Dinamika dan Sejarah Perkembangan Geopolitik serta Geostrategi : Era Imperialisme hingga New World Order PDF

Title Dinamika dan Sejarah Perkembangan Geopolitik serta Geostrategi : Era Imperialisme hingga New World Order
Author Yohanes Putra Suhito
Pages 11
File Size 126.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 87
Total Views 112

Summary

Dinamika dan Sejarah Perkembangan Geopolitik serta Geostrategi : Era Imperialisme hingga New World Order Yohanes Putra Suhito Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga Geopolitik adalah satu dari sekian banyak aspek yang dapat digunakan oleh aktor internasional khususnya aktor negara d...


Description

Dinamika dan Sejarah Perkembangan Geopolitik serta Geostrategi : Era Imperialisme hingga New World Order

Yohanes Putra Suhito Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Geopolitik adalah satu dari sekian banyak aspek yang dapat digunakan oleh aktor internasional khususnya aktor negara di dalam mencapai kepentingan nasionalnya dengan memanfaatkan konsep keruangan geografi. Selain itu, di dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh negara, terdapat banyak faktor yang mendorong dan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan tersebut dan salah satunya adalah aspek geografis. Pada awalnya, istilah geopolitik diperkenalkan oleh seorang tokoh ilmuwan politik Swedia yang bernama Rudolf Kjellen pada tahun 1899 dimana ia mendefinisikan geopolitik sebagai sebuah fokus keterkaitan di antara geografi dan politik (Tuathail, 1998). Pada perjalanannya, praktik dan implikasi geopolitik tak serta merta kemudian muncul secara instan. Terdapat berbagai tahap dan fase yang membentuk perjalanan dari kedua aspek tersebut dimana beberapa di antaranya adalah era imperialisme dan Perang Dingin. Dalam perjalanannya, geopolitik mengalami berbagai dinamika yang dimulai dari era Yunani Kuno yang menerapkan sistem polis hingga era kontemporer yang sangat kental dengan pengaruh dari globalisasi dan tatanan-tatanan dunia yang dianggap baru. Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, dunia telah mengenal implementasi dan praktik geopolitik secara mendasar pada masa-masa polis di dalam peradaban Yunani Kuno dimana terdapat ambisi-ambisi ekspansionis yang menjadi salah satu latar belakang berbagai macam peperangan yang terjadi di era tersebut (Grygiel, 2006). Setelahnya, beranjaklah dunia ke dalam masa-masa imperialisme yang menjadi salah satu tahapan penting di dalam perkembangan geopolitik dimana geopolitik kemudian berperan sebagai sebuah kekuatan atau power dan pengetahuan atau knowledge. Masa imperialisme merujuk kepada sebuah era pendudukan dan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa di berbagai belahan dunia pada sekitar abad ke-16 meskipun praktik-praktiknya telah diterapkan di era Kekaisaran

Romawi Kuno (Farndon, 2005). Secara definitif, imperialisme adalah sebuah praktek atau upaya perluasan kekuasaan aktor internasional melalui pengaruh yang diberikannya pada segala aspek kehidupan aktor internasional lain yang berusaha dipengaruhi olehnya (Stuchtey, 2010). Pola geopolitik yang terjadi di era imperialisme ini adalah bagaimana negara-negara dan kerajaan-kerajaan Eropa kemudian berusaha melakukan sebuah praktik ekspansionisme demi meraih kepentingan nasional mereka yang cenderung berdasar pada semangat 3G yakni gold, gospel, dan glory yang berkembang dengan sangat pesat pada masa itu dimana gold merepresentasikan kekayaan dan sumber daya ekonomi, gospel berkaitan dengan penyebaran agama Kristen, serta glory yang berhubungan erat dengan kekuasaan dan pengaruh (Tarling, 1999). Selain itu, pola geopolitik yang terjadi di era ini sangatlah bersifat Eropasentris sehingga menekan eksistensi dari geopolitik wilayah-wilayah yang berada di luar Eropa bahkan Tuathail menyatakan bahwa di era ini, konsep geopolitik adalah sebuah ilmu pengetahuan yang diciptakan dan digunakan oleh negara-negara Barat untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka (Tuathail, 1998). Secara lebih jauh, jika dibahas melalui empat pilar penting geopolitik yakni time, space, people, dan struggle maka geopolitik imperialisme dapat dikatakan sebagai sebuah praktek ekspansif yang dilakukan oleh bangsa Eropa kepada bangsa-bangsa Non-Eropa di sekitar abad ke-16 dengan tujuan memperluas kekuasaannya secara geografis sekaligus mencari sumber-sumber daya di ‘dunia baru’. Pada era imperialisme ini, terdapat pemikiran-pemikiran yang disumbangkan oleh cukup banyak tokoh-tokoh geopolitik seperti MacKinder, Mahan, Ratzel, Hitler, Seversky, Spykman, Roosevelt, dan Haushofer. Pertama, terdapat pemikiran dari seorang Jerman bernama Friedrich Ratzel yang mengemukakan teori organisme negara yang menyatakan bahwa negara adalah sebuah makhluk hidup yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sehingga semakin besar pertumbuhan dan perkembangannya, diperlukan pula tempat hidup yang lebih luas (Tuathail, 1998). Selain Ratzel, terdapat Haushofer menyatakan bahwa geopolitik adalah doktrin negara yang menitik beratkan soal strategi perbatasan sekaligus landasan bagi tindakan politik dalam perjuangan kelangsungan hidup untuk mendapatkan ruang hidup atau wilayah. Pemikiran Ratzel dan Haushofer inilah yang kemudian mengilhami pemikiran geopolitik seorang Adolf Hitler yang betajuk lebensraum atau ruang hidup dimana pemikiran ekspansionis Hitler ini menyatakan bahwa rakyat Jerman membutuhkan tempat yang lebih luas agar dapat hidup dimana ‘ruang’ yang dimaksud oleh Hitler ini adalah Eropa Timur (Tuthail, 1998). Selain itu, terdapat pula pemikiran geopolitik oleh MacKinder yang menyatakan mengenai nilai penting dalam penguasaan heartland dan world island dalam

upaya penguasaan dunia. Bagi MacKinder, penguasaan atas Eropa Timur sebagai heartland akan membuka jalan bagi penguasaan world island yakni Eurasia sehingga penguasaan dunia akan dapat tercapai (Tuathail, 1998). Ketika keempat tokoh di atas membahas mengenai penguasaan daratan, muncullah seorang A.T Mahan yang memperkenalkan konsep geopolitik sea powers yang menekankan nilai penting kontrol atas laut dimana asumsi ini didasarkan pada realitas yang terjadi pada Inggris Raya yang sukses menjadi imperium besar dengan bermodalkan kekuatan maritim yang luar biasa efektif (Tuathail, 1998). Setelahnya, muncullah seorang Seversky dan Nicholas Spykman. Bagi Seversky, yang terpenting bagi sebuah negara adalah air powers dimana asumsi ini didasarkan pada kondisi Amerika Serikat dan Uni Soviet di era Perang Dingin dimana perseteruan diantara keduanya lebih banyak melibatkan unsur air powers. Sedangkan di sisi lain, Spykman menyatakan bahwa dalam upaya-upaya penguasaan atas dunia, diperlukan penguasan terlebih dahulu atas daerah rimland. Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt kemudian juga turut memberikan sumbangsih pemikiran di bidang geopolitik imperealisme dimana ia berpendapat bahwa sudah selayaknya Amerika Serikat harus bersikap jantan sekaligus menggunakan instrumen militer dan peperangan sebagai salah satu kebijakan geopolitik Amerika Serikat sebagai salah satu upaya menjadikan Amerika Serikat sebagai yang terunggul (Tuathail, 1998). Berakhirnya Perang Dunia Kedua menjadi sebuah momentum penting bagi pergeseran era kolonialisme dan imperialisme yang lekat dengan upaya ekspansi wilayah. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai upaya dekolonisasi yang dilakukan oleh banyak wilayahwilayah bekas jajahan yang berupaya mencapai kemerdekaannya sehingga memunculkan banyak negara-negara ‘baru’. Akan tetapi di sisi lain, kegembiraan setelah mengalahkan Hitler berakhir setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet mendapati diri mereka berada di pihak yang berlawanan. Amerika Serikat yang berdiri di bawah bendera demokrasi dan liberalisme ssedangkan Soviet berdiri di bawah bendera doktrin Marxisme-Leninisme atau yang lebih dikenal dengan sebutan Komunisme (Crompton, 1997). Perang yang dimulai pada masa pemerintahan Joseph Stalin dan Harry Truman ini diawali oleh kerancuan pembagian wilayah Jerman pasca Perang Dunia Kedua dimana terdapat perbedaan versi pembagian Jerman menurut Perjanjian Yalta dan Postdam. Dalam Perjanjian Yalta, Jerman dibagi menjadi empat zona yang dipimpin oleh Inggris, Prancis, Amerika Serikat dan Uni Soviet dimana tiap-tiap zona memiliki sistem pemerintahan dan ekonomi yang disesuaikan dengan sistem negara induknya. Hal ini kemudian menjadi masalah yang berbuntut panjang ketika pada Perjanjian Postdam, Jerman diputuskan untuk dibagi menjadi empat zona dengan menggunakan satu

sistem ekonomi dimana yang menjadi masalahnya adalah terdapat Amerika Serikat dengan ekonomi kapitalismenya dan Uni Soviet yang berhaluan Komunisme di dalamnya (Crompton, 1997). Pada akhirnya, Jerman dibagi menjadi dua dengan wilayah barat yang liberal sedangkan wilayah timur menganut paham komunisme. Permasalahan mengenai pembagian Jerman ini kemudian menjadi sebuah masalah yang mendorong Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk saling memperkuat pengaruh dan ideologinya di dunia melalui berbagai cara. Uni Soviet kemudian bergerak cepat di Eropa dimana mereka kemudian berhasil ‘menguasai’ seluruh Eropa bagian Tengah dan Timur sedangkan Amerika Serikat mempertahankan pengaruhnya di wilayah Eropa Barat (Crompton, 1997). Pada era ini terdapat dua pengertian ‘baru’ terhadap geopolitik yakni geopolitik sebagai sebuah diskursus dan geopolitik sebagai sebuah hal yang praktis. Sebagai sebuah diskursus, geopolitik dinilai sebagai sebuah instrumen pembentuk pola pikir para elite politik dan negarawan. Sedangkan sebagai sebuah hal praktis geopolitik dinilai sebagai dasar aplikasi kebijakan luar negeri sebuah negara. Hal ini kemudian berkaitan erat dengan pola geopolitik di era Perang Dingin yang sangat kental akan aroma persaingan diantara dua negara superpower yang kemudian tak lagi mengandalkan pengaplikasian hard power saja, melainkan melainkan melalui aplikasi soft power yang kemudian menjadi sebuah sudut pandang geopolitik baru yakni dengan penyebaran pengaruh melalui ideologi masing-masing guna mempengaruhi persepsi aktor lain. Hal ini kemudian menyebabkan Amerika Serikat dengan kebijakan serta ideologi liberalisme-kapitalisnya berusaha membentuk pandangan masyarakat internasional melalui paham dan doktrin yang berbicara mengenai kebebasan dan demokrasi. Sedangkan disisi lain, Uni Soviet dengan kebijakan dan ideologi sosialis-komunis kemudian berusaha membentuk perspektif masyarakat dunia bahwa negara merupakan sebuah aktor yang bersifat mandiri dan berdikari sehingga menolak segala bentuk ketergantungan terhadap pihak lain (Thuatail & Agnew, 1992). Secara lebih jauh, pola geopolitik era Perang Dingin secara umum dapat digambarkan dengan jelas melalui pada empat pilar utama geopolitik yakni time, space, people, dan struggle. Aspek time merujuk pada kemunculan periode Perang Dingin yang terhitung dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua yakni tahun 1945 hingga runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991 dimana pada periode ini dua negara superpower yang terlibat berupaya untuk menyebarkan pengaruh yang dimilikinya di berbagai belahan dunia sehingga fokus geopolitik yang pada awalnya bersifat ekspansi geografis berubah menjadi ekspansi pengaruh. Aspek space yang terlihat pada terbaginya dunia menjadi dua blok besar yakni blok barat yang menjadi negara aliansi Amerika Serikat dan blok timur yang menjadi sekutu dekat

dari Uni Soviet. Aspek people kemudian merujuk pada dua hal yakni aktor utama dan masyarakat dunia secara keseluruhan. Pada aspek aktor utama, di era Perang Dingin terdapat Amerika Serikat yang berhaluan liberal-kapitalis dan Uni Soviet yang berhaluan sosialiskomunis yang seakan-akan menjadi ‘pemeran utama’ konstelasi politik dan ekonomi dunia. Sedangkan pada aspek masyarakat dunia pada umumnya, era Perang Dingin kemudian menyebabkan masyarakat dunia terpecah belah secara ideologis. Aspek terakhir yakni struggle yang sangat berkaitan erat pada upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua negara superpower untuk memperluas pengaruhnya melalui ideologi yang mereka bawa masing-masing sehingga fokus geopolitik Perang Dingin adalah perluasan pengaruh (Black, 2009). Situasi dan kondisi yang terjadi di era ini membuat penerapan geostrategi di masa Perang Dingin ini kemudian menjadi sangat penting. Penerapan geostrategi Amerika Serikat dan Uni Soviet terlihat dari setidaknya tiga hal yakni pembentukan pakta pertahanan, implementasi kebijakan luar dan dalam negeri, serta proxy war. Aplikasi pertama pola-pola geopolitik Perang Dingin sangat terlihat dari pembentukan pakta pertahanan oleh kedua negara superpower tersebut yakni pendirian North Atlantic Treaty Organization di tahun 1949 oleh blok barat pimpinan Amerika Serikat yang kemudian mendorong pendirian Pakta Warsawa di tahun 1954 oleh blok Timur pimpinan Uni Soviet. Aplikasi kedua terlihat dari berbagai kebijakan luar negeri dan dalam negeri yang sangat kental akan pengaruh ideologi kedua negara. Dari sisi kebijakan luar negeri, Amerika Serikat memiliki sebuah kebijakan yang biasa disebut sebagai containment policy, yakni kebijakan untuk membendung pengaruh komunisme di seluruh dunia. Kebijakan ini kemudian diwujudnyatakan menjadi salah satu kebijakan besar Amerika Serikat yakni Marshall Plan yang isinya adalah mengenai bantuan ekonomi Amerika Serikat terhadap Eropa pasca Perang Dunia Kedua. Akan tetapi, Uni Soviet juga tak mau kalah dalam menghadapi kebijakan containment Amerika Serikat sehingga mereka kemudian merumuskan Molotov Plan, Breshnev Doctrine, serta CMEA atau Council for Mutual Economic Assistance yang intinya menolak segala macam bantuan dari Barat terutama Amerika Serikat dengan cara berjuang memenuhi kebutuhan sendiri dan melakukan kerjasama ekonomi antarnegara komunis. Kebijakan kedua negara ini kemudian ‘bertemu’ ketika Yunani dan Turki sibuk memerangi pergerakan komunis di dalam negerinya, Uni Soviet mengirimkan bantuan kepada pihak gerilayawan komunis di sana sedangkan Amerika Serikat kemudian melawan kebijakan Soviet tersebut melalui Truman Doctrine, yakni bantuan ekonomi Amerika Serikat kepada pemerintahan Turki dan Yunani untuk menumpas gerakan Komunisme di kedua negara tersebut (Crompton, 1997). Sedangkan dari sisi kebijakan dalam negeri, containment

policy Amerika Serikat juga memiliki peran domestiknya yakni sebagai kebijakan keamanan nasional Amerika Serikat pada saat itu (Cohen, 2003). Sedangkan di Soviet terdapat dua kebijakan besar dalam negeri yang diterapkan di era Mikhail Gorbachev yakni perestroika dan glasnost dimana keduanya kemudian dianggap sebagai salah satu ‘penyebab’ runtuhnya Soviet. Pada intinya, kedua kebijakan tersebut mengarah pada upaya-upaya perubahan mendasar dalam hal politik dan ekonomi Soviet agar menjadi lebih terbuka dimana perestroika sendiri merujuk pada upaya restrukturisasi ekonomi dan glasnost kemudian merujuk pada upaya transparansi politik. Sama seperti yang terjadi di era imperialisme, era Perang Dingin kemudian melahirkan beberapa pemikiran baru yang berasal dari beberapa tokoh yang berupaya untuk menuangkan pemikirannya mengenai geopolitik di era tersebut. Pertama, pemikiran geopolitik yang dikemukakan oleh Harry Truman yang menyatakan bahwa geopolitik secara sederhana dapat diartikan sebagai instrumen yang dapat digunakan menjadi dasar untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Pandangan geopolitik Truman ini tergambar jelas dari pidatonya yang disampaikan pada tahun 1947 dimana ia mengatakan bahwa dunia harus menentukan pilihannya untuk ‘memihak’ Amerika Serikat yang menawarkan kebebasan dan kesejahteraan atau Uni Soviet yang menawarkan kesetaraan dan kemandirian dan pada akhirnya pandangan Truman ini menjadi salah satu kebijakan geopolitik Amerika Serikat yakni Truman’s Doctrine (Tuathail, 1998). Tokoh kedua yakni George Keenan yang menyatakan bahwa geopolitik di era Perang Dingin adalah sebuah perspektif negara di dalam memandang suatu hal dimana perspektif yang seharusnya diambil oleh negara pada masa itu adalah penuh rasa waspada. Pandangan Keenan ini kemudian menjadi dasar pembentukan kebijakan containment yang diterapkan oleh Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Tokoh ketiga yakni Tuathail dan Agnew yang menyatakan bahwa geopolitik adalah sebuah instrumen yang dapat digunakan oleh negara untuk mencapai kepentingannya meskipun terkadang tindakan yang daimbil oleh negara adalah tindakan yang amoral seperti halnya peperangan dan invasi (Thuatail & Agnew, 1992). Selain itu, terdapat pula Mikhail Gorbachev yang menyatakan bahwa geopolitik bukanlah sebuah teori militer sehingga ia menganggap bahwa upaya untuk mencapai superioritas melalui militer adalah hal yang tidak masuk akal. Bagi Gorbachev, geopolitik adalah sebuah sistem keamanan universal yang terletak pada pengakuan hak dari setiap bangsa terhadap bangsa lain dalam memilih jalan masing-masing dalam pembangunan sosial, serta penolakan intervensi dan campur tangan suatu negara terhadap urusan domestik negara lain (Tuathail & Agnew, 1992). Terakhir, terdapat Colin Gray yang menyatakan bahwa geopolitik

merupakan determinan fisik utama yang digunakan untuk merumuskan sekaligus mengaplikasikan kebijakan luar negeri. Bagi Gray, perkembangan geopolitik di era Perang Dingin memiliki pola yang unik, yakni mengandung unsur sosial dan ideologi di dalamnya. Beranjak ke era setelah berakhirnya Perang Dingin dimana dunia kemudian melihat kembali bergesernya pola geopolitik yang terjadi pasca munculnya Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya ketika Soviet mengalami kejatuhan di tahun 1991. Hal ini kemudian menghadirkan sebuah tatanan dunia baru yang ditandai dengan semakin kuatnya arus liberalisasi yang terlihat jelas dari hadirnya berbagai macam organisasi dan institusi internasional yang mengimplementasikan nilai-nilai liberalis-kapitalis melalui praktik bisnis dan perdagangan bebas secara internasional. Selain itu, semakin menguatnya globalisasi di berbagai aspek kehidupan kemudian menjadi salah satu faktor kunci yang mengakibatkan pergeseran fokus geopolitik dunia di era tatanan yang baru ini. Immanuel Wallerstein memisahkan periodisasi pasca Perang Dingin menjadi tiga bagian yang dianggap mempengaruhi pola geopolitik pada saat itu yakni uneven development, rise and fall of supremacy, dan multipolar world (Wallerstein, 1974). Periode pertama yaitu Uneven Development adalah sebuah periode yang ditandai dengan munculnya fenomena ketidakseimbangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi antara negara bagian Utara dengan negara bagian Selatan yang mana pemikiran ini terkait dengan konsep negara core dan periphery (Wallerstein, 1974). Konsep utara dan selatan sangatlah kental akan pengaruh kedua negara adidaya di era Perang Dingin dimana negara-negara di belahan bumi utara yang cenderung maju merupakan sekutu dekat dari ‘pemenang’ Perang Dingin yakni Amerika Serikat sedangkan beberapa negara-negara berkembang dan periphery di belahan bumi selatan merupakan bekas wilayah yang dipengaruhi oleh Uni Soviet (Agnew, 2001). Selain pengaruh dari Perang Dingin, globalisasi juga dianggap turut berperan pada pembentukan tatanan dunia baru yang diwarnai oleh kesenjangan yang cukup jauh di antara negara maju dan negara berkembang (Slatter, 2004). Oleh karena itu, pada periode ini, Agnew dan Wallerstein kemudian melihat dunia yang terbelah menjadi dua bagian yakni kelompok negara maju yang semakin kaya dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan stabil serta kelompok negara berkembang yang semakin miskin sehingga menyebabkan kesenjangan ekonomi dengan kelompok negara maju menjadi semakin besar. Periode kedua yakni rise and fal of supremacy yang melihat bahwa di era pasca Perang Dingin, kejatuhan Soviet dan munculnya Amerika Serikat sebagai negara unipolar menunjukkan sebuah fenomena fall of supremacy. Akan tetapi, terdapat fenomena rise of supremacy ketika terjadi kemunculan berbagai macam

kekuatan-kekuatan baru yang berupaya untuk menunjukkan peran dan pengaruhnya di dalam sistem internasional (Agnew, 2001). Secara lebih jauh, peran dan pengaruh yang ditunjukkan oleh kekuatan-kekuatan baru seperti China dan Jerman tersebut pada akhirnya akan ‘menantang’ sekaligus mengusik kemapanan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan besar di dunia. Meski belum memiliki status dan peran sebagai negara hegemon, berbagai kekuatan baru tersebut terus menunjukkan eksistensi dan kapabilitasnya sebagai salah satu calon ‘suksesor’ Amerika Serikat yang pengaruhnya mengalami declining (Agnew, 2001). Fenomena kejatuhan kekuatan lama dan kemunculan kekuatan baru ini adalah sebuah peristiwa yang lazim terjadi dalam sejarah dimana sejak era imperialisme selalu terdapat aktor hegemon yang dibayangi oleh para shadow hegemon. Periode ketiga yakni multipolar world dimana kemunculan beberapa negara sebagai kekuatan baru di dunia semakin menggeser sistem unipolar menjadi sistem multipolar. Dinamika kemunculan kekuatan baru tersebut membuat dunia tak lagi terpusat pada Amerika Serikat sebagai satu-satunya polar di dunia melainkan membuat dunia menjadi lebih berimbang di ber...


Similar Free PDFs