ALIRAN JABARIYAH PDF

Title ALIRAN JABARIYAH
Author Helyatin Nasika
Pages 14
File Size 182.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 12
Total Views 42

Summary

MAKALAH JABARIYAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aliran Teologi Islam Dosen Pengampu : Dr. Edi Susanto, M.Fil. I Kelompok IV 1. Helyatin Nasika (18201501010063) 2. Wardatul Amniyah (18201501010179) 3. Wildanul Mahbub (18201501010181) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SE...


Description

MAKALAH JABARIYAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aliran Teologi Islam Dosen Pengampu : Dr. Edi Susanto, M.Fil. I

Kelompok IV 1. Helyatin Nasika

(18201501010063)

2. Wardatul Amniyah

(18201501010179)

3. Wildanul Mahbub

(18201501010181)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor historis yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw. wafat, riak-riak perpecahan di antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan mengikut sertakan kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”. Perpecahan semakin meruncing ketika pada masa pemerintahan Ali, hal yang sentral diperdebatkan adalah masalah ”Imamah” atau kepemimpin. Golongan Syi‟ah yang pro terhadap Ali sangat mendukung bahwa imamah harus diserahkan kepada Ali dan keturunannya. Sedangakan Khawarij dan Mu‟tazilah menentang dengan pendapat mereka, bahwa siapapun berhak menduduki kursi kepemimpinan, termasuk budak. Jika ia memang dari kaum Muslim yang cakap dan berkualitas. Terjadinya pembunuhan Utsman ra. (17 Juni 656 M), oleh pemberontak dari Mesir. Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Tidak berhenti sampai di situ perdebatan semakin meluas tentang persoalan “dosa kecil” sampai pada “dosa besar”. Bahkan pada ranah “keimanan”. Dan penentuan siapa yang dianggap “mu’min”, “kafir”, “fasik”, dan bagaimana kedudukan mereka di akhirat nanti, serta tindakan Tuhan bagi perbuatan mereka. Yang kemudian menjadi tema sentral dalam pembahasan makalah ini adalah Aliran Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang pernah eksis dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak orang. Dan untuk memfokuskan bagi para pembaca, maka rumusan masalah yang akan menjadi pemaparan penulis sebagai berikut;

B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan jabariyah? 2. Bagaimana sejarah aliran jabariyah? 3. Bagaimana tokoh-tokoh dan ajaran jabariyah? 4. Apa saja pokok-pokok ajaran jabariyah?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian jabariyah. 2. Untuk mengetahui sejarah aliran jabariyah. 3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dan ajaran jabariyah. 4. Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran jabariyah.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Jabariyah Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti memaksa. Menurut al-Syakhrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah swt. Faham jabariyah ini diperkenalkan pertama kali oleh al-Ja‟id bin Dirham di Damaskus yang kemudian disiarkan oleh muridnya Jahm bin Safwan dari Khurasan. Oleh sebab itu, golongan ini disebut juga dengan golongan Jahamiyah.1Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat “mampu” (istitha’ah). Manusia sebagaimana dikatakan, Jahm bin Shafwan, terpaksa atas perbuatanperbuatannya tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati.2Dengan kata lain perbuatan manusia sudah ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadhar Tuhan. Sehingga posisi manusia dalam faham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat kehendak mutlak Tuhan. Dalam istilah Inggris faham ini disebut fatalisme atau predistination, yaitu faham bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadhar Tuhan. Maka doktrin aliran jabariyah ini menganut faham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi perbuatannya dalam keadaan terpaksa.3 Selain ituia juga berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki manusia. Karena apabila sifat-sifat yang dimiliki manusia juga disifatkan kepada tuhan, maka hal ini dipandang amat berbahaya dan dikhawatirkan akan membawa amat tasybih, seperti keadaan Allah ta‟ala itu tahu dan hidup. 1Mulyono & Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 139-140 2 M. Amin Nurdin, dkk, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 41 3 Mulyono & Bashori, Op.Cit, hlm. 140

Al-Baghdadi menuturkan didalam al-Farqu Bainal Firaq, tentang pendapat Jahm ini bahwa: tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang mematikan dan menghidupkan. Sifat-sifat yang demikian khusus bagi tuhan saja. Tidak ada tindakan dan perbuatan bagi seseorang kecuali perbuatan dan tindakan Allah swt. Lebih lanjut M. Laily Mansur LPH, menganggap bahwa aliran yang berfaham demikian hanya mendasarkan terhadap penafsiran ayat-ayat dalam al-Quran menurut pemahamannya sendiri sebagaimana disebutkan dalam alQuran: a. Surah as-Saffah 96 ditegaskan:

ُ‫َو ّ ه‬ ُ‫ون‬ َ ‫اللُ َخلَقَ ه ُْك َُوم َاُتَ ْع َمله‬ “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. Ash-Shaffaat: 96) b. Surah al-Insan 30:

‫ُللا ََُك َنُعَ ِلميًاُ َح ِكميًا‬ ُ‫ونُ ِا َّلُٓ َأنُيَشَ آ ٓ َء ه‬ َ ‫ُللاجا َن‬ َ ‫َو َماُتَشَ آ ٓ هء‬ ِ

“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki

Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”. (QS. al-Insan: 30) Sebenarnya ayat-ayat tersebut hanya akan menunjukkan kelemahan terhadap hamba-hamba-Nya. Dalam pengertian bahwa apabila hamba mengetahui kelemahan iradah-Nya, maka ia akan tidak mau mengakui kekuasaan Allah swt. Menurut Syahrastani, aliran Jabariyah dalam menganalisa perbuatan manusia terdapat dua pandangan yaitu: 1) Pandangan ekstrim yang disebut al-Jabariyah al-Khalish, yaitu jabariyah yang tidak menetapkan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun pada manusia, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Jahm bin Sofwan. 2) Pandangan moderat yang diberi istilah al-Jabariyah al-Mutawasithah, yaitu jabariyah yang menetapkan adanya qudrat pada manusia, tetapi

qudrat tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan. 89 pandangan ini pelopornya adalah Husain bin Muhammad al Najjar dan Dirar bin „Amr.4 Dari paparan sederhana di atas dapatlah disimpulkan bahwa manusia dalam paham Jabariyah seperti yang diajarkan oleh Jahm bin Safwan ini adalah manusia yang lemah, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas. Seluruh tindakan dalam perjalanan hidupnya adalah tindakan yang tidak boleh keluar dari skenario yang telah ditentukan oleh Allah sebelumnya. Dengan demikian, terpahami bahwa akibat baik dan buruk yang diterima manusia dalam perjalanan hidupnya yang panjang itu merupakan ketentuan dari Allah jua. Bila diperjelas bahwa manusia dalam pandangan Jabariyah ini tak ada bedanya seperti wayang yang digerakkan oleh dalang. Manusia adalah wayang sedangkan Tuhan adalah dalangnya. Sama dengan wayang yang tidak bergerak kalau tidak digerakkan oleh dalang, manusia pun tidak akan bergerak kalau tidak digerakkan oleh Tuhan.5 Dan menurut Najjar dan Dirar bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif. Namun dalam manusia mempunyai bahagian yaitu daya yang menciptakan dalam diri manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut kasb atau acuisition. Maka faham jabariyah yang dikembangkan oleh Najjar dan Dirar sudah tidak lagi menggambarkan manusia sebagai wayang, tetapi nampak bahwa di antara manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu perbuatan dan manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melaksanakan perbuatannya. Dalam perkembangan berikutnya, sebagaimana aliran Qaadariyah yang lenyap dari gelanggang sejarah tetapi beberapa ajarannya dimunculkan oleh para pemikir pembaru, aliran Jabariyah pun mengalami nasib yang sama. Paham Jabariyah, terutama Jabariyah moderat yang dikembangkan oleh

4Ibid, hlm. 140-143 5Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Prenadamedia Group, Jakarta, Hlm.70

Husein Ibn Muhammad al-Najjar serta Dirar Ibn Amr sungguhpun tidak dalam bentuk yang sama dimunculkan oleh aliran asy‟ariyah. B. Sejarah Aliran Jabariyah Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang kedua, yaitu persoalan takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan perbuatan manusia. Bibit perbedaan paham tentang takdir ini sudah tampak pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, tetapi belum meninggalkan perbincangan dan perdebatan yang serius, karena Nabi sendiri pernah memarahi dan menghentikan perbincangan tentang takdir tersebut. Rasulullah hanya menganjurkan agar mengimani takdir dan melarang untuk

memperbincangkan

lebih

jauh,

karena

dikhawatirkan

akan

membingungkan dan mendorong timbulnya perpecahan. Namun selanjutnya setelah daerah-daerah Islam meluas ke negaranegara Syiria, Palestina, Mesir dan Persia pada masa Khalifah Umar bin Khattab, maka umat Islam bercampur dengan umat lain dan penganut agama kuno yang membicarakan masalah takdir, ada yang menerima dan ada yang menolak, maka akhirnya timbullah perdebatan tanpa memperhatikan lagi larangan Nabi. Akhirnya pada 70 H, muncullah Mabad al-Juhani dalam pembicaraan tentang hurriah al-irodah dan qudroh yang dimilikimanusia sebagai anugerah Tuhan untuk melakukan perbuatannya. Pada masa Nabi, benih-benih paham al-Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah Qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Nabi menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendala. Pada masa sahabat kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan untuk

keslahan

mencurinya,

sedang

cambuk

menyadarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.”

untuk

kesalahannya

Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir yang dapat meniadakan rasa takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kota yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata: “Apakah anda mau lari dari takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain”. Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu karena setiap sesuatu memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia(maqdurah). Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan Jabar itu mencuat kepermukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya, semakin reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham al-Jabariyah. Hal yang sama dilakukan oleh Hasan Bashri kepada penduduk Bashrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham al-Jabariyah. Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal bakal paham alJabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namu, al-Jabariyah sebagai suatu pola pikir yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah.6 Dengan munculnya pemahaman ini, maka muncul pula pemahaman yang dilontarkan oleh Ja‟ad Ibn Dirham, yang kemudian disiarkan dengan gigih oleh muridnya Jaham Ibn Sofwan pada awal abad ke-2 H. Menurut pemahaman mereka bahwa Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak semula, manusia pada hakikatnya tidak memiliki kehendak dan kudrat, manusia bekerja tanpa kehendak melainkan bekerja di bawah tekanan dan pemaksaan Tuhan. Dengan qudrat berarti manusia merupakan orang yang berhak menentukan sendiri, mengerjakan apa yang disukainya, sedangkan irodat berarti manusia menerima tekanan ijbar belaka. Gambaran ajaran Jabariyah ini persis seperti yang diungkapkan oleh Jaham Ibn Sofwan sendiri: “Manusia itu sesungguhnya majbur dalam segala tindakannya, ia tidak mempunyai ikhtiar dan kekuasaan, ia tidak ubahnya seperti bulu ayam yang 6 Ibid. hlm. 42- 44

terawang di udara, apabila digerakkan ia akan bergerak dan apabila dimantapkan ia akan mantap, Allah-lah yang berkuasa atas segala tindakan, semuanya bersumber dari Tuhan”.7 C. Tokoh-Tokoh dan Ajaran Jabariyah Al-Syahrastani menampilkan 4 pemuka dari aliran Jabariyah, yaitu Jaham Ibn Sofwan yang alirannya disebut al-Jahmiah, al-Khusain Ibn Muhammad al-Najjar yang alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan Hafash al-Fard yang alirannyaa disebut al-Diroriah. Dalam hal ini, alSyahrastani tidak memasukkan Ja‟ad Ibn Dirham, karena paham Jabariyah pada masanya belum banyak pengikutnya, walaupun Marwan Ibn Muhammad telah menjadi pengikutnya, sehingga ia diberi gelar Marwan alJa‟di. 1. Ja’ad Ibn Dirham Ja‟ad adalah putra dari Dirham ,seorang tuan dari Bani al-Hakam. Sebagai pelopor Jabariyah, Ja‟ad Ibn Dirham dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang selalu membicarakan tentang teologi,ia bertempat tinggal di Damaskus tempat ini pada mulanya sebagai basis agama Kristen dan latar inilah salah satu faktor penyebab timbulnya paham Jabariyah di kalangan kaum muslimin. Ajaran yang ia kemukakan antara lain ialah bahwa al-quran itu adalah makhluk, Allah tidak mempunyai sifat seperti sifatnya makhluk dan menyatakan adanya takdir. Al-quran sebagai makhluk artinya bahwa al-Qur‟an itu diciptakan Allah, dan kalau ia di ciptakan berarti baru kalau ia baru berarti bukan kalamullah. Menurut

al-gorobi,

munculnya

pemahaman

ja‟ad

tentang

kemakhlukan al-Qur‟an berkembang sebagai akibat dari pengingkarannya terhadap sifat-sifat Tuhan. Ia mengemukakan alasan tersebut bahwa alQur‟an itu baru dan Allah tidak bisa di sifati dengan sifat tersebut, alQur‟an juga tidak mungkin qodim, karena tidak ada yang qodim selain Allah.

7Prof. Dr. H. Ris‟an Rusli, M.Ag.,2014.Teologi Islam,Prenadamedia Group, Jakarta. Hlm. 30-32

2. Jaham ibn sofwan Jaham Ibn Sofyan digelar oleh Abu Mahroj dia adalah seorang pemimpin Bani Rosib dari Azd. Ia pandai berbicara dan seorang orator, karena kepandaianya berbicara serta ke pasihannya, ia di angkat sebagai juru tulis dan seorang muballig. Di samping itu, ia juga sebagai seorang ahli debat. Akhir hayatnya ia di bunuh oleh Muslim Ibn Ahwaz Al-Mazini pada akhir masa Bani Marwan. Paham-pahamnya dalam teologi: a. Bahwa kalamullah (wahyu)Allah itu baru, bukan qodim dan tidak kekal. b. Tuhan tidak dapat di sifati dengan sifat-sifat yang di miliki makhluknya karena dengan mensifatinya akan menimbulkan persamaan. c. Iman adalah makrifah, sedangkan kufur adalah al-jahluh. Oleh sebab itu orang yahudi yang mengetahui sifat-sifat nabi juga mukmin. d. Surga dan neraka adalah baru, ia akan rusak, karena tidak ada sesuatupun yang kekal selain Allah, adanya ungkapan al-khulud di dalam Al-Quran adalah hanya menggambarkan lamanya, bukan kekalnya. Paham Jaham Ibn Sofyan di atas berkembang di daerah Khurasan dan sekitarnya, setelah ia mati terbunuh selanjutnya dikembangkan oleh para pengikutnya di nahwan sampai dikalahkan oleh Abu Mansur alMaturidi. 3. Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najjar Pengikut-pengikut Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najjar disebut dengan al-najjariyah, paham-pahamnya yang mereka kemukakan ialah: a) Kalamuallah bersifat baru b) Orang yang berakal sebelum turunnya wahyu wajib mengetahui tuhan dengan najhar. c) Tuhanlah yang menciptakan perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia. d) Dalam masalah rukyah, manusia tidak bisa melakukannya dengan mata kepala, hal ini mustahil terjadi tetapi ia tidak mengingkari kemungkinan allah memindahkan kekuatan hati untuk makrifat dengan Allah.

e) Tingkah laku manusia yang ditimbulkan oleh iman disebut taat, bukan iman, gabungan dari keduanya baru disebut iman tetapi bila keduanya berpisah satu sama lain maka tidak bisa disebut apa-apa. 4. Dharar Ibn Umar Dan Al-Hafash Al-Fard Para pengikut Dharar Ibn Umar Dan Al-Hafash Al-Fard disebut dhirorish. Paham-paham ynag mereka kemukakan antara lain: a. Perbuatan manusia di ciptakan tuhan, manusia adalah muktasib. b. Tidak adanya sifat-sifat tuhan. c. Orang asing yang bukan dari suku Quraisy boleh memegang imamah, bahkan apabila suku Quraisy berkumpul dengan yang bukan qurais, maka yang bukan Quraisy harus di dahulukan karena jumlah orang yang bukan Quraisy lebih sedikit.

D. Pokok-Pokok Ajaran Jabariyah Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah ini adalah kebalikan dari ajaran Qadariyah. Dengan kata lain, Jabariyah ini merupakan garis tolak belakang dengan ajaran Qadariyah dalam soal takdir. Kalau aliran Qadariyah mengajarkan bahwa semua takdir buruk dan baiknya adalah terletak pada aktivitas manusia itu sendiri. Sedangkan Allah tidak turut campur dalam persoalan takdir.8 Menolak adanya kekuasaan pada diri manusia. Manusia itu tidak memiliki kemauan sendiri, tidak mempunyai pilihan atas aktivitas sesuatu. Menurutnya Allah yang menjadikan aktivitas manusia sebagaimana benda mati seperti air mengalir, hawa bergerak. Mereka meniadakan sifat-sifat pada Tuhan yang mana sifat-sifat itu ada pada manusia. Apabila sifat-sifat manusia juga disifati kepada Tuhan maka hal itu sangat berbahaya dan akan membentuk tasybih(penyerupaan dengan makhluk). Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang Menghidupkan dan Mematikan. Sifat-sifat ini adalah khusus bagi Tuhan saja. Tidak ada tindakan

8 Drs. M. Noor Matdawam, 1995. Aqidah Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Lintasan Sejarah Dinamika Budaya Manusia. Bina Karier, Yogyakarta, Hlm. 69 9 Drs. H. Latief Mahmud, M.Ag., 2006. Ilmu Kalam.Pamekasan: StainPress

dan perbuatan seseorang kecuali perbuatan dan tindakan Allah SWT. Faham Jabariyah dikategorikan sebagai faham fatalis. Dalam filsafat Determinisme manusia dianggap sebab segalanya telah di bentuk sebelumnya Determinisme teologi menganggap bahwa ketentuan itu datang dalam alam mikro dan makro kosmos sebagaimana yang terdapat dalam filsafat Cina kuno, Filsafat Mesir kuno dan filsafat Yunani. Dalil-dalil naqli yang digunakan faham Jabariyah adalah seperti dalam firman Allah SWT: “Wahai Tuhan kami janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang kami tidak sanggup”.(QS. Al-Baqarah:286). “Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat”.(QS. Shaffat:96). “Mereka

sebenarnya

tidak

menghendaki”.(QS Al-An‟am:112).9

akan

percaya

sekiranya

Allah

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan a. Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti memaksa.

Menurut

al-Syakhrastani

bahwa

jabariyah

berarti

menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah. b. Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang kedua, yaitu persoalan takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan perbuatan manusia. Bibit perbedaan paham tentang takdir ini sudah tampak pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, tetapi belum meninggalkan perbincangan dan perdebatan yang serius, karena Nabi sendiri pernah memarahi dan menghentikan perbincangan tentang takdir tersebut. c. Al-Syahrastani menampilkan 4 pemuka dari aliran Jabariyah, yaitu Jaham Ibn Sofwan yang alirannya disebut al-Jahmiah, al-Khusain Ibn Muhammad al-Najjar yang alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan Hafash al-Fard yang alirannya disebut al-Diroriah. d. Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah ini adalah kebalikan dari ajaran Qadariyah. Dengan kata lain, Jabariyah ini merupakan garis tolak belakang dengan ajaran Qadariyah dalam soal takdir.

B. Saran Penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih banyak kekurangan diantaranya adalah kurangnya referensi yang relevan dan pembahasan yang kurang detail. Dan kiranya makalah kami i...


Similar Free PDFs