ASPEK-ASPEK KULTURAL MASYARAKAT DESA PDF

Title ASPEK-ASPEK KULTURAL MASYARAKAT DESA
Author Muhammad Andreas
Pages 12
File Size 91.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 13
Total Views 256

Summary

ASPEK-ASPEK KULTURAL MASYARAKAT DESA Menurut Y.B.A.F. Mayor Polak (1966), aspek kultural suatu masyarakat adalah analog dengan aspek rohani sedangkan aspek strukturalnya analog dengan aspek jasmani suatu makhluk. Dengan demikian bila analogi ini dijadikan dasar pemikiran, untuk mendapatkan gambaran ...


Description

ASPEK-ASPEK KULTURAL MASYARAKAT DESA Menurut Y.B.A.F. Mayor Polak (1966), aspek kultural suatu masyarakat adalah analog dengan aspek rohani sedangkan aspek strukturalnya analog dengan aspek jasmani suatu makhluk. Dengan demikian bila analogi ini dijadikan dasar pemikiran, untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai masyarakat desa seharusnya ada satu paket pembahasan mengenai aspek kultural dan strukturalnya. Namun, mengingat luasnya cakupan bahan, maka pembahasannya akan dipecah menjadi dua modul Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu katagori sosial yang seragam dan bersifat umum. Artinya, sering tidak

disadari adanya

diferensiasi atau perbedaan-perbedaan dalam pelbagai aspek yang terkandung dalam komunitas petani ini. Sebagai contoh diferensiasi dalam komunitas petani itu akan terlihat berdasar atas perbedaan dalam tingkat perkembangan masyarakatnya, jenis tanaman yang mereka tanam, teknologi atau alat-alat yang mereka pergunakan sistem pertaman yang mereka pakai, topografi atau kondisikondisi

fisik-geografik lainnya.

Di antara gambaran-gambaran yang bersifat

diferensiatif pada kalangan masyarakat petani umumnya, adalah perbedaan antara petani bersahaja, yang juga sering disebut petani tradisional (termasuk golongan peasant) dan petani modern (termasuk

farmer atau agricultural

entrepreneur). Secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung dan dikuasai alam karena rendahnya tingkat pengetahuan dan teknologi mereka. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga, bukan untuk tujuan mengejar keuntungan (profit oriented) Sebaliknya. farmer atau agricultural entreprenenur adalah golongan petani yang usahanya ditujukan untuk mengejar keuntungan. Mereka

menggunakan

teknologi dan sistem pengelolaan modern dan menanam tanaman yang laku pasaran. Mereka mengelola pertanian mereka dalam bentuk agribisnis, agro industri atau bentuk modern

lainnya, sebagaimana umumnya seorang

pengusaha yang profesional menjalankan usahanya. Sosiologi Pedesaan

Taufik Hidayat

1

Kebudayaan Tradisional Masyarakat Desa Konsep kebudayaan tradisional dalam modul ini mengacu kepada gambaran tentang cara hidup (way of life) masyarakat desa yang belum dirasuki oleh penggunaan tehnologi modern serta sistem ekonomi uang. Dengan rumusan lain, pola kebudayaan tradisional adalah merupakan produk dari besarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung kepada alam. Semakin tidak berdaya -tetapi di lain pihak semakin tergantungterhadap alam, akan semakin terlihat jelas pola kebudayaan tradisional itu. Menurut Paul H. Landis (1948), sejauh mana besar-kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desa akan ditentukan oleh: (1) sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian; (2) tingkat teknologi mereka; dan (3) sistem produksi yang diterapkan. Ke tiga faktor tersebut determinan

secara

bersama-sama

menjadi

faktor

bagi terciptanya kebudayaan tradisional, yakni kebudayaan

tradisional akan tercipta apabila masyarakat amat tergantung kepada pertanian, tingkat teknologinya rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut Paul H. Landis, dalam garis besarnya ciri-ciri kebudayaan tradisional masyarakat desa adalah sebagai berikut: 1) Sebagai konsekuensi dari ketidakberdayaan mereka terhadap alam, maka masyarakat desa yang demikian ini mengembangkan adaptasi yang kuat terhadap lingkungan (alam)nya. Pertanian sangat tergantung kepada keadaan atau jenis tanah, tingkat kelembaban, ketinggian tanah, topografi, banyaknya curah hujan, dan lainnya. Lingkungan alam dengan elemenelemen seperti itu cukup bervariasi antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Maka masyarakat desa (petani) mengembangkan tingkat dan bentuk adaptasi terhadap pelbagai kekhususan lingkungan alam itu, sehingga dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa pola kebudayaan masyarakat desa terikat dan mengikuti karakteristik khas lingkungan (alam)nya.

Sosiologi Pedesaan

Taufik Hidayat

2

2) Pola adaptasi yang pasif terhadap lingkungan alam berkaitan dengan rendahnya tingkat inovasi masyarakatnya. Petani bekerja dengan alam. Elemen-elemen alam sebagaimana disebut di atas (jenis tanah, tingkat kelembaban, ketinggian tanah, dan sebagainya) sekalipun bervariasi tetapi mengandung keajegan dan keteraturan tertentu. Dengan tingkat kepastian yang cukup tinggi terhadap keajegan dan keteraturan alam tersebut, maka mereka tidak terlalu memeriukan hal-hal yang baru. Semuanya serasa telah diatur dan ditentukan oleh alam. 3) Faktor alam juga dapat mempengaruhi kepribadian masyarakatnya. Seperti dikemukakan oleh O.E. Baker (dalam P.H. Landis, 194.8), sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya,mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan. Refleksi dari filsafat semacam ini dalam hubungan antar manusia adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektivitas. 4) Pengaruh alam juga terlihat pada pola kebiasaan hidup yang lamban. Kebiasaan hidup lamban ini disebabkan karena mereka sangat dipengaruhi oleh irama alam yang ajeg dan lamban.

Tanaman yang tumbuh secara

alami, semenjak tumbuh hingga berbuah selalu melewati proses-proses serta tahapan tertentu yang ajeg.

Dengan rekayasa tertentu orang dapat

memperpendek usia tanaman dan meningkatkan produktivitasnya, namun tetap ada batasnya. Orang tidak dapat mempercepat proses pertumbuhan tanaman seperti memutar mesin. Maka masyarakat desa sering dicap statis, bukan hanya karena mereka tidak inovatif tetapi juga karena lamban. 5) Dominasi alam yang kuat terhadap masyarakat desa juga mengakibatkan tebalnya kepercayaan mereka terhadap takhayul. Takhayul dalam hal ini merupakan proyeksi dari ketakutan atau ketundukan mereka terhadap alam disebabkan karena tidak dapat memahami dan menguasai alam secara benar. C.C. Taylor dalam hubungan ini telah mengidentifikasi adanya 467 jenis takhayul di kalangan petani Amerika Serikat tatkala mereka belum menjadi petani modern. Lebih dari seperempat jenis takhayul itu berkaitan

Sosiologi Pedesaan

Taufik Hidayat

3

dengan ikiim, udara, tanaman, dan binatang-binatang. Takhayul yang berkaitan dengan pengaruh bulan terhadap pertanian juga mereka kenal. 6) Sikap yang pasif dan adaptatif masyarakat desa terhadap alam juga nampak dalam

aspek

kebudayaan

material

mereka

yang

relatif

bersahaja.

Kebersahajaan itu nampak misalnya pada arsitektur rumah dan alat-alat pertanian. 7) Ketundukan masyarakat desa terhadap alam juga menyebabkan rendahnya kesadaran mereka akan waktu. Hal ini dapat dimengerti, karena alam memiliki irama sendiri. Alam tidak menempatkan orang ke dalam kotak-kotak waktu, melainkan orang sendirilah yang menciptakan kotak-kotak waktu itu. Tanaman memiliki proses alami dengan paket waktu tersendiri terlepas dari pengaturan dan campur tangan manusia. Orang tinggal menanti proses yang alami itu. Akibatnya mereka tidak memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya waktu. 8) Besarnya pengaruh alam juga mengakibatkan orang desa cenderung bersifat praktis. Artinya, mereka tidak begitu mengindahkan segi keindahan dan omamen-ornamen. Berkaitan dengan sifat praktis ini, masyarakat desa juga cenderung kurang mengindahkan etika dalam pergaulan satu sama lain. Terlebih lagi mereka hidup dalam kelompok dan lingkungan primer, saling akrab, sangat mengenal satu sama lain. Dalam situasi semacam ini kurang memungkinkan mereka untuk menyembunyikan sesuatu dari teman atau tetangga.

Maka mereka tidak perlu berbicara panjang-lebar dan berbasa-

basi satu sama lain. Hal ini mendorong tumbuh dan berkembangnya sifatsifat jujur, terus terang dan suka bersahabat (friendly}. 9) Pengaruh alam juga mengakibatkan terciptanya standar moral yang kaku di kalangan masyarakat desa. Moralitas dalam pandangan masyarakat desa adalah sebagai sesuatu yang absolut (final). Tidak ada kompromi antara yang baik dan buruk, cenderungpada pemahaman yang bersifat hitam-putih (clearcut definition). Dengan kata lain, tidak ada pengertian yang bersifat relatif mengenal baik dan buruk. Konsepsi moral yang kaku ini menurut Paul H.

Sosiologi Pedesaan

Taufik Hidayat

4

Landis tercermin misalnya dalam penafsiran masyarakat desa di Barat terhadap kitab Injil. Mereka menafsirkan ayat-ayat secara harafiah. Demikianlah

karakteristik-karakteristik

kebudayaan

tradisional

yang

terbentuk oleh pengaruh alam. Sebagaimana dikemukakan di atas, besar kecilnya pengaruh alam ini tergantung kepada sejauh mana ketergantungan mereka terhadap alam, tingkat tehnologi mereka, dan sistem produksi yang diterapkan. Pola kebudayaan semacam Ini akan menjadi semakin pudar seiring dengan kemajuan tehnologi, meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan alam, serta tujuan produksi yang semakin berorientasi pada pencarian keuntungan.

Peasant Dan Subsistensi Ada yang menterjemahkan peasantt dengan petani kecil. Terjemahan ini tidak sepenuhnya tepat apabila dipadankan dengan pengertian substansialnya. Sebab, apabila yang dimaksud petani

kecil itu sekedar berkaitan dengan

pemilikan tanahnya saja yang sempit sedangkan dia berjiwa wirausaha dan cenderung mengejar keuntungan dalam setiap usahanya, maka dia bukanlah peasantt (untuk selanjutnya disebut: peasant). Seorang peasant berjiwa subsisten, yang melakukan usaha sekedar untuk hidup dalam bentuknya yang minimal. Maka seorang peasant sekalipun memiliki lahan pertanian luas tetapi dia cenderung tidak akan memanfaatkannya untuk mencari keuntungan yang optimal. Menurut Eric R. Wolf (1956), peasant adalah penghasil-penghasil pertanian yang mengerjakan tanah secara efektif, yang melakukan pekerjaan itu sebagai nafkah hidupnya, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan. Menurut Raymond Firth (1956) istilah peasant terutama memiliki referensi keekonomian. Yang dimaksud dengan ekonomi peasant adalah suatu sistem yang berskala kecil, dengan teknologi dan peralatan yang sederhana, seringkali

Sosiologi Pedesaan

Taufik Hidayat

5

hanya memproduksi untuk mereka sendiri yang hidupnya subsisten. Usaha pokok untuk nafkah hidupnya ialah dengan mengolah tanah. Menurut Belshaw (1965) masyarakat peasant adalah yang way of life-nya berorientasi pada tradisionalitas, terpisah dari pusat perkotaan tetapi memiliki keterkaitan

dengannya,

yang

mengkombinasikan kegiatan pasar dengan

produksi subsisten. Menurut Kroeber (1948) peasant adalah golongan kelas dari suatu populasi yang lebih besar yang biasanya termasuk pula didalamnya pusat-pusat perkotaan. Mereka itu dengan demikian merupakan bagian dari suatu masyarakat dan kebudayaan. Menurut Redfield (1956) peasant adalah orang-orang dengan peradaban yang tua, penduduk pedesaan yang menguasai dan mengolah tanah mereka untuk kehidupannya yang subsisten dan sebagaibagian dari cara hidup yang tradisional yang dipengaruhi oleh orang perkotaan yang cara hidupnya menyerupai mereka tetapi lebih tinggi peradabannya. Menurut Foster (1962) komunitas peasant keberadaannya memiliki ikatan yang erat dengan kota-kota besar dan kecil. Berdasar atas batasan-batasan tersebut dan mengacu pendapat E. Rogers maka secara umum peasant memiliki ciri-ciri: 1. petani produsen yang subsisten, sekedar memenuhi kebutuhan sendiri (keluarga), tidak untuk mencari keuntungan; 2. orientasinya yang cenderung pedesaan dan tradisional tetapi memiliki keterkaitan erat (mengacu) ke kebudayaan kota atau pusat kekuasaan tertentu; 3. jarang yang sepenuhnya mencukupi

kebutuhan diri

sendiri (self-

sufficient). Terdapat sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa peasant di dunia ini tidak homogen, seragam (E.P. Archetti dan S. Aass, dalam Newby, 1978). Dengan demikian adalah sulit sekali untuk mendapatkan ciri-ciri peasant yang umum berlaku untuk seluruh peasant yang ada di dunia ini. Di antara sekian ciri Sosiologi Pedesaan

Taufik Hidayat

6

yang sangat erat dengan keberadaan peasant adalah subsistensi. Subsistensi inilah yang terutama membedakan peasant dari petani modern (agricultural entrepreneur). Subsistensi secara umum diartikan sebagai cara hidup yang cenderung minimalis. Usaha-usaha yang dilakukan cenderung ditujukan untuk sekedar hidup. Clifton R. Wharton (1963) membedakan subsisensi produksi dari subsistensi

hidup.

Subsistensi

produksi

dikarakterisasi

oleh

derajat

komersialisasi dan monetisasi yang rendah, sedangkan subsistensi hidup berkaitan dengan tingkat hidup yang bersifat minimal hanya untuk sekedar hidup. Pertanian subsisten yang mumi menurut Wharton adalah: suatu unit yang dapat berdiri dan mencukupi diri sendiri dalam mana semua produksi dikonsumsi dan tidak ada yang dijual, dan disamping itu tidak ada pengguna atau penghasil barang-barang dan pelayanan-pelayanan dari luar yang masuk. Mengapa studi tentang peasant sejauh ini masih juga tetap menarik perhatian? Banyak alasan mengenai terjadinya kecenderungan ini. Pertama, sampai saat ini jumlah peasant di dunia ini masih sangat besar dibanding dengan petani-petani modern (agricultural entrepreneurs). Dengan asumsi bahwa jumlah penduduk dunia terbanyak

terdapat di negara-negara

berkembang yang dominan masih bersifat agraris, dan di samping itu sistem pertanian mereka umumnya masih belum modern, maka tanpa data yang akuratpun dapat disimpulkan bahwa populasi peasant saat ini masih sangat besar.

Kedua, pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dewasa ini

menimbulkan pelbagai masalah. Salah satu di antaranya adalah masalah pengadaan pangan. Peasant, dengan sistem pertanian yang mereka miliki, tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan penduduk yang melimpah tersebut. Oleh

karena

itu

gerakan

modernisasi

pertanian

seperti Revolusi Hijau

diharapkan mampu memecahkan masalah pengadaan pangan tersebut. Modernisasi pertanian

dilihat

dari

aspek

non-teknis materiilnya

adalah

merupakan upaya untuk mengubah peasant menjadi petani modern. Oleh karena itu studi tentang peasant menjadi penting untuk tujuan pembaharuan ini, yakni dengan (lebih kurang) berpijak pada premise: suatu perubahan akan hanya Sosiologi Pedesaan

Taufik Hidayat

7

berhasil dengan baik apabila mengenai sasaran yang akan dirubah (yakni peasant). Ketiga, seringkali revolusi dan ketidak stabilan politis (dari suatu negara) berpangkal dari peranan atau pengaruh peasant. Sehubungan dengan peasant sebagai gejala kultural, adalah menarik untuk menyimak apa yang dikemukakan oleh Everett M. Rogers (1969). Menurut Everett M. Rogers, peasanttry merupakan subkultur dengan ciri-ciri: a) saling tidak mempercayai dalam hubungan antar satu dengan lainnya, b) pemahaman tentang terbatasnya segala sesuatu di dunia ini, c) sikap tergantung sekaligus bermusuhan terhadap kekuasaan pemerintah, d) familiisme yang tebal, e) tingkat inovasi yang rendah, f) terlekati fatalisme, g) tingkat aspirasi yang rendah, h) kurangnya sikap penangguhan kepuasan (deferred gratification), i) pandangan yang terbatas (sempit) mengenai dunia, j) derajat empati (empathy) yang rendah. Mengenai sikap saling tidak mempercayai satu sama lain, pendapat Lopreato, Friedmann (dalam E.M. Rogers, 1969: 26) mengemukakan: "petani Italia selalu mencurigai motif-motif setiap orang dan bungkam serta bertahan seperti itu dengan cara yang nyarisbersifat pathologis ". Pandangan peasant mengenai terbatasnya segala sesuatu di dunia ini, baik yang fisik (tanah, kekayaan, kesejahteraan) maupun nonfisik (cinta, kekuasaan, kesehatan, keselamatan) lebih lanjut telah menciptakan anggapan bahwa kuantitas hal-hal tersebut tidak dapat ditingkatkan. Logika yang muncul seiring pandangan ini adalah bahwa perbaikan bagi seseorang hanya mungkin tercapai diatas pengorbanan orang lain. Beberapa ilustrasi dapat dikemukakan sehubungan dengan sikap kontroversial peasant terhadap pemerintah (yakni bermusuhan sekaligus merasa tergantung). Menurut Everett M. Rogers, sikap bermusuhan peasant ini berakar dari sejarah yang panjang dari eksploitasi dan pengendalian oleh kekuatan-

Sosiologi Pedesaan

Taufik Hidayat

8

kekuatan luar-desa (pemerintah dan pedagang kota) terhadap peasant. Dalam kaitan

sikap

bermusuhan

ini,

Levi

(dalam

E.M.

Rogers,

1969:

29)

menggambarkan: "bagi petani (didasarkan atas pengamatannya tehadap petani Italia), negara lebih jauh ketimbang surga,

dan lebih jauh lagi ketimbang

hantu...". Sementara Bailey (dalam E.M. Rogers, 1969: 29) mendramatisasinya dengan pendapat: "apabila pemerintah dimisalkan kuda, maka semua kuda adalah kuda Troyan". Tetapi di sisi lain, peasant memiliki rasa ketergantungan kepada pemerintah. Sebagai contoh, terdapat kecenderungan pandangan di kalangan mereka bahwa pembangunan desa adalah merupakan tugas pemerintah. Familiisme, yang menurut Everett M. Rogers juga merupakan elemen subkultur peasant, diartikan sebagai: subordinasi tujuan-tujuan perorangan terhadap tujuan-tujuan keluarga. Saling tidak mempercayai satu sama lain di antara para peasant mengakibatkan semakin eratnya ikatan keluarga. Dengan demikian keluarga memainkan peranan yang sangat penting di kalangan peasant. Pada banyak desa (peasant), ikatan-ikatan keluarga dan kekerabatan merupakan basisstruktur untuk unit-unit sosial dan politik dalam komunitas setempat. Rendahnya tingkat inovasi peasant, menurut Everett M. Rogers setidaktidaknya berkaitan dengan tiga hal.

Pertama, pola hidup peasant cenderung

menggunakan cara-cara yang mereka tahu pasti akan menghasilkan. Mereka enggan menggunakan cara-cara baru yang mungkin menyebabkan kegagalan. Ungkapan Strassman mengenai hal ini: "Ikan hiu hanya berbahaya bagi mereka yang berenang". Maka seorang peasant lebih baik memilih tidak "berenang". Kedua, rendahnya tingkat inovasi peasant juga merupakan akibat dari sumbersumber ekonomi yang langka atau penerapan teknologi yang kurang tepat-guna untuk desa. Oleh karena penerapan dari ide-ide baru itu memerlukan beaya sedangkan mereka umumnya miskin, maka akibatnya mereka menjadi kurang (terlihat) inovatif. Ketiga, rendahnya pengetahuan peasant mengenai masalah-

Sosiologi Pedesaan

Taufik Hidayat

9

masalah teknis (technical know-how) dan sumber daya, juga merupakan sebab rendahnya tingkat inovasi mereka. Fatalisme yang melekat pada peasant diartikan sebagai: derajat yang menunjukkan rendahnya kemampuan perorangan untuk mengendalikan masa depan mereka. Ada beberapa penyebab terjadinya fatalisme. Ada yang disebabkan oleh etos kepasifan yang terkait dengan kepercayaan (agama). Sebagai dilukiskan Fals Borda (dalam Everett M. Rogers, 1969: 32) bahwa "gerak (dalam komunitas peasant) hanya terjadi bila diciptakan oleh kekuatan dari luar, dan

itupun diterima dengan sedikit atau bahkan tanpa reaksi".

Landasan agamis dari etos kepasifan mi adalah proyeksi dari ungkapan "Tuhan memberi dan Tuhan mengambilnya lagi". Fatalisme juga disebabkan oleh struktur keluarga yang otoritarian, yang cenderung menciptakan anak-anak yang pasif dan tergantung. Dalam pandangan peasant yang fatalistik ini segala sesuatu telah ditentukan oleh nasib atau faktor keuntungan (luck), dan tidak dipikirkan sebagai produk hubungan sebab-akibat atau pro...


Similar Free PDFs