FARMAKOTERAPI TERAPAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PDF

Title FARMAKOTERAPI TERAPAN PENYAKIT DIABETES MELITUS
Author Iman Firmansyah
Pages 42
File Size 2.9 MB
File Type PDF
Total Downloads 104
Total Views 504

Summary

FARMAKOTERAPI TERAPAN PENYAKIT DIABETES MELITUS Disusun oleh: Iman Firmansyah 260112170068 PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2017 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..............................................................................................


Description

Accelerat ing t he world's research.

FARMAKOTERAPI TERAPAN PENYAKIT DIABETES MELITUS Iman Firmansyah

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Makalah Diabet es Melit us Cont oh Kasus Pasien Dewasa Alsya Rahayu Lap t erapi dm manusia manusia Farmakot erapi Diabet es Melit us print ed madness

FARMAKOTERAPI TERAPAN PENYAKIT DIABETES MELITUS

Disusun oleh: Iman Firmansyah 260112170068

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2017

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................

ii

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

v

BAB I

DIABETES MELITUS ..................................................................

1

1.1

Definisi .................................................................................

1

1.2

Patofisiologi ..........................................................................

1

1.3

Manifestasi Klinis .................................................................

2

1.4

Diagnosis Diabetes ...............................................................

4

1.5

Hasil Terapi yang Diinginkan ..............................................

7

1.6

Penanganan Diabetes Melitus ...............................................

7

1.6.1

Terapi Non Farmakologi ..........................................

7

1.6.2

Terapi Farmakologi ..................................................

9

Evaluasi Hasil Terapi ...........................................................

27

BAB II STUDI KASUS ..............................................................................

29

1.7

2.1

Kasus ....................................................................................

29

2.2

Subjektif ...............................................................................

29

2.3

Objektif .................................................................................

29

2.4

Assesment .............................................................................

29

2.5

Analisis DRP (Drug Related Problem) .................................

30

2.5.1

Indikasi tanpa obat ...................................................

30

2.5.2

Obat tanpa indikasi ..................................................

30

2.5.3

Dosis kurang ............................................................

30

2.5.4

Dosis lebih ...............................................................

31

2.5.5

Pemilihan obat yang kurang tepat ...........................

31

2.5.6

Interaksi obat ...........................................................

33

2.5.7

Gagal mendapatkan obat .........................................

33

ii

2.5.8

Plan ..........................................................................

34

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

35

iii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1

Level glukosa plasma dan darah lengkap serta hemoglobin terglikosilasi (HbA1C) .................................................................

7

Tabel 2

Obat Hipoglikemik Oral Golongan Sulfonilurea .........................

12

Tabel 3

Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja .......

23

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1

Alogaritme pemakaian obat hipoglikemik .................................

v

27

BAB I DIABETES MELITUS

1.1

DEFINISI Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik

yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Dipiro, et. al., 2015). Diabetes Melitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel β pankreas mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan (American Diabetes Association, 2012).

1.2

PATOFISIOLOGI Diabetes melitus tipe 1 (5 - 10% kasus) biasanya terdapat pada masa anak-

anak atau awal memasuki usia dewasa dan menghasilkan kerusakan yang dimediasi oleh autoimun pada sel β pankreas, menghasilkan defisiensi insulin. Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi terhadap antigen sel β (contoh: sel antibodi, antibodi insulin) (Dipiro, et. al., 2015). Pada patofisiologi diabetes mellitus tipe 1, yang terjadi adalah tidak adanya insulin yang dikeluarkan oleh sel yang berbentuk seperti peta pada pankreas yang terletak di belakang lambung. Dengan tidak adanya insulin, glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk dirubah menjadi tenaga. Karena tidak bisa diserap oleh insulin, glukosa ini terjebak dalam darah dan kadar glukosa dalam darah menjadi naik (Homenta, 2012).

1

Diabetes melitus tipe 2 sebanyak 90% kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan kombinasi resistensi insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin dimanifestasikan oleh peningkatan lipolysis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik, dan penurunan serapan otot rangka glukosa. Sel β mengalami disfungsi progresif dan menyebabkan memburuknya kontrol glukosa darah. DM tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenic (kalori yang berlebihan, olahraga tidak memadai, dan obesitas) ditumpangkan di atas rentan genotip. Pada DM tipe 2 terjadi ganguan pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehinga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin (Dipiro, et. al., 2015). Kejadian lainnya pada diabetes melitus (1 - 2% kasus) mencakup penyakit endokrin (contoh: akromegali, cushing syndrome), diabetes gestasional (GDM) atau diabetes pada ibu hamil, dan obat-obatan (glukokortikoid, niasin, αinterferon) (Dipiro, et. al., 2015).

1.3

MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik

defisiensi

insulin.

Pasien-pasien

dengan

defisiensi

insulin

tidak

dapat

mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price Sylvia Anderson 2005). Selain itu, menurut Hans Tandra (2008), manifestasi klinis Diabetes Melitus yaitu: 1. Berat Badan Turun Sebagai kompensasi dari dehidrasi dan banyak minum, seseorang akan mulai banyak makan. Memang pada mulanya berat badan makin meningkat, tetapi lama kelamaan otot tidak mendapat cukup glukosa untuk tumbuh dan

2

mendapatkan energi. Maka jaringan otot dan lemak harus dipecah untuk memenuhi kebutuhan energi. Berat badan menjadi turun, meskipun banyak makan. Keadaan ini makin diperburuk oleh adanya komplikasi yang timbul kemudian. 2. Lemah Keluhan diabetes dapat berupa rasa capek, lemah, dan nafsu makan menurun. Pada diabetes, gula bukan lagi sumber energi karena glukosa tidak dapat diangkut kedalam sel untuk menjadi energi. 3. Mata kabur Glukosa darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari dalam lensa mata sehingga lensa menjadi tipis. Mata seseorang pun mengalami kesulitan untuk fokus dan penglihatan jadi kabur. Apabila seseorang bisa mengontrol glukosa darah dengan baik, penglihatan bisa membaik karena lensa kembali normal. 4. Luka yang sukar sembuh Penyebab luka yang sukar sembuh adalah: a.

infeksi yang hebat, kuman, atau jamur yang mudah tumbuh pada kondisi gula darah yang tinggi.

b.

kerusakan dinding pembuluh darah, aliran darah yang tidak lancar pada kapiler (pembuluh darah kecil) yang menghambat penyembuhan luka.

c.

kerusakan saraf dan luka yang tidak terasa menyebabkan penderita diabetes tidak menaruh perhatian pada luka dan membiarkannya makin membusuk.

5. Rasa kesemutan Kerusakan saraf yang disebabkan oleh glukosa yang tinggi merusak dinding pembuluh darah dan akan mengganggu nutrisi pada saraf. Karena yang rusak adalah saraf sensoris, keluhan yang paling sering muncul adalah rasa semutan atau tidak berasa, terutama pada tangan dan kaki. Selanjutnya bisa timbul rasa nyeri pada anggota tubuh, betis, kaki, tangan, dan lengan. 6. Gusi merah dan bengkak

3

Kemampuan rongga mulut seseorang menjadi lemah untuk melawan infeksi. Maka gusi membengkak dan menjadi merah, muncul infeksi, dan gigi tampak tidak rata dan mudah tanggal. 7. Kulit terasa kering dan gatal Kulit terasa kering, sering gatal, infeksi. Keluhan ini biasanya menjadi penyebab seseorang datang memeriksakan diri ke dokter kulit, lalu baru ditemukan adanya diabetes. 8. Mudah kena infeksi Leukosit (sel darah putih) yang biasa dipakai untuk melawan infeksi tidak dapat berfungsi dengan baik jika glukosa darah tinggi. 9. Gatal pada kemaluan Infeksi jamur juga “menyukai” suasana glukosa tinggi. Vagina mudah terkena infeksi jamur, mengeluarkan cairan kental putih kekuningan, serta timbul rasa gatal.

1.4

DIAGNOSIS DIABETES Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma, baik

glukosa plasma puasa atau fasting plasma glucose (FPG) atau nilai 2 jam plasma glukosa atau 2-h plasma glucose (2-h PG) setelah tes toleransi glukosa 75 gram atau oral glucose tolerance test (OGTT) atau kriteria A1C (Umpierrez et al., 2014). 1.

FPG ≥126 mg/dL (7 mmol/L). Fasting didefinisikan sebagai tidak adanya pemasukan kalori sedikitnya 8 jam

2.

2 jam PG ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) selama OGTT, menggunakan glukosa yang mengandung 75 gram glukosa anhidrat yang terlarut dalam air

3.

A1C

≥ 6.5 % (48 mmol/mol). Pengujian dilakukan di laboratorium

dengan metode NGSP dan dengan standar DCCT assay 4.

Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik,

4

gula plasma acak ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

FPG, 2-hPG setelah 75-g OGTT dan A1C sesuai untuk pengujian diagnostik, akan tetapi tidak semua individu perlu dilakukan test tersebut. Efikasi dari intervensi untuk pencegahan diabetes tipe 2 terutama telah ditunjukkan pada individu dengan toleransi glukosa terganggu atau impaired glucose tolerance (IGT), tidak untuk individu dengan isolated impaired fasting glucose (IFG) atau pasien prediabetes berdasarkan A1C (Cefalu et al., 2017) Test yang sama dapat digunakan untuk skrining dan diagnosis diabetes dan untuk mendeteksi individu prediabetes. Diabetes dapat diidentifikasi sepanjang spektrum skenario klinis pada individu yang berisiko rendah yang kebetulan melakukan tes glukosa, pada individu yang diuji berdasarkan penilaian risiko diabetes, dan pada pasien simtomatik (Cefalu et al., 2017). 1. Fasting dan 2-Hour Plasma Glucose FPG dan PG 2 jam dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes. Kesesuaian antara FPG dan PG 2-jam tidak selalu sesuai, sama halnya antara A1C dan tes glukosa. Sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa, dibandingkan dengan FPG dan A1C, nilai PG 2-jam mendiagnosis lebih banyak penderita diabetes (Cefalu et al., 2017) 2. A1C A1C memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan FPG dan OGTT, termasuk kenyamanan yang lebih besar (puasa tidak diperlukan), stabilitas preanalitik yang lebih baik, dan gangguan sehari-hari yang lebih sedikit selama stres dan penyakit. Namun, sensitivitas A1C yang lebih rendah, memerlukan biaya yang lebih besar, keterbatasan tes A1C terbatas di daerah tertentu dan korelasi yang tidak sempurna antara A1C dan glukosa rata-rata pada individu tertentu (Gillaizeau et al, 2013). Saat menggunakan A1C untuk mendiagnosis diabetes, penting untuk mengenali bahwa A1C adalah ukuran tidak langsung dari kadar glukosa

5

darah

rata-rata

dan

mempertimbangkan

faktor

lain

yang

dapat

mempengaruhi glikemia hemoglobin secara tidak langsung, seperti usia, ras atau etnis, dan anemia atau hemoglobinopati (Cefalu et al., 2017). 3. Umur Studi epidemiologi yang menjadi dasar untuk mendiagnosis diabetes menggunakan A1C hanya pada populasi dewasa. Oleh karena itu, masih belum jelas apakah A1C dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes pada anak-anak dan remaja (Gillaizeau et al, 2013). 4. Ras atau Etnik Tingkat A1C dapat bervariasi dengan ras / etnis secara independen dari glikemia. Sebagai contoh, orang Afrika Amerika mungkin memiliki kadar A1C yang lebih tinggi daripada orang kulit putih non-Hispanik meskipun kadar glukosa puasa dan total glukosa sama. Meskipun ada beberapa data yang saling bertentangan, orang Afrika Amerika mungkin juga memiliki kadar albumin fruktosamin dan albumin yang lebih tinggi dan kadar 1,5anhidroglukitol lebih rendah, menunjukkan bahwa muatan glikemiknya (terutama secara postprandial) mungkin lebih tinggi. Asosiasi A1C dengan risiko komplikasi tampak serupa di Afrika, Amerika dan kulit putih nonHispanik (Draznin et al., 2013 dan Arnold et al., 2016). 5. Hemoglobinopathies/Red Blood Cell Turnover
 Menafsirkan kadar A1C dengan adanya hemoglobinopati tertentu mungkin bermasalah. Untuk pasien dengan hemoglobin abnormal tapi perputaran normal red blood cell turnover, seperti sickle cell trait, tes A1C tanpa gangguan dari hemoglobin abnormal harus digunakan. Dalam kondisi yang terkait dengan peningkatan red blood cell turnover, seperti kehamilan (trimester kedua dan ketiga), hemodialisis, kehilangan darah atau transfusi baru-baru ini, atau terapi eritropoietin, hanya kriteria glukosa darah yang dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes (Cefalu et al., 2017)

6

1.5

HASIL TERAPI YANG DIINGINKAN Tujuan terapi pada DM mengurangi simtom hiperglisemia, mengurangi

onset dan perkembangan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup (Dipiro, 2015). Level glukosa plasma dan darah lengkap serta hemoglobin terglikosilasi (HbA1C) yang diinginkan pada Tabel berikut (Dipiro, 2015). Tabel 1. Level glukosa plasma dan darah lengkap serta hemoglobin terglikosilasi (HbA1C)

1.6

PENANGANAN DIABETES MELITUS Tujuan akhir penatalaksanaan diabetes adalah untuk menurunkan morbiditas

dan mortalitas DM, yang secara spesifik untuk mencapai 2 target utama, yaitu menjaga kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes (DEPKES RI, 2005). 1.6.1 Terapi non farmakologi 1. Terapi Nutrisi dan Pengaturan diet Terapi nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien. Untuk tipe 1 DM, fokusnya adalah pada fisiologis yang mengatur pemberian insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat. Merencanakan makan dengan jumlah karbohidrat yang moderat dan rendah lemak jenuh, dengan fokus pada makanan seimbang. Pasien dengan DM

7

tipe 2 sering membutuhkan keseimbangan kalori untuk meningkatkan berat badan (DiPiro, 2015). Dianjurkan diet dengan komposisi makanan yang seimbang dalam hal karbohidrat, lemak dan protein sesuai dengan kecukupan gizi yang baik sebagai berikut: ❖ Karbohidrat : 60-70% ❖ Protein : 10-15% ❖ Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal (DEPKES RI, 2005). 2. Olah Raga Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Disarankan olah raga yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 510 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (DEPKES RI, 2005). Selain itu latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan kontrol glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko kardiovaskular, membantu untuk penurunan berat badan atau pemeliharaan, dan meningkatkan kesehatan (DiPiro, 2015).

8

1.6.2 Terapi Farmakologi Apabila terapi non farmakolgi belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan terapi farmakologi, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya. 1. Obat Antihiperglikemia Oral Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan: a) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid ❖ Sulfonilurea

Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan. Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan golongan sulfonilurea.

Obat

hipoglikemik

oral

golongan

sulfonilurea

merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar

pancreas.

Sifat


Similar Free PDFs