Twilight [Novel].pdf PDF

Title Twilight [Novel].pdf
Author Lukman Hakim
Pages 462
File Size 2.4 MB
File Type PDF
Total Downloads 431
Total Views 789

Summary

Undang-undang Republik lndonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi ...


Description

Undang-undang Republik lndonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72: 2. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dsmaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 3. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Sekedear Berbagi Ilmu & Buku

Attention!!!

Please respect the author’s copyright and purchase a legal copy of this book

AnesUlarNaga. BlogSpot. COM

TWILIGHT by Stephenie Meyer Copyright © 2005 by Stephenie Meyer This edition published by arrangement with Little, Brown and Company, New York, New York, USA All rights reserved. TWILIGHT Alih bahasa: Lily Devira Sari Editor: Rosi L. Simamora GM 312 08.049 Hak cipta terjemahan Indonesia: PT Gramedia PUStaka Utama Jl. Palmerah Barat 33-37. Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. anggota IKAPI Jakarta, Maret 2008 Cetakan kedua: Juli 2008 Cetakan ketiga: September 2008 Cetakan keempat: November 2008 520 hlm; 20 cm ISBN-1O: 979 – 22 - 4212 – 0 ISBN-13: 978 – 979 - 22 - 4212 - 6 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan

1

Untuk kakakku, Emily. tanpa semangatnya, cerita ini mungkin masih belum terselesaikan

2

Ucapan Terima Kasih

Banyak terima kasih untuk: orangtuaku, Steve dan Candy. untuk dukungan dan cinta sepanjang waktu. untuk membacakan buku-buku bagus padaku saat aku masih kecil. dan untuk menggenggam tanganku melewati hal-hal yang membuatku gugup; suamiku. Pancho, dan anak-anakku. Gabe, Seth. dan Eli. untuk sering berbagi dengan teman-teman khayalanku; teman-temanku di Writers House. Genevieve Gagne-Hawes, untuk kesempatan pertama yang kauberikan dan agenku Jodi Reamer, untuk menjadikan impian yang paling mustahil menjadi kenyataan; editorku Megan Tingley, untuk semua bantuannya dalam membuat Twilight lebih baik daripada ketika dimulai; saudara laki-lakiku, Paul dan Jacob. untuk nasihat-nasihat yang andal dalam menjawab semua pertanyaan ku mengenai otomorif dan keluarga online-ku. staf dan para penulisku yang berbakat di fansofrealirytvcom. terutama Kimberly "Shazzer" dan Collin "Manrenna" untuk dukungan. nasihat. dan inspirasi.

3

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. 3 DAFTAR ISI ........................................................................................................ 4 PROLOG............................................................................................................ 7 1. PANDANGAN PERTAMA ................................................................................ 8 2. BUKU YANG TERBUKA ..................................................................................31 3. FENOMENA ..................................................................................................52 4. UNDANGAN .................................................................................................65 5. GOLONGAN DARAH......................................................................................80 6. KISAH-KISAH SERAM .................................................................................. 103 7. MIMPI BURUK ............................................................................................ 120 8. PORT ANGELES ........................................................................................... 140 9. TEORI ......................................................................................................... 164 10. INTEROGRASI ........................................................................................... 180 11. KESULITAN ............................................................................................... 200 12. PENYEIMBANGAN .................................................................................... 216 13. PENGAKUAN ............................................................................................ 238 14. TEKAD YANG KUAT MENGALAHKAN SEGALA HAMBATAN FISIK ................. 263 15. KELUARGA CULLEN ................................................................................... 288 17. PERMAINAN ............................................................................................. 321

4

18. PERBURUAN............................................................................................. 346 19. PERPISAHAN ............................................................................................ 359 20. KETIDAKSABARAN .................................................................................... 373 21. TELEPON .................................................................................................. 389 22. PETAK UMPET .......................................................................................... 398 23. MALAIKAT ................................................................................................ 415 24. JALAN BUNTU .......................................................................................... 421 EPILOG : ACARA ISTIMEWA ............................................................................ 442 SELESAI .......................................................................................................... 458

5

These violent delights have violent ends And in their triumph die, like fire and powder, Which, as they kiss, consume.

Romeo and Juliet, Act II, Scene VI

6

PROLOG

Aku tidak pernah terlalu memikirkan bagaimana aku akan mati—meskipun aku punya cukup alasan beberapa bulan terakhir ini—tapi kalaupun memiliki alasan, aku tak pernah membayangkan akan seperti ini. Aku menatap ruangan panjang itu tanpa bernafas, ke dalam mata gelap sang pemburu, dan ia balas menatapku senang. Tentunya ini cara yang bagus untuk mati, menggantikan orang lain, orang yang kucintai. Bahkan mulia. Mestinya itu berarti sesuatu. Aku tahu jika aku tak pernah pergi ke Forks, aku takkan berhadapan dengan kematian sekarang. Tapi seperti yang kutakutkan, aku tak menyesali keputusan itu. Ketika hidup menawarkan mimpi yang jauh melebihi harapanmu, tidak masuk akal untuk menyesalinya bila impian itu berakhir. Sang pemburu tersenyum bersahabat saat ia melangkah untuk membunuhku.

7

1. Pandangan Pertama

Ibuku mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Phoenix 23°C, langit cerah biru, tanpa awan. Aku mengenakan kaus favoritku—tanpa lengan, berenda putih; aku mengenakannya sebagai lambang perpisahan. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong parka. Di Semenanjung Olympic di barat laut Washington, sebuah kota kecil bernama Forks berdiri di bawah langit yang nyaris selalu tertutup awan. Di kota terpencil ini hujan turun lebih sering dibandingkan tempat lainnya di Amerika Serikat. Dari kota inilah, dan dari bayangannya yang kelam dan kental, ibuku melarikan diri bersamaku ketika aku baru berusia beberapa bulan. Di kota inilah aku telah dipaksa untuk menghabiskan 1 bulan setiap musim panas sampai aku berusia 14 tahun. Ketika itu aku akhirnya mengambil keputusan tegas; dan sebagai gantinya selama 3 musim panas terakhir ini, ayahku, Charlie, berlibur bersamaku di California selama 2 minggu. Ke kota Forks-lah sekarang aku mengasingkan diri—keputusan yang kuambil dengan ketakutan yang amat sangat. Aku benci Forks. “Bella,” akhirnya ibuku berkata-untuk terakhir kali dari ribuan kali ia mengatakannya—sebelum aku menaiki pesawat. “Kau tidak perlu melakukan ini.” Ibuku mirip aku, kecuali rambut pendek dan garis usia di sekeliling bibir dan matanya. Aku merasa sedikit panik saat menatap mata kekanak-kanakannya yang lebar. Bagaimana aku bisa meninggalkan ibuku yang penuh kasih, labil, dan konyol ini sendirian? Tentu saja sekarang ia bersama Phil, jadi ada yang membayar tagihan-tagihannya, akan ada makanan di kulkas, mobilnya takkan kehabisan bahan bakar, dan ada orang yang bisa diteleponnya bila ia tersesat, tapi tetap saja... 8

“Aku ingin pergi,” aku berbohong. Aku tak pernah pandai berbohong, tapi aku telah mengatakan kebohongan ini begitu sering hingga sekarang nyaris terdengar meyakinkan. “Sampaikan salamku buat Charlie.” “Akan kusampaikan.” “Sampai ketemu lagi,” ibuku berkeras. “Kau bisa pulang kapanpun kau mau—aku akan segera datang begitu kau membutuhkanku.” Tapi di balik matanya bisa kulihat pengorbanan di balik janji itu. “Jangan khawatirkan aku,” pintaku. “Semua akan baik-baik saja. Aku sayang padamu, Mom.” Ibuku memelukku erat-erat beberapa menit, kemudian aku naik pesawat, dan dia pun pergi. Makan waktu 4 jam untuk terbang dari Phoenix ke Seattle, 1 jam lagi menumpang pesawat kecil menuju Port Angeles, lalu 1 jam perjalanan darat menuju Forks. Perjalanan udara tidak mengusikku; tapi satu jam dalam mobil bersama Charlie-lah yang agak kukhawatirkan. Secara keseluruhan Charlie lumayan baik. Perasaan senangnya sepertinya tulus, ketika untuk pertama kali aku datang dan tinggal bersamanya entah selama berapa lama. Ia sudah mendaftarkan aku ke SMA dan akan membantuku mendapatkan kendaraan pribadi. Tapi tentu saja saat-saat bersama Charlie terasa canggung. Kami sama-sama bukan tipe yang suka bicara, dan aku juga tak tahu harus bilang apa. Aku tahu ia agak bingung karena keputusanku—sebab seperti ibuku, aku juga tidak menyembunyikan ketidaksukaanku terhadap Forks. Ketika aku mendarat di Port Angeles, hujan turun. Aku tidak melihatnya seperti pertanda—hanya sesuatu yang tak terelakkan. Lagipula aku telah mengucapkan selamat tinggal pada matahari. Charlie menungguku di mobil patrolinya. Yang ini pun sudah kuduga. Charlie adalah Kepala Polisi Swan bagi orang-orang baik di 9

Forks. Tujuan utamaku di balik membeli mobil, meskipun tabunganku kurang, adalah karena aku menolak diantar berkeliling kota dengan mobil yang ada lampu merah-biru di atasnya. Tak ada yang membuat laju mobil berkurang selain polisi. Charlie memelukku canggung dengan 1 lengan ketika aku menuruni pesawat. “Senang bisa ketemu denganmu, Bells,” katanya, tersenyum ketika spontan menangkap dan menyeimbangkan tubuhku. “ Kau tak banyak berubah. Bagaimana Renée?” “Mom baik-baik saja. Aku juga senang ketemu kau, Dad.” Aku tidak diizinkan memanggilnya Charlie bila bertemu muka. Aku hanya membawa beberapa tas. Kebanyakan pakaian Arizona-ku tidak cocok untuk dipakai di Washington. Ibuku dan aku telah mengumpulkan apa saja yang kami miliki untuk melengkapi pakaian musim dinginku, tapi tetap saja kelewat sedikit. Barang bawaanku muat begitu saja di bagasi mobil patroli Dad. “Aku menemukan mobil yang bagus buatmu, benar-benar murah,” ujarnya ketika kami sudah berada di mobil. “Mobil jenis apa?” Aku curiga dengan caranya mengatakan ‘mobil bagus buatmu’, seolah itu tidak sekadar ‘mobil bagus’. “Well, sebenarnya truk, sebuah Chevy.” “Dimana kau mendapatkannya?” “Kau ingat Billy Black di La Push?” La Push adalah reservasi Indian kecil di pantai. “Tidak.” “Dulu dia suka pergi memancing bersama kita di musim panas,” Charlie menambahkan. Pantas saja aku tidak ingat. Aku mahir menyingkirkan hal-hal tidak penting dan menyakitkan dari ingatanku. “Sekarang dia menggunakan kursi roda,” Charlie melanjutkan ketika aku diam saja, “jadi dia tidak bisa mengemudi lagi, dan 10

menawarkan truknya padaku dengan harga murah.” “Keluaran tahun berapa?” Dari perubahan ekspresinya aku tahu dia berharap aku tidak pernah melontarkan pertanyaan ini. “Well, Billy sudah merawat mesinnya dengan baik—umurnya baru beberapa tahun kok, sungguh.” Kuharap Dad tidak menyepelekan aku dan berharap aku mempercayai kata-katanya dengan mudah. “Kapan dia membelinya?” “Rasanya tahun 1984.” “Apa waktu dibeli masih baru?” “Well, tidak. Kurasa mobil itu keluaran awal ’60-an—atau setidaknya akhir ’50-an,” Dad mengakui malumalu. “Ch—Dad, aku tidak tahu apa-apa tentang mobil. Aku tidak akan bisa memperbaikinya kalau ada yang rusak, dan aku tidak sanggup membayar montir...” “Sungguh, Bella, benda itu hebat. Model seperti itu tidak ada lagi sekarang.” Benda itu, pikirku... sebutan itu bisa dipakai—paling jelek sebagai nama panggilan. “Seberapa murah yang Dad maksud?” Bagaimanapun aku tidak bisa berkompromi soal yang satu ini. “Well, Sayang, aku sebenarnya sudah membelikannya untukmu. Sebagai hadiah selamat datang.” Charlie melirikku dengan ekspresi penuh harap. Wow. Gratis. “Kau tidak perlu melakukannya, Dad. Aku berencana membeli sendiri mobilku.” “Aku tidak keberatan kok. Aku ingin kau senang di sini.” Ia memandang lurus ke jalan saat mengatakannya. Charlie merasa tak nyaman mengekspresikan emosinya. Aku mewarisi hal itu darinya. Jadi aku memandang lurus ke depan ketika menjawab. 11

“Asyik, Dad. Trims. Aku sangat menghargainya.” Tak perlu kutambahkan bahwa aku tak mungkin bahagia di Forks. Dad tidak perlu ikut menderita bersamaku. Dan aku tak pernah meminta truk gratis—atau mesin. “Well, sama-sama kalau begitu,” gumamnya, tersipu oleh ucapan terima kasihku. Kami masih bicara tentang cuaca yang lembab, dan itulah sebagian besar topik percakapan kami. Selebihnya kami memandang ke luar jendela dalam diam. Tentu saja pemandangannya indah; aku tak bisa menyangkalnya. Semua hijau : pepohonan dengan batang-batang tertutup lumut, kanopi di antara cabang-cabangnya, tanahnya tertutup daun-daun yang berguguran. Bahkan udaranya tersaring di antara dedaunannya yang hijau. Terlalu hijau—sebuah planet yang asing. Akhirnya kami tiba di rumah Charlie. Ia masih tinggal di rumah kecil dengan 2 kamar tidur, yang dibelinya bersama ibuku di awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari pernikahan yang mereka miliki— masa-masa awal. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak pernah berubah, tampak truk baruku— well, baru buatku. Truk itu berwarna merah kusam, dengan bemper dan kap yang melekuk dan besar. Yang membuatku amat terkejut, aku menyukainya. Aku tak tahu apakah benda itu bisa jalan, tapi bisa kubayangkan diriku berada di dalamnya. Ditambah lagi, kendaraan itu jenis sangat kokoh yang tidak bakal rusak—jenis yang bakal kau temukan di lokasi kecelakaan dengan cat yang tak tergores dan dikelilingi serpihan mobil yang telah dihantamnya. “Wow, Dad, aku suka! Trims!” Sekarang hari-hari menakutkan yang menjelang takkan menakutkan lagi. Aku takkan dihadapkan pada pilihan berjalan 2 mil ke sekolah hujan-hujan atau menumpang mobil patroli polisi. “Aku senang kau menyukainya,” kata Charlie parau, sekali lagi 12

merasa malu. Cuma butuh sekali angkut untuk membawa barang-barangku ke atas. Aku mendapati kamar tidur di sebelah barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat familier, itu kamarku sejak aku dilahirkan. Lantai kayu, dinding biru cerah, tirai berenda kekuningan yang membingkai jendela—semua ini bagian masa kecilku. Satu-satunya perubahan yang dibuat Charlie adalah mengganti tempat tidur bayi menjadi tempat tidur sungguhan dan menambahkan meja seiring pertumbuhanku. Di meja itu sekarang ada komputer bekas, dengan modem tersambung pada kabel telepon yang menempel sepanjang lantai hingga colokan telepon terdekat. Ini permintaan ibuku, supaya kami gampang berkomunikasi. Kursi goyang dari masa bayiku masih ada di sudut. Hanya ada 1 kamar mandi kecil di lantai atas, dan aku harus memakainya dengan Charlie. Aku berusaha tidak terlalu memikirkan hal itu. Salah satu hal terbaik tentang Charlie adalah, ia tidak pernah membuntutiku. Ia meninggalkanku sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang tidak mungkin kudapatkan dari ibuku. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan. Aku akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika aku harus memikirkan esok pagi. Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid yaitu 357—sekarang 358, sedangkan murid SMP di tempat asalku ada lebih dari 700 orang. Semua murid di sini tumbuh bersama-sama—kakek-nenek mereka menghabiskan masa kecil bersama. Aku akan jadi anak perempuan baru dari kota besar, mengundang penasaran, orang aneh. Barangkali takkan begitu jadinya bila kau berpenampilan seperti layaknya anak perempuan dari Phoenix. Tapi secara fisik aku tak 13

pernah cocok berada di mana pun. Aku harus berkulit coklat, sporty, pirang— pemain voli, atau pemandu sorak mungkin—segala sesuatu yang cocok dengan kehidupan di lembah matahari. Sebaliknya aku maah berkulit kekuningan, bahkan tanpa mata biru atau rambut merah, meskipun sering terpapar sinar matahari. Tubuhku selalu langsing, tapi lembek, jelas bukan atlet; aku tak memiliki kemampuan koordinasi antara tangan dan mata untuk berolahraga tanpa mempermalukan diriku sendiri—dan melukai diriku atau siapapun di dekatku. Ketika aku selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, aku mengambil tas keperluan mandiku dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah perjalanan sehari. Aku memandang wajahku di cermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan kusut. Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak sehat. Kulitku bisa saja cantik—bening, nyaris transparan—tapi semua itu tergantung warna. Disini aku tidak memiliki warna. Memandang pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui sedang membohongi diri sendiri. Bukan secara fisik saja aku tak pernah cocok. Dan kalau aku tak bisa menemukan tempat di sekolah berpopulasi 300 orang, kesempatan apa yang kupunya di sini? Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus. Barangkali sebenarnya hubunganku dengan orang-orang tak pernah bagus, titik. Bahkan ibuku, orang terdekat denganku dibandingkan siapapun di dunia ini, tak pernah selaras denganku, tak pernah benar-benar sepaham. Kadang-kadang aku membayangkan apakah aku melihat hal yang sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Mungkin ada masakah dengan otakku. Tapi penyebabnya tidak penting. akibatnya. Dan besok baru permulaannya.

Yang

penting

adalah

Tidurku gelisah malam itu, bahkan setelah aku selesai menangis. Hujan terus menderu dan angin yang menyapu atap tak lenyap juga dari kesadaranku. Aku menarik selimut tua itu menutupi kepala, 14

kemudian menambahkan bantal-bantal. Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur, ketika hujan akhirnya berubah menjadi gerimis. Paginya hanya kabut tebal yang bisa kulihat dari jendela kamarku, dan bisa kurasakan klaustrafobia (ketakutan dalam ruang tertutup) merayapi tubuhku. Di sini kau tak pernah bisa melihat langit, seperti di kandang. Sarapan bersama Charlie berlangsung hening. Ia mendoakan supaya aku berhasil di sekolah. Aku berterima kasih padanya, meski tahu doanya sia-sia. Keberuntungan selalu menjauhiku. Charlie berangkat duluan, menuju kantor polisi yang menjadi istri dan keluarganya. Setelah ia pergi aku duduk di meja kayu ek persegi tua itu, di salah satu dari 3 kursinya yang tak serasi, mengamati dapur kecilnya, dengan dinding panelnya yang gelap, rak-rak kuning terang, serta lantai linoleumnya yang putih. Tak ada yang berubah. 18 tahun yang lalu ibuku mengecat rak-rak itu dengan harapan bisa membawa sedikit kecerahan di rumah. Di atas perapian bersebelahan dengan ruang keluarga yang mungil, tampak deretan foto-foto. Yang pertama foto pernikahan Charlie dan ibuku di Las ...


Similar Free PDFs