumpai. Keadaan yang sering dijumpai adalah gigi-geligi yang besar pada lengkung geligi yang normal atau gigi yang normal pada lengkung geligi yang kecil sehingga menyebabkan letak gigi berdesakan. Meskipun pada disharmoni dentomaksiler didapatkan gigi-geligi berdesakan tetapi tidak semua

gigi

yang

berdesakan

disebabkan

karena

disharmoni

dentomaksiler. Disharmoni dentomaksiler mempunyai tanda-tanda klinis yang khas. Gambaran maloklusi seperti ini bisa terjadi di rahang atas maupun di rahang bawah (Rahardjo, 2012). 2.

Faktor Lokal Menurut

Rahardjo

(2012),

beberapa

faktor

lokal

yang

dapat

menyebabkan maloklusi yakni: a. Gigi Sulung Tanggal Prematur Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur gigi sulung, semakin besar akibatnya pada gigi permanen (Rahardjo, 2012). b. Persistensi Gigi Sulung Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decicuous teeth berarti gigi sulung yang sudah melewati waktu nya tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang jelas menunjukkan persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada di rongga mulut, perlu diketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang

6

tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk di regio tersebut (Rahardjo, 2012). c. Trauma Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak ada pilihan lain kecuali dicabut (Rahardjo, 2012). d. Pengaruh Jaringan Lunak Tekanan dari otot, bibir, pipi, dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap letak gigi, Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil daripada tekanan otot pengunyahan tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian, tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bibir, pipi, dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam dapat sangat mempengaruhi letak gigi (Rahardjo, 2012). e. Kebiasaan Buruk Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda lain dalam waktu yang berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Faktor yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung. Beberapa kebiasan buruk yang dapat menyebabkan maloklusi, yaitu: - Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak pada gigi permanen bila kebiasaan tersebut telah berhenti sebelum gigi permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanen erupsi akan terdapat maloklusi dengan tandatanda berupa insisivus atas proklinasi dan terdapat diastema, gigitan

7

terbuka, lengkung atas sempit, serta retroklinasi insisivus bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu mengisap (Rahardjo, 2012). - Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi insisivus atas disertai jarak gigit yang bertambah dan retroklinasi insisivus bawah (Rahardjo, 2012). - Kebiasaan mendorong lidah, sebetulnya bukan merupakan kebiasaan tetapi lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih besar daripada yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk mengatakan bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada saat menelan (Rahardjo, 2012). - Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi tetapi biasanya dampaknya hanya pada satu gigi (Rahardjo, 2012). f. Faktor Iatrogenik Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan professional. Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenik. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal dengan piranti lepasan, tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat menempatkan pegas tidak benar sehingga yang terjadi gerakan gigi ke distal dan palatal (Rahardjo, 2012). 2.1.3 Jenis-jenis Maloklusi Berdasarkan pergerakan giginya, maloklusi dibagi menjadi: 1. Protusi Protrusi adalah gigi yang posisinya maju ke depan. Protrusi dapat disebabkan oleh faktor keturunan, kebiasaan jelek seperti menghisap jari dan menghisap bibir bawah, mendorong lidah ke depan, kebiasaan menelan yang salah serta bernafas melalui mulut (Rahardjo, 2009).

8

Gambar Protrusi

2. Intrusi dan Ekstrusi Intrusi adalah pergerakan gigi menjauhi bidang oklusal. Pergerakan intrusi membutuhkan kontrol kekuatan yang baik. Ekstrusi adalah pergerakan gigi mendekati bidang oklusal (Rahardjo, 2009). 3. Crossbite Crossbite adalah suatu keadaan jika rahang dalam keadaan relasi sentrik terdapat kelainan-kelainan dalam arah transversal dari gigi geligi maksila terhadap gigi geligi mandibula yang dapat mengenai seluruh atau setengah rahang, sekelompok gigi, atau satu gigi saja (Rahardjo, 2009).

Gambar Crossbite

Berdasarkan lokasinya crossbite dibagi dua yaitu: a. Crossbite anterior Suatu keadaan rahang dalam relasi sentrik, namun terdapat satu atau beberapa gigi anterior maksila yang posisinya terletak di sebelah lingual dari gigi anterior mandibula (Rahardjo, 2009). b. Crossbite posterior Hubungan bukolingual yang abnormal dari satu atau beberapa gigi posterior mandibula (Rahardjo, 2009). 4. Deepbite Deepbite adalah suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian insisal insisivus maksila terhadap insisal insisivus mandibula dalam arah vertikal melebihi 2-3 mm. Pada kasus deep bite, gigi posterior sering linguoversi

9

atau miring ke mesial dan insisivus madibula sering berjejal, linguo versi, dan supra oklusi (Rahardjo, 2009).

Gambar. Deepbite

5. Openbite Openbite adalah keadaan adanya ruangan oklusal atau insisal dari gigi saat rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi sentrik (Rahardjo, 2009).

Gambar. Openbite

Macam-macam openbite menurut lokasinya adalah: a. Anterior open bite b. Klas I Angle anterior openbite terjadi karena rahang atas yang sempit, gigi depan inklinasi ke depan, dan gigi posterior supra oklusi, sedangkan klas II Angle divisi I disebabkan karena kebiasaan buruk atau keturunan. c. Posterior openbite pada regio premolar dan molar d. Kombinasi anterior dan posterior (total openbite) terdapat baik di anterior, posterior, dapat unilateral atau bilateral (Rahardjo, 2009). 6. Crowded Crowded adalah keadaan berjejalnya gigi di luar susunan yang normal. Penyebab

crowded adalah lengkung basal yang terlalu kecil daripada

lengkung koronal. Lengkung basal adalah lengkung pada prossesus alveolaris tempat dari apeks gigi itu tertanam, lengkung koronal adalah

10

lengkungan yang paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah mesiodistal yang paling besar dari mahkota gigi geligi (Rahardjo, 2009).

Gambar. Gigi crowded

Derajat keparahan gigi crowded: a. Crowded ringan Terdapat gigi-gigi yang sedikit berjejal, sering pada gigi depan mandibula,dianggap suatu variasi yang normal, dan dianggap tidak memerlukan perawatan (Rahardjo, 2009). b. Crowded berat Terdapat gigi-gigi yang sangat berjejal sehingga dapat menimbulkan hygiene oral yang jelek (Rahardjo, 2009). 7. Diastema Diastema adalah suatu keadaan adanya ruang di antara gigi geligi yang seharusnya berkontak (Rahardjo, 2009).

Gambar. Diastema

2.1.4 Klasifikasi Maloklusi Edward Angle memperkenalkan sistem klasifikasi maloklusi ini pada tahun 1899. Berdasarkan hubungan antara molar permanen pertama maksila dan mandibula, Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam tiga klas, yaitu : 1. Klas I Klas I maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan adanya hubungan normal antar-lengkung rahang. Cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama

11

maksila beroklusi pada groove buccal dari molar permanen pertama mandibula. Pasien dapat menunjukkan ketidakteraturan pada giginya, seperti crowding, spacing, rotasi, dan sebagainya. Maloklusi lain yang sering dikategorikan ke dalam Klas I adalah bimaxilary protusion dimana pasien menunjukkan hubungan molar Klas I yang normal namun gigi-geligi baik pada rahang atas maupun rahang bawah terletak lebih ke depan terhadap profil muka (Bhalaji, 2006). 2. Klas II Klas II maloklusi menurut Angle dikarakteristikkan dengan hubungan molar dimana cusp disto-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada groove buccal molar permanen pertama mandibula (Bhalaji, 2006). a. Klas II, divisi 1. Klas II divisi 1 dikarakteristikkan dengan proklinasi insisiv maksila dengan hasil meningkatnya overjet. Overbite yang dalam dapat terjadi pada region anterior. Tampilan karakteristik dari maloklusi ini adalah adanya aktivitas otot yang abnormal (Bhalaji, 2006). b. Klas II, divisi 2. Seperti pada maloklusi divisi 1, divisi 2 juga menunjukkan hubungan molar Klas II. Tampilan klasik dari maloklusi ini adalah adanya insisiv sentral maksila yang berinklinasi ke lingual sehingga insisiv lateral yang lebih ke labial daripada insisiv sentral. Pasien menunjukkan overbite yang dalam pada anterior (Bhalaji, 2006). 3. Klas III Maloklusi ini menunjukkan hubungan molar Klas III dengan cusp mesio-buccal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada interdental antara molar pertama dan molar kedua mandibula (Bhalaji, 2006). a. True Class III Maloklusi ini merupakan maloklusi skeletal Klas III yang dikarenakan genetic yang dapat disebabkan karena : ·

Mandibula yang sangat besar.

·

Mandibula yang terletak lebih ke depan.

·

Maksila yang lebih kecil daripada normal.

12

·

Maksila yang retroposisi.

·

Kombinasi penyebab diatas (Bhalaji, 2006).

b. Pseudo Class III Tipe maloklusi ini dihasilkan dengan pergerakan ke depan dari mandibula ketika rahang menutup, karenya maloklusi ini juga disebut dengan maloklusi ‘habitual’ Klas III. Beberapa penyebab terjadinya maloklusi Klas III adalah: ·

Adanya premature kontak yang menyebabkan mandibula bergerak ke depan.

·

Ketika terjadi kehilangan gigi desidui posterior dini, anak cenderung

menggerakkan

mandibula

ke

depan

untuk

mendapatkan kontak pada region anterior (Bhalaji, 2006). c. Klas III, subdivisi Merupakan kondisi yang dikarakteristikkan dengan hubungan molar Klas III pada satu sisi dan hubungan molar Klas I di sisi lain (Bhalaji, 2006). 2.1.5 Perawatan Maloklusi Klas I Gigi Berjejal Perawatan kasus gigi berjejal pada masa gigi-geligi bercampur bukan merupakan satu petunjuk bahwa harus dilakukan pencabutan gigi permanen yang sehat untuk mendapatkan ruangan yang cukup. Kekurangan ruangan dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu (Foster, 1997): 1. Slicing Slicing disebut juga pengasahan gigi pada bagian aproximal yang dilakukan pada kasus gigi berjejal dengan kekurangan ruangan 1-2 mm. Kontra indikasi perawatan ini pada keadaan gigi dengan presentase karies yang tinggi (Nurhayati, 2000). 2. Ekspansi Sekrup ekspansi dapat digunakan untuk mendapatkan ruangan pada lengkung rahang dengan kekurangan 3-4 mm. Metode untuk ekspansi ada dua macam yaitu rapid expansion dan slow expansion (Proffit, 1993).

13

3. Ekstraksi Indikasi ekstraksi bila kekurangan ruangan lebih besar dari 4 mm atau kontra indikasi untuk ekspansi yang biasanya dilakukan pencabutan premolar pertama. Pada kasus gigi bercampur pencabutan gigi kaninus susu dapat dilakukan untuk memberi kesempatan agar gigi insisivus yang berjejal tersusun rapi dalam lengkung gigi. Di samping itu ekstraksi juga dilakukan untuk mendapatkan keseimbangan antara gigi-gigi kiri dan kanan. Namun bila tempat yang dibutuhkan untuk gigi permanen belum juga cukup maka dapat digunakan sekrup ekspansi (Proffit, 1993).

2.2 Prosedur Penegakan Diagnosis Diagnosis bidang ortodontik dapat didefinisikan sebagai interpretasi data klinis untuk menetapkan ada tidaknya maloklusi. Diagnosis ortodontik hendaknya bersifat komprehensif dan tidak terfokus pada satu aspek saja. Adapun tahapan penegakan diagnosis ortodontik, antara lain: a) Analisis Umum b) Analisis Lokal c) Analisis Fungsional d) Analisis Model e) Analisis Sefalometri f) Diagnosis dan Klasifikasi Maloklusi (Rahardjo, 2011). 2.2.1 Analisa Umum Biasanya pada bagian awal suatu status pasien tercantum nama, kelamin, umur, dan alamat pasien. Kelamin dan umur pasien selain sebagai identitas pasien juga sebagai data yang berkaitan dengan pertumbuh-kembangan dentomaksilofasial pasien, misalnya perubahan fase...


Similar Free PDFs