EVOLUSI KHILAFAH ( Masa al Khulafa al Rasyidin Sampai Dinasti 'Abbasiyah) PDF

Title EVOLUSI KHILAFAH ( Masa al Khulafa al Rasyidin Sampai Dinasti 'Abbasiyah)
Author Ahmad Muthohar
Pages 21
File Size 1.2 MB
File Type PDF
Total Downloads 4
Total Views 112

Summary

EVOLUSI KHILAFAH ( Masa al Khulafa al Rasyidin Sampai Dinasti ‘Abbasiyah) Ahmad Muthohar [email protected] IAIN Samarinda A. PENDAHULUAN Wacana Khilafah dalam sejarah politik Islam sejak kemunculannya pada masa Islam awal hingga kini masih menjadi meinstrem perdebatan dan menimbulkan pandangan p...


Description

Accelerat ing t he world's research.

EVOLUSI KHILAFAH ( Masa al Khulafa al Rasyidin Sampai Dinasti 'Abbasiyah) Ahmad Muthohar, Ahmad Muthohar

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

SEJARAH PERADABAN ISLAM KARYA SIT I ZUBAIDAH Barry J A Y A Put ra Sejarah Peradaban Islam Jilid 1 I love islam BUKU SISWA SKI X KEAGAMAAN SYAIFUL ISLAM

EVOLUSI KHILAFAH ( Masa al Khulafa al Rasyidin Sampai Dinasti ‘Abbasiyah) Ahmad Muthohar [email protected]

IAIN Samarinda A.

PENDAHULUAN Wacana Khilafah dalam sejarah politik Islam sejak kemunculannya pada masa Islam awal hingga kini masih menjadi meinstrem perdebatan dan menimbulkan pandangan pro dan kontra. Hal ini semakin memperkuat pandangan bahwa khilafah memang memiliki akar sejarah yang kuat dalam konstelasi politik Islam. Dalam diskurus Khilafah setidaknya dapat dipetakan dua pandangan yang secara substansial nampak bertentangan. Pertama, pandangan yang menganggap bahwa khilafah merupakan sistem pemerintahan Islam sebagai warisan teologi nabi dan para sahabat yang harus diikuti oleh umatnya baik secara teknis maupun substansif. Pendapat ini biasanya didukung kalangan Islam tekstualis atau fundamentalis, semisal Dhiya’ al-Din al-Rais dan Abu a’la al-Maududi. Kedua, pandangan yang menganggap bahwa khilafah sebagai fenomena sosiologis-politik yang bersifat ijtihadi. Oleh karenanya, khilafah sebagai sistem pemerintahan secara teknis tidaklah harus mengikat umat untuk diikutinya. Dalam konteks relasi negara dan agama, khilafah sebagaimana agama tidaklah harus berimplikasi pada penciptaan negara-agama. Secara etik sudah pasti agama harus menjadi ruh bagi kehidupan politik dan pemerintahan, tetapi secara administratif tidaklah demikian. Pandangan kedua ini misalnya dapat dilihat pada pemikiran Ali Abdul Raziq, Nur Cholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. 1 Pandangan pro-kontra di kalangan intelektual dan politisi muslim tentang konsep khilafah tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiologis kemunculannya dan logika politik yang mendasarinya. Perbedaan konteks sosiologis dan keragaman logika politik telah menimbulkan keragaman hasil pemikiran di antara para intelektual muslim tentang konsep khilafah.

Begitu pula al Mawardi dalam

karyanya ‘al Ahkam al Sulthaniyah, Ibn Taimiyyah dalam ‘ al Siyasah al Syari’ah’ dan al 1

Lihat selengkapnya pada : Dhiya’ al-Din al-Rais, Islam wa al-Khalifah (terj.), Islam dan Khilafah, Pustaka, Bandung, 1985, h 213 –231; lihat pula : Nur cholis Madjid, Cita-cita politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta, 1999, h. 219-230.

1

Farabi dalam ‘al Madinah al Fadhilah’ membenarkan pendapat ini dan menyatakan bahwa terjadinya perbedaan praktek khilafah antara al khulafa’ al Rasyidin dengan para khilafah bani umayah dan ‘Abbasiyah dan nampaknya dipengaruhi oleh kondidi sosio-politik yang berkembang waktu itu. Lepas dari pemaknaan konsep khilafah para tokoh diatas, secara praktis, khilafah dalam sejarah umat Islam telah terjadi sebuah evolusi mulai masa khulafa al Rasyidin hingga dinasti-dinasti Islam sesudahnya. Hal itu tentu disebabkan beberapa faktor sosio-politik yang melingkupinya. Sehingga wajar, di kalangan intelektual muslim abad pertengahan, baik modern maupun post modern terjadi pertentangan pendapat baik yang ujungnya memperkuat konsep khilafah secara teologis maupun yang mendekontruksinya. Dalam hal ini dapat dicontohkan dhiya’ al Din al Rais dan Abu al A’la al Maududi sebagai intelektual muslim yang mendukung penuh diterapkannya sistem khilafah dalam pemerintahan Islam secara totalitas. Sementara Ali Abdul Raziq, Nurchilish Madjid dan Abdurrahman Wahid dapat dicontohkan sebagai intelektual muslim modern dan post modern yang mendekontruksi sistem khilafah sebagai konsep sosiologis politik yang masuk dalam wilayah ijtihad, bukan doktrin teologis. Dikalangan intelektual sendiri – selain para pengkaji khilafah yang disebutkan diatas- banyak pemerhati politik Islam baik dari barat maupun kaum muslim sendiri yang telah mengemukakan kajian kritis tentang politik Islam, termasuk didalamnya konsep khilafah. Sekalipun demikian, agaknya kajian mereka masih sangat bersifat umum, dan belum sampai menyentuh pada gambaran mengenai perkembangan konsep khilafah secara evolutif dari satu masa yang lain dalam sejarah Islam. Padahal apabila dilihat secara lebih teliti dan kritis dengan pendekatan sosio-historis, akan ditemukan bahwa konsep khilafah dalam prakteknya sejak masa pemerintahan al khulafa’ al Rasyidin sampai runtuhnya dinasti ‘Abbasiyah telah mengalami evolusi yang signifikan. Signifikansi konsep khilafah tersebut tampaknya lebih merupakan fenomena sosiologis-politik dari pada fenomena teologis. Karena itu, sudah tentu evolusi konsep khilafah tersebut tidak terlepas dari interes psiko-sosiologi historis yang melingkupinya secara mikro maupun makro.

Atas dasar pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengkaji evolusi konsep khilafah mulai masa khulafa’ al Rasyidin hingga masa Dinasti ‘Abbasiyah dalam sejarah politik Islam dalam rangka mencoba membuka membuka interes sosio-politik

2

yang mewarnai perubahan-perubahan konsep khilafah tersebut. Pembatasan kajian ini dilakukan penulis selain karena pendekatan sejarah yang sangat membutuhkan cakupan data peristiwa juga media yang dilakukan sebatas paper.

B.

TELAAH PUSTAKA Sejauh ini, memang telah terdapat banyak kajian umum tentang sejarah politik Islam. Namun, kajian komprehenship mengenai fokus khilafah dan perkembangannya secara evolutif tergolong masih sangat sedikit. Meskipun al Mawardi dalam karyanya ‘al Ahkam al Sulthaniyah; Ibn Taimiyah dalam ‘ al Siyasah al Syar’iyyah’ dan al Farabi dalam ‘al Madinah al Fadhilah’ telah melakukan kajian cukup detail tentang imamah atau khilafah, namun kajiannya bersifat doktrinal, belum menyentuh kajian historis yang kritis. Bahkan, cenderung tinjauan yang normatif-teologis daripada khilafah sebagai fenomena sejarah sosial – politik. Ali Abdul Raziq dalam karya ‘al Islam wa Ushul al Hukm’, Patricia Corn dan Martin Hinds dalam ‘God’s Caliph’ sebenarnya telah melakukan upaya kajian kritis tentang khilafah, tetapi agaknya kajiannya belum dapat disebut kajian komprehenship sejarah perkembangan konsep khilafah secara kritis-kronologis. Demikian halnya kajian yang dilakukan Dhiya’ al Din al Rais dalam ‘ al Islam wa al Mulk’ belum banyak mengupas evolusi konsep khilafah dalam sejarah politik Islam dan terkesan apologetik karena kajian tersebut untuk membantah thesis Ali Abdul Raziq. Buku lain yang mengkaji tentang khilafah adalah Karya Ira M. Lapidus ‘Sejarah Sosial Ummat Islam’ khususnya bab 4 (khilafah) sebatas memuat rentetan peristiwa yang terjadi seputar khilafah dari Umayyah hingga Abbasiyah, tetapi tidak secara detail mengkaji evoluis konsep khilafah. Selain itu referensi lain

yang bisa dipakai adalah buku berbahasa Inggris

seperti ‘ A Short of the Saracens, yang dipublikasikan oleh Nusrat Ali Nasri dari kitab Bhavan New Delhi; karya G.E Von GruneBaum dengan ‘ Classical Islam a History 6001258’, juga karya Dr. Muhammad Sayyid al Wakil ‘ Wajah Dunia Islam’ yang diterbitkan Pustaka al Kaustar telah disertai dengan analisa sejarah agak komplit walau belum sistematis; W. Montgomery Watt dengan ‘ Kejayaan Islam, kajian Kritis dari tokoh orientalis’; M. Shaban dengan ‘Sejarah Islam’ atau naskah Inggrisnya ‘ Islamic History’ yang diterbitkan Cambridge University Press; juga Karel Amstrong dengan ‘ Islam; a Short History’ nya. Maupun Joesoef Sou’yb dalam karyanya yang telah

3

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ‘sejarah daulah Abbasiyah’ maupun Hasjmy dengan ‘Sejarah Kebudayaan Islam’. Untuk itu, kajian dengan topik evolusi konsep khilafah ini sangatlah menarik untuk mengisi khasanah intelektual sejarah politik Islam.

C.

EVOLUSI KONSEP KHILAFAH ( Masa al Khulafa’ al Rasyidin Sampai Dinasti ‘Abbasiyah) 1. Definisi Khilafah Istilah al Khilafah berasal dari bahasa Arab dan bentuk jamaknya al khalaif. Asal kata ini adalah ‘takhalafa’ yang berarti menggantikan, pergantian atau perwakilan dari orang lain. secara etimologis, khilafah dapat diartikan sebagai pergantian atau perwakilan dari orang lain. Dengan demikian, secara singkat khalifah berarti pengganti atau wakil dari orang lain berkaitan dengan orang yang digantikannya itu wafat atau ada halangan. Jika Khilafah dinisbatkan kepada Allah (Khalifah Allah), maka berarti wakil Allah (the deputy of God) bukan pengganti Allah (the Successor of God) karena umat Islam meyakini tuhan itu tidak akan pernah mati. Karena itu, secara konvensional, istilah khalifah umumnya dinisbahkan kepada nabi Muhammad Rasulullah yang berarti pengganti nabi yang dipilih nabi (the successor of Prophet approvebby God). 2 al Mawardi dalam al Ahkam al Sulthaniyah wa al Wilayat al Diniyyah mengatakan bahwa khilafah dapat disinonimkan dengan al Imamah, yaitu sistem perwakilan atau pergantian atas kenabian dalam upaya memelihara agama dan mengatur dunia. 3 Pengertian ini memberikan dampak dua makna yang spesifik. Pertama, khalifah atau imam adalah wakil atau pengganti Nabi SAW yang berarti pula ia berhak mewarisi otoritas dan keistimewaan yang pernah didapatkan oleh nabi di mata umat Islam. Kedua, khalifah atau imam secara konseptual mewarisi otoritas agama sekaligus otoritas pemerintahan yang juga pernah dimiliki oleh Nabi SAW. Konsep khilafah sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan konsep kenegaraan Islam ideal yang hanya terbukti pada masa al khulafa’ al Rasyidin. Al khulafa’ al Rasyidin oleh kalangan umat Islam dinilai mewakili praktek dan 2

Lihat Ali Abdul Raziq, al Islam wa Ushul al Hukm baths fi al Khilafah wa al Hukumah fi al Islam, Syarikah Mahimah Misriyyah, Mesir, 1925, hal. 1; Patricia Crone dan Martin Hinds, God caliph, Religious authority in the First centuries of Islam, Cambridge, 1990, hal 4; Ignaz Goldziher, Muslim studies, London, 1967, 71, vol II, hal 337. 3 Hal senada dikemukakan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah Ibn Khaldun, Dar al Fikr, Beirut- Libanon, t.th., halaman 181.

4

pelaksanaan konsep khilafah yang ideal, karena selain mereka mendapat kepercayaan mayoritas umat Islam waktu itu, mereka juga memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsinya sebagai negarawan sekaligus agamawan. Sekalipun tidak sama dengan kualitas yang ada pada diri Nabi sendiri, apa yang dilakukan al khulafa al Rasyidin paling tidak sudah memenuhi kriteria bagi terlaksanyanya khilafah ideal. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, terdapat kesenjangan antara konsep ideal khilafah dengan praktek-praktek kekhilafahan itu sendiri, baik pada masa dinasti Umayyah maupun dinasti ‘Abbasiyah. Karena alasan semakin rumitnya masalah pemerintahan Islam yang berkembang terus dan semakin minimnya kapasitas dan kapabelitas yang dimiliki para pemimpin Islam sesudah al khulafa’ al Rasyidin. Maka menerapkan sistem khilafah ideal dalam dataran praktis adalah utopia. Oleh karenanya, di kalangan intelektual muslim abad pertengahan, baik modern maupun post modern berkembang konsep kenegaraan baik yang ujungnya memperkuat konsep khilafah maupun yang mendekontruksinya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Dalam sejarah Islam, khilafah adalah persoalan yang muncul pertama kali sejak wafatnya nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M. 4 Hal ini dipicu adanya Perdebatan mengenai siapakah yang akan menggantikan kedudukan nabi sebagai pemimpin umat Islam setelah beliau wafat tidak dapat di hindarkan dan menjadi sebuah kewajaran. Menjadi wajar karena; Pertama, semasa nabi SAW, sistem pemerintahan Islam dipegang oleh pemimpin tunggal yang mempunyai otoritas spiritual dan temporal berdasarkan kenabian dan wahyu ilahi. Kedua, tidak adanya isyarat sepeninggal Nabi tentang siapa yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat, dan ketiga, di dalam ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadist) hanya terdapat pesan umum bahwa dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa ada adanya aturan atau pola yang baku tentang bagaimana mekanisme musyawarah dilaksanakan. 5 –bahkan konon Ali pernah dimohon oleh ‘Abbas bin Abdul Muthalib untuk bertanya kepada Nabi SAW sewaktu sakit perihal khalifah yang akan menggantikannya. Namun Ali bin Abi Thalib enggan melakukan usulan Abbas bin Abdul muthalib tersebut. 6 Dengan Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, halaman 82. M. Munawir sajdzali, MA, Islam dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1990, halaman 21. 6 Muhammad al Khudari Bik, Tarikh al Umam al Islamiyah, al Maktabah al Tijariyah al Kubra, Mesir, 1970, halaman 8. 4

5

5

demikian, sejak itulah praktek khilafah atau khalifah sebagai atribut pemerintahan untuk pertama kalinya muncul dalam sejarah politik Islam. Hal tersebut berimplikasi pada terjadinya Transformasi di kalangan umat Islam terkait dengan mekanisme pengangkatan pemimpin umat (khalifah), kontruksi sistem dan model pemerintahan Islam serta akibat (positif dan negatif) yang ditimbulkannya sehingga menimbulkan sekaligus membuat dinamika panjang di kalangan umat Islam saat itu.

2. Historisitas Dinamika Khilafah Menurut Ira M. Lapidus, telah terjadi rekontruksi radikal tentang sistem Khilafah (pemerintahan Islam) sejak kemunculannya pasca wafatnya Nabi SAW dan terbagi ke dalam beberapa fase.

Yaitu, adanya arah membentuk khilafah

menjadi institusi yang membutuhkan legitimasi politik dari sekedar model koalisi kelompok penakluk nomadic- yang menjadi tradisi bangsa Arab. Hal ini sekaligus menjadi jawaban atas berbagai konflik elit politik Arab, gesekan isu primordialisme dan ketegangan persepsi keagamaan yang semakin tajam. Namun setiap fase mempunyai trend yang khas. Menurutnya, ada beberapa fase dalam sejarah khilafah. 1) Khulafaur Rasyidun (632-661); 2) dinasti Umayyah (661-750); 3) fase awal imperium Abbasiyah (750-833) dan 4) fase kemunduran dinasti Abbasiyah (833945). 7 a. Fase Khulafa al Rasyidin (632-661). Fase Khilafah pertama sepeninggal Nabi Muhammad SAW di pegang oleh Khulafa al Rasyidin. 8 . Pemegang kekuasaan dalam masa ini adalah Abu Bakar ( 632-634 ), Umar Bin Khattab ( 634-644), Usman bin Affan ( 644-656 ) dan Ali bin Abi Thalib ( 656-661). Secara sosio-historis, karena tidak adanya pola baku mekanisme pengangkatan khalifah pasca wafatnya Nabi SAW kecuali isyarat umum berupa ajaran ‘Musyawarah’ dan ketegangan kondisi akan adanya kekosongan kepemimpinan umat, maka khilafah pada fase ini dibangun dengan dasar

7

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, op.cit., halaman 81. Terdapat pemaknaan yang berbeda dalam terminologi ‘Khulafaur Rasyidun’. Ada yang berpendapat bahwa gelar tersebut diberikan karena mekanisme pengangkatan khalifah fase ini melalui ‘tunjuk’ dan ‘angkat’, tetapi Abul A’la Al-Maududi berpendapat bahwa gelar tersebut karena para khalifah fase ini adil dan benar yang didasari hubungan dekat secara pribadi dengan Nabi Muhammad, otoritas agama dan ketokohan dan loyalitas dalam Islam.. Lihat : Abul A’la Al-Maududi, Muhammad Al-Baqir (penerj.), Khilafah dan Kerajaan , Mizan, Bandung, 1993, halaman 111. 8

6

‘musyawarah’, walaupun pola dan bentuk mekanisme musyawarah berbeda satu sama lain. Dalam sejarah Islam, Abu Bakar berhasil dipilih sebagai khalifah pertama pengganti Nabi dengan cara musyawarah terbuka. mekanisme ini di kenal dengan sebutan Bai’at Saqifah. Umar bin Khattab terpilih lewat penunjukan Abu Bakar, tetapi telah melalui konsultasi dengan para sahabat senior baik Anshar maupun Muhajirin dan dilanjutkan pada baiat umum di masjid Nabawi. Usman bin affan dipilih dengan cara pertemuan oleh ‘Dewan Formatur’ yang ditunjuk oleh khalifah pendahulunya bukan atas dasar unsur tetapi kualitas pribadinya. Ali bin Abi Thalib di pilih melalui pemilihan terbuka, walau dalam bentuk musyawarah yang kurang ideal. 9 Secara politis, karena khilafah telah menjadi sebuah institusi, maka para khalifah telah menerapkan kebijakan politik sesuai dinamika sosio-politik saat itu. Ira M. Lapidus memaparkan bahwa pada awal kekhilafahan kekuasaan diisi oleh komunitas muslim Arab dan kesukuan bangsa Arab yang berhasil menundukkan imperium Timur Tengah sebagai imbal jasa politik. Namun dalam perkembangannya dua kelompok ini menimbulkan ketegangan politik dalam memperebutkan kekhalifahan. Karena konflik politik semakin tajam, maka pada masa kekhilafahan Umar Bin Khattab, ia mencoba mengantisipasinya dengan menerapkan kebijakan politik yang akomodatif dan otonom 10. Bahkan kalangan aristokrasi Quraisy yang semula mengadakan perlawanan dan belakangan baru masuk Islam juga menuntut perlakuan sama dilibatkan dalam pemerintahan. Namun ketika kekhilafahan dipegang Ustman bin Affan, kebijakan Umar bin Khattab tersebut di rubah. Khalifah III fase Khulafa al Rasyidin ini mengembangkan kebijakan sentralistik dan nepotis. Kebijakan nepotisme diambil dengan membagi kekuasaan kepada klan Umayyah yang notabene adalah klan keluarganya dan klan Makkah lainnya dan mengabaikan para sahabat nabi dan kelompok Madinah. Dengan demikian ia kembali menegakkan koalisi aristokrat Makkah dan kesukuan Arabia pra Islam. Sedang

9 Baca : M.Munawir Sjadzali, Op.Cit, halaman 23 . lihat juga : Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Penerbit Kota Kembang, Yogyakarta, 1989, halaman 34.

Politik akomodatif Umar antara lain : di Makkah dan Madinah ia merangkul sahabat nabi kalangan Makkah dan Anshar (penolong nabi), di pusat militer merangkul klan-klan madinah yang mendukung peperangan melawan kekuatan makkah dan penaklukan Iraq dengan jabatan gubernur, jenderal dan pegawai dengan tunjangan ‘sawafi’. 10

7

kebijakan sentralistik dengan menekankan sistem kekuasaan pusat atas penguasaan pendapatan propinsi. Kebijakan Ustman ini berekses pada munculnya persekongkolan, perlawanan

dan kelompok sektarian terhadap kepemimpinan Ustman yang

mengakibatkan kematiannya di Fustat pada tahun 656. 11 Pasca kematian Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dilantik menjadi Khalifah. Khalifah terakhir dalam fase Khulafa al Rasyidin ini kembali mengubah kebijakan pemerintah sebelumnya. Ia mengembalikan kebijakan akomodatif dengan sistem pembagian pendapatan secara seimbang. Walau ia mendasari klaimnya dengan kedekataannya terhadap nabi, kesalehan pribadi dan awal masuk Islam namun ia terlibat dalam kompromi dengan kelompok pembunuh Ustman untuk memperoleh jabatan khalifah. Pada masa khalifah Ali inilah, gelombang pertikaian dan konflik interes Arab mulai muncul dan cenderung permanen sebagai akibat rentetan kebijakan politik khalifah yang tidak akomodatif dan aspiratif, disamping nuansa primordialisme kelompok, suku, kepentingan serta gesekan atas nama agama. Pemicu konflik dan peperangan sipil yang terjadi di kalangan umat Islam sepanjang pemerintahan Ali bin Abi Thalib adalah adanya tuntutan untuk membalas kematian Ustman dari klan Makkah dan Bani Umayyah. Kalangan aristokrat Makkah dipimpin Thalhah, Zubair dan A’isyah, sedang Bani Umayyah dimotori Mu’awwiyah yang menjadi gubernur Syria. Sedang Ali terlanjur melakukan deal politic terhadap kelompok Anshar Madinah, Kufah dan Mesir yang terlibat dalam pembunuhan Ustman. Puncaknya, terjadi pada perang Shiffin (657), dimana setelah melalui beberapa konfrontasi dan perundingan tetap tidak mendapatkan hasil. Akhir pergolakan adalah dicapainya kesepakatan perundingan antara kedua pihak yang diusulkan kalangan moderat. Namun, kesediaan Ali menerima perundingan dianggap sebagai penyerahan harapan atas otoritas khilafah Ali dan pelanggaran prinsip agama oleh

kelompok

Kharijiyah yang kemudian berbelok melawan Ali dan memperlemah dukungan Muslim. Akhir perundingan terjadi di Adhruh pada bulan januari 659 dengan hasil pembunuhan Ustman tidak dapat dibenarkan dan sebuah lembaga syuro segera dibentuk untuk memilih khalifah yang baru. Keputusan ini menyebabkan

11 Kematian Ustman selain disebabkan kebijakan yang nepotis dan sentralistik, juga akibat kekecewaan tentang kebijakan menerapkan mushaf standar.

8

semakin lemahnya posisi...


Similar Free PDFs