ESSAY POLITIK LINGKUNGAN : PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAM KEBERLANGSUNGAN HUTAN PDF

Title ESSAY POLITIK LINGKUNGAN : PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAM KEBERLANGSUNGAN HUTAN
Author Ameldalia Lia
Pages 7
File Size 56.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 55
Total Views 505

Summary

Hasil riset salah seorang ahli geografi Indonesia di Universitas Maryland USA cukup mengejutkan banyak pihak. Ia menyatakan bahwa kehancuran hutan alam di Indonesia periode tahun 2000 sampai 2012 adalah seluas 15.970.000 hektar, diantaranya merupakan hutan primer. Luas are hutan yang hilang atau rus...


Description

Hasil riset salah seorang ahli geografi Indonesia di Universitas Maryland USA cukup mengejutkan banyak pihak. Ia menyatakan bahwa kehancuran hutan alam di Indonesia periode tahun 2000 sampai 2012 adalah seluas 15.970.000 hektar, diantaranya merupakan hutan primer. Luas are hutan yang hilang atau rusak itu disebut – sebut hampir seukuran Negara Sri Lanka. Luas kerusakan pada tahun 2012 mencapai 840.000 hektar atau dua kali lipat lebih luas daripada kerusakan hutan alam di Brasil (460.000 hektar), pada tahun yang sama (National Geografi Indonesia, 1 Juli 2014). Hasil kajian kerusakan tersebut merupakan potret akumulasi dari persoalan pola pengelolaan hutan skala komersial sejak 1970an sampai di era reformasi. Pola yang saat ini telah dikoreksi dengan pembatasan penguasaan luas pengelolaan hutan untuk produksi kayu maupun hutan tanaman industry, belum mampu membuktikan suatu pengelolaan hutan lestari atau suistainable forest management (SFM). 1. Bagaimana dengan posisi dan peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan hutan tersebut ? 2. Mengapa pengaturan hukum wewenang dan kelembagaan serta kerjasama antar daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup lemah dan belum mencerminkan politik hukum yang berorientasi berkelanjutan ekologi ?

NAMA NIM MATA KULIAH DOSEN

: AMELDALIA : L2011141008 : ILMU POLITIK LINGKUNGAN : Dr. JUMADI

AMELDALIA (L2011141008). Politik Lingkungan. Magister Ilmu Lingkungan. 2014

Page 1

Jawaban : 1. Pemerintah dan masyarakat (yang berperan sebagai produsen, konsumen dan distributor) dalam pengelolaan hutan berperan sebagai pelaku pengelolaan yang seharusnya berperan pula dalam perlindungan hutan. Pemerintah sebagai pengatur berjalannya proses pengambilan kebijakan yang pro lingkungan (politik hijau) dan beretika lingkungan serta penegakan alat kontrol yang bersifat mengikat semua kalangan tanpa pandang bulu (hukum). Masyarakat selaku produsen dan distributor produk (swasta, pengusaha/perusahaan dan industri rumah tangga) sangat besar andilnya dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam, salah satunya sumberdaya hutan. Sedangkan masyarakat selaku konsumen (pemakai produk – produk hasil hutan kayu dan non kayu) sangatlah besar peranannya dalam pengawasan berjalannya kebijakan dan hukum oleh aparat dan instansi terkait, sebagai konsumen dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang beretika dan sebagai masyarakat yang arif yang terikat dengan alam begitu erat dalam kesehariannya sehingga dalam upaya perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan, salah satunya sumberdaya alam hutan baik kayu dan non kayu, masyarakat mampu memandang alam dan memperlakukan alam sebagai kesatuan diri yang saling memerlukan (kearifan lokal). Maka sangat jelas, pengelolaan hutan tidaklah serta merta

hanya

mengenai

kegiatan

produksi

saja,

karena

sangat

penting

memprioritaskan kelangsungannya untuk lestari dan dapat dimanfaatkan secara optimal (upaya perlindungan). Tercapainya tujuan perlindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia ini didukung oleh pengetahuan dan pendidikan yang sarat pesan untuk peduli pada lingkungan terutama hutan dari usia dini agar rasa kecintaannya

AMELDALIA (L2011141008). Politik Lingkungan. Magister Ilmu Lingkungan. 2014

Page 2

terhadap lingkungan yang hijau, asri dan lestari dapat mendarah daging dalam kesehariannya. Diberitakan oleh media elektronik salah satu stasiun televisi daerah Kalimantan Barat, Rabu ini, berdasarkan Antara News (Nopember 2014), Deputi Bidang Operasional Badan Reduksi Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan (BP – REDD+), William Sabandar menyatakan kearifan lokal sangat berperan aktif dalam perlindungan hutan, masyarakat adat dan kearifannya terhadap lingkungan hutan telah terbukti mampu sehingga keberadaan hutan adat perlu didorong. Menurut Natural Conservation (Nopember 2014), proyek percobaan REDD+ dengan pendekatan yuridiksi cukup berhasil di Kalimantan Barat dan dapat menjadi contoh bagi dunia. Kalimantan Barat Luas kawasan hutannya mencapai 9,2 juta hektar (ha). Artinya, Kalimantan Barat memiliki peran penting untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Dari luasan itu wilayah bervegetasi hanya sekitar 5060% saja. Dalam Perpres No. 3 Tahun 2012, sebagian wilayah Kalimantan Barat tersebut dianggap

sebagai kawasan konservasi. Hal ini semakin menekankan

pentingnya Kalimantan Barat dalam melaksanakan agenda pengurangan emisi GRK. Bupati Landak, Adrianus Asia Sidot (2014) mengatakan konflik muncul karena terjadi kesalahpahaman. "Sehingga mencuat menjadi konflik," Menurutnya, mengedepankan kearifan lokal sebagai dasar pemecahan masalah merupakan salah satu langkah bijak karena kearifan lokal sudah mendarah daging di masyarakat setempat. Konflik yang muncul (permasalahan sosial budaya) ini akibat dari

AMELDALIA (L2011141008). Politik Lingkungan. Magister Ilmu Lingkungan. 2014

Page 3

pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur dalam areal yang sangat luas. Contoh kasus lain. Selain permasalahan sosial budaya yang kerap kali bersinggungan dengan perkebunan monokultur, permasalahan lainnya juga banyak disebabkan oleh aktivitas di bidang pertambangan. Di Kalimantan Barat, Penambangan Emas Ilegal (PETI) merupakan satu momok permasalahan yang pelik dan rumit. Disinilah sangat dirasakan pentingnya kearifan lokal. Kearifan lokal sebagai nilai dasar manusia di sekeliling hutan dan sumberdaya alam dalam menempatkan dirinya sebagai bagian penting dan kesatuan utuh dengan hutan sehingga keberadaan hutan dan kelestariannya menjadi kekayaan sumberdaya alam yang sangat bernilai dan tidak dapat tergantikan dengan berapapun besar uang. Selain lemahnya penegakan hukum dan tumpang tindih kepentingan penguasa di tiap – tiap daerah, lunturnya kearifan lokal ini menjadi salah satu sebab lemahnya pengawasan pengelolaan dan upaya perlindungan dari lingkungan terdekat di sekeliling hutan. Emil Salim (2003) “Membangun Paradigma Pembangunan” dalam makalah Peluncuran Buku dan Forum Diskusi Mengenai Hasil-Hasil dan Tindak Lanjut KTT Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta, 11 April 2003, menurutnya, hakekat pembangunan ke depan adalah mengupayakan keberlanjutan (sustainabilitas) kehidupan. Untuk keberlanjutan kehidupan ini, pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. melebihi

satu-dua

generasi

Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang sehingga

kegiatan

pembangunan

perlu

mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya

AMELDALIA (L2011141008). Politik Lingkungan. Magister Ilmu Lingkungan. 2014

Page 4

hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin.

Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan,

perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. Dapat disimpulkan posisi dan peranan pemerintah dan masyarakat haruslah harmonis dan benar – benar berpijak pada kepentingan khalayak ramai yang pro lingkungan

dengan

pertimbangan

matang

jangka

panjang

agar

berhasil

memanfaatkan secara optimal dan memulihkan kondisi hutan yang semakin terancam berkurang luasannya (deforestrasi) dan menurun kualitasnya (degradasi).

2. Pengaturan hukum oleh pihak berwenang dan kelembagaan serta kerjasama antar daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dinilai masih lemah dan belum mencerminkan politik hukum yang berorientasi keberlanjutan ekologi karena individu – individu dalam pemerintahan masih berjuang dalam skala kepentingan pribadi dan golongan semata. Adanya proses politik yang masih

AMELDALIA (L2011141008). Politik Lingkungan. Magister Ilmu Lingkungan. 2014

Page 5

memerlukan biaya besar untuk mencapai kedudukan yang strategis di pemerintahan menyebabkan adanya pola pikir untuk mengeruk keuntungan besar saat menjabat. Individu – individu yang masih miskin etika lingkungan ini menjadi faktor besar dalam mundurnya upaya perlindungan dan pengelolaan yang seharusnya sesuai yang telah diatur dalam Undang – Undang Dasar 1945 dan Undang – Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Hukum sebagai suatu alat yang bersifat mengikat seharusnya mengikat tanpa pilih kasih. Hukum yang dibuat untuk mengikat ini melewati proses yang memerlukan kebijaksanaan sehingga kebijakan yang dibuat benar – benar untuk kelangsungan lingkungan yang lestari agar dapat mendukung keberlangsungan pemenuhan hidup manusia. Mind set yang miskin etika lingkungan ini menyebabkan aparat dan pelaku pembuat kebijakan menjadi ambigu dan justru mematahkan kebijakan yang telah mereka tentukan. Permasalahan mental ini dapat diubah dengan berupaya lebih kuat lagi dalam menciptakan pendidikan yang sarat ilmu mengenai lingkungan sehingga kepedulian dan aplikasi dalam keseharian yang menjaga keharmonisan hubungan manusia dan lingkungan (ekologi) dapat tercapai. Tumpang tindih kebijakan antar daerah yang mengakibatkan lemahnya kerjasama dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan juga disebabkan oleh ego sektoral yang dimana salah satu pihak merasa diuntungkan dari suatu kegiatan pengelolaan lingkungan hidup di daerahnya namun mengabaikan dampak ekologis yang buruk bagi daerah tetangganya. Ego ini sekali lagi merupakan permasalahan mind set yang sangat memerlukan ketegasan dan jelasnya pengaturan dalam bentuk tertulis

AMELDALIA (L2011141008). Politik Lingkungan. Magister Ilmu Lingkungan. 2014

Page 6

(Undang – Undang) dari pemerintah pusat dan pengawasan serta sikap kritis masyarakat dalam proses berjalannya suatu kebijakan dan hukum di daerahnya. Sehingga dapat dikatakan politik dan hukum di Indonesia memang dirasa dan dinilai masih belum benar – benar berorientasi pada keberlanjutan ekologi. Contoh kasus menurunnya fungsi dan kualitas air sungai di Pontianak akibat kegiatan penambangan emas illegal (PETI), illegal logging dan perkebunan monokultur dalam jumlah luasan lahan yang sangat besar di Kubu Raya dan menurunnya kualitas dan fungsi sungai Sambas akibat kegiatan perkebunan monokultur, illegal logging dan pertambangan emas illegal (PETI) di kabupaten tetangganya, Bengkayang, menjadi permasalahan yang rumit dan mengundang kontroversi karena menyangkut kepentingan pendapatan masing – masing daerah.

Daftar Pustaka ___________. 2014. Ekowisata. [diakses 11 Nopember http://ekowisata.org/peluncuran-tfca-kalimantan-siklus-i/]

2014,

_____________. 2009. Undang – Undang No. 32 Tahun 2009. [diakses 18 September 2014, UU 32 Tahun 2009.pdf] _____________. 2013. SRAP_west_kalimantan_2014_ID.pdf [diakses 20 September 2014, www.gcftaskforce.org/documents/SRAP_west_kalimantan_2014_ID.pdf]

Asgart, Sofian m. 2004. Green Politics dan Gerakan Demokratisasi di Indonesia. [diakses 12 Oktober 2014, http://Sasgart_Green_Politics_dan_Gerakan_Demokrasi_374042589.pdf] Badan Pengelola REDD+ Kalimantan Barat. 2014. [diakses 11 Nopember 2014, http://www.reddplus.go.id/tentang-redd/dinamika-redd/21-reddplus/64kalimantan-barat] Budianto, Dedik. 2012. Pentingnya Etika Lingkungan Untuk Meminimalkan Global Warming. [diakses 1 Nopember 2014, http://eprints.unsri.ac.id/197.pdf]

AMELDALIA (L2011141008). Politik Lingkungan. Magister Ilmu Lingkungan. 2014

Page 7...


Similar Free PDFs