Feminist Jurisprudence dan Postmoderenist Jurisprudence: Sebuah Ulasan Singkat PDF

Title Feminist Jurisprudence dan Postmoderenist Jurisprudence: Sebuah Ulasan Singkat
Author Zefanya Sembiring
Pages 3
File Size 109.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 596
Total Views 715

Summary

Zefanya Albrena Sembiring1 Feminist Jurisprudence dan Postmoderenist Jurisprudence: Sebuah Ulasan Singkat Feminist Jurisprudence Perdebatan tentang status perempuan bisa kita tarik sejak Yunani Kuno. Pada zaman ini, Plato dan Aristoteles sudah mencari tahu apa peran yang tepat untuk perempuan di ten...


Description

Zefanya Albrena Sembiring1 Feminist Jurisprudence dan Postmoderenist Jurisprudence: Sebuah Ulasan Singkat Feminist Jurisprudence Perdebatan tentang status perempuan bisa kita tarik sejak Yunani Kuno. Pada zaman ini, Plato dan Aristoteles sudah mencari tahu apa peran yang tepat untuk perempuan di tengah masyarakat pada zaman itu.2 Pemisahan antara kehidupan publik dan privat antara laki-laki juga telah berkembang. Di mana, perempuan dibatasi melakukan Tindakan dalam bidang privat. Sebagai contoh, wanita dianggap hanya sebagai sebuah properti. Seorang suami berhak untuk memperoleh anak dari perempuan tersebut. Jika suami tersebut meninggal, maka perempuan tersebut berada di bawah kekuasaan ayah dari suaminya. Selain itu, wanita juga tidak berhak untuk memiliki hak kebendaan karena dianggap tidak cakap selayaknya anak-anak.3 Selain itu, salah satu tokoh yang memperjuagkan feminisme, Simon de Beauvoir, menyatakan bahwa seluruh konstruksi sosial, bahasa, pemikiran, agama, dan keluarga seakan-akan hanya dibuat untuk laki-laki.4 Tidak hanya itu, para pengarang Feminis lainnya menyatakan bahwa hukum juga berkontribusi atas adanya ketimpangan gender. Hal itu dapat ditemukan dalam hukum pidana atas pemerkosaan dan kekerasan seksual, hukum keluarga, hukum perikatan, hukum kebendaan, bahkan meliputi hukum internasional.5 Dengan adanya kondisi seperti inilah, Feminisme muncul dan mengkritik bahwa seluruh teori hukum yang ada mengabaikan posisi perempuan dalam hukum.6 Katherine Bartlett memberikan setidaknya ada 3 (tiga) metodologi dalam menganalisis hukum dari sudut pandang feminisme. Pertama, “asking the women question”. Kedua, “feminist practical reasoning”; dan ketiga, “consciousness-raising”.7 Patricia Cain membagi 4 (empat) aliran pemikiran feminis. Pemikiran tersebut antara lain: liberal feminism, radical feminism, cultural feminism, dan postmodern feminism.8 Pertama, liberal feminism berangkat dari kepercayaan bahwa wanita dan pria mengemban hak yang sama sehingga merupakan mahkluk yang otonom. Selain itu, keduanya merupakan mahkluk yang rasional, berhak menentukan nasibnya sendiri, kesetaraan hak dan kesempatan. Inilah yang menjadi pusat pemikiran dari liberal feminism.9 Liberal Feminism lebih menekankan pada adanya kesamaan, sedangkan radical feminism menekankan pada adanya perbedaan antara antara laki-laki dan perempuan. Salah satu prinsip penting yang menjadi isu dalam Liberal Feminism adalah adanya pembedaan antara urusan publik dan urusan privat. Aliran pemikiran ini menegaskan bahwa hukum harus memiliki batas yang jelas

1

Penulis adalah Mahasiswa Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2017. Penulis dapat dihubungi lewat [email protected]. 2 Hilaire A. Barnett, Introduction to Feminist (London: Cavendish Publishing Limited, 1998), hlm. 3 3 Ibid, hlm. 86. 4 Ibid, hlm. 4. 5 Raymond Wacks, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal Theory (New York: Oxford University Press, 2012), hlm. 299. 6 Raymond Wacks, Philosophy of Law: A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press, 2006), hlm. 101. 7 Katherine T. Bartlett, “Feminist Legal Methods”, Harvard Law Review, Vol. 108(4), (Februari, 1990), hlm. 831. 8 Patricia M. Cain, “Feminism and the Limits of Equality”, Georgia Law Review, Vol. 24(803), (1990), hlm. 806. 9 Ibid, hlm. 829.

antara urusan privat dan urusan publik.10 Kedua, Radical Feminism mengakui bahwa ada perbedaan di antara wanita dan pria. Catharine MacKinnon menyatakan bahwa pandangan untuk menyamakan pria dan wanita merupakan pandangan yang keliru, karena wanita dan pria berbeda. Menurut MacKinnon, terminology gender equality adalah sebuah kontradiksi. Oleh karena itu, MacKinnon berupaya untuk menarik perhatian feminis pada isu-isu konkret yang diabaikan, yaitu pemerkosaan, kekerasan seksual yang merupakan suatu endemik dalam komunitas yang patriarkal.11 Namun, Finley, sebagaimana dikutip oleh Ratnapala, menyatakan bahwa permasalahan kekerasan terhadap perempuan tidak dapat diselesaikan hanya melalui penegakan hukum, tetapi juga melalui adanya transformasi moral dari dominasi pria.12 Ketiga, cultural feminism, sama seperti radical feminism, mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Menurut aliran pemikiran ini, Ide dari hukum, legalitas dan proses hukum dibentuk berdasarkan nilai-nilai maskulinitas. Gilligan menyatakan bahwa wanita pada dasarnya merupakan pribadi yang peduli dan menghargai relasi. Hal ini lah yang menjadi poin pembanding, di mana hukum yang ada sekarang memperlakukan manusia sebagai pribadi yang terpisah dan tidak berelasi satu dengan yang lain. Teori hukum feminis haruslah direfleksikan dari kenyataan dan esensi perempuan itu sendiri.13 Penekanan dari cultural feminism adalah melihat dari aspek positif yang dimiliki oleh perempuan. Sedangkan, radical feminism menekankan pada aspek negatif yang diterima perempuan – objektifikasi seksual.14 Keempat, postmodern feminism mengakui adanya pembedaan gender dan kesetaraan – yang di mata aliran ini – merupakan konstruksi sosial. Sehingga, konstruksi yang telah dibangun oleh budaya patriarkal ini harus direkonstruksi.15 Aliran ini meninggalkan sebuah kontradiktif dalam makna terminologinya. Jika Postmodernism menolak adanya kesatuan makna, bagaimana mungkin aliran ini dapat mengklaim dirinya sebagai feminism. Hal ini dikarenakan postmodernism sendiri tidak dapat memandang kategori perempuan sebagai sebuah konsep yang berdiri sendiri. Postmodernism Jurisprudence Akar dari filsafat postmodernisme adalah penolakannya pada seluruh ilmu, termasuk ilmu hukum, yang mendasari analisisnya pada observasi empiris dan penalaran logis 16 Jika pengetahuan terhadap hukum dan fakta sifatnya subyektif, maka penegakan hukum mustahil dilakukan. Lyotard mendifinisikan postmodern sebagai penolakan terhadap metanarratives.17 Postmodernis mengklaim bahwa baik subjek dan objek hanyalah sebuah fantasi. Diskusi postmodernisme terikat subjek menimbulkan beberapa analisis menarik mengenai individu sebagai agen moral, pengemban hak, sampai sebagai pemain dalam sistem hukum. Catatan mengenai hal ini dijelaskan dari teori Lacan, yaknit structural psychoanalytical theories dan the poststructuralist dari Derrida. Lacan menyatakan bahwa bawah sadar manusia sesungguhnya terstruktur layaknya sebuah bahasa. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi cara kerja dari bawah sadar 10

Wacks, Understanding Jurisprudence, hlm. 303. Catherine MacKinnon, Feminism Unmodifies: Discourses on Life and Law (Cambridge: Harvard University Press, 1987), hlm. 32-33. 12 Suri Ratnapala, Jurisprudence (New York: Cambridge University Press, 2009), hlm. 238. 13 Cain, Feminism and the Limit, hlm. 836. 14 Ibid. 15 Ibid, hlm. 838. 16 Ratnapala, Jurisprudence, hlm. 224. 17 Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: the University pf Minnesota Press, 1984). 11

manusia. Bawah sadar merupakan kumpulan pengetahuan, kekuatan dan keinginan. Ia berpendapat bahwa manusia tidak mengontrol apa yang ia katakan; melainkan struktur dari sebuah bahasa telah ditentukan lebih dulu oleh pikiran dan keinginan. Lacan menyatakan bahwa bahasa dari bawah sadar kita lah penentu dari seluruh pengalaman, pengetahuan dan kehidupan manusia.18 Derrida menguraikan ide dari ‘deconstruction’ untuk menjelaskan cara kerja dari differance. Kata difference berasal dari kata Prancis ‘differer’, yang artinya untuk membedakan dan untuk menunda. Ide utama dari Derrida adalah stabilitas dapat tercipta hanya melalui dekonstruksi terhadap bahasa, untuk menunjukan arti dari satu penanda menyertakan penanda lain di dalamnya. Dalam penjelasan di atas, pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana pandangan tersebut dapat menyediakan penjelasan untuk disiplin hukum? Hal ini juga dipertanyakan oleh Wacks: “How for example, can deconstruction provide a constructive insight into the concept of law? Since, as we have seen, the legitimacy of the law lies in some conception of justice, and the language of the law is unavoidalbly normative, it is hard to see how Lacanian psycoanalysis or Derrida’s deconstruction advance our comprehension of legal ideas.”

18

Wacks, Understanding Jurisprudence, hlm. 289....


Similar Free PDFs