Black Gold PDF

Title Black Gold
Author Rio Belvage
Pages 9
File Size 646.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 219
Total Views 1,077

Summary

22 Agustus 2014, 00:50 Black Gold Oleh: Rio Heykhal Belvage "Studi film telah membangkitkan sebentangan teori dan metode. Film dipelajari dari segi potensinya sebagai 'seni', sejarahnya yang dituturkan sebagai momen-momen dalam 'tradsi yang hebat', film-film, bintang, dan sutrad...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Black Gold Rio Belvage

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

opini publik lkpt iga fia

ISBN: 978-602-282-325-4 (jilid lengkap) 978-602-282-327-8 (jilid 2) Ilmu Penget ahuan Sosial arn_ adelia cml Menghit ung Dampak Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Iin Agust ian

22 Agustus 2014, 00:50

Black Gold Oleh: Rio Heykhal Belvage

"Studi film telah membangkitkan sebentangan teori dan metode. Film dipelajari dari segi potensinya sebagai 'seni', sejarahnya yang dituturkan sebagai momen-momen dalam 'tradsi yang hebat', film-film, bintang, dan sutradara yang paling berarti; film dianalisis berdasarkan perubahan teknologi produksi film; film dikutuk sebagai industri budaya; dan film didiskusikan sebagai situs penting bagi produksi subyektifitas individu dan identitas nasional (John Storey, 2007: 67)". Kalimat tersebut saya dapati dalam tulisan John Storey ketika menerangkan tentang teori dan metode kajian budaya dan budaya pop. Tulisan tersebut pertama terbit tahun 1996, sehingga dapat dibilang perhatian seputar film melalui perspektif budaya sudah bukan lagi hal baru. Sejak film bukan semata-mata dianggap dan diproduksi sebagai hiburan, film punya peran yang jadi agak serius, bahkan ambisius. Seiring waktu berjalan kajian tentang film semakin meluas, hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh dinamika yang berlangsung dalam proses produksi, distribusi hingga film distandarisasi supaya dianggap layak dikonsumsi. Ada yang mencoba melihat film dari segi seni, sosial, politik, sejarah, maupun dari apa yang oleh Alfred Gell (2005) disebut sebagai 'teknologi pesona'. Teknologi pesona dalam film ini mencakup seperti misalnya tata musik, tata suara, sinematografi, seni peran, dan berbagai unsur lain yang memperkuat konstruksi narasi dalam film sehingga dapat memikat khalayak penonton.

Paragraf pertama di atas sengaja ditulis begitu supaya terkesan serius seperti halnya tulisan ilmiah pada umumnya yang mengkaji tentang produk budaya pop. Terlepas dari teknik penulisan kaku ala ilmiah yang hanya separagraf itu, tulisan ini akan bercerita tentang pengalaman 'membaca film'. Tetapi sebelumnya, ijinkan saya menyampaikan terlebih dahulu dua hal yang perlu saya terangkan sebelum mengawali tulisan ini. Pertama, di sini saya akan membedakan apa yang umumnya selama ini dipahami sebagai 'menonton film' dengan memperkenalkan istilah 'membaca film'. Bila menonton film, penonton akan cenderung berposisi sebagai subyek pasif yang melihat scene demi scene sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja, maka membaca film adalah mengambil posisi sebagai subyek aktif yang menempatkan film sebagai teks. Kedua, sebuah pembacaan mensyaratkan kehadiran teks, dan oleh karenanya saya mengandaikan film layaknya kumpulan teks (atau kumpulan scene) yang membentuk sebuah tulisan. Ketiga, dengan menggunakan konsep Roland Barthes (2000) dalam Matinya Sang Pengarang, dimana ketika sebuah teks diakhiri oleh pengarang (dalam konteks ini: sutradara bersama tim produksinya), maka kedudukan pengarang telah mati. Sebuah tulisan menjadi suatu dunia tersendiri yang dihadapi oleh pembaca/penonton, yang dengan kata lain, sutradara bersama tim produksinya telah lenyap, ia tidak lagi hadir untuk memberi arahan kemana sebuah teks mestinya dibaca, sebab pengarang telah sublim dalam teks itu sendiri. Maka di sini, saya akan menampilkan hasil pembacaan dari teks yang tengah saya baca pada film yang saya andaikan sebagai teks. *** Film yang akan saya ulas ini menarik perhatian saya karena tema yang diangkat kebetulan sama dengan penelitian yang sedang saya lakukan. Secara garis besar film tersebut bercerita tentang respon masyarakat terhadap penemuan potensi emas hitam alias minyak bumi yang melimpah di negeri seberang - yang merupakan refleksi tersendiri bagi saya ketika melihat ketersedian sumber daya alam negeri ini, di mana sejak didirikannya Indonesia sebagai negara baru, sumber daya alam telah menjadi berkah sekaligus kutukan karena kelimpahannya juga berarti benih munculnya proletarisasi bagi masyarakat tempat di mana sumber-sumber alam itu berada. Demikianlah latar belakang singkat ini ditujukan sebagai formalitas untuk mendekati struktur tulisan yang baik dan benar.

2

Membaca Cerita Black Gold Alkisah, tersebutlah negeri-negeri gersang yang penduduknya miskin dan penyakitan. Hobeika dan Salmaah namanya. Dua negeri di wilayah timur tengah itu kerap berperang untuk memperebutkan tanah di sebuah daerah yang dijuluki "Jalur Kuning". Jalur Kuning adalah padang gersang yang tidak menjanjikan keuntungan apa-apa selain angin dingin dari timur selama setengah tahun dan badai gurun yang bisa datang tiba-tiba. Bagi sekelompok orang non-atheis, Jalur Kuning juga punya julukan lain, yaitu Rumah Tuhan. Bila menonton film Black Gold, ada yang sudah menonton? Jika tidak salah film ini pernah tayang di bioskop pada sekitar 2011 lalu. Diangkat dari sebuah novel jadul yang disutradarai oleh orang berkebangsaan Perancis. Bila menonton film tersebut, mata kita akan dibawa melihat pemandangan laki-laki bersorban yang mengenakan jubah lengkap dengan pedang yang dililitkan di bagian pinggang seperti tradisi kuno Samurai Jepang, sementara para perempuan mengenakan cadar yang tidak hanya untuk menutupi aurat sesuai apa yang diperintahkan oleh agamanya, tetapi juga berguna untuk menghindari terpaan debu dan panasnya padang pasir. Hal tersebut tentu sangat kontekstual jika dibandingkan dengan jilboobs yang memanjakan mata kaum adam akhir-akhir ini. Adegan-adegan seperti peperangan, hewan-hewan unta dan orang-orang hijrah yang hampir mati kehausan akan mengingatkan kembali pada film Aladin atau Doraemon versi petualangan padang pasir. Singkat cerita, film itu diawali dengan perjanjian damai setelah perang yang dimenangkan oleh negeri Hobeika atas negeri Salmaah. Kedua petinggi yang disebut sebagai sultan dari kedua negeri itu bertemu di Jalur Kuning untuk melakukan perjanjian damai, namun dengan syarat dua anak Sultan dari Salmaah yang masih kecil menjadi sandera dibawa ke Hobeika. Hari demi hari berlalu. Dua anak kecil itu tumbuh dewasa di bawah asuhan Sultan Hobeika bersama kedua anak kandungnya, perempuan cantik jelita dan seorang pangeran gagah perkasa. Pada suatu hari yang biasa, datanglah dua orang petualang mengendarai pesawat capung mendarat di pusat keramaian di Hobeika. Orang-orang langsung datang mengerumuni benda terbang itu. Melihat peristiwa tersebut, pemimpin negeri Hobeika yang miskin itu langsung mendatanginya. Keluarlah dua orang asing dari pesawat dan memperkenalkan diri sebagai orang dari perusahaan minyak kecil di Texas yang dapat

3

menjanjikan kemakmuran untuk Hobeika. Waktu itu, sang sultan belum ngeh bahwa di dekat wilayah kekuasaannya tersimpan minyak bumi dengan kualitas nomor satu. Hobeika yang miskin dan malang, belum mampu membaca peluang ekonomi yang sangat besar dari sumberdaya alam yang tersedia di tanahnya, sampai kemudian datang orang pintar dari amerika dan memberitahu potensi itu. Pertemuan orang Hobeika dengan para petualang minyak dapat dibilang merupakan gambaran dari perjumpaan antara dunia lama dengan dunia baru, dunia orang pintar dan dunia orang blo'on yang tidak mengenyam pengetahuan ekonomi barat, dunia di mana ketika itu diam-diam "uang dan minyak telah menguasai dunia". Berkat pertemuan singkat yang menjanjikan perubahan tersebut, dalam waktu tidak begitu lama Hobeika telah benar-benar berubah total. Setiap hari eksploitasi minyak berlangsung adem ayem dan setiap hari ada saja ditemukan pembangunan dilakukan di Hobeika. Gedung-gedung sekolah dibangun dengan begitu megah, masjid besar didirikan, rumah sakit, jaringan listrik, perpustakaan dan tak lupa juga impor senjata modern untuk memperkuat pertahanan dan keamanan. Negeri Hobeika yang semula miskin kini telah kaya raya. Bagaimana tidak, pada film yang menggambarkan situasi tahun 1930'an itu, satu ladang minyak yang baik dapat memproduksi seratus ribu barel perhari dengan harga 1dolar/barel. Itu masih hitungan kasar saat harga minyak masih belum seperti sekarang dimana subsidi BBM dibatasi karena harga minyak telah mencapai 90 dolar/barel. Sementara itu, sultan yang semula harus menerima kenyataan pahit dimana kemiskinan dan penyakit melanda negerinya, kini telah berubah drastis menjadi sultan tajir. Sebuah kekayaan, yang seperti dituturkan dalam percakapan film itu, "dapat melebihi kekayaan Raja Inggris yang hanya punya rumput dan topi basah". Menarik memperhatikan bagian plot ini. Perubahan sosial-ekonomi yang berlangsung di Hobeika sejak diintroduksikannya tambang minyak oleh para petualang dari Texas mencerminkan perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem ekonomi masyarakat padang pasir. Masyarakat sedang berubah. Hobeika membuka gerbang lebar-lebar kepada dunia luar yang menjanjikan kekayaan seperti orde babe dengan Open Door Policy-nya dulu. Satu-persatu para pekerja yang berasal dari Texas yang berdandan ala koboi tanpa tanah terus didatangkan untuk mengebor sumur minyak disana-sini, mereka datang

4

memperkenalkan potensi tambang lalu bekerja jadi buruh di negeri orang. Sementara itu kesultanan alias negeri Hobeika yang hanya menelan gaji buta, melakukan pembangunan terus-menerus. Perpustakaan besar dibangun untuk melokalisir orang-orang pintar di negerinya, dan kekayaan semakin bertambah dari hari ke hari. Sampai pada suatu hari, kekerasan terjadi di wilayah pengeboran minyak. Beberapa pekerja tambang dari Texas yang sedang beristirahat dibunuh, kedua kakinya diikat menggunakan alat berat kemudian ditenggelamkan ke dalam tangki minyak. Ketika para pekerja menemukan, mayatnya telah menghitam dilumuri minyak. Perseteruan dengan orang asing dimulai. Kecurigaan bermunculan. Petugas keamanan menduga hal tersebut dilakukan oleh suku Al Talabyns dan Aniza. Peristiwa pembunuhan itu lantas membuat Sultan berpikir dua kali tentang keberlanjutan eksploitasi tambang, karena pada dasarnya, sesuai perjanjian antara suku-suku selatan terdahulu, ternyata tempat dimana operasi tambang itu dilakukan telah disepakati sebagai wilayah steril, tanah tak bertuan. Rupanya dari peristiwa pembunuhan itu, tanpa disadari oleh pemimpin Hobeika, telah tercipta jurang kemakmuran yang memicu munculnya kekerasan dan puncaknya adalah kematian para koboi apes yang ditenggelamkan ke dalam tangki minyak kualitas terbaik. Untuk menghindari berlanjutnya kekerasan dan demi menjamin keselamatan buruh-buruh Amerika yang mendatangkan kemakmuran baginya, Sultan Hobeika yang cerdik, meskipun telah memiliki sistem pertahanan yang kuat karena dilengkapi dengan persenjataan modern, tidak terpancing untuk membalas peristiwa itu dengan kekerasan. Dia berpikir untuk menyelesaikannya melalui jalan dialog. Sultan Hobeika membuat pertemuan dengan mengundang kepala-kepala suku yang bertujuan untuk mengambil hati melalui perjamuan istimewa yang telah ia rencanakan. Jalinan kekerabatan yang sebelumnya agak renggang dengan suku-suku lain dibangun kembali melalui pertemuan dengan kepala-kepala suku. Di tengah perjamuan, sang sultan membagi-bagikan cinderamata berupa jam tangan emas kepada kepala suku yang miskin. Suku-suku yang menghuni padang pasir ketika itu diceritakan belum mengenal nilai mata uang sebagaimana masyarakat dunia luar mengenalnya. Kecerdikan Sultan Hobeika tergambar ketika dia membagi-bagikan benda berupa jam tangan emas kepada elit lokal sebagai alat tukar untuk membeli kekerasan suku-suku di sekeliling wilayahnya. Pada

5

scene tersebut, tergambar kontrak sosial dan ekonomi yang berlaku dalam masyarakat modern sebenarnya merupakan sisa-sisa peninggalan dari sistem tukar-menukar pemberian yang berlaku dalam masyarakat kuno (Mauss, 1992; Sumintarsih, 1997). Terbukti, peristiwa membagi-bagikan cinderamata itu menuai hasil. Kekerasan tidak lagi terjadi. Sultan Hobeika mendapat restu dari suku-suku selatan untuk meneruskan aktivitas penambangan. Kecuali satu negeri yang masih juga tidak dapat diajak berdialog dan melakukan pertukaran, yaitu Salmaah. Dalam film tersebut, Salmaah diceritakan sebagai sebuah negeri yang masih memegang teguh nilai-nilai dari dunia lama dan memandang skeptis bahwa segala hal yang berasal dari luar adalah kafir. Mereka menolak bujuk rayu yang dilakukan oleh negeri Hobeika untuk melanjutkan operasi tambang dengan alasan, "Minyak itu durhaka karena kita perlu orang-orang kafir untuk mengeluarkannya". Menariknya, selain terbilang menutup diri terhadap kehadiran dunia baru yang menjanjikan kemakmuran, negeri Salmaah memiliki kearifan lokal sebagaimana biasa dijumpai oleh para antropolog romantis ketika turun ke lapangan. Meski sebelumnya telah mengetahui bahwa di dekat wilayahnya terdapat sumber minyak, masyarakat Salmaah mempergunakannya seperlunya saja, misalnya seperti untuk mengolesi luka atau membilas kaki unta yang kelelahan. Mereka menolak komodifikasi sumber daya alam minyak dengan alasan karena ada campur tangan orang asing dalam pengelolaaannya. Salmaah memiliki sistem pengetahuan yang khas. Menganut sistem ekonomi subsisten yang mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan cara saling bertukar barang. Cara mereka menilai keberadaan uang sama halnya dengan cara mereka memandang kehidupan dunia: bersifat fana. Uang bukan segala-galanya bagi Salmaah. Namun begitu, meski menjadi negeri yang dengan tegas menolak ekspansi kapitalisme industri, Salmaah sebagai sebuah negeri yang romantis juga masih menganut sistem perbudakan, sesuatu yang ketika itu bertentangan dengan nilai-nilai yang dari dunia jaman baru.

6

Struktur Narasi Saya ingin menutup tulisan ini dengan mencoba menampilkan strukturalitas cerita dalam film Black Gold. Dalam narasi film tersebut, saya menduga ada beberapa unsur yang menjadi perangkat dasar dari oposisi-oposisi yang saling berkaitan dan membentuk struktur konflik sebagai berikut; Negeri Hobeika

Negeri Salmaah

Sultan Nesib

Sultan Ammar

Liberal

Konservatif

Kaya

Miskin

Dunia baru

Dunia lama

Uang adalah segalanya

Uang tidak ada artinya

Senjata modern (tank, pistol,dll)

Senjata tradisional (pedang)

Walaupun begitu, selain gambaran oposisi-biner di atas, didapati juga unsur yang saling menyatukan kedua unsur yang saling berlawanan, yaitu kedua negeri tersebut sama-sama penganut islam yang taat, sama-sama cinta akan kedamaian dan sama-sama menjadikan Qur'an sebagai penuntun. Islam Cinta kedamaian Qur'an sebagai pedoman Kontradiksi menarik yang dioposisikan pada perbedaan-perbedaan antara Hobeika versus Salmaah itulah yang kemudian menggerakkan peperangan besar dimana suku-suku lain juga turut masuk ke dalam pusaran konflik. Ada masa dimana perbedaan mencair dan konflik meredam, namun ada juga masa dimana perbedaan menegas dan perang muncul ke permukaan. Bukan semata perang adu fisik, melainkan perang yang menyimbolkan dua dimensi kultural dengan nilai-nilai berbeda yang juga dapat diartikan sebagai gambaran lain dari pertarungan resim ekonomi subsisten melawan resim ekonomi

7

industri. Sementara itu komodifikasi minyak di negeri Hobeika sejak diperkenalkan oleh orang-orang Texas menyebabkan suku sekitar memasuki zona krisis subsistensi. Lambat laun mereka mulai melihat peluang ekonomi baru dari usaha minyak yang dilakukan oleh pemimpin Hobeika. Di akhir cerita, pihak yang kekeuh dengan nilai-nilai lama mesti menerima kekalahan total atas datangnya nilai-nilai yang dibawa dari dunia jaman baru: resim ekonomi industri.

Referensi -

-

-

Roland Barthes, 2000, Matinya Sang Pengarang, dalam kumpulan esai Hidup Matinya Sang Pengarang: Esai-esai tentang Kepengarangan oleh Sastrawan dan Filsuf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Simatupang, Lono. 2006. Memahami Jagad Seni sebagai Refleksi Kemanusiaan, dalam Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya, tahun 2013. Yogyakarta: Jalasutra. Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra. Sumintarsih. 1997. Merajut Kerjasama, Menjangkau Pasar: Siasat Resiprositas dalam Usaha Kerajinan Agel di Kulon Progo, Yogyakarta dalam Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.

8...


Similar Free PDFs