Dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan PDF

Title Dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan
Author Bosman Batubara
Pages 12
File Size 3.7 MB
File Type PDF
Total Downloads 297
Total Views 362

Summary

Dampak  negatif  energi  geothermal  terhadap  lingkungan     Oleh  Bosman  Batubara       Yogyakarta,  November  2014   Draft  Kertas  Kerja  II   Front  Nahdliyin  untuk  Kedaulatan  Sumber  Daya  Alam  (FNKSDA)   Dokumen   ini   dibuat   sebagai   respons   terhadap   gerakan   warga   yang   men...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan Bosman Batubara

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Kapasit as Penyangga Lingkungan Geot ermal Terhadap Pencemaran Arsen (As) Ext ivonus K Fr Laporan Hasil Kerja Prakt ek Dharma Arung Laby PEMETAAN DAN ANALISIS PENURUNAN PERMUKAAN TANAH DENGAN INT ERFEROMET RY SYNT HET IC … Ilham Tri Put ra Sofiadin

Dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan    Oleh Bosman Batubara 

 

  Yogyakarta, November 2014  Draft Kertas Kerja II  Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)  Dokumen  ini  dibuat  sebagai  respons  terhadap  gerakan  warga  yang  menolak  energi  geothermal  di  Indonesia,  terutama  pasca  dialog  nasional  di  Cigugur,  Kuningan,  Jawa  Barat  pada  pertengahan  Oktober  2014.  Dalam  dialog  itu  hadir  berbagai  kelompok  warga  yang  mengkhawatirkan  dampak  geothermal,  seperti  tuan rumah warga di Lereng Gunung Ciremai, warga dari Lereng Gunung Slamet,  warga  dari  Lereng  gunung  Salak,  warga  dari  Kamojang,  dan  warga  dari  Garut.  Diskusi  terfokus  memberikan  kepercayaan  kepada  FNKSDA  untuk  menyusun  kertas  kerja  dengan  tajuk  “Dampak negatif energi geothermal” yang merupakan  bentuk tertulis dari material presentasi penulis dalam Dialog Nasional tersebut.   Keterangan  Foto: Titik yang sama diambil dalam waktu yang berbeda. Terlihat  danau  menjadi  lebih  luas  karena  adanya  amblesan  pada  tanah  (Sumber:  Allis,  2000). 



  Ringkasan  Tulisan  ini  menampilkan  tiga  dampak  negatif  sistem  energi  geotermal,  yaitu  fracking dan gempabumi minor, pencemaran air, serta amblesan.   Fracking  adalah  singkatan  dari  hydraulic  fracturing,  yaitu  sebuah  cara  yang  dipakai  dalam  ekstrasi  energi  geothermal  dan  gas  untuk  memperbesar  permeabilitas  (kemampuan  melalukan  fluida)  batuan  dengan  tujuan  meningkatkan  nilai  keekonomisan  sebuah  lapangan  pembangkit  geothermal.  Namun,  fracking  dapat  menyebabkan  terjadinya  gempabumi  minor  karena  menurunkan  kohesivitas  (daya  ikat)  batuan.  Injeksi  fluida  ke  dalam  reservoir  (batuan  sarang)  menekan  reservoir  sehingga  mengalami  pergerakan  (slip)  karena  gaya  gesek  statis  (static  friction)  nya  terlampaui.  Terjadinya  slip  pada  batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempabumi.   Gempabumi  yang  dipicu  oleh  fracking  umumnya  berada  di  bawah  magnitude  5  skala  Richter.  Kasus  Basel  di  Swiss  memperlihatkan  gempabumi  yang  terjadi  karena proses fracking ini memiliki magnitude 3,4 skala Richter dan cukup untuk  membuat  plester  bangunan  retak‐retak.  Sebagai  bentuk  pertanggungjawaban,  maka  perusahaan  geothermal  di  Basel  GeoPowerBasel,  melalui  skema  asuransi,  harus  membayar  ganti  rugi  kepada  warga  dengan  nilai  sekitar  7  juta  Dollar  AS,  dan  penutupan  lapangan  geothermal  ini.  Secara  umum,  ada  empat  mekanisme  pembentukan  gempabumi  mikro  yang  terjadi  karena  adanya  slip  dalam  sistem  energi  geothermal  yang  menggunakan  fracking,  yaitu:  1)kenaikan  tekanan  pori;  2)penurunan  suhu;  3)perubahan  volume  karena  injeksi  atau  produksi  dan;  dan  4)alterasi kimia pada permukaan rekahan.   Pencemaran  air  terjadi  karena  larutan  hidrothermal  mengandung  kontaminan  seperti  Arsenik,  Antimon,  dan  Boron.  Arsenik  (As)  adalah  penyebab  terjadinya  kanker  pada  manusia.  Ia  berkontribusi  terhadap  tingginya  penyakit  kulit  dan  kanker  di  lokasi  pemukiman  yang  tepapar  terhadap  kandungan  As  yang  tinggi  dalam air minum. Antimon (Sb) memiliki tingkat beracun yang memperlihatkan  karakter  yang  sama  dengan  As.  Boron  (B)  dalam  konsentrasi  tinggi  dapat  menyebabkan  permasalahan  pada  kesehatan  manusia  seperti  menurunnya  tingkat kesuburan. As, Sb, dan B, adalah material yang terdapat secara alamiah,  namun proses ekstraksi panas dalam produksi energi di pembangkit geothermal,  menyebabkan  ia  termobilisasi  dan  mengkontaminasi  perairan.  Kasus  kontaminasi ini terjadi di Lapangan Geothermal Balcova, Turki.   Ambelasan  karena  sistem  energi  geothermal  terjadi  karena  adanya  ekstraksi  panas  (dalam  bentuk  gas)  pada  kedalaman  yang  relatif  dangkal  dari  sumur  ekstraksi  geotermal.  Kasus  amblesan  seperti  ini  terjadi  di  lapangan  geothermal  Wairakei,  Selandia  Baru.  Ekstraksi  telah  menyebabkan  menurunnya  tekanan  di  dalam formasi batuan sekitar 25 bar. Amblesan yang terjadi yang telah mencapai  antara  14±0,5  m  pada  1997,  dan  diperkirakan  masih  akan  terus  berlangsung  dengan kecepatan 200 mm/tahun dengan prediksi akan mencapai 20±2 m pada  2050.        



Fracking dan gempa minor  Kasus yang terjadi di Basel, Swiss, adalah contoh bagaimana gempabumi minor  dipicu  oleh  aktivitas  hydraulic  fracturing  di  lapangan  panas  bumi.  Penduduk  Basel  memiliki  trauma  kolektif  yang  buruk  terhadap  gempa  bumi  karena  pada  1356  kota  ini  hampir  seluruhnya  hancur  digoyang  oleh  gempa  bumi  dengan  kekuatan 6,5 skala Richter. Pada 2006 yang lalu, tampaknya pengalaman gempa  bumi  di  masa  lalu  ini  terproyeksikan  kembali  ke  dalam  kesadaran  masyarakat  Basel.  Warga  kota  merasa  sangat  khawatir  dengan  adanya  beberapa  aktivitas  seismik  yang  menyebabkan  bangunan  mereka  rerak‐retak.  Polisi  dan  pemadam  kebakaran  menerima  ratusan  telfon  dari  penduduk  yang  mengkhawatirkan  keadaan.   Peristiwa  adanya  aktivitas  seismik  ini  dipicu  oleh  aktivitas  pada  sebuah  proyek  geothermal  yang  mengekstraksi  panas  dari  suatu  kedalaman  tertentu  di  perut  bumi  dan  kemudian  menyalurkannya  menjadi  energi.  Untuk  mengetahui  bagaimana  terjadinya  gempa  bumi  karena  adanya  sistem  energi  panas  bumi,  maka  langkah  pertama  tentu  saja  adalah  memahami  bagaimana  sistem  kerja  ekstraksi panas dari dalam Bumi pada sistem geothermal.   Sumur  produksi  berfungsi  mengalirkan  gas/fluida  panas  dari  dalam  Bumi  ke  permukaan. Di permukaan, panas tersebut berfungsi menggerakkan turbin yang  menghasilkan energi. Di sisi lain, karena diambil terus‐menerus, tentu saja fluida  dalam batuan suatu ketika akan habis. Untuk mengantisipasinya maka dibuatlah  sumur  injeksi.  Melalui  sumur  injeksi,  fluida  dialirkan  ke  dalam  perut  Bumi,  bersentuhan  dengan  batuan  panas,  mengalami  kenaikan  suhu,  dan  kemudian  dialirkan kembali ke permukaan melalui sumur produksi, biasanya dalam bentuk  uap. Uap inilah yang dipakai memutar turbin untuk menghasilkan energi. Uap air  yang  telah  dingin  berubah  menjadi  fluida  dan  kembali  disuntikkan  ke  dalam  perut  Bumi  melalui  sumur  injeksi.  Begitu  seterusnya  berputar.  Itu  sebabnya  mengapa energi panas bumi disebut energi yang renewable (terbarukan).    Tidak  sulit  bagi  para  engineer  ketika  berhadapan  dengan  sistem  panas  bumi  alami dan mengeksraksinya dari perut Bumi. Masalah bermula ketika cadangan  sistem  panas  bumi  yang  ada  tidak  mencukupi  untuk  diproduksi  dengan  skala  komersial. Untuk memproduksi energi geothermal dalam skala komersial, tentu  saja kuantitas menjadi penting. Kuantitas pada energi geothermal ini tergantung  pada  setidaknya  dua  hal.  Pertama,  fluida  yang  cukup  dalam  siklus  injeksi‐ produksi.  Dan  kedua,  tentu  saja  kemampuan  batuan  yang  panas  di  dalam  Bumi  untuk melalukan fluida (permeability).  Dalam  beberapa  kasus  proyek  energi  panas  bumi  ini  ada  kebutuhan  untuk  meningkatkan kapasitas alami sebuah sistem geothermal (Enhanced Geothermal  System/EGS).  Hal  ini  dapat  dilakukan  dengan  cara  meningkatkan  permeabilitas  batuan  dan  volume  fluida  yang  berada  dalam  siklus.  Teknologi  EGS  pada  dasarnya  dikembangkan  untuk  menjawab  kekurangan  kapasitas  sebuah  sistem  geothermal  alami.  Atau  dengan  kata  lain,  membuat  sebuah  sistem  geothermal  yang  tidak ekonomis menjadi ekonomis dengan meningkatkan kapasitas sistem  bawah tanah sebuah sistem energi panas bumi melalui rekayasa sebuah kondisi  bawah permukaan menjadi sistem energi geothermal komersial.  Peningkatan  kapasitas  sistem  geothermal  alami  secara  teknis  dapat  dilakukan  dengan  pusparagam  cara.  Kalau  berhadapan  dengan  reservoir  (batuan  sarang  3 

tempat  fluida  di  bawah  tanah)  yang  panas  tetapi  memiliki  permeabilitas  yang  rendah, maka para engineer merekayasa teknik yang disebut hydraulic fracturing.  Teknik ini berguna untuk membuat rekahan pada reservoir dengan tujuan akhir  meningkatkan permeabilitas batuan sarang. Ini hanyalah salah satu teknik yang  sering  dipakai  untuk  meningkatkan  permeabilitas.  Kajian  kritis  menyebut  hydraulic fracturing dengan sebutan “fracking”. Fracking bukan hanya digunakan  dalam proses injeksi pada sistem geothermal, tetapi juga dalam proses ekstraksi  gas dari batuan sarangnya (Franco et al. 2013).   Permasalahannya,  fracking  berarti  penurunan  kohesivitas  (daya  ikat)  pada  batuan. Bayangkan saja sebuah batuan yang keras dan kompak kemudian ditkan  agar  timbul  rekahan.  Tentu  saja  kekuatan  si  batu  akan  berkurang.  Dalam  kasus  sistem geothermal, pertambahan fluida dalam reservoir menyebabkan kenaikan  tekanan  yang  lebih  jauh  akan  membuat  reservoir  terfasilitasi  untuk  mengalami  pergerakan  (slip)  karena  gaya  gesek  statis  (static  friction)‐nya  terlampaui.  Terjadinya slip pada batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempabumi.   Pada  pirinsipnya  gempabumi  hampir  selalu  berasosiasi  dengan  patahan  yang  aktif bergerak (slip) dan melepaskan energi pada kulit bumi. Faktual, bagi orang  yang melakukan studi tentang patahan, maka rasanya tidak ada satu titik pun di  permukaan Bumi kita ini yang tidak ada patahan di bawahnya. Hanya saja yang  menjadi  pembeda  adalah  dimensi  dan  aktivitas  patahan  terkait:  seberapa  panjang,  seberapa  lebar,  serta  seberapa  aktif  (sering,  jauh,  dan  dekat)  pergerakannya.   Dalam konteks EGS, apabila terjadi slip, maka ia akan menyebabkan gempa bumi  meskipun  dalam  skala  yang  kecil  (microearthquake),  di  bawah  4  atau  5  skala  Richter.  Selain  kasus  Basel  pada  2006,  ada  beberapa  kasus  lain  yang  sudah  terkenal di dalam jagad pergeologian untuk kasus gempa bumi mikro yang dipicu  oleh EGS ini. Yaitu di lapangan Geyser Amerika Serikat, Cooper Basin di Asutralia,  dan  di  Soultz‐sous‐Foréts,  Perancis.  Magintude  gempa  bumi  mikro  yang  terjadi  secara  berurutan  berada  pada  kisaran  angka  3.4,  4.6,  3.7,  dan  2.9  pada  skala  Richter.   Ada  4  mekanisme  pembentukan  gempabumi  mikro  yang  terjadi  karena  adanya  slip dalam EGS, yaitu: 1)kenaikan tekanan pori; 2)penurunan suhu; 3)perubahan  volume karena injeksi atau produksi dan; dan 4)alterasi kimia pada permukaan  rekahan.   Kenaikan  tekanan  pori  batuan  terjadi  karena  adanya  injeksi  fluida  ke  dalam  reservoir  (batuan  sarang).  Penurunan  suhu  dapat  memicu  aktivitas  seismik  karena interaksi fluida yang diinjekasikan dengan reservoir batuan panas. Hal ini  dapat  dipahami  karena  terjadinya  kontraksi  pada  permukaan  rekahan  di  reservoir. Dalam sistem injeksi, yang disuntikkan adalah fluida yang lebih dingin  karena  semua  sistem  dalam  energi  panas  bumi  tujuan  utamanya  adalah  mengekstraksi  panas  dari  perut  Bumi,  maka  tidak  mungkin  disuntikkan  fluida  yang lebih panas dari resevoir.   Perubahan  volume  dalam  kasus  ini  menyebabkan  gempa  bumi  karena  adanya  ekstraksi  fluida  dari—atau  diinjeksikan  ke  dalam—reservoir.  Hal  ini  dapat  menyebabkan reservoir mengalami regangan atau kompaksi. Atau dalam kalimat  lain, proses ini mengubah kondisi tegangan lokal yang ada. Dan terakhir, alterasi  kimia  akibat  injeksi  fluida  dari  luar  ke  dalam  reservoir  dapat  menyababkan  4 

terjadinya  reaksi  geokimia  pada  permukaan  rekahan,  dan  lebih  jaun  menyebabkan  terjadinya  slip  seismik.  Kondisi‐kondisi  mikro  ini  dapat  berkembang cepat menjadi makro apabila proyek EGS ini berada di daerah yang  memiliki  patahan  dengan  intensitas  tinggi.  Sebagai  catatan,  proyek  geothermal  banyak berada pada region Bumi yang memiliki intensitas patahan yang tinggi.  Dalam kasus Basel, proyek Deep Heat Mining dimulai pada 1996 oleh GeoPower  Basel (GPB). Basel adalah salah satu pusat industri kimia dan parmasi di Eropa.  Aglomerasi  kota  ini  memiliki  populasi  sekitar  700.000  jiwa.  Pada  2006,  sumur  injeksi untuk keperluan geothermal di Basel dibor dengan kedalaman mencapai  5 km. Aktivitas fracking dalam sistem geothermal Basel ini memicu gempabumi  lokal  antara  2,7‐3,4  skala  Richter.  Aktivitas  ini  kemudian  ditutup  karena  warga  memprotes karena plester bangunan rumah mereka mengalami retak‐retak. GPB  sendiri, melalui skema asuransi, pada akhirnya harus membayar sebanyak 7 juta  Dollar  AS  terhadap  kerugian  yang  timbul  karena  gempa  minor  akibat  aktivitas  fracking mereka (Kraft et al. 2009).   Dalam  kasus  di  Indonesia,  perlu  dilakukan  penelitian  yang  sistematis  untuk  mengetahui  apakah  aktivitas  pengeboran  geothermal  menyebabkan  terjadinya  gempa  bumi.  Namun,  narasi  yang  muncul  dari  kalangan  warga  menunjukkan  bahwa hal ini sudah menjadi kekhawatiran. Dalam sebuah acara dialog nasional  2  hari  (15‐16  Oktober  2014)  di  lereng  Gunung  Ciremai,  Kuningan,  Jawa  Barat,  hal ini terungkap.   Dialog  ini  adalah  forum  warga  yang  tinggal  di  lokasi  di  sekitar  area  industri  geothermal.  Selain  warga  tuan  rumah  dari  Cigugur,  dalam  kesempatan  ini  juga  ada  perwakilan  dari  Lereng  Gunung  Sumbing  di  Jawa  tengah,  warga  dari  Kamojang, dan warga dari lereng Gunung Salak, Bogor. Perwakilan warga lereng  Gunung Salak menyatakan bahwa di daerah mereka sudah terjadi beberapa kali  gempa bumi. Warga merasa gempa bumi itu terjadi karena aktivitas geothermal,  namun mereka tidak bisa menjelaskan hubungannya.   Pencemaran air  Sistem  energi  geothermal  juga  berdampak  negatif  terhadap  kualitas  air.   Pencemaran  ini  dapat  menimpa  air  tanah  dan  kemudian  bisa  lebih  lanjut  juga  menimpa air permukaan. Salah satu contoh untuk ini adalah kasus dari Balcova,  Turki (Aksoy et al. 2009).   Tukri  adalah  salah  satu  area  di  Bumi  kita  yang  secara  seismik  sangat  aktif.  Evolusi  geologi  dan  tektoniknya  didominasi  oleh  pemekaran  dan  penutupan  Samudra.  Kondisi  tektonik  aktif  dan  perbatasan  lempeng‐lempeng  Bumi  ini  di  Turki ditandai dengan munculnya berbagai fenomena vulkanik. Total ada sekitar  1000 mata air panas di Turki.   Di  bidang  energi,  Turki  adalah  salah  satu  negara  pengimpor  bahan  bakar.  Produksi  dalam  negerinya  tidak  mencukupi  untuk  menutupi  kebutuhan  dalam  negerinya. Pada 2000, Turki memproduksi 27,67 juta ton oil equivalen (Mtoe)  di  dalam  negeri  dan  mengkonsumsi  79,46  Mtoe.  Pada  2020,  diperkirakan  Turki  akan memproduksi 85 Mtoe dan mengkonsumsi 318 Mtoe.   Energi  geothermal  adalah  salah  satu  sumber  energi  penting  bagi  Turki.  Negara  ini  menduduki  peringkat  ke‐7  di  seluruh  dunia  sebagai  negara  yang  memiliki  potensi  energi  geothermal  terbesar.  Secara  total  ada  992  Mega  Watt  5 

thermal/MWt)  energy  geothermal  yang  sudah  berproduksi  di  Turki  (Baba  and  Armannsson  2006).  Lapangan  Geothermal  Bacova  (LGB)    adalah  salah  satunya,  terletak di bagian barat Turki.   Kontaminan  di  LGB  adalah  Arsenic,  Antimon,  dan  Boron.  Arsenik  (As)  sudah  lama  dikenal  sebagai  penyebab  terjadinya  kanker  pada  manusia.  Ia  berkontribusi terhadap tingginya penyakit kulit dan kanker di lokasi pemukiman  yang  tepapar  terhadap  kandungan  As  yang  tinggi  dalam  air  minum.  Standar  World  Health  Organization  (WHO)  terhadap  kandungan  As  dalam  air  minum  adalah 0,05 mg/L hingga 0,01 mg/L. Nilai ini sudah diadopsi di berbagai negara.  Meskipun, standar ini masih dipertanyakan karena dianggap masih terlalu tinggi.  Di Amerika Serikat misalnya, disimpulkan bahwa kadar As di dalam air minum  haruslah  di  bawah  0,01  mg/L  (Webster  and  Nordstrom  2003).  Sementara  di  Indonesia,  Keputusan  Menteri  Kesehatan   Nomor  907  Tahun  2002  tentang  Pengawasan  Kualitas Air  Minum  menentukan  bahwa  maksimum  kandungan  As  dalam air minum adalah 0,01 mg/L (Menkes 2002).   Antimon (Sb) adalah elemen langka yang terbentuk dalam alterasi batuan karena  proses  hidrotermal.  Antimon  memiliki  tingkat  beracun  yang  memperlihatkan  karakter yang sama dengan As. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (EPA)  memutuskan  kadar  maksimum  Antimon  dalam  air  minum  adalah  6  μg/L.  Di  Turki  standarnya  adalah  5  μg/L  (Aksoy  et  al.  2009).  Sementara  di  Indonesia,  Keputusan  Menteri  Kesehatan   Nomor  907  Tahun  2002  tentang  Pengawasan  Kualitas Air  Minum  menentukan  bahwa  maksimum  kandungan  Antimon  dalam  air minum adalah 0,001 mg/L (Menkes 2002).  Boron  (B)  adalah  kontaminan  lain  yang  hadir  dalam  cairan  geothermal.  Konsentrasi  Boron  yang  tinggi  dapat  menyebabkan  permasalahan  pada  kesehatan  manusia  (Aksoy  et  al.  2009),  salah  satunya  adalah  menurunnya  tingkat kesuburan (US Environmental Protection Agency 2004, 86). Di Indonesia,  Keputusan  Menteri  Kesehatan   Nomor  907  Tahun  2002  tentang  Pengawasan  Kualitas Air Minum menentukan bahwa maksimum kandungan Boron dalam air  minum adalah 0,1 mg/L (Menkes 2002).  Baik  As,  Sb,  dan  B,  ketiganya  adalah  material  yang  terdapat  secara  alamiah.  Namun,  proses  ekstraksi  panas  dalam  produksi  energi  di  pembangkit  geothermal  menyebabkan  ia  termobilisasi  dan  mengkontaminasi  perairan.  Gambar  di  bawah,  bersama  dengan  penjelasan  dalam  teks,  memperlihatkan  secara  skematik  bagaimana  proses  kontaminasi  air  tanah  dan  air  permukaan  terjadi.  



  Figure 1: Skema kontaminasi air tanah dan permukaan di LGB, Turki (Sumber: Aksoy et al. 2009).  

Ada  empat  permasalahan  teknikal  yang  menyebabkan  kontaminasi  air  terjadi  dalam  kasus  LGB  di  Turki.  Pertama,  ektraksi  berlebihan  air  tanah  telah  menyebabkan penyebaran air tanah yang terkontaminasi baik secara horizontal  maupun vertikal. Over ekstraksi ini, secara matematis, adalah fungsi dari total air  yang  diekstraksi  dari  aquifer  (batuan  sarang  yang  menyimpan  dan  melalukan  air) dan kedalaman sumur bor. Kedua, jeleknya casing (selubung bor) beberapa  sumur geothermal, baik sumur produksi dan sumur injeksi. Casing yang jelek ini  menyebabkan bagian‐bagian aquifer yang tidak terisolasi dari fluida yang ada di  sumur  produksi  dan  injeksi.  Ketiga,  praktik  re‐injeksi  yang  tidak  tepat  dapat  menyebabkan  tersebarnya  air  yang  berasal  dari  proses  hidrotermal  di  dalam  lapisan aquifer, dan kemudian naik ke permukaan melalui sumur‐sumur pompa.  Keempat, pembuangan air bekas geothermal ke aliran permukaan adalah faktor  lain  yang  menyebabkan  beredarnya  air  yang  sudah  terkontaminasi  secara  meluas di permukaan.  



  Figure 2: Lokasi pengambilan sample air di LGB (Sumber: Aksoy et al. 2009).  

    Table 1: Ambang batas 3 kontamina untuk air minum di Turki (Sumber: Aksoy et al. 2009).

  Ambang batas di Turki [2005] 

 

Elemen 

Unit 

 

  

[μg/L ] 

 

As 

10 

 

Sb 



 



1000 

   

Table  2:  Hasil  uji  kontaminan  di  22  titik  di  LGB  (Diolah  dari:  Aksoy  et  al.  2009).  Warna  merah  adalah titik yang melebihi ambang batas.   Hasil uji kontaminasi di 22 titik  Titik 

As 

Sb 



  

[μg/L ] 

[μg/L ] 

[μg/L ] 

BC‐1 

5,7 

0,36 

1511 

BC‐2 

0,7 

1,13 

410 

BC‐3 

1,1 

1,13 

4423 


Similar Free PDFs