Disonansi Kognitif PDF

Title Disonansi Kognitif
Author Ajat Sudrajat
Pages 9
File Size 212.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 8
Total Views 107

Summary

TEORI DISONANSI KOGNITIF Oleh : SUDRAJAT 9334. 021. 07 A. Latar Belakang Teori. Komunikasi merupakan hal yang esensial dalam kehidupan kita. Kita semua berinteraksi dengan sesama dengan cara melakukan komunikasi. Komunikasi dapat dilakukan dengan cara yang sederhana sampai cara yang kompleks, namun ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Disonansi Kognitif Ajat Sudrajat

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

T EORI KONT EKST UAL Fit ria Adiant i Put ri

T EORI DISONANSI KOGNIT IF & T EORI PELANGGARAN HARAPAN Disusun Oleh : Kelompok 5 (Lima) -2 PI… Ari Mohan Digit al 126189-153 8 AGU d - Disonansi Kognit if - Lit erat ur Wanda Nur Aida

TEORI DISONANSI KOGNITIF Oleh : SUDRAJAT 9334. 021. 07

A.

Latar Belakang Teori. Komunikasi merupakan hal yang esensial dalam kehidupan kita. Kita semua

berinteraksi dengan sesama dengan cara melakukan komunikasi. Komunikasi dapat dilakukan dengan cara yang sederhana sampai cara yang kompleks, namun sekarang ini perkembangan teknologi telah merubah cara kita berkomunikasi secara drastis. Dalam ilmu komunikasi sangat banyak teori-teori yang telah diuji guna mencapai hubungan yang harmonis, akan tetapi teori eksistensilah yang sangat menyentuh lapisan masyarakat, terutama teori disonansi kognitif, karena komunikasi dapat berjalan efektif kalau antara sender dan comunican tidak ada disonansi kognitif. Komunikasi yang efektif terjadi apabila individu mencapai pemahaman bersama, merangsang pihak lain melakukan tindakan, dan mendorong orang untuk berpikir dengan cara baru. Kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif akan menambah produktifitas, baik individu yang bersangkutan maupun kelompoknya, sehingga dapat mengantisipasi masalah, membuat keputusan secara efektif, mengkoordinasikan arus kerja, mensupervisi orang lain, mengembangkan hubungan serta dapat mempromosikan produk dan jasa organisasi. Kemampuan berkomunikasi secara efektif pada dasarnya akan menentukan keberhasilan seseorang, dimanapun ia berada, bukan hanya dalam hubungan antar individu, melainkan dalam hubungan yanag lebih kompleks seperti dalam suatu kelompok. Komunikasi merupakan hal yang esensial dalam kehidupan kita. Kita semua berinteraksi dengan sesama dengan cara melakukan komunikasi. Komunikasi akan efektif jika dalam berkomunikasi tidak terjadi disonansi kognitif.

1

B.

Premis Dari Teori. Teori disonansi kognitif menerangkan bahwa keputusan-keputusan, pilihan-pilihan

informasi baru, sangat mungkin menciptakan perasaan tidak mantap dalam diri seseorang. Disonan seperti itu merupakan hal yang secara psikologis tidak nyaman dan akan memotivasi seseorang untuk mencari informasi yang mendukung pilihan-pilihan yang telah diambilnya. Disonansi juga terjadi jika perlakuan tidak menyamai perkara yang kita percaya dan ketika isu penting dan perbedaan kelakuan dan kepercayaan besar terjadi.

C.

Asumsi - Asumsi Pokok. Teori disonansi kognitif beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan

hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua eleman itu sendiri pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen lainnya. Teori berpendapat bahwa disonansi, secara psikologis tidak nyaman , maka akan memotifasi seseoranguntuk berusaha mengurangi disonansi dan mencpai harmonis atau keselarasan. Orang juga akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan memunculkan disonansi dalam berkomunikasi. Dalam teori disonansi kognitif ada tiga elemen yang menjadi sorotan, yaitu :

D.

1.

Tidak relevan satu sama lain.

2.

Konsisten satu sama lain (harmoni).

3.

Tidak konsisten satu sama lain (disonansi).

Tujuan Teori. Sebenarnya, teori disonansi kognitif mempunyai banyak fungsi dalam berbagai

interaksi dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi disini kami hanya memaparkan fungsifungsi teori disonansi kognitif dalam beberapa aspek. 1.

Pengambilan keputusan.

2

Dalam proses pengambilan keputusan, baik antar individu maupun dalam suatu kelompok, disonansi diprediksikan akan muncul karena alternatif pilihan yang ditolak berisi aspek-aspek yang mengakibatkan ia akan diterima dan alternatif pilihan yang dipilih berisi aspek-aspek yang mengakibatkan ia akan ditolak. Semakin sulit sebuah keputusan dibuat, maka semakin besar disonansi setelah keputusan diambi. Selain itu, semakin penting sebuah keputusan, maka semakin besar pula disonansi pasca keputusa diambil. 2.

Kepatuhan terpaksa. Meskipun teori disonansi kognitif tidak secara langsung berhubungan dengan

komunikasi massa, perubahan sikap akibat kepatuhan terpaksa menjadi area yang menarik. Teori disonansi kognitif merumuskan bahwa ketika seseorang ditempatkan pada situasi yang mana ia harus berperilaku di depa umum yang bertentangan dengan sikap pribadinya, maka dia menglami disonansi dari pengetahuan tentang fakta tersebut. Keadaan tersebut terjadi akibat janji pemberian hadiah, ancaman hukuman atau tekanan kelompok. 3.

Paparan selektif dan perhatian selektif. Teori disonansi kognitif sangat menarik perhatian kita terutama pada bidang-

bidang pencarian dan penolakan informasi, yang sering disebut dengan “paparan selektif dan perhatian selektif”. Teori disonansi memprediksikan bahwa setiap individu akan menolak informasi yang mengakibatkan disonansi. 4.

Pilihan hiburan. Terdapat beberapa bukti bahwa pilihan-piliha hiburan dibuat secara spontan

tanpa paparan selektif yang dipertimbangkan. Oleh karena itu pemilihan hiburan tidak bisa dipaksakan, dan jika dipaksakan akan terjadi disonansi dalam diri individu tersebut. 5.

Pengingatan selektif.

3

Orang cenderung mengingat hal-hal yang sesuai dengan kerangka rujukan selektif, sikap, keyakinan dan perilaku mereka dan melupakan hal-hal yang tidak sejalan dengan mereka.

E.

Aplikasi. Pemilu 2009 yang kian dekat ternyata juga masih didominasi berbagai faktor yang

kian memapankan dan melembagakan jenis pemilih mekanistik ini. Paling tidak ada tiga factor dominanyang menyumbang proses pemapanan yang akan menimbulkan disonansi kognitif. Pertama, kita melihat adanya upaya sengaja, intensif, dan berkelanjutan ya n g dilakukan oleh elite untuk terus memelihara basis massa tradisional dengan pendekatan manipulasi ideologi dan kekuatan referensi (reference power). Yang dimaksud dengan manipulasi ideologi adalah partai politik maupun elite secara terencana “memenjarakan”pemilih di basis-basis kantong pemilihannya dengan membawa mereka pada tema- tema fantasi yang mempesona dan menyatukan pemilih pada satu bentuk konvergensi simbolik. Fantasi sendiri merupakan asumsi pengetahuan bersama yang didasarkan pada penguasaan realitas di benak anggota kelompok. Partai politik menjelang pemilu kembali intensif mencitrakan dirinya sebagai representasi ideologi tertentu,padahal dalam praktiknya sama sekali bertolak belakang. Salah satu pengikat manipulasi ideologi juga bisa dalam bentuk pemanfaatan tokoh besar untuk dijadikan rujukan dan membawa fantasi kian membubung tinggi. Kita bisa melihat di berbagai spanduk,baliho,iklan media, tokoh- tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ali Sadikin, Wahid Hasyim, Hasyim Asy’ari kembali dihidupkan. Upaya menawarkan basis ideologi dan tokoh-tokoh panutan nasional sah-sah saja selama memang memiliki komitmen untuk mengimplementasikan nilai-nilai normatif ideologi dan pemikiran tokoh tersebut dalam pendidikan politik terhadap pemilih yang menjadi kader partai atau elite. Kedua, maraknya elite yang mencalonkan diri dan mempersuasi pemilih dengan pendekatan kekuatan hadiah (reward power).

4

Proses membeli pemilih dengan kekuatan finansial melalui beragam suntikan uang, barang, dan fasilitas. Proses transaksi yang mengharuskan elite memberi dan pemilih bersedia patuh pada kendali, seolah lumrah dalam sebuah kontestasi. Pendekatan ini sama saja dengan terus melembagakan mata rantai dari dosa pemilu yang akan melahirkan kesadaran palsu pemilih. Ketiga, masih kurangnya sensitivitas media massa pada pemilih dalam peranannya sebagai ruang publik. Media massa kita saat ini memang sedang menikmati peningkatan belanja iklan politik dari partai dan caleg serta kandidat capres-cawapres. Isu “seksi” yang laku jual pun selalu mengalir dari elite sehingga kelompok elite selalu mendapatkan porsi pemberitaan yang lebih memadai,sementara pemilih yang seharusnya menjadi simpul utama demokrasi dalam proses dari oleh dan untuk masyarakat justru kurang mendapat perhatian. Contoh aktual adalah penyusunan data pemilih tetap (DPT) yang hingga kini masih karutmarut.Hanya sedikit media yang benar-benar melakukan kontrol atas terlindunginya hakhak warga negara sebagai pemilih. Jika pemilu hanya melahirkan pemilih mekanistik, sudah barang tentu hal itu dapat mengakibatkan disonansi kognitif. Dalam pandangan Leon Festinger (dalam Shaw & Constanzo,1982), disonansi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antar elemen kognisi. Pengetahuan, pendapat, keyakinan atau apa yang dipercayai tentang dirinya sendiri dan lingkungannya merupakanbagiandarielemen-elemen pokok kognisi. Dalam konteks pemilu,jika masyarakat memahami pemilu sebagai mekanisme demokrasi yang dapat membawa perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan jabatan antara elite partai politik, hal itu akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan di tingkatan pemilih. Ini merupakan keadaan psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul dalam diri pemilih terjadi konflik antara dua kognisi, yakni antara pengetahuan mengenai pentingnya menggunakan hak pilih sebagai wujud partisipasi politik dalam pemilu dan ketidakyakinan terhadap kualitas pelaksanaan pemilu itu sendiri. Inilah yang oleh para ahli teori disonansi

5

kognitif seperti Festinger disebut sebagai inkonsistensi logis. Disonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik bisa menjadikan pemilih apatis, bahkan apolitis, di kemudian hari.

F.

Analisis Wacana. Istilah disonansi kognitif dari teori yang ditampilkan Festinger ini berarti

ketidaksesuain antara kognisi sebagai aspek sikap dengan perilaku yang terjadi pada diri seseorang. Orang yang mengalami disonansi akan beruapaya mencari dalih untuk mengurangi disonansinya. Pada umunya orang berperilaku tetap atau konsisten dengan apa yang diketahuinya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sering pula seseorang berperilaku tidak konsisten seperti itu. Jika seseorang mempunyai informasi atau opini yang tidak menuju ke arah menjadi perilaku, maka informasi atau opini itu akan menimbulkan disonansi dengan perilaku. Disonan didefinisikan sebagai kenyataan yang tidak sesuai dengan persetujuan. Disonan kognitif timbul ketika ada gap antara harapan dan experience yang mendorong comunican untuk berhenti menggunakan isi pesan tertentu. Karena itu, disonan (ketidaksesuaian) kerap dipandang sebagai bentuk disatisfaksi. Disonan kognitif merupakan suatu perasaan mental yang dialami oleh individu ketika individu tersebut mengalami ketidakharmonisan sikap, keyakinan, atau pemikiran yang ada di dalam dirinya. Pada situasi ketidakharmonisan tersebut, individu mencoba mengatasinya

dengan

cara mengurangi

ketidaksesuaian/disonan

atau

menaikkan

kesesuaian/konsonan. Disonan merupakan satu faktor dalam motivasi yang mendorong comunican untuk mengubah sikap atau keyakinannya . Kebutuhan untuk mempertahankan gambaran diri positif merupakan suatu motivator yang kuat. Banyak dari perilaku kita yang diarahkan menuju pemenuhan standar pribadi diri kita sendiri. Sebagai misal, apabila kita yakin bahwa kita adalah orang baik dan jujur, maka kita cenderung berbuat baik dan jujur meskipun apabila tidak ada orang yang memperhatikan, karena kita ingin mempertahankan gambaran diri positif. Apabila kita yakin mampu dan cerdas kita akan mencoba untuk memuaskan diri kita sendiri bahwa kita telah berperilaku cerdas dalam situasi pencapaian hasil kerja.

6

Tetapi bagaimanapun juga, kenyataan hidup kadang-kadang memaksa kita berada di dalam situasi di mana perilaku atau keyakinan kita bertentangan dengan gambaran diri positif kita atau konflik dengan perilaku atau keyakinan orang lain. Sebagai misal, seorang siswa yang ketahuan menyontek dalam suatu tes dapat membenarkan perilakunya dengan menyatakan (dan malah yakin) bahwa “setiap siswa lain melakukan” atau “guru memberikan tes yang tidak adil, sehingga saya merasa tidak bersalah kalau menyontek” atau menyangkal bahwa ia menyontek (dan benar-benar meyakini kebohongannya)., meskipun banyak sekali bukti yang menyatakan sebaliknya. Teori psikologi yang menjelaskan tentang perilaku, penjelasan dan alasan yang digunakan untuk mempertahankan gambaran diri positif disebut teori disonan kognitif atau cognitive dissonance theory. Teori ini mengatakan bahwa orang akan mengalami ketegangan atau ketidaknyamanan apbila nilai atau keyakinan yang dipegang secara kuat tidak cocok dengan atau tertantang oleh keyakinan atau perilaku yang tidak konsisten secara psikologis. Untuk mengatasi ketidaknyamanan ini mereka dapat mengubah perilaku atau keyakinan mereka, atau mereka dapat mengembangkan pembenaran atau alasan yang mengatasi ketidakkonsistenan ini. Teori disonansi kognitif ini sangat bermanfaat dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam dunia pendidikan, organisasi, periklanan bahkan pemberitaan media massa, audio maupun visual. Di dalam tatanan pendidikan akademik, teori disonan kognitif sering berlaku pada saat mahasiswi menerima umpan balik yang tidak menyenangkan atas kinerja akademik mereka. Sebagai misal, Nelly biasanya mendapatkan nilai bagus tetapi kali ini mendapatkan nilai di bawah 50 untuk ujian tertentu. Nilai ini tidak konsisten dengan gambaran dirinya sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Untuk mengatasi ketidaknyamanan ini, Nelly dapat memutuskan untuk belajar lebih giat lagi untuk meyakinkan bahwa lain kali ia tidak akan mendapatkan nilai yang rendah lagi. Di lain pihak ia bisa saja mencoba membenarkan nilai rendah itu dengan berbagai alasan: “Pertanyaan-pertanyaan kuisnya mengandung jebakan. Saya tidak sedang merasa sehat. Dosen tidak memberi tahu terlebih dahulu akan adanya ujian. Saya tidak sungguh-sungguh mengerjakannya. Udaranya terlalu panas, “ dan berbagai alasan lainnya. Alasan ini akan membantu Nelly mempertanggungjawabkan nilai di bawah 50 itu. Bila ia kemudian masih mendapatkan sederet nilai jelek lainnya, mungkin ia akan berkilah bahwa ia tidak pernah 7

mengerjakan ujian mata kuliah ini sejelek ini, atau dosen itu pilih kasih pada anak laki-laki, atau dosen itu pelit memberi nilai. Semua perubahan dalam pendapat dan alasan ini diarahkan untuk menghindari suatu pasangan situasi tidak konsisten dan tidak enak, yaitu: “Saya adalah mahasiswi yang baik” dan “Saya berbuat jelek di kelas, ini merupakan kesalahan saya sendiri.” Oleh karena itu comunicator harus dapat memahami comunican dalam berkomunikasi agar tidak terjadi disonansi antara communicator dan comunican.

SUMBER BACAAN : Severin, Werner J., Teori Komunikasi “Sejarah, Metode Dan Terapan Dalam Media Massa”, terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta : Kencana, 2005.

8...


Similar Free PDFs