ETIKA BISNIS ISLAM siap PDF

Title ETIKA BISNIS ISLAM siap
Author Iqbal SE
Pages 15
File Size 173.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 100
Total Views 368

Summary

TUGAS RANGKUMAN DARI BUKU ETIKA BISNIS DALAM ISLAM Karangan : Drs. Faisal Badroen,MBA, Suhendra S.Ag.,MM, M. Arief Mufraeni.Lc.,M.Si. Ahmad D.Bashori,MA ETIKA BISNIS ISLAM BAB I Konsep Etika Ketetapan itu ada sejak manusia pertama dimuka bumi ini yaitu ketetapan “boleh” dan “tidak” yang dikisahkan d...


Description

TUGAS RANGKUMAN DARI BUKU ETIKA BISNIS DALAM ISLAM

Karangan :

Drs. Faisal Badroen,MBA, Suhendra S.Ag.,MM, M. Arief Mufraeni.Lc.,M.Si. Ahmad D.Bashori,MA

ETIKA BISNIS ISLAM

BAB I

Konsep Etika Ketetapan itu ada sejak manusia pertama dimuka bumi ini yaitu ketetapan “boleh”

dan “tidak” yang dikisahkan dalam AL Qur’an, kedua manusia yang di perbolehkan oleh Allah untuk menetap di surga dan akan tetapi jangan sekali kali mendekati pohon yaitu pohon yang apabila mereka dilakukan maka akan tergolong ke dalam orang orang yang zalim. (al-Baqarah :35):

Dan kami berfirman: "Wahai Adam! Tinggallah engkau dan isterimu dalam syurga, dan makanlah dari makanannya sepuas-puasnya apa sahaja kamu berdua sukai, dan janganlah kamu hampiri pokok ini; (jika kamu menghampirinya) maka akan menjadilah kamu dari golongan orang-orang yang zalim".

Kelanjutan Boleh dan Tidak ini dilanjutkan pada masa Nabi Ibrahim, Musa, Isa Dan Muhammad SAW. Mereka di utus untuk mengsosialisasikan ketentuan Sang pencipta dan mengarahkan manusia untuk hidup bahagia di dunia Tatanan itu digunakan ialah untuk mencegah kerusakan ulah manusia yang cendrung egoistis dan liar. Maka Tata nilai ini lah yang di sebut Etika Ditengah zaman modern saat ini sudah banyak permasalahan yang di timbulkan oleh ke liaran dan egoistis manusia yang merusak Tata nilai kehidupan seperti penyalah gunaan minuman ber alcohol, karyawan yang mencuri, isu pengawasan kualitas, dan lain sebagainya, ini lah yang di anggap persoalan besar yang sedang di hadapi.Semua persoalan ini menjadi penyakit yang serius di tubuh perusahaan maka untuk itu perusahaan harus mencari vaksin. Maka perusahaan mengambil tindakan untuk menerapkan aturan ataupun yang di sebut sebagai etika atau kode etik dalam berbisnis.

Dunia usaha Barat sangat memperhatikan konsep kode etik dalam berbisnis dan ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Dr. Husain Husain Shahata yaitu Pertama” tumbuh suburnya immoralitas yang terjadi di Antara para eksekutif perusahaan dan para pegawainya sehingga membuat perusahaan harus merugi dan gagal. Kedua” studi lapangan yang dilakukan membuktikan bahwa perusahaan yang menerapkan kode etik yang superior punya nama dan reputasi yang baik sehingga mendaptangkan keuntungan. Islam yang kita kenal juga mengatur aspek aspek di atas dengan basis moralitas. Islam menyatukan dilai nilai spiritual dengan material dalam kesatuan yang seimbang dan menjadikan tujuan hidup manusia yang bahagia dunia dan akhirat. Tetapi persoalan yang paling besar pada saat ini ialah dimana konsep materialistis yang menyeret nilai spiritual di pinggirkan . hal ini terutama di kaum pembisnis yang pada giliran nya berimbas negative pada lapisan yang lain. Paradikma yang terbangun dalam masyarakat bahwa harta, tahata, menjadi tolak ukur “baik” atau “tidak”-nya seseorang. (EBI) Etika Bisnis Islam menjadi alternative

solusi keluar dari budaya korup dan

improfesionalisme tersebut. Bukan karena studi duania usaha barat yang mempromosikan sebuah rangking perusahaan dengan kode etik kerja akan tetapi itu menjadi bagian dari perwujudan dan profesionalitas yang menjadi keniscayaan ber-islamnya seseorang muslim dan realitas adagium yang mengatakan : “a good business is a good ethic” DEFINISI ETIKA Asal muasal etika tidak terlepas dari asli kata ethos dalam Bahasa yunani yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character). Seperti pemaknaan kamus Webster berarti “ the distinguishing character, sentiment, moral, or guiding beliefs of person group, or institution.(karakter istimewa, sentiment, tabiat,moral, atau keyakinan yang membimbing seseorang kelompok atau institusi). Ethics menjadi padanan dan etika. Definisi lain tentang etika sebagai philosophical inquiry into the nature and grounds of morality. Dalam dalam makna yang lebih tegas yaitu kutipan buku kuliah etika mendefinikan etika secara terminology yang artinya :bahwa etika merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai ,baik,buruk,harus,benar salah dan

lain

sebagainya

dan

prinsip-prinsip

umum

yang

membenarkan

kita

untuk

mengaplikasikanyan atas apa saja. Istilah etika dalam Al-Qur’an yaitu al-khuluq, untuk mendeskripsikan konsep kebajikan . DEFENISI MORAL Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak). Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Demoralisasi, berarti kerusakan moral. Menurut asal katanya “moral” dari kata mores dari bahasa Latin, kemudian diterjemahkan menjadi “aturan kesusilaan”. Dalam bahasa sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores, tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun dan tidak cabul. Jadi, moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma kelakuan,

perbuatan

Sansekerta, su artinya

tingkah “lebih

laku

yang

baik.

baik”, sila berarti

Kata susila berasal

“dasar-dasar”,

dari

prinsip-prinsip

bahasa atau

peraturan-peraturan hidup. Jadi susila berarti peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.

DEFINISI NORMA Norma menurut Drs. Achmad Charris Zubaik bahwa norma adalah nilai yang menjadi milik mersama ,tertanam, dan disepakati semua pihak dalam masyarakat yang berangkat dari nilai baik,cantik atau berguna yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan kemudian menghadirkan ukuran atau norma. Artinya norma bermula dari penilaian ,nilai,dan norma. Sebuah norma adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran, taitu sesuatu yang bersifat pasti dan tidak berubah. Dengan adanya norma kita dapat memperbandingkan sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, serta kualitasnya kita ragukan. Norma berguna untuk menilai baik-buruknya tindakan masyarakat sehari-hari. Sebuah norma bisa bersifat objektif dan bisa pula bersifat subjektif. bila norma objektif adalah norma yang

dapat diterapkan diterapkan secara langsung apa adanya, maka norma subjektif adalah norma yang bersifat moral dan tidak dapat memberikan ukuran atau patokan yang memadai. Macam Norma :

 Norma-norma Khusus adalah aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan khusus, misalnya aturan olah raga, aturan pendidikan dan lain-lain

 Norma-norma Umum

sebaliknya lebih bersifat umum dan sampai pada tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat universal.

 Norma Sopan santun adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah dalam pergaulan sehari-hari.

 Norma Hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

 Norma Moral

yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia. Norma moral ini menyangkut aturan tentang baik buruknya, adil tidaknya tindakan dan perilaku manusia sejauh ia dilihat sebagai manusia.

ETIKA CABANG FILSAFAT Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:

1.

Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,

2.

Kosmologia yaitu kajian tentang alam,

3.

Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,

4.

Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,

5.

Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,

6.

Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.

Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut kian meluas dan berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri. (Alfan: 2011) Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.

(rangkuman Maksufi Alwi

IAIN)

Macam-macam Aliran Etika Barat Dalam sistem etika Barat ini, ada tiga teori etika yang akan dibahas antara lain: A. Teori Teleologi Teleologi berasal dari akar kata Yunani telos, yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan logos, perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad ke-18. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejalagejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan “kebijaksanaan” objektif di luar manusia. Dalam dunia etika, teleologi bisa diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya suatu tindakan dilakukan, Teleologi mengerti benar mana yang benar, dan mana

yang salah, tetapi itu bukan ukuran yang terakhir. Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat. Betapapun salahnya sebuah tindakan menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu dinilai baik. Ajaran teleologis dapat menimbulkan bahaya menghalalkan segala cara. Dengan demikian tujuan yang baik harus diikuti dengan tindakan yang benar menurut hukum. Perbincangan “baik” dan “jahat” harus diimbangi dengan “benar” dan “salah”. Lebih mendalam lagi, ajaran teleologis ini dapat menciptakan hedonisme, ketika “yang baik” itu dipersempit menjadi “yang baik bagi diri sendiri. Berdasarkan pembahasan etika teleologi ini, kemudian muncul aliran-aliran teleologi, yaitu egoisme dan utilitarianisme. a.

Egoisme Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Perilaku yang dapat diterima tergantung pada konsekuensinya. Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu

ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi

diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar. Memaksimalkan kepentingan kita terkait erat dengan akibat yang kita terima. Seseorang tidak mempunyai kewajiban moral selain untuk menjalankan apa yang paling baik bagi kita sendiri. Jadi, menurut egoisme etis, seseorang tidak mempunyai kewajiban alami terhadap orang lain. Meski mementingkan diri sendiri, bukan berarti egoisme etis menafikan tindakan menolong. Mereka yang egoisme etis tetap saja menolong orang lain, asal kepentingan diri itu bertautan dengan kepentingan orang lain. Atau menolong yang lain merupakan tindakan efektif untuk menciptrakan keuntungan bagi diri sendiri. Menolong di sini adalah tindakan berpengharapan, bukan tindakan yang ikhlas tanpa berharap pamrih tertentu. Contoh: R.Budi dan Michael Hartono, misalnya, memiliki kekayaan US$ 11 miliar dan menempati perigkat pertama. Kekayaan ini diperoleh dari antara lain kelapa sawit dan industri rokok (Djarum). Angka kekayaan ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan total kekayaan 40 orangterkaya sebanyak US$ 71 miliar. sesungguhnya sudah bisa melihat

karakter egoisme etis pada mereka. Yang mana? Jikalau mereka altruisme, bisa dipastikan tak akan berbisnis rokok. Orang-orang altruisme akan berpikir rokok merupakan komoditas yang “mematikan” banyak orang, maka harus dicegah utnuk memperbanyak alat pembunuh itu. Sebaliknya, egoisme etis mengabaikan rokok yang disepadankan dengan alat pembunuh. Egoisme etis harus meneguhkan hati, “Ini cuma bisnis, jadi harus diabaikan dampak-dampak yang ditimbulkan. Salah sendiri orang lain mau membeli rokok sang pembunuh ini”. b.

Utilitarianism Semakin tinggi kegunaannya maka semakin tinggi nilainya. Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan. Contoh: Industri rokok “menolong” kemajuan olahraga dengan menggelontorkan dana sebanyak-banyaknya, namun berpengharapan para penggila olahraga ini (pemain atau penonton) menjadi perokok aktif maupun pasif. Jelas, menolong yang dilakukan adalah berdasarkan keterpautan kepentingan diri sendiri.

B. Teori Deontologi Teori Deontologi yaitu : berasal dari bahasa Yunani, “Deon“ berarti tugas dan “logos” berarti pengetahhuan. Sehingga Etika Deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibatnya atau tujuan baik dari tindakanyang dilakukan, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada diri sendiri. Dengan kata lainnya, bahwa tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindkan itu. Contoh: jika seseorang diberi tugas dan melaksanakanny sesuai dengan tugas maka itu dianggap benar, sedang dikatakan salah jika tidak melaksanakan tugas.

Teori ini menafikan konsep Teori Teleologikal karena golongan deontologist ini ialah golongan yang tidak percaya dengan akibat. Teori ini menegaskan bahwa betul atau salahnya sesuatu tindakan itu tidak berdasarkan atau ditentukan oleh akibat-akibat tindakan tersebut. Mengikut teori ini, nilai moral suatu tindakan tidak boleh dinilai ke atas kesudahannya iaitu hasil atau kebaikan yang akan didapati kerana kesudahan sesuatu tindakan adalah tidak jelas dan tidak dapat ditentukan hasilnya semasa tindakan tersebut dibuat tetapi bergantung pada niat seseorang itu yang membuat keputusan atau melakukan tindakan. Immanuel Kant, seorang ahli falsafah German (1724-1804) yang pernah mengajar di University of Konigsberg di bahagian barat Rusia merupakan seorang ahli falsafah yang sering dikaitkan dengan Teori Deontologikal ini. Hal ini kerana, beliau percaya bahawa apa yang memberi nilai moral kepada sesuatu tindakan bukan akibatnya kerana akibat-akibat tindakan kita tidak sentiasa berada di bawah kawalan kita tetapi motif atau niat tindakan kita adalah di bawah kawalan kita. Oleh itu, kita harus bertanggungjawab secara moral atas motif kita untuk membuat kebaikan atau keburukan. Teori Deontologikal ini terbagi kepada dua aspek yaitu deontologikal tindakan (eksistensialisme) dan deontologikal peraturan (prinsip kewajiban). Eksistensialisme bermaksud kebebasan moral bertindak tanpa amanah, paksaan dan larangan iaitu merangkumi aspek kebebasan; kebebasan jasmani, kebebasan kehendak dan kebebasan moral. Eksistensialisme berasal daripada perkataan existent yang bermaksud wujud atau ada. Deontologikal tindakan ini dipelopori oleh Jean Paul Satre yang menekankan kebebasan iaitu manusia bebas memilih tindakannya. Individu bebas buat pilihan atau keputusan moral dan tidak membenarkan pilihan atau keputusannya dipengaruhi orang lain. Eksistensialisme juga dikaitkan dengan pilihan moral (First Hand Choice) iaitu membuat pilihan terus dari akal rasional berdasarkan kepada sesuatu keputusan moral yang sentiasa berubah, tidak universal, bersifat subjektif, tidak mutlak, tidak kekal dan individualistik. Contohnya, seseorang individu tidak dilahirkan terus untuk menjadi guru, tetapi merupakan pilihan individu tersebut untuk menjadi guru atau pekerjaan lain. Begitu juga dengan pelaksaan tindakan lain oleh seseorang yang dirasakan yakin dan betul untuk

dilaksanakan. Aspek ini mementingkan kebebasan individu untuk memilih tanpa dipengaruhi oleh faktor lain tetapi masih dalam konteks rasional membuat pemilihan. Prinsip kewajiban pula membawa maksud sesuatu tindakan dianggap bermoral jika dilakukan dengan kerelaan hati atau tanggungjawab yang diakui. Arti kata lain, prinsip ini menegaskan tanggungjawab dilaksanakan semata-mata karena amalan itu merupakan kewajipan. Sebagi contoh, menunaikan janji yang telah dikotakan. Seorang ayah yang telah berjanji akan memberi hadiah atau ganjaran kepada anaknya sekiranya berjaya di dalam peperiksaan, perlu menunaikan janjinya. Jika tidak si anak akan hilang kepercayaan terhadap ayahnya dan berputus asa untuk meneruskan kejayaannya kerana janji yang dikotakan tidak dilaksanakan. Bagi mengambil sesuatu tindakan bermoral, kita perlu mempraktikkan formula berikut: Kebebasan + Keadilan + Kebijaksanaan + Pilihan (rujukan Maxim) = Tindakan Bermoral. Tekad baik dapat diterangkan lebih jelas dengan tindakan manusia dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya semata-mata kerana desakan nilai dalaman yang dipanggil ‘good will’ atau tekad baik dan bukan disebabkan oleh motif-motif lain seperti ganjaran, hukuman atau tekanan. Jika seseorang melakukan tugas dan tanggungjawabnya disebabkan keseronokan, simpati atau kasihan tetapi bukan disebabkan ‘good will’, maka tindakannya dikatakan tidak mempunyai nilai moral walaupun mendapat sanjungan dan pujian. Prinsip kewajiban terbagi kepada dua kategori iaitu categorikal imperative (perintah mutlak)

dan practical

imperative. Categorical

imperative atau

perintah

mutlak

menerangkan perintah yang wujud tanpa sebarang pengecualian atau syarat-syarat. Terdapat tiga prinsip utama dalam perintah mutlak ini iaitu prinsip tersebut mestilah diterima secara umum, dapat menghormati manusia dan pihak yang bertanggungjawab sanggup

diperlakukan

sedemikian

sekiranya

dia

berada

dalam

kedudukan

teraniaya. Practical imperative (Praktikal Imperatif) menyatakan bahawa kemanusiaan hendaklah sentiasa menjadi matlamat dan bukan alat perlakuan individu. Malah, kemanusiaan adalah suatu nilai intrinsik manusia. Contoh yang berkaitan dengan kehidupan seharian yang boleh dikaitkan dengan categorical imperative atau perintah mutlak ialah situasi semasa peperiksaan. Ramai yang mengetahui meniru atau menipu di dalam peperiksaan merupakan satu

tindakan yang salah, namun atas sifat mementingkan diri dan ingin mencapai kejayaan dengan mudah masih ramai yang berani meniru atau menipu di dalam peperiksaan. Perlakuan ini akan sentiasa dihina kerana ia merupakan satu perbuatan yang tidak adil bagi individu yang jujur dan berusaha untuk mencapai kejayaan. Hasil daripada pembacaan dan pemahaman saya berkaitan Teori Deontologikal ini, dapat saya ulaskan bahwa setiap tindakan yang dilakukan diletakkan atas niat, tujuan dan motif, bukan pada apa yang dilakukannya atau kesan dan akibat hasil daripada tindakannya. Setiap tindakan yang diambil akan mempunyai nilai moral yang baik jika dilakukan atas kerelaan hati dan motif tindakannya ialah satu tanggungjawab kepada masyarakat bukan kerana paksaan atau desakan. Sekiranya disebabkan desakan atau paksaan...


Similar Free PDFs