ANALISIS TENTANG TANTANGAN DAN PENGARUH DUNIA KEPENULISAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT PDF

Title ANALISIS TENTANG TANTANGAN DAN PENGARUH DUNIA KEPENULISAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT
Author Iwan Jazadi
Pages 16
File Size 1.8 MB
File Type PDF
Total Downloads 6
Total Views 170

Summary

|165 ANALISIS TENTANG TANTANGAN DAN PENGARUH DUNIA KEPENULISAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT Iwan Jazadi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Paracendekia NW Sumbawa [email protected] Abstrak: Tulisan ini membahas literatur dan pengalaman atau pengamatan penulis ten- tang tantangan dan p...


Description

Accelerat ing t he world's research.

ANALISIS TENTANG TANTANGAN DAN PENGARUH DUNIA KEPENULISAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT Iwan Jazadi Jurnal Ilmu Pendidikan, Volume 21 Nomor 2, Juni 2014, halaman 165-179.

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

PRAKT IK LIT ERASI MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI: TANTANGAN DAN PELUANG LIT … Moch Lukluil Maknun Pembelajaran dan Kognisi Dalam Area Isi (Membaca, Menulis, Mat emat ika Ilmu Penget ahuan dan St u… Kuswoyo Aji T EOL PL FEBRIANI DOHANIS Febrianif Dohanis

|165

ANALISIS TENTANG TANTANGAN DAN PENGARUH DUNIA KEPENULISAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT

Iwan Jazadi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Paracendekia NW Sumbawa [email protected]

Abstrak: Tulisan ini membahas literatur dan pengalaman atau pengamatan penulis tentang tantangan dan pengaruh dunia kepenulisan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Tantangan dunia kepenulisan ditelaah dari tiga perspektif: kontekstual-ekstrinsik, personal-intrinsik, dan teknis-kreatif. Pembahasan selanjutnya adalah tentang pengaruh dunia kepenulisan terhadap tatanan sosial yang meliputi pengaruh kognitif, psikologis, sosial dan ekonomi, serta perubahan pada individu pembaca dan masyarakat. Akhirnya, disimpulkan bahwa menulis memiliki tantangan yang kompleks, namun membawa ganjaran yang luar biasa bagi para penulis, pembaca dan masyarakat. Kata kunci: dunia kepenulisan, tantangan, pengaruh, tatanan sosial Abstract: This article discusses literature and experiences or observations of the writer about the challenges and impacts of writing towards Indonesian social order. Writing challenges are analysed in three perspectives: contextual-extrinsic, personal-intrinsic, and technical-creative. The impacts of writing discussed cover cognitive, psychological, social and economic impacts on individuals and society at large. Finally, it is concluded that writing faces complex challenges, but brings extraordinary rewards to writers, readers and general public. Key words: writing, challenges, impacts, social order

PENDAHULUAN Memberikan pemahaman dan melatih keterampilan menulis akademik atau ilmiah kepada siswa, mahasiswa atau peserta pelatihan bukanlah perkara yang dapat diabaikan dewasa ini (Furneaux, 1995; Leki, 2007; Irvin, 2010). Berdasarkan pengamatan di beberapa perguruan tinggi, penulis menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam praktek pengajaran dan pembimbingan kepenulisan akademik. Padahal, keterampilan menulis akademik adalah kebutuhan dasar kaum terdidik di berbagai tingkatan, yang digunakan untuk mengabstraksi berbagai fenomena alam dan sosial yang terjadi di sekitar alam dan dalam kehidupan sosial manusia (University of Essex, 2008). Namun, teru-

tama dengan kemajuan teknologi informatika seperti internet, berbagai ragam teks dalam jumlah yang seolah-seolah tidak terbatas tersedia di dunia maya. Para peserta belajar dan pegiat teks lainnya (termasuk para dosen) mengambil jalan pintas dengan mengambil teks-teks dari dunia maya atau sumber lainnya, mengubah seperlunya, dan menggunakannya untuk keperluan formalitas seperti penyelesaian tugas studi dan kenaikan pangkat. Dengan kata lain, plagiasi telah mencapai tahapan kritis dalam dunia kepenulisan di berbagai level pendidikan dan pekerjaan khususnya di negara kita sehingga berbagai langkah dan kebijakan harus diambil untuk mengatasinya (Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010; Zulkarnain, 2012). Menurut hemat penulis, konsekuensi logis dari fenomena ini,

166 | Jurnal Ilmu Pendidikan Volume 21 No. 2. Juni 2014

yang terasa hingga saat ini, adalah bahwa keahlian menulis akademik pada sebagian besar masyarakat terdidik Indonesia belum mengakar (grounded) dan masih menjadi praktek formal-administratif. Hal ini kemudian menyebabkan rendahnya penghargaan publik dan minimnya dampak praktis yang diberikan oleh sebuah karya akademik di negeri ini. Dengan latar belakang dunia kepenulisan akademik sebagaimana dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu kajian awal tentang kompleksitas dunia kepenulisan ilmiah. Dua pertanyaan pokok diajukan dalam tulisan ini: (1) Bagaimanakah kompleksitas tantangan dunia kepenulisan? (2) Bagaimana pengaruh dunia kepenulisan bagi tatanan sosial masyarakat, bangsa dan negara? Untuk menjawab kedua pertanyaan ini, penulis melakukan analisis dan menyusun teori dengan menyandarkan pada rujukan pustaka ilmiah, pustaka ilmiah populer (artikel-artikel online blogs), dan pengamatan/pengalaman penulis dalam dunia kepenulisan akademik selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk membangun kesadaran para calon penulis tentang berbagai kendala dan tahapan yang harus dimiliki dan dilalui sebagai penulis, serta bernilainya sumbangan yang diberikan dalam mewujukan tatanan masyarakat yang kuat dan bernilai lintas geografis, masa dan peradaban. TANTANGAN DUNIA KEPENULISAN Tantangan adalah suatu kondisi di mana seseorang dihadapkan, diuji dan dipersepsikan memiliki keberanian untuk mengatasi atau menuntaskan suatu masalah tertentu. Jadi, secara psikologis, kata ‘tantangan’ mengandung muatan positif, optimisme dan orientasi futuris dari suatu masalah yang dianggap pelik. Mcmillan Dictionary (2013) mendefinisikan ‘tantangan’ sebagai something that

needs a lot of skill, energy, and determination to deal with or achieve, especially something you have never done before and will enjoy doing (‘sesuatu yang membutuhkan banyak keterampilan, tenaga, dan kesungguhan untuk dihadapi atau dicapai, khususnya sesuatu yang anda tidak pernah lakukan sebelumnya dan akan suka melakukannya’). Dunia kepenulisan adalah sebuah medan yang dipilih oleh seseorang untuk mengembangkan kiprah dengan mengubah atau mengkonversi pikiran, informasi dan data yang dimilikinya menjadi rangkaian kata-kata yang membentuk wacana dan diabadikan di atas lembaran-lembaran kertas atau dalam file-file elektronik. Bisa dikatakan bahwa setiap orang, yang sangat produktif menulis sekalipun, tidak menganggap pekerjaan menulis sebagai perkara mudah, tetapi merupakan tantangan terusmenerus atau setiap saat. Untuk itu, tantangan dunia kepenulisan perlu dibedah dan dibahas secara memadai. Dari kombinasi pengalaman dan pengamatan, penulis berpendapat bahwa tantangan dunia kepenulisan dapat dipahami dari tiga perspektif, yaitu perspektif kontekstual-ekstrinsik, perspektif personal-intrinsik, dan perspektif teknikal-kreatif.

Perspektif Kontekstual-Ekstrinsik Perspektif kontekstual-ekstrinsik berkaitan dengan faktor-faktor di luar diri seseorang sebagai penulis, tetapi faktorfaktor ini mempengaruhi secara signifikan komitmen, kesiapan dan keterlibatan seseorang untuk berkiprah sebagai penulis. Gupta dan Woldemariam (2011: 63-64) memahami perspektif ini sebagai encouragement atau pemberian semangat dari luar diri penulis, yaitu dari orang tua, anggota keluarga, guru, dan orang-orang lain yang berpengaruh (significant others). Lebih dari itu, perspektif ini berkaitan dengan faktor 166

Iwan Jazadi

Analisis Tentang Tantangan Dan Pengaruh Dunia Kepenulisan Terhadap Kehidupan Masyarakat | 167

budaya, ketersediaan jaringan, dan pilihan okupasional. Suatu masyarakat memiliki kecenderungan berbudaya lisan (oral tradition) tinggi, sementara suatu masyarakat yang lain memiliki kecenderungan berbudaya tulisan atau literasi tinggi (Goucher, LeGuin, & Walton, 1998). Dengan kecenderungan budaya lisan tinggi, anggota suatu masyarakat umumnya tidak terbiasa membaca dan menulis di luar kewajiban seperti sekolah, kuliah atau tuntutan pekerjaan. Walaupun misalnya berijazah sarjana, karena bekerja pada lapangan pekerjaan yang tidak mengharuskan baca tulis – seperti pertanian tradisional – anggota suatu masyarakat berbudaya oral secara umum tidak lagi membaca dan menulis. Dalam konteks ini, peluang bagi tumbuh kembang para penulis terbilang rendah. Sulit dibantah bahwa sebagian besar masyarakat di pedesaan, kota-kota kecil kecamatan dan bahkan kota-kota kabupaten dan masyarakat Indonesia pada umumnya masih didominasi tradisi oral (Czermak, Delanghe & Weng, 2003; Jazadi, 2008: 1-6). Hal ini berdampak pada rendahnya jumlah penulis dan karya -karya kepenulisan dari masyarakat Indonesia dibandingkan dengan negaranegara Barat atau sebagian besar masyarakat negara maju lainnya yang memiliki budaya tulisan atau literasi tinggi (literacy culture). Dalam masyarakat berbudaya literasi tinggi, membaca setara dengan makanan pokok sehari-hari, sementara menulis setidaktidaknya merupakan bagian dari keterampilan hidup yang diperlukan dalam memecahkan banyak masalah dalam interaksi mereka bermasyarakat sehari-hari. Faktor kontekstual yang lain adalah ketersediaan jaringan, komunitas penulis dan penerbit, serta strategi penggunaan fasilitas tersebut. Bayangkanlah seorang sarjana yang tinggal di sebuah desa terpencil di atas gunung atau di pulau kecil. Ia tidak memiliki akses terhadap buku-buku dan

bacaan-bacaan baru. Ia bergaul dengan masyarakat tani atau nelayan tradisional. Ia mempunyai banyak teman penulis, dulu waktu kuliah; sekarang tidak lagi karena ia bahkan sudah lupa sebagian nama mereka. Bisa dibayangkan betapa beratnya sang sarjana mengembangkan diri sebagai penulis produktif yang sebenarnya ia dambakan sejak duduk di bangku sekolah. Mungkin saat ini, baginya menulis itu tersimpan di dalam relung jiwanya sebagai cita-cita terindah di masa lalu, dan diharapkan suatu hari anak cucunya akan mewujudkannya. Sangat berbeda, misalnya, dengan seorang sarjana yang lain – walau indeks prestasinya sebenarnya agak rendah – yang hidup di sebuah kota pelajar seperti Yogyakarta atau Solo. Di sana sini ada penerbit dan dapat dengan mudah ditemukan penulis produktif, yang karyakaryanya ditemukan di toko-toko buku di seantero negeri. Walau dengan variasi plagiat, saduran, terjemahan atau kualitas ilmiah yang masih rendah, sang sarjana tersebut dapat menjalankan pekerjaan sambilan menulis, seperti menulis buku pelajaran sekolah atau kuliah, cerita anak dan lain-lain. Bahkan dengan bantuan tim editor atau bagian dari tim, karyakaryanya bisa juga tampil kompetitif, apalagi bila penulisan tersebut adalah bagian dari proyek pengadaan, seperti buku sekolah, yang acapkali tidak menempatkan mutu isi sebagai pertimbangan nomor satu. Paparan dalam paragraf di atas adalah bayangan dari kenyataan di negeri kita dewasa ini yang mewakili dua ekstrem. Namun, sebenarnya perkembangan mutakhir dalam bidang teknologi informatika, yaitu dengan tersedianya jaringan dan fasilitas internet yang murah dan menyebar ke berbagai pelosok negeri, di mana di seluruh jalan negara terpasang jaringan fibre optic telekomunikasi oleh perusahaan negara PT Telkom dan jaringan komunikasi seluler Telkomsel dan XL menjangkau sebagian besar daerah terpencil, dua

168 | Jurnal Ilmu Pendidikan Volume 21 No. 2. Juni 2014

ekstrem yang dipaparkan di atas semakin mengalami kekaburan. Artinya, ditinjau dari ketersediaan jaringan teknologi informatika, era ini adalah era kebangkitan setiap warga negara berkemauan untuk unjuk diri termasuk dalam dunia kepenulisan karena ia jauh lebih mudah mengakses perkembangan daerah, negara dan dunia, serta dapat berkomunikasi dengan sangat murah dengan banyak pihak di daerah atau negara lain sesuai dengan kepentingannya. Namun, pertanyaan yang pantas muncul adalah sejauhmana kesanggupan kita untuk memanfaatkan fasilitas tersebut untuk kepentingan produktif. Yang masih menjadi tren sekarang ini, sayangnya, adalah sebatas pemanfaatan teknologi informatika sebagai jaringan sosial (social network) yang tidak produktif dan semata-mata berorientasi interpersonal atau penjalinan hubungan pribadi satu sama lain dan minim transaksi ilmiah atau produktif lainnya. Dengan kata lain, teknologi informatika diperlakukan setara atau tak lebih dari pos ronda di pojok kampung tempat anggota masyarakat berbudaya lisan tinggi menghabiskan sebagian besar waktu luangnya sambil bermain kartu remi, misalnya. Dalam setting berbeda tetapi dengan kecenderungan serupa, bagi para mahasiswa dan pekerja teks lainnya di Indonesia, fasilitas internet menjadi tempat untuk menemukan bahan-bahan tugas kuliah dengan mudah. Namun, sayangnya bahan-bahan tersebut digunakan untuk dijiplak atau di-copy and paste sehingga dunia kepenulisan mahasiswa tidak berkembang sesuai harapan. Hal ini mengisyaratkan betapa tingginya tantangan dunia kepenulisan di negeri ini, terutama di daerah-daerah. Faktor kontekstual yang ketiga berkaitan dengan pekerjaan. Ada orang yang memilih dunia kepenulisan sebagai pekerjaan utama mekera, seperti para jurnalis, penulis naskah film, dan penulis atau peneliti sebagai pekerjaan penuh waktu dalam suatu lembaga seperti 168

penerbitan atau lembaga penelitian. Tentulah orang-orang dalam kelompok ini adalah kontributor utama tulisan yang dikonsumsi publik. Bagi mereka, menulis menyangkut hidup dan matinya diri dan keluarga mereka. Bagi mereka tantangan menulis harus dilalui dengan sukses, dan pengalaman sukses demi pengalaman sukses mereka menjadikan mereka yakin bahwa tantangan dunia kepenulisan itu selalu berat, tetapi senantiasa dapat dilewati dengan berhasil. Kategori pekerjaan yang lain adalah pekerjaan di mana menulis adalah sebagian dari tugas utama, seperti tugas pengajar perguruan tinggi, guru sekolah, dan mahasiswa. Bagi mereka, walau profesor atau doktor, menulis juga umumnya terasa berat, tetapi mesti ditunaikan setidak-tidaknya pada tahap-tahap tertentu, walau harus menghabiskan waktu agak lama. Di negara-negara maju, umumnya para akademisi mendapat cuti khusus (sabbatical leave) atau mendapat izin mengikuti program fellowship (semacam pencangkokan pada profesor senior) selama beberapa bulan untuk menghasilkan karya-karya kepenulisan akademik seperti buku teks atau referensi kuliah. Sebagian besar guru besar atau akademisi produktif umumnya menjalin banyak kerjasama dengan penerbit untuk publikasi buku-buku mereka dan selalu mendapat hibah penelitian dari Pemerintah atau permintaan dari lembaga sponsor. Sekali lagi, bagi mereka, menulis tetap merupakan tantangan yang tidak mudah, tetapi pengalaman sukses sebelumnya menjadi salah satu modal bagi mereka untuk melangkah dengan yakin bahwa mereka akan sukses pada akhirnya. Kategori pekerjaan yang ketiga adalah yang tidak mensyaratkan kepenulisan dalam pengembangan karir secara rutin. Bagi mereka dalam kategori ini, tentu menulis tidak mudah, apalagi tingkat kesibukan, termasuk perjalanan mereka, sangat tinggi. Namun, ternyata bagi mereka yang terpatri jiwa kepenulisan dalam dirinya, tembok-

Iwan Jazadi

Analisis Tentang Tantangan Dan Pengaruh Dunia Kepenulisan Terhadap Kehidupan Masyarakat | 169

tembok penghambat menulis dapat dirobohkan. Bagi mereka, menulis adalah hobi yang mengisi waktu-waktu luang; selalu ada waktu luang di tengah kesibukan, dan di saat itulah dicicil setahap demi setahap buah karya tulisnya. Akhirnya, mereka dapat menghasilkan tulisan, bukan hanya artikel pendek untuk koran, tetapi juga buku-buku tebal. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor kontekstual menghasilkan berbagai variasi tantangan bagi dunia kepenulisan. Dewasa ini peluang berkembangnya dunia kepenulisan sangat kondusif apabila faktor-faktor kontekstual ini dipahami dan dicermati, khususnya dengan pemanfaatan secara positif perkembangan teknologi informasi seperti internet dan fasilitas seluler lainnya. Perspektif Personal-Intrinsik Perspektif personal-intrinsik berkaitan dengan tantangan-tantangan bagi seseorang untuk berkomitmen berbenah diri dan menyiapkan diri secara terus menerus untuk menjadi penulis. Gupta dan Woldemariam (2011: 63) menemukan bahwa berhasil tidaknya seseorang dalam menulis ditentukan oleh adanya usaha secara personal, kemampuan untuk melihat manfaat dari menulis dan kepercayaan diri untuk menulis. Untuk mencapai hal tersebut, seseorang ditantang untuk mampu mengatur pengetahuan, sikap dan perilakunya untuk terus belajar dari segala sumber, untuk menyerap dan mengolah informasi secara kritis dan analitis. Kata kunci dalam proses belajar tersebut agar berhasil adalah pada tercapainya proses meaning making atau kemampuan memaknai atau membuat arti segala bentuk lambang, stimulus, informasi atau data yang tersedia dalam berbagai bentuk seperti teks, audio, visual, kejadian atau fenomena pada umumnya. Artinya, ketika mendengar sebuah pidato, ceramah agama,

penyampaian makalah, percakapan sehari -hari, dialog dalam film atau sinetron, pembacaan berita, atau melihat atau membaca tulisan di koran, buku, papan nama dan lain-lain, seorang pembelajar tidak melewatkan ada kata, ungkapan, kalimat, atau lambang yang tidak dimengerti atau tanpa upaya mengetahui artinya. Ia menganalisis pesan yang tersirat atau tersurat, dan dapat mengambil kesimpulan atau membuat sintesis yang tepat daripadanya. Kemampuan untuk memahami setiap peristiwa bahasa atau komunikasi tersebut menjadi dasar terbentuknya pengetahuan, sikap dan perilaku, yang kemudian diolah dalam alam pikiran dan sewaktu-waktu dapat diproduksi sebagai tulisan atau lisan sesuai tuntutan kebutuhan secara fleksibel. Proses meaning making tersebut dapat dielaborasi menjadi tantangan berupa tiga persyaratan menjadi penulis, sebagaimana ditulis dalam sebuah blog online (Imisup, 2009). Ketiga tantangan tersebut disingkat dengan ABG, singkatan dari “Aktif”, “Baca”, “Gaul”. Pertama, untuk terjun dalam dunia kepenulisan, seseorang ditantang untuk bersikap “aktif”. Seorang penulis selalu mengaktifkan pikirannya, perasaannya, imajinasinya dalam berbagai keadaan. Ia harus punya kepekaan mencium masalah. Ia harus memiliki wawasan luas dan pandangan tajam. Untuk itu, ia harus selalu siap dan aktif membuka dirinya terhadap berbagai hal yang berlangsung dan terjadi dalam lingkungan (kehidupan). Ia aktif bertanya, memperhatikan, mengamati, merefleksi, dan seterusnya. Ia tidak melewatkan dan menganggap sepi atau tak berguna hal-hal yang bagi orang lain barangkali sepele atau tidak penting. Inspirasi atau gagasan tidak dapat diperoleh dengan sendirinya, tetapi harus dicari. Seorang penulis harus selalu menyiapkan diri mencari dan memburu untuk memperoleh ide dari berbagai hal. Kedua, seseorang yang mau menjadi penulis ditantang untuk selalu

170 | Jurnal Ilmu Pendidikan Volume 21 No. 2. Juni 2014

“membaca”. Ia harus menjadi kutu buku, alias gemar membaca, di manapun dan kapanpun, bahkan tidak hanya membaca yang tertulis, tetapi utamanya adalah membaca kehidupan. Seorang penulis tidak dianjurkan untuk membatasi bahan bacaan. Ia dituntut tahu segala hal atau sebanyak mungkin hal. Walaupun spesialis dalam suatu bidang, seorang penulis harus berusaha memahami sebanyak mungkin tentang bidang lain. Memang semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin menyempit spesialisasinya. Misalnya, seorang yang latar belakang kesarjanaannya adalah Peternakan, pada jenjang S2 ia fokuskan pada kajian hewan yang berkaki empat, sementara pada jenjang S3 ia khusus mempelajari ilmu tentang sapi. Namun, hal ini tidaklah berarti menyempitkan pengetahuan sang ahli. Ia harus dapat menyelami seluk-beluk berbagai bidang di sekelilingnya. Bahwa ia ahli dalam bidang sempit tersebut memang benar, namun bidang yang sempit sebenarnya merupakan sampel pendalaman sebagai bagian dari suatu bidang. Model-model kedalaman bidang yang sempit tadi dapat dijadikan sebagai pembanding pada bidang-bidang sempit lainnya, baik yang dikembangkan kemudian oleh ahli yang sama atau calon baru di bawah bimbingan ahli tersebut. Artinya, seorang yang memiliki keahlian mendalam dalam satu bidang yang sempit memiliki pisau atau perangkat analisis untuk membedah berbagai persoalan mulai dari yang di sekitarnya sampai akhirnya mencapai berbagai aspek kehidupan sesuai kesempatan yang dimilikinya. Itulah sebabnya semua orang yang menyelesaikan studi S3 di dunia pada umumnya menyandang gelar Doctor of Philosohy, yaitu bahwa kontribusi mereka walau dari latar belakang disiplin ilmu berbeda adalah untuk membangun daya pikir (filsafat) bagi manusia. Ketiga, seorang penulis ternyata juga ditantang untuk memiliki sikap “gaul”, suatu sikap sosial dengan menyer-

takan diri dalam kelompok...


Similar Free PDFs