Title | Dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan |
---|---|
Author | Bosman Batubara |
Pages | 12 |
File Size | 3.7 MB |
File Type | |
Total Downloads | 297 |
Total Views | 362 |
Dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan Oleh Bosman Batubara Yogyakarta, November 2014 Draft Kertas Kerja II Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Dokumen ini dibuat sebagai respons terhadap gerakan warga yang men...
Accelerat ing t he world's research.
Dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan Bosman Batubara
Related papers
Download a PDF Pack of t he best relat ed papers
Kapasit as Penyangga Lingkungan Geot ermal Terhadap Pencemaran Arsen (As) Ext ivonus K Fr Laporan Hasil Kerja Prakt ek Dharma Arung Laby PEMETAAN DAN ANALISIS PENURUNAN PERMUKAAN TANAH DENGAN INT ERFEROMET RY SYNT HET IC … Ilham Tri Put ra Sofiadin
Dampak negatif energi geothermal terhadap lingkungan Oleh Bosman Batubara
Yogyakarta, November 2014 Draft Kertas Kerja II Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Dokumen ini dibuat sebagai respons terhadap gerakan warga yang menolak energi geothermal di Indonesia, terutama pasca dialog nasional di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat pada pertengahan Oktober 2014. Dalam dialog itu hadir berbagai kelompok warga yang mengkhawatirkan dampak geothermal, seperti tuan rumah warga di Lereng Gunung Ciremai, warga dari Lereng Gunung Slamet, warga dari Lereng gunung Salak, warga dari Kamojang, dan warga dari Garut. Diskusi terfokus memberikan kepercayaan kepada FNKSDA untuk menyusun kertas kerja dengan tajuk “Dampak negatif energi geothermal” yang merupakan bentuk tertulis dari material presentasi penulis dalam Dialog Nasional tersebut. Keterangan Foto: Titik yang sama diambil dalam waktu yang berbeda. Terlihat danau menjadi lebih luas karena adanya amblesan pada tanah (Sumber: Allis, 2000).
1
Ringkasan Tulisan ini menampilkan tiga dampak negatif sistem energi geotermal, yaitu fracking dan gempabumi minor, pencemaran air, serta amblesan. Fracking adalah singkatan dari hydraulic fracturing, yaitu sebuah cara yang dipakai dalam ekstrasi energi geothermal dan gas untuk memperbesar permeabilitas (kemampuan melalukan fluida) batuan dengan tujuan meningkatkan nilai keekonomisan sebuah lapangan pembangkit geothermal. Namun, fracking dapat menyebabkan terjadinya gempabumi minor karena menurunkan kohesivitas (daya ikat) batuan. Injeksi fluida ke dalam reservoir (batuan sarang) menekan reservoir sehingga mengalami pergerakan (slip) karena gaya gesek statis (static friction) nya terlampaui. Terjadinya slip pada batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempabumi. Gempabumi yang dipicu oleh fracking umumnya berada di bawah magnitude 5 skala Richter. Kasus Basel di Swiss memperlihatkan gempabumi yang terjadi karena proses fracking ini memiliki magnitude 3,4 skala Richter dan cukup untuk membuat plester bangunan retak‐retak. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, maka perusahaan geothermal di Basel GeoPowerBasel, melalui skema asuransi, harus membayar ganti rugi kepada warga dengan nilai sekitar 7 juta Dollar AS, dan penutupan lapangan geothermal ini. Secara umum, ada empat mekanisme pembentukan gempabumi mikro yang terjadi karena adanya slip dalam sistem energi geothermal yang menggunakan fracking, yaitu: 1)kenaikan tekanan pori; 2)penurunan suhu; 3)perubahan volume karena injeksi atau produksi dan; dan 4)alterasi kimia pada permukaan rekahan. Pencemaran air terjadi karena larutan hidrothermal mengandung kontaminan seperti Arsenik, Antimon, dan Boron. Arsenik (As) adalah penyebab terjadinya kanker pada manusia. Ia berkontribusi terhadap tingginya penyakit kulit dan kanker di lokasi pemukiman yang tepapar terhadap kandungan As yang tinggi dalam air minum. Antimon (Sb) memiliki tingkat beracun yang memperlihatkan karakter yang sama dengan As. Boron (B) dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan permasalahan pada kesehatan manusia seperti menurunnya tingkat kesuburan. As, Sb, dan B, adalah material yang terdapat secara alamiah, namun proses ekstraksi panas dalam produksi energi di pembangkit geothermal, menyebabkan ia termobilisasi dan mengkontaminasi perairan. Kasus kontaminasi ini terjadi di Lapangan Geothermal Balcova, Turki. Ambelasan karena sistem energi geothermal terjadi karena adanya ekstraksi panas (dalam bentuk gas) pada kedalaman yang relatif dangkal dari sumur ekstraksi geotermal. Kasus amblesan seperti ini terjadi di lapangan geothermal Wairakei, Selandia Baru. Ekstraksi telah menyebabkan menurunnya tekanan di dalam formasi batuan sekitar 25 bar. Amblesan yang terjadi yang telah mencapai antara 14±0,5 m pada 1997, dan diperkirakan masih akan terus berlangsung dengan kecepatan 200 mm/tahun dengan prediksi akan mencapai 20±2 m pada 2050.
2
Fracking dan gempa minor Kasus yang terjadi di Basel, Swiss, adalah contoh bagaimana gempabumi minor dipicu oleh aktivitas hydraulic fracturing di lapangan panas bumi. Penduduk Basel memiliki trauma kolektif yang buruk terhadap gempa bumi karena pada 1356 kota ini hampir seluruhnya hancur digoyang oleh gempa bumi dengan kekuatan 6,5 skala Richter. Pada 2006 yang lalu, tampaknya pengalaman gempa bumi di masa lalu ini terproyeksikan kembali ke dalam kesadaran masyarakat Basel. Warga kota merasa sangat khawatir dengan adanya beberapa aktivitas seismik yang menyebabkan bangunan mereka rerak‐retak. Polisi dan pemadam kebakaran menerima ratusan telfon dari penduduk yang mengkhawatirkan keadaan. Peristiwa adanya aktivitas seismik ini dipicu oleh aktivitas pada sebuah proyek geothermal yang mengekstraksi panas dari suatu kedalaman tertentu di perut bumi dan kemudian menyalurkannya menjadi energi. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya gempa bumi karena adanya sistem energi panas bumi, maka langkah pertama tentu saja adalah memahami bagaimana sistem kerja ekstraksi panas dari dalam Bumi pada sistem geothermal. Sumur produksi berfungsi mengalirkan gas/fluida panas dari dalam Bumi ke permukaan. Di permukaan, panas tersebut berfungsi menggerakkan turbin yang menghasilkan energi. Di sisi lain, karena diambil terus‐menerus, tentu saja fluida dalam batuan suatu ketika akan habis. Untuk mengantisipasinya maka dibuatlah sumur injeksi. Melalui sumur injeksi, fluida dialirkan ke dalam perut Bumi, bersentuhan dengan batuan panas, mengalami kenaikan suhu, dan kemudian dialirkan kembali ke permukaan melalui sumur produksi, biasanya dalam bentuk uap. Uap inilah yang dipakai memutar turbin untuk menghasilkan energi. Uap air yang telah dingin berubah menjadi fluida dan kembali disuntikkan ke dalam perut Bumi melalui sumur injeksi. Begitu seterusnya berputar. Itu sebabnya mengapa energi panas bumi disebut energi yang renewable (terbarukan). Tidak sulit bagi para engineer ketika berhadapan dengan sistem panas bumi alami dan mengeksraksinya dari perut Bumi. Masalah bermula ketika cadangan sistem panas bumi yang ada tidak mencukupi untuk diproduksi dengan skala komersial. Untuk memproduksi energi geothermal dalam skala komersial, tentu saja kuantitas menjadi penting. Kuantitas pada energi geothermal ini tergantung pada setidaknya dua hal. Pertama, fluida yang cukup dalam siklus injeksi‐ produksi. Dan kedua, tentu saja kemampuan batuan yang panas di dalam Bumi untuk melalukan fluida (permeability). Dalam beberapa kasus proyek energi panas bumi ini ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas alami sebuah sistem geothermal (Enhanced Geothermal System/EGS). Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan permeabilitas batuan dan volume fluida yang berada dalam siklus. Teknologi EGS pada dasarnya dikembangkan untuk menjawab kekurangan kapasitas sebuah sistem geothermal alami. Atau dengan kata lain, membuat sebuah sistem geothermal yang tidak ekonomis menjadi ekonomis dengan meningkatkan kapasitas sistem bawah tanah sebuah sistem energi panas bumi melalui rekayasa sebuah kondisi bawah permukaan menjadi sistem energi geothermal komersial. Peningkatan kapasitas sistem geothermal alami secara teknis dapat dilakukan dengan pusparagam cara. Kalau berhadapan dengan reservoir (batuan sarang 3
tempat fluida di bawah tanah) yang panas tetapi memiliki permeabilitas yang rendah, maka para engineer merekayasa teknik yang disebut hydraulic fracturing. Teknik ini berguna untuk membuat rekahan pada reservoir dengan tujuan akhir meningkatkan permeabilitas batuan sarang. Ini hanyalah salah satu teknik yang sering dipakai untuk meningkatkan permeabilitas. Kajian kritis menyebut hydraulic fracturing dengan sebutan “fracking”. Fracking bukan hanya digunakan dalam proses injeksi pada sistem geothermal, tetapi juga dalam proses ekstraksi gas dari batuan sarangnya (Franco et al. 2013). Permasalahannya, fracking berarti penurunan kohesivitas (daya ikat) pada batuan. Bayangkan saja sebuah batuan yang keras dan kompak kemudian ditkan agar timbul rekahan. Tentu saja kekuatan si batu akan berkurang. Dalam kasus sistem geothermal, pertambahan fluida dalam reservoir menyebabkan kenaikan tekanan yang lebih jauh akan membuat reservoir terfasilitasi untuk mengalami pergerakan (slip) karena gaya gesek statis (static friction)‐nya terlampaui. Terjadinya slip pada batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempabumi. Pada pirinsipnya gempabumi hampir selalu berasosiasi dengan patahan yang aktif bergerak (slip) dan melepaskan energi pada kulit bumi. Faktual, bagi orang yang melakukan studi tentang patahan, maka rasanya tidak ada satu titik pun di permukaan Bumi kita ini yang tidak ada patahan di bawahnya. Hanya saja yang menjadi pembeda adalah dimensi dan aktivitas patahan terkait: seberapa panjang, seberapa lebar, serta seberapa aktif (sering, jauh, dan dekat) pergerakannya. Dalam konteks EGS, apabila terjadi slip, maka ia akan menyebabkan gempa bumi meskipun dalam skala yang kecil (microearthquake), di bawah 4 atau 5 skala Richter. Selain kasus Basel pada 2006, ada beberapa kasus lain yang sudah terkenal di dalam jagad pergeologian untuk kasus gempa bumi mikro yang dipicu oleh EGS ini. Yaitu di lapangan Geyser Amerika Serikat, Cooper Basin di Asutralia, dan di Soultz‐sous‐Foréts, Perancis. Magintude gempa bumi mikro yang terjadi secara berurutan berada pada kisaran angka 3.4, 4.6, 3.7, dan 2.9 pada skala Richter. Ada 4 mekanisme pembentukan gempabumi mikro yang terjadi karena adanya slip dalam EGS, yaitu: 1)kenaikan tekanan pori; 2)penurunan suhu; 3)perubahan volume karena injeksi atau produksi dan; dan 4)alterasi kimia pada permukaan rekahan. Kenaikan tekanan pori batuan terjadi karena adanya injeksi fluida ke dalam reservoir (batuan sarang). Penurunan suhu dapat memicu aktivitas seismik karena interaksi fluida yang diinjekasikan dengan reservoir batuan panas. Hal ini dapat dipahami karena terjadinya kontraksi pada permukaan rekahan di reservoir. Dalam sistem injeksi, yang disuntikkan adalah fluida yang lebih dingin karena semua sistem dalam energi panas bumi tujuan utamanya adalah mengekstraksi panas dari perut Bumi, maka tidak mungkin disuntikkan fluida yang lebih panas dari resevoir. Perubahan volume dalam kasus ini menyebabkan gempa bumi karena adanya ekstraksi fluida dari—atau diinjeksikan ke dalam—reservoir. Hal ini dapat menyebabkan reservoir mengalami regangan atau kompaksi. Atau dalam kalimat lain, proses ini mengubah kondisi tegangan lokal yang ada. Dan terakhir, alterasi kimia akibat injeksi fluida dari luar ke dalam reservoir dapat menyababkan 4
terjadinya reaksi geokimia pada permukaan rekahan, dan lebih jaun menyebabkan terjadinya slip seismik. Kondisi‐kondisi mikro ini dapat berkembang cepat menjadi makro apabila proyek EGS ini berada di daerah yang memiliki patahan dengan intensitas tinggi. Sebagai catatan, proyek geothermal banyak berada pada region Bumi yang memiliki intensitas patahan yang tinggi. Dalam kasus Basel, proyek Deep Heat Mining dimulai pada 1996 oleh GeoPower Basel (GPB). Basel adalah salah satu pusat industri kimia dan parmasi di Eropa. Aglomerasi kota ini memiliki populasi sekitar 700.000 jiwa. Pada 2006, sumur injeksi untuk keperluan geothermal di Basel dibor dengan kedalaman mencapai 5 km. Aktivitas fracking dalam sistem geothermal Basel ini memicu gempabumi lokal antara 2,7‐3,4 skala Richter. Aktivitas ini kemudian ditutup karena warga memprotes karena plester bangunan rumah mereka mengalami retak‐retak. GPB sendiri, melalui skema asuransi, pada akhirnya harus membayar sebanyak 7 juta Dollar AS terhadap kerugian yang timbul karena gempa minor akibat aktivitas fracking mereka (Kraft et al. 2009). Dalam kasus di Indonesia, perlu dilakukan penelitian yang sistematis untuk mengetahui apakah aktivitas pengeboran geothermal menyebabkan terjadinya gempa bumi. Namun, narasi yang muncul dari kalangan warga menunjukkan bahwa hal ini sudah menjadi kekhawatiran. Dalam sebuah acara dialog nasional 2 hari (15‐16 Oktober 2014) di lereng Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat, hal ini terungkap. Dialog ini adalah forum warga yang tinggal di lokasi di sekitar area industri geothermal. Selain warga tuan rumah dari Cigugur, dalam kesempatan ini juga ada perwakilan dari Lereng Gunung Sumbing di Jawa tengah, warga dari Kamojang, dan warga dari lereng Gunung Salak, Bogor. Perwakilan warga lereng Gunung Salak menyatakan bahwa di daerah mereka sudah terjadi beberapa kali gempa bumi. Warga merasa gempa bumi itu terjadi karena aktivitas geothermal, namun mereka tidak bisa menjelaskan hubungannya. Pencemaran air Sistem energi geothermal juga berdampak negatif terhadap kualitas air. Pencemaran ini dapat menimpa air tanah dan kemudian bisa lebih lanjut juga menimpa air permukaan. Salah satu contoh untuk ini adalah kasus dari Balcova, Turki (Aksoy et al. 2009). Tukri adalah salah satu area di Bumi kita yang secara seismik sangat aktif. Evolusi geologi dan tektoniknya didominasi oleh pemekaran dan penutupan Samudra. Kondisi tektonik aktif dan perbatasan lempeng‐lempeng Bumi ini di Turki ditandai dengan munculnya berbagai fenomena vulkanik. Total ada sekitar 1000 mata air panas di Turki. Di bidang energi, Turki adalah salah satu negara pengimpor bahan bakar. Produksi dalam negerinya tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan dalam negerinya. Pada 2000, Turki memproduksi 27,67 juta ton oil equivalen (Mtoe) di dalam negeri dan mengkonsumsi 79,46 Mtoe. Pada 2020, diperkirakan Turki akan memproduksi 85 Mtoe dan mengkonsumsi 318 Mtoe. Energi geothermal adalah salah satu sumber energi penting bagi Turki. Negara ini menduduki peringkat ke‐7 di seluruh dunia sebagai negara yang memiliki potensi energi geothermal terbesar. Secara total ada 992 Mega Watt 5
thermal/MWt) energy geothermal yang sudah berproduksi di Turki (Baba and Armannsson 2006). Lapangan Geothermal Bacova (LGB) adalah salah satunya, terletak di bagian barat Turki. Kontaminan di LGB adalah Arsenic, Antimon, dan Boron. Arsenik (As) sudah lama dikenal sebagai penyebab terjadinya kanker pada manusia. Ia berkontribusi terhadap tingginya penyakit kulit dan kanker di lokasi pemukiman yang tepapar terhadap kandungan As yang tinggi dalam air minum. Standar World Health Organization (WHO) terhadap kandungan As dalam air minum adalah 0,05 mg/L hingga 0,01 mg/L. Nilai ini sudah diadopsi di berbagai negara. Meskipun, standar ini masih dipertanyakan karena dianggap masih terlalu tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, disimpulkan bahwa kadar As di dalam air minum haruslah di bawah 0,01 mg/L (Webster and Nordstrom 2003). Sementara di Indonesia, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 tentang Pengawasan Kualitas Air Minum menentukan bahwa maksimum kandungan As dalam air minum adalah 0,01 mg/L (Menkes 2002). Antimon (Sb) adalah elemen langka yang terbentuk dalam alterasi batuan karena proses hidrotermal. Antimon memiliki tingkat beracun yang memperlihatkan karakter yang sama dengan As. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (EPA) memutuskan kadar maksimum Antimon dalam air minum adalah 6 μg/L. Di Turki standarnya adalah 5 μg/L (Aksoy et al. 2009). Sementara di Indonesia, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 tentang Pengawasan Kualitas Air Minum menentukan bahwa maksimum kandungan Antimon dalam air minum adalah 0,001 mg/L (Menkes 2002). Boron (B) adalah kontaminan lain yang hadir dalam cairan geothermal. Konsentrasi Boron yang tinggi dapat menyebabkan permasalahan pada kesehatan manusia (Aksoy et al. 2009), salah satunya adalah menurunnya tingkat kesuburan (US Environmental Protection Agency 2004, 86). Di Indonesia, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 tentang Pengawasan Kualitas Air Minum menentukan bahwa maksimum kandungan Boron dalam air minum adalah 0,1 mg/L (Menkes 2002). Baik As, Sb, dan B, ketiganya adalah material yang terdapat secara alamiah. Namun, proses ekstraksi panas dalam produksi energi di pembangkit geothermal menyebabkan ia termobilisasi dan mengkontaminasi perairan. Gambar di bawah, bersama dengan penjelasan dalam teks, memperlihatkan secara skematik bagaimana proses kontaminasi air tanah dan air permukaan terjadi.
6
Figure 1: Skema kontaminasi air tanah dan permukaan di LGB, Turki (Sumber: Aksoy et al. 2009).
Ada empat permasalahan teknikal yang menyebabkan kontaminasi air terjadi dalam kasus LGB di Turki. Pertama, ektraksi berlebihan air tanah telah menyebabkan penyebaran air tanah yang terkontaminasi baik secara horizontal maupun vertikal. Over ekstraksi ini, secara matematis, adalah fungsi dari total air yang diekstraksi dari aquifer (batuan sarang yang menyimpan dan melalukan air) dan kedalaman sumur bor. Kedua, jeleknya casing (selubung bor) beberapa sumur geothermal, baik sumur produksi dan sumur injeksi. Casing yang jelek ini menyebabkan bagian‐bagian aquifer yang tidak terisolasi dari fluida yang ada di sumur produksi dan injeksi. Ketiga, praktik re‐injeksi yang tidak tepat dapat menyebabkan tersebarnya air yang berasal dari proses hidrotermal di dalam lapisan aquifer, dan kemudian naik ke permukaan melalui sumur‐sumur pompa. Keempat, pembuangan air bekas geothermal ke aliran permukaan adalah faktor lain yang menyebabkan beredarnya air yang sudah terkontaminasi secara meluas di permukaan.
7
Figure 2: Lokasi pengambilan sample air di LGB (Sumber: Aksoy et al. 2009).
Table 1: Ambang batas 3 kontamina untuk air minum di Turki (Sumber: Aksoy et al. 2009).
Ambang batas di Turki [2005]
Elemen
Unit
[μg/L ]
As
10
Sb
5
B
1000
Table 2: Hasil uji kontaminan di 22 titik di LGB (Diolah dari: Aksoy et al. 2009). Warna merah adalah titik yang melebihi ambang batas. Hasil uji kontaminasi di 22 titik Titik
As
Sb
B
[μg/L ]
[μg/L ]
[μg/L ]
BC‐1
5,7
0,36
1511
BC‐2
0,7
1,13
410
BC‐3
1,1
1,13
4423