Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman Potensi, Pemanfaatan, Pengelolaan (Heru Hendrayana, 2016) PDF

Title Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman Potensi, Pemanfaatan, Pengelolaan (Heru Hendrayana, 2016)
Author Heru Hendrayana
Pages 21
File Size 3.5 MB
File Type PDF
Total Downloads 234
Total Views 632

Summary

CEKUNGAN AIR TANAH YOGYAKARTA-SLEMAN Potensi, Pemanfaatan dan Pengelolaan Air Tanah DR. Ir. Heru Hendrayana Dept. of Geological Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada Disampaikan pada : National Workshop Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE) “Best Practices of Sustainable...


Description

CEKUNGAN AIR TANAH YOGYAKARTA-SLEMAN Potensi, Pemanfaatan dan Pengelolaan Air Tanah DR. Ir. Heru Hendrayana Dept. of Geological Engineering, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada Disampaikan pada : National Workshop Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE)

“Best Practices of Sustainable Water Resources Management Based on Ecohydrology Approach”

Yogyakarta, 12 – 13 Oktober 2016

INTISARI Airtanah yang ada di wilayah-wilayah Kab. Sleman, Kota Yogyakarta dan Kab. Bantul dikontrol oleh sistem hidrologi, geologi dan hidrogeologi yang berhulu pada lereng selatan bagian atas G. Merapi. Keberadaan hutan dan daerah-daerah tangkapan air hujan di kawasan ini merupakan suatu sistem penyedia airtanah (Groundwater Recharge Area) bagi daerahdaerah yang berada di bawahnya (Groundwater Discharge Area), yang secara hidrogeologis daerah tersebut termasuk di dalam sistem Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman. Kawasan lereng selatan G. Merapi yang meliputi wilayah Kab. Sleman, Kota Yogyakarta dan Kab. Bantul tersebut saat ini telah berkembang menjadi daerah permukiman dan berbagai kegiatan ekonomi yang padat. Degradasi sumberdaya airtanah telah terjadi baik kuantitas maupun kualitasnya, dan hal tersebut akan bertambah besar dampaknya apabila penggunaannya tidak dikendalikan dan tidak dikelola dengan baik, yang pelaksanaannya perlu melibatkan barbagai pemangku kepentingan. Untuk mengurangi dan meminimalisir dapak negatif dari pemanfaatan airtanah yang tidak terkendali tersebut perlu dilaksanakan Pengelolaan Airtanah secara bijaksana dan nyata, yaitu dengan mengkaji parameter-parameter utama penentu terciptanya sumberdaya air tanah yang berkelanjutan, sehingga akhirnya dapat dipakai sebagai acuan dan dasar pelaksanaan program-program maupun kebijakan pengelolaan airtanah di CAT Yogyakarta – Sleman. Kata Kunci : CAT Yogyakarta-Sleman, Pengelolaan Air Tanah, Potensi dan Pemanfaatan Air tanah

I. Sistem Akuifer CAT Yogyakarta-Sleman Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman berada di bagian selatan lereng Gunungapi Merapi yang dibatasi oleh dua sungai utama, yaitu Sungai Opak di bagian timur dan Sungai Progo di bagian barat. Di bagian selatan Cekungan Air Tanah ini dibatasi oleh Samudera Hindia. Batas horisontal dan batas vertikal Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman secara hidrogeologi telah ditentukan sesuai pedoman penentuan batas Cekungan Air Tanah. Berdasarkan pengelompokan satuan-satuan hidrostratigrafi di dalam Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman, maka akuifer-akuifer yang ada dapat disatukan menjadi beberapa satuan hidrostratigrafi, yaitu (a) Akuifer Bagian Atas/Akuifer Bebas (Kelompok Akuifer 1); (b) Akuifer Bagian Bawah/Akuifer Semi Bebas (Kelompok Akuifer 2) dan (c) Dasar Akuifer/Kelompok Non Akuifer (Hendrayana, 2011). Secara geomorfologis rangkaian Perbukitan Kulonprogo dan rangkaian Perbukitan Baturagung yang tersusun oleh batuan Tersier juga membatasi Cekungan Air Tanah Yogyakarta- Sleman berturut-turut di bagian barat laut dan tenggara. Sedangkan secara geologis, Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman dibatasi oleh sesar utama, yaitu sesar sepanjang Sungai Opak di bagian timur. Di dalam Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman terdapat juga beberapa sesar turun yang berpasangan,

antara lain membentuk Graben Bantul dan Graben Yogyakarta (Untung, dkk, 1973; Mc Donald & Partners, 1984; Hendrayana, 1993, 1994, 2011). Litologi utama penyusun Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman adalah Formasi Yogyakarta di bagian atas dan Formasi Sleman di bagian bawah, yang merupakan endapan volkanoklastik Gunung Merapi. Kedua formasi ini berfungsi sebagai lapisan pembawa air utama yang sangat potensial di dalam Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman dan bersifat multilayer aquifer (Djaeni, 1982; Mc Donald & Partners, 1984; Hendrayana, 1993, 1994, 2011). Sistem hidrogeologi yang dibentuk oleh Formasi Yogyakarta dan Formasi Sleman di dalam Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman disebut sebagai Sistem Akuifer Merapi (SAM). SAM secara hidrogeologis membentuk satu sistem akuifer, dan terdiri atas akuifer berlapis banyak (multilayer aquifer) yang memiliki sifat-sifat hidraulika relatif sama dan saling berhubungan antara satu akuifer dengan akuifer lainnya (Hendrayana, 1993, 1994, 2011). Berdasarkan data dan informasi ini dapat diperoleh fakta, bahwa sistem akuifer Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman merupakan akuifer tipe bebas dan setengah bebas membentuk satu sistem akuifer utama, yang terbagi menjadi kelompok akuifer bagian atas dan kelompok akuifer bagian bawah. Secara umum air tanah mengalir dari utara ke selatan dengan landaian hidraulika yang secara bergradasi semakin kecil. Morfologi muka air tanah menyerupai bentuk kerucut dan menyebar secara radial, bentuk tersebut sesuai dengan penyebaran morfologi gunung api. Bentuk ini merupakan ciri khas morfologi air tanah di daerah gunungapi. Daerah imbuhan (recharge area) terletak antara elevasi 700 m sd 2968 m dml, daerah transisi (transition area) antara elevasi 700 sd 200 m dml dan daerah lepasan (discharge area) mempunyai elevasi antara 200 sd 0 m dml. Daerah imbuhan mempunyai garis kontur elevasi muka air tanah relatif sangat rapat, daerah transisi relatif agak rapat, sedangkan daerah dengan garis kontur elevasi muka air tanah yang jarang merupakan daerah lepasan air tanah. Di daerah selatan, yaitu di daerah lepasan air tanah, air tanah pada akuifer bagian bawah (diperkirakan sebagai Formasi Sleman) memiliki energi potensial yang relatif besar dan mengalir pada litologi yang memiliki sifat fisik relatif sama dengan akuifer bagian atas (diperkirakan sebagai Formasi Yogyakarta), sehingga terjadi aliran air tanah relatif ke arah atas/relatif naik dari akuifer bagian bawah ke arah akuifer bagian atas (Hendrayana, 1993, 1994, 2011). Di dalam Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman, semakin ke arah selatan terjadi penurunan gradien topografi yang disertai dengan penurunan gradien hidraulika serta nilai-nilai karakteristik akuifer, sehingga kecepatan aliran air tanah ke arah selatan juga akan semakin berkurang. Ketebalan sistem akuifer Cekungan Air Tanah YogyakartaSleman sangat beragam, secara umum ketebalan semakin bertambah besar ke arah selatan, yaitu di sekitar Graben Yogyakarta atau di sekitar daerah Ngaglik-Sleman ketebalan akuifer mencapai lebih dari 80 meter, sedangkan di daerah Bedog dan Karanggayam mencapai sekitar 140 meter dan di daerah kota Yogyakarta mencapai hingga 150 meter. Ketebalan ini berkurang kembali di luar Graben Yogyakarta hingga mencapai sekitar 70 an meter. Di sekitar Kota Bantul total ketebalan sistem akuifer Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman meningkat kembali menjadi sekitar 125 m (Hendrayana, 1993, 1994, 2011). Secara vertikal sistem akuifer Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman dapat dibedakan menjadi dua satuan hidrostratigrafi sebagai akuifer utama, yaitu kelompok akuifer bagian atas/akuifer bebas, kelompok akuifer bagian bawah/akuifer semi bebas, dan dasar akuifer/kelompok non akuifer. Berdasarkan data log bor yang diperoleh dari data sumur bor didapatkan, bahwa endapan Kuarter Merapi yang menyusun daerah dataran YogyakartaBantul atau daerah lepasan air tanah di bagian selatan, merupakan campuran dari endapan lahar dan endapan sungai, yaitu berupa endapan fluvio volkanik. Pada log litologi tersebut dapat diketahui adanya perulangan proses pengendapan lahar dan proses fluviatil yang membentuk perulangan endapan lahar dan endapan fluvio-volkanik. Endapan lahar dicirikan dengan adanya

fragmen mengambang diantara matri k, yang merupakan ciri aliran pekat. Pada log litologi dikenal sebagai lapisan pasir kasar berkerakal dengan fragmen-fragmen kerakal-berangkalbongkah yang mengambang diantara matrik pasir kasar. Sedangkan endapan fluvio-volkanik relatif sulit dilihat pada log bor, tetapi munculnya lapisan kerikil berpasir di antara lapisan pasir kasar berkerakal dapat menunjukkan fase terhentinya proses lain yang mengontrol terbentuknya endapan lahar. Dapat disimpulkan, bahwa sisipan kerikil berpasir diantara pasir kasar berkerakal tersebut merupakan hasil proses fluviatil. Berdasarkan log litologi, juga dapat disimpulkan, bahwa semakin ke arah selatan material yang menyusun litologi di dalam cekungan secara umum semakin halus. Adanya jenis akuifer setengah tertekan yang bersifat lokal dan setempat-setempat dapat dijumpai, seperti di daerah Kota Yogyakarta dan Glugo Bantul, serta di daerah tepi Cekungan Air Tanah di sisi timur dan barat. Konfigurasi secara horisontal dan vertikal dari penyebaran masing-masing kelompok akuifer utama dan dasar akuifer/kelompok non akuifer, dapat dilihat pada Peta CAT Yogyakarta-Sleman, berupa Konfigurasi hidrostratigrafi sistem akuifer CAT YogyakartaSleman (Utara-Selatan) dan Konfigurasi hidrostratigrafi sistem akuifer CAT YogyakartaSleman (Barat-T imur). II. Potensi Air Tanah di CAT Yogyakarta-Sleman Perhitungan Cadangan Air Tanah S tatis pada sistem akuifer di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman telah dilakukan pembagian daerah perhitungan menjadi 3 daerah, yaitu Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Berdasarkan hasil perhitungan Cadangan Air Tanah Statis di Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman tersebut, maka didapatkan hasil cadangan statis Air Tanah sistem akuifer bagian atas di Kabupaten Sleman lebih kurang sebesar 5.019.592.985 m3, sedangkan untuk sistem Air Tanah bagian bawah lebih kurang sebesar 1.718.695.450 m3 (Hendrayana, 2011). Kota Yogyakarta memiliki adangan statis lebih kurang sebesar 228.165.256 m3, sedangkan untuk sistem Air Tanah bagian bawah lebih kurang sebesar 313.605.356 m3. Kabupaten Bantul memiliki cadangan statis lebih kurang sebesar 772.095.921 m3, sedangkan untuk sistem Air Tanah bagian bawah lebih kurang sebesar 622.352.040 m3. Perhitungan Cadangan Air Tanah Dinamis pada sistem akuifer yang ditinjau dilakukan pada setiap Kecamatan di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul yang termasuk dalam sistem akuifer Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman. Berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan bahwa pada Kabupaten Sleman, daerah yang memiliki debit yang paling besar berada pada Kecamatan Ngemplak, yaitu sebesar 21.714 lt/dtk, sedangkan daerah dengan debit terkecil terletak pada Kecamatan Pakem, dengan debit sebesar 483 lt/dtk. Sedangkan pada sistem akuifer bagian bawah Kabupaten Sleman terhitung Cadangan Air Tanah Dinamis terbesar berada pada Kecamatan Ngemplak, dengan debit sebesar 14.485 lt/dtk, sedangkan debit terkecil dengan nilai 420 lt/dtk terletak pada Kecamatan Pakem. Perhitungan cadangan di Kota Yogyakarta menunjukkan debit terbesar Cadangan Air Tanah Dinamis untuk sistem akuifer bagian atas berada di Kecamatan Tegalrejo, dengan debit sebesar 1.546 lt/dtk. Kecamatan Wirobrajan memiliki debit yang paling kecil, yaitu sebesar 47 lt/dtk. Sedangkan pada sistem akuifer bagian bawah Kota Yogyakarta terhitung Cadangan Air Tanah Dinamis terbesar berada pada Kecamatan Gondokusuman dengan debit sebesar 1.464 lt/dtk. Debit terkecil berada pada Kecamatan Wirobrajan, yaitu sebesar 68 lt/dtk. Perhitungan Cadangan Air Tanah untuk akuifer bagian atas di Kabupaten Bantul menunjukkan debit terbesar terletak di Kecamatan Kasihan, yaitu sebesar 5.828 lt/dtk. Debit terkecil memiliki nilai sebesar 109 lt/dtk dan terletak pada Kecamatan Piyungan. Sedangkan pada sistem akuifer bagian bawah, debit Cadangan Air Tanah Dinamis terbesar terletak di

Kecamatan Kasihan, yaitu sebesar 6.730 lt/dtk. Sedangkan debit terkecil berada di Kecamatan Piyungan, dengan nilai sebesar 68 lt/dtk. Berdasarkan atas hasil perhitungan Cadangan Air Tanah Dinamis pada setiap kecamatan dari ketiga Kabupaten tersebut menunjukan, bahwa secara umum Cadangan Air Tanah Dinamis dari utara ke selatan di dalam sistem akuifer Cekungan Air Tanah Yogyakarta-Sleman mengalami penurunan. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh semakin kecilnya geometri cekungan Air Tanah ke arah selatan, dan juga karena sebagian dari Cadangan Air Tanah Dinamis tersebut keluar atau muncul ke permukaan tanah sebagai air permukaan, baik melalui sungai (sungai tipe effluent/gaining stream) ataupun melalui mataair-mataair yang ada, dan juga adanya peningkatan pemanfaatan Air Tanah oleh masyarakat di wilayah bawah/selatan, yaitu di wilayah perkotaan/aglomerasi Yogyakarta dan Bantul. III. Tingkat Pemanfaatan Air Tanah Tingkat pemanfaatan air tanah ditentukan dengan mempertimbangkan perbandingan antara total pemanfaatan air tanah dengan total cadangan Air Tanah di daerah tersebut. Apabila jumlah pemanfaatan air tanah lebih besar dari jumlah ketersediaan air tanah, maka akan menyebabkan penurunan elevasi muka air tanah yang signifikan, sehingga akan terjadi kerusakan air tanah. Kondisi perbandingan inilah yang digunakan untuk menentukan tingkat pemanfaatan air tanah di CAT Yogyakarta-Sleman. Berdasarkan perbandingan antara pemanfaatan dan cadangan air tanah, maka tingkat pemanfaatan air tanah dapat dibagi menjadi 4 (empat) tingkatan, yaitu :  Rendah : perbandingan pemanfaatan dan cadangan air tanah ≤ 10 %,  Sedang : perbandingan pemanfaatan dan cadangan air tanah > 10 % - ≥ 20 %,  Tinggi : perbandingan pemanfaatan dan cadangan air tanah > 20 % - ≥ 30 %,  Sangat Tinggi : perbandingan pemanfaatan dan cadangan air tanah > 30 %. Berdasarkan perhitungan pemanfaatan air tanah rumah tangga maupun non rumah tangga dan perhitungan cadangan dinamis air tanah di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, maka diperoleh hasil peta zonasi tingkat pemanfaatan air di CAT Yogyakarta-Sleman. Dari peta zonasi tingkat pemanfaatan air tanah pada peta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa CAT Yogyakarta-Sleman terbagi atas empat tingkatan pemanfaatan air tanah, yaitu : a. Tingkat pemanfaatan air tanah rendah: Kecamatan Mantrijeron, Kraton, Pakualaman, Gondomanan, Gedongtengen dan Tegalrejo (Kota Yogyakarta); Kecamatan Ngemplak, Turi, Cangkringan, Kalasan dan Ngaglik (Kabupaten Sleman). b. Tingkat pemanfaatan air tanah sedang: Kecamatan Mergangsan, Kotagede, Gondokusuman, Danurejan, Ngampilan, Wirobrajan dan Jetis (Kota Yogyakarta); Kecamatan Moyudan, Minggir, Sayegan, Godean, Gamping, Mlati, Depok, Pakem dan Tempel (Kabupaten Sleman); Kecamatan Imogiri, Bambanglipuro, Bantul, Sewon, Banguntapan dan Kasihan (Kabupaten Bantul). c. Tingkat pemanfaatan air tanah tinggi: Kecamatan Umbulharjo yang berada di bagian tenggara Kota Yogyakarta; Kecamatan Berbah, Sleman dan Prambanan (Kabupaten Sleman); Kecamatan Kretek, Pundong dan Pleret (Kabupaten Bantul). d. Tingkat pemanfaatan air tanah sangat tinggi: Kecamatan Sedayu, Piyungan, Pandak, Sanden, Srandakan, Jetis dan Pajangan (Kabupaten Bantul). IV. Perkembangan Kedalaman Muka Air Tanah Akuifer Bagian Atas Kedalaman muka air tanah akuifer bagian atas merupakan kedalaman sumur gali yang diukur dari permukaan tanah hingga ke permukaan air sumur. Data kedalaman sumur gali didapatkan berdasarkan pengukuran langsung di lapangan. Pengukuran dilakukan pada ±800

sumur gali yang tersebar di daerah penelitian dengan jarak antarsumur sekitar 1-2 km. Pengukuran kedalaman sumur gali ini dilakukan sebanyak 3 kali pengukuran, yaitu pada tahun 2011, 2015 dan tahun 2016. Berdasarkan Peta Kedalaman Muka Air Tanah 2011, kedalaman muka air tanah akuifer bagian atas memiliki kedalaman antara 0-20 m dari permukaan tanah. Sebagian besar daerah penelitian memiliki nilai kedalaman muka air tanah 0-4 m dari permukaan tanah. Daerah Mlati, Sleman, Gamping, Ngemplak, Ngaglik, Depok, Kalasan, Kasihan, Berbah, Prambanan dan sebagian besar wilayah Kota Yogyakarta memiliki nilai kedalaman muka air tanah 4-8 m dari permukaan tanah. Daerah Tegalrejo, Depok, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Kalasan dan Prambanan memiliki nilai kedalaman muka air tanah 8-12 m dari permukaan tanah. Daerah Ngaglik, Ngemplak, Kalasan dan Prambanan memiliki nilai kedalaman muka air tanah 12-16 m dari permukaan tanah. Daerah Ngaglik dan Ngemplak memiliki nilai kedalaman muka air tanah 16-20 m dari permukaan tanah. Berdasarkan Peta Kedalaman Muka Air Tanah 2015 kedalaman muka air tanah akuifer bagian atas daerah penelitian memiliki kedalaman antara 0-20 m dari permukaan tanah. Sebagian besar daerah penelitian memiliki nilai kedalaman muka air tanah 0-4 m dari permukaan tanah. Daerah Mlati, Sleman, Gamping, Ngemplak, Ngaglik, Depok, Kalasan, Kasihan, Berbah, Prambanan dan sebagian besar wilayah Kota Yogyakarta memiliki nilai kedalaman muka air tanah 4-8 m dari permukaan tanah. Daerah Tegalrejo, Depok, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Kalasan dan Prambanan memiliki nilai kedalaman muka air tanah 8-12 m dari permukaan tanah. Daerah Ngaglik, Ngemplak, Kalasan dan Prambanan memiliki nilai kedalaman muka air tanah 12-16 m dari permukaan tanah. Daerah Ngaglik dan Ngemplak memiliki nilai kedalaman muka air tanah 16-20 m dari permukaan tanah. Berdasarkan Peta Kedalaman Muka Air Tanah 2016 kedalaman muka air tanah akuifer bagian atas daerah penelitian memiliki kedalaman antara 0-15 m dari permukaan tanah. Sebagian besar daerah penelitian memiliki nilai kedalaman muka air tanah 0-6 m dari permukaan tanah. Daerah Mlati, Sleman, Gamping, Ngemplak, Ngaglik, Depok, Kalasan, Kasihan, Berbah, Prambanan dan sebagian besar wilayah Kota Yogyakarta memiliki nilai kedalaman muka air tanah 6-9 m dari permukaan tanah. Daerah Depok, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Pakem, Kalasan dan Prambanan memiliki nilai kedalaman muka air tanah 9-12 m dari permukaan tanah. Daerah Depok, Ngemplak dan Prambanan memiliki nilai kedalaman muka air tanah 12-15 m dari permukaan tanah. Berdasarkan Peta Perbedaan Kedalaman Muka Air Tanah 2011-2015, maka perbedaan kedalaman muka air tanah akuifer bagian atas daerah penelitian memiliki selisih kedalaman antara -6,9 – 11 m. Nilai negatif menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami penurunan muka air tanah, sedangkan nilai positif menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami kenaikan muka air tanah. Sebagian besar pada daerah penelitian terjadi kenaikan muka air tanah sekitar 0-5,5 m. Kenaikan muka air tanah tertinggi terjadi di daerah Pakem dengan nilai kenaikan 5,5-11 m. Daerah penurunan muka air tanah terjadi di Sanden, Kretek, Sewon, Piyungan, Godean dan Mantrijeron dengan nilai penurunan 0-3,5 meter. Penurunan muka air tanah terbesar terjadi di daerah Godean dengan nilai penurunan 3,5-6,9 m. Berdasarkan Peta Beda Kedalaman Muka Air Tanah 2015-2016, perbedaan kedalaman muka air tanah akuifer bagian atas daerah penelitian memiliki selisih kedalaman antara -10,4 – 11,3 m. Nilai negatif menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami penurunan muka air tanah, sedangkan nilai positif menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami kenaikan muka air tanah. Sebagian besar pada daerah penelitian terjadi penurunan muka air tanah sekitar 0-5,2 m. Penurunan muka air tanah tertinggi terjadi di daerah Pakem, Ngaglik, Mlati, Pundong, Depok dengan nilai penurunan 5,2-10,4 m. Daerah kenaikan muka air tanah terjadi di Sanden, Kretek, Sewon, Piyungan, Godean, Sleman, Kalasan, Ngaglik, Ngemplak, dan Pakem dengan

nilai kenaikan 0-5,6 meter. Kenaikan muka air tanah terbesar terjadi di daerah Pakem dan Ngemplak dengan nilai kenaikan 5,6-11,3 m. V. Perkembangan Kedalaman Muka Air Tanah Akuifer Bagian Bawah Kedalaman sumur pantau merupakan data penting dalam menetukan perubahan kedalaman muka air tanah akuifer bagian bawah. Peta perbedaan kedalaman muka air tanah akuifer bagian bawah didapatkan dari hasil perbedaan kedalaman sumur pantau tahun 2011 dng tahun 2015. Peta perbedaan kedalaman muka air tanah akuifer bagian bawah tahun 2011 dan 2015 merupakan peta yang dibuat dengan cara mengurangi data kedalaman muka air tanah akuifer bagian bawah tahun 2011 dengan data tahun 2015. Berdasarkan Peta tersebut dapat diketahui, bahwa daerah penelitian memiliki selisih kedalaman muka air tanah akuifer bagian bawah yang berkisar antara -2,2 – 1,4 m. Nilai negatif menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami penurunan muka air tanah, sedangkan nilai positif menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami kenaikan muka air tanah. Sebagian besar pada daerah penelitian terjadi penurunan muka air tanah sekitar 0-1,1 m. Penurunan muka air tanah tertinggi terjadi di daerah Mlati, Gamping, Kraton, Mergangsan, Gondomanan, Danurejan dan Mantrijeron dengan nilai penurunan 1,1-2,2 m. Daerah kenaikan muka air tanah terjadi di Tegalrejo, Banguntapan, Kotagede dan Umbulharjo dengan nilai kenaikan 0-0,7 meter. Kenaikan ...


Similar Free PDFs