Cerpen: Putra Mahkota Kiai Fatwa (Satelit Post) PDF

Title Cerpen: Putra Mahkota Kiai Fatwa (Satelit Post)
Author Slamet Ng
Pages 4
File Size 132.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 158
Total Views 350

Summary

Putra Mahkota Kiai Fatwa1 Slamet Tuharie Ng Tentang seorang kiai yang tengah dirundung duka karena putra semata wayangnya tak bersedia meneruskan “tahta” singgasananya. Padahal sebagai seorang anak kiai, ia sudah sangat pantas dan cukup untuk mengasuh pondok pesantren. Terlebih, ia sudah belajar di ...


Description

Putra Mahkota Kiai Fatwa1 Slamet Tuharie Ng

Tentang seorang kiai yang tengah dirundung duka karena putra semata wayangnya tak bersedia meneruskan “tahta” singgasananya. Padahal sebagai seorang anak kiai, ia sudah sangat pantas dan cukup untuk mengasuh pondok pesantren. Terlebih, ia sudah belajar di Negeri Ratu Bilqis selama sepuluh tahun. Namun sayang, sampai sekarang ia tak mau diajak untuk pulang ke Indonesia, dengan alasan belum siap untuk meneruskan perjuangan Sang Abah. Menurutnya, masih banyak ilmu yang belum dikajinya. Hingga ia pun tak mau kembali sebelum ia mendapatkan apa yang diinginkannya. Namanya ialah Fikri Al Banjari, putra semata wayang Kiai Fatwa, pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah, Pekalongan. Anehnya, meski ia adalah anak seorang kiai besar, ia tak mau dipanggil dengan sebutan “Gus” seperti putra kiai pada umumnya. Entah apa alasannya, yang jelas ia lebih suka dipanggil “kang” dari pada “gus”. Kiai Fatwa pun sering bercerita tentang kegelisahannya akan sikap anaknya yang tak mau diajak pulang dari Yaman untuk meneruskan perjuangannya. Cerita itu disampaikan bukan hanya kepada keluarganya, tapi juga kepada para santri yang sudah cukup lama nyantri di Darul Falah. Ia sadar, usianya yang hampir menginjak kepala delapan membuatnya lemah dan sering sakit. Alhasil pengajian-pengajian pesantren pun sering kosong. Terutama untuk kajian Alfiyah, Al Hikam, dan Tafsir Jalalain yang ditanganinya sendiri. Sempat ada ustadz dari luar pesantren yang diperbantukan untuk mengajar kitab Al Hikam dan Tafsir Jalalain. Tapi banyak santri yang protes, karena menurut mereka Sang Ustadz tidak bisa menjelaskan materinya dengan baik seperti penjelasan yang diberikan oleh Kiai Fatwa. Akhirnya ia pun berhenti dari aktifitas mengajar di pesantren dan Kiai Fatwa kembali mengambil alih

1

Cerpen ini dimuat dalam “Harian Satelit Post” tanggal 19 Mei 2013.

pengajaran kitab Al Hikam dan Tafsir Jalalain seperti sebelumnya. Ia pun menaruh harapan besar pada putranya. ***** Suasana di pesantren Darul Falah kini terasa begitu ramai. Para santri nampak tengah membersihkan halaman pesantren. Bukan tanpa sebab para santri melakukan hal itu, menurut abdi ndalem Kiai Fatwa, malam ini Kang Fikri akan tiba dari Negeri Ratu Bilqis. Sehingga mereka pun dimintai untuk membersihkan halaman pesantren dan mempersiapkan segala sesuatu untuk penyambutan “Sang Putra Mahkota” Pesantren Darul Falah itu. “Apa bener Kang Fikri mau pulang malam ini?” Tanya Agus kepada Kang Bisri, abdi ndalem Kiai Fatwa. “Menurut informasi dari Abah Kiai begitu. Oh ya, tolong sampeyan nanti yang menemani aku jemput Kang Fikri di gang depan pondok ya.” “Nggih Kang.” Wajah Kiai Fatwa pun terlihat berbinar-binar. Ia bahagia, karena sebentar lagi putranya akan tiba di tanah air. Ia juga yakin bahwa dengan keputusannya untuk pulang ke tanah air, itu artinya putranya telah siap untuk meneruskan perjuangannya di Pesantren Darul Falah. Tak hanya Kiai Fatwa, para santri pun ikut gembira menyambut kedatangannya. Mereka menaruh harapan besar untuk keberlangsungan Pesantren Darul Falah. Kiai Fatwa meminta beberapa santri untuk menata ruang tamu ndalem. Takut kalau-kalau putranya tak pulang sendirian, tapi bersama teman-temannya yang nyantri bareng di Yaman. Para santri pun dengan senang hati menata dan membersihkan ruang tamu ndalem. Semuanya demi penyambutan “Sang Putra Mahkota”. Bahkan kebanyakan dari para santri penasaran dengan sosok Kang Fikri, karena selama sepuluh tahun ia tak pernah pulang ke tanah air. Jadi hanya santri yang sudah nyantri lebih dari sepuluh tahun yang tahu dengan sosok Kang Fikri. Seperti Kang Bisri dan Kang Jaelani misalnya. Mereka sudah nyanti selama dua belas tahun, bahkan dulu ia sempat dekat dengan Kang Fikri, karena mereka satu kelas di Madrasah Aliyah.

Tak lama berselang, kumandang adzan magbrib pun menggema dari corong masjid. karena adzannya Kang Yusuf yang sangat merdu, membuat siapapun yang mendengarnya seolah tengah berada di antara Masjidil Haram di Mekkah. Indah sekali. Itu pula yang mungkin membuat para santri menjadi semangat untuk memenuhi panggilan sholat, karena panggilannya begitu indah dan membuai merdu hingga gendang telinga terdalam. Tak lama setelah sholat jama’ah usai, para santri berkumpul di pelataran ndalem untuk menyambut kedatangan “Sang Putra Mahkota”. Semuanya nampak antusias untuk menyambut kedatangannya. Lantunan sholawat badar pun membahana di pelataran ndalem Kiai Fatwa, ditemani suara hadlroh yang terdengar sangat apik dan teratur. Semuanya rela berdesak-desakan demi melihat sosok Kang Fikri yang sering mereka dengar setiap kali berbincang dengan para santri senior. Tepat setelah sholawat badar selesai dikumandangkan, mobil yang membawa Kang Fikri pun tiba. Lantunan sholawat pun semakin keras dan musiknya pun semakin meriah. Tapi setelah pintu mobil dibuka, seorang berpakaian gamis dan berpeci putih memberikan aba-aba untuk menghentikan sholawat dan hadlroh. Semuanya bingung, mengapa mereka dilarang untuk melantunkannya. Kiai Fatwa pun keluar dari ndalemnya, dan menuju mobil yang membawa putranya. Tapi entah mengapa, tak ada satu katapun yang keluar dari Kiai Fatwa. Ia terdiam. Air matanya menetes. Para santri pun semakin penasaran dengan kejadian yang ada di depan mereka. Kang Bisri, Agus, dan Kang Jelani mencoba memastikan apa yang terjadi dengan Abah Kiai. Namun, setelah ketiganya berada di dekat Abah Kiai mereka pun menangis histeris, karena melihat sebuah peti terbujur di dalam mobil itu. Suasana haru pun pecah. Semuanya menangis, dan air mata membanjiri pelataran Darul Falah. Kiai Fatwa pun tertunduk lesu, yang kemudian digotong ke ndalem oleh beberapa santri. Ia benar-benar terpukul. Putra semata wayangnya yang diharapkan akan meneruskan perjuangannya, kini telah kembali ke sisi-Nya. Sungguh pukulan yang luar biasa. Sejuta harapan yang telah terkumpul sejak

lama, kini berubah menjadi gumpalan penyesalan dan kekecewaan. Darul Falah pun seperti tak punya harapan, selain do’a agar Kiai Fatwa diberikan umur yang panjang untuk meneruskan perjuangannya yang mulia. Amiin[]...


Similar Free PDFs