HUKUM SEBAGAI SISTEM PERATURAN PDF

Title HUKUM SEBAGAI SISTEM PERATURAN
Author Rina Septiani
Pages 24
File Size 208.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 173
Total Views 720

Summary

HUKUM SEBAGAI SISTEM PERATURAN Disusun oleh : Erika 0706291243 Tugas Makalah untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional Semester Pendek 2007/2008 DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2008 P...


Description

HUKUM SEBAGAI SISTEM PERATURAN

Disusun oleh : Erika 0706291243

Tugas Makalah untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional Semester Pendek 2007/2008

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2008 Page | 1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat-Nya lah, makalah ini dapat saya selesaikan. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Andi Asmoro Putro yang telah menugaskan saya membuat makalah ini, karena dengan membuat makalah ini, saya menjadi semakin paham dan mengerti mengenai peran hukum sebagai sistem peraturan, dan hal-hal yang terkait di dalamnya. Makalah yang berjudul “Hukum Sebagai Sistem Peraturan” ini pada dasarnya bersumber pada buku Prof. Dr. Satjipto Rahardjo yang berjudul “Ilmu Hukum”, akan tetapi penulis juga menambahkan beberapa tambahan penting yang kiranya terkait dengan bahasan mengenai hukum sebagai sistem peraturan. Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah ini, yang tentunya masih jauh dari sempurna. Maka dari itu penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi segenap pembaca. Sekian kata pengantar ini, akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Jakarta, 6 Juli 2008 Hormat saya,

Penulis

Page | 2

BAB I PENDAHULUAN

Hukum dan masyarakat. Kedua hal tersebut bagaikan berada dalam satu keping uang logam, berbeda akan tetapi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Keberadaan hukum tampa adanya masyarakat tidaklah berguna, begitu pula sebaliknya, keberadaan masyarakat tanpa adanya hukum dapat menghancurkan masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang beragam tentu menimbulkan munculnya kepentingan-kepentingan yang beragam pula. Karena itulah, dalam masyarakat diperlukan adanya pengaturan berbagai kepentingan yang ada, agar kepentingan-kepentingan itu tidak saling berbenturan satu dengan yang lain. Di sinilah hukum berperan, hukum dibuat dalam rangka menciptakan ketertiban dan mengatur relasi antar masyarakat. Dalam melaksanakan fungsinya untuk menciptakan ketertiban, hukum berlaku sebagai sistem peraturan, yang kemudian melahirkan peraturan hukum dengan berdasar pada asas hukum yang harus dipatuhi oleh setiap subjek hukum (dalam hal ini, masyarakat). Hukum mengatur hubungan hukum yang terjadi antara subjek hukum, memberikannya kewenangan baru yang kemudian disebut hak. Makalah ini akan membahas peran hukum sebagai sistem peraturan, yang mengatur ketertiban dalam masyarakat; serta hal-hal yang berkaitan dengannya.

Page | 3

BAB II

PEMBAHASAN

A. ANATOMI PERATURAN

1. Norma Kultur Dalam bagan sibernetika dari Parsons dikemukakan bahwa manusia dikontrol oleh arus-arus informasi tertentu yang diterimanya dari sumber yang tertinggi, yang oleh Parsons disebut sebagai ultimate reality atau “kebenaran jati”. Bekerjanya arus informasi tersebut kemudian menimbulkan kesadaran diskriminatif pada manusia, yang menyebabkan mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Nilai-nilai itu memberikan suatu pengertian tentang hal-hal yang patut dijunjung tinggi, yang juga harus dicapai dan dipelihara. Sehubungan dengan nilai-nilai tersebut, timbul suatu penggolongan yang penting mengenai norma, yaitu menjadi “keharusan-keharusan alamiah” dan “keharusan-keharusan susilawi”, yang selanjutnya dikenal sebagai “norma alam” dan “norma susila” (Radbruch, 1961:12). Norma alam dan norma susila memiliki perbedaan-perbedaan, seperti yang tampak dalam bagan di bawah ini : Norma Alam

Norma Susila

Norma yang mengatakan tentang apa yang Norma yang mengatakan tentang sesuatu pasti akan terlaksana. Sesuatu

yang

dijadikan

yang mungkin tidak akan terlaksana. norma

kesesuaiannya dengan kenyataan.

karena Sesuatu yang dijadikan norma, sekalipun ia nantinya ternyata tidak bersesuaian dengan kenyataan.

Norma

yang

menggambarkan

dunia Norma yang menggambarkan suatu rencana,

kenyataan, yaitu mengutarakan sesuatu yang atau suatu keadaan yang ingin dicapai. memang sudah ada.

Norma ini mengutarakan sesuatu yang masih ingin dicapai.

Sumber : Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 25. Page | 4

Selain perbedaan-perbedaan seperti yang telah disebutkan dalam bagan di atas, norma alam dan norma susila juga memiliki satu perbedaan yang mendasar lain, yang terletak dalam hal hubungan yang dibicarakan di dalamnya. Dalam norma alam, hubungan-hubungan yang terjadi di bidang kehidupan alam terbilang dapat diukur secara eksak, oleh karena itu yang dibicarakan di dalam norma alam adalah hubungan sebab-akibat (causal relation). Kausalitas semacam ini tidak ditemukan dalam norma susila. Sebaliknya, yang terjadi dalam norma susila merupakan hal yang sulit diukur secara eksak, sehingga hubungan yang ada adalah hubungan pengaitan (zurechnungsprinzip), yang berarti norma susila cenderung dikaitkan pada suatu kejadian bila timbul suatu kejadian tertentu. Perbedaan kedua terletak pada perantara yang dibutuhkan dalam hubungan pada kedua norma tersebut. Pada norma alam, hubungan sebab-akibat dapat berjalan dengan sendirinya, tanpa membutuhkan perantara. Sedang dalam norma susila, suatu hubungan tidak mungkin terjadi tanpa adanya perantara. Perantara inilah yang kemudian akan memutuskan apakah norma susila tertantu layak untuk dikaitkan dengan suatu kejadian atau tidak. Lantas, apa hubungan antara hukum, yang sedang kita pelajari dengan kedua norma tersebut? Norma hukum ternyata termasuk dalam norma susila, norma susila sendiri terdiri dari norma hukum dan norma kesusilaan. Norma hukum dan norma kesusilaan sendiri memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaan antara kedua norma itu adalah keduanya sama-sama ingin mencapai atau menciptakan sesuatu; oleh karena persamaannya inilah, maka norma hukum dan norma kesusilaan sama-sama digolongkan ke dalam norma susila. Namun demikian, keduanya juga memiliki perbedaan dalam ciri-cirinya, norma kesusilaan dimasukkan ke dalam golongan norma ideal, sedang norma hukum dimasukkan dalam golongan norma kultur (Radbruch, 1961:15). Mengenai perbedaan norma ideal, norma alam, dan norma kultur, akan lebih jelas bila kita melihatnya dalam bagan di bawah ini :

Dunia Ideal

Norma

Norma Ideal

Kultur

Dunia Kenyataan Norma Alam

Sumber : Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 27. Page | 5

Dalam bagan di atas, jelas terlihat bahwa norma kultur terletak pada pertengahan antara norma ideal dan norma alam. Hukum, sebagai norma kultur, mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan. Akan tetapi, hukum sebagai norma kultur tetap menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan (norma ideal), bukan apa yang pasti akan dilakukan (norma alam). Dalam bahasa Inggris, ciri norma susila tersebut disebut sebagai ought, sedang ciri norma alam disebut sebagai is. Sedang dalam Bahasa Jerman, mereka disebut Gesetzen des Sollens (dunia keinginan, melambangkan norma ideal), dan Gesetzen des Mussens (dunia kenyataan, melambangkan norma alam).

2. Norma Sebagai Perintah dan Penilaian Telah dijelaskan sebelumnya mengenai pembagian dan penggolongan berbagai norma. Selanjutnya, pada pokok bahasan ini akan dijelaskan mengenai norma hukum sendiri, yang berfungsi sebagai perintah dan penilaian. Dalam buku “Ilmu Hukum”, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo mengatakan norma adalah sarana yang dipakai oleh masyarakatnya untuk menertibkan, menuntut, dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Selanjutnya, untuk menjalankan fungsi menertibkan masyarakat tersebut, norma sudah tentu harus memiliki kekuatan yang bersifat memaksa. Ciri paksaan ini kemudian menjadi ciri yang paling menonjol dari norma. Senada dengan hal itu, banyak penulis lantas beranggapan norma adalah “perintah yang didukung oleh ancaman paksaan” (Raz, 1973; Hart, 1972; Kelsen, 1957). Unsur paksaan dalam norma tersebut kemudian akan memberi bentuk pada suatu masyarakat, masing-masing tatanan sosial akan mencari cara dan jalannya sendiri yang cocok untuk membuat anggota masyarakatnya berbuat seperti yang dikehendakinya.

Sehubungan dengan ciri paksaan yang melekat pada norma, Harl mengatakan bahwa pada pandangan pertama tampak tidak ada bedanya antara apa yang dilakukan oleh seorang penodong dan hukum (Harl, 1972: 19). Keduanya sama-sama mengeluarkan perintah dengan ancaman kekerasan, yang lantas ditujukan pada siapa saja yang menjadi sasaran perintah tersebut. Dengan kata lain, hukum membuat seseorang dipaksa untuk melakukan suatu Page | 6

perbuatan. Identifikasi hukum sebagai perintah ini oleh John Austin dikembangkan menjadi suatu ajaran, yang dikenal dengan nama Doktrin Austin. Harl melanjutkan, ciri-ciri pembeda antara penodongan dengan hukum adalah (Harl, 1972: 21-23) : a) Sifat keumumannya. Penodongan ditujukan kepada orang tertentu, sedang hukum kepada kelas, kelompok, atau golongan tertentu, atau bahkan kepada semua orang yang memenuhi persyaratan tertentu (seperti misalnya orang yang menjadi penduduk suatu bangsa). b) Bentuk perbuatannya. Pada hukum, perbuatan yang dituntut oleh dilakukan dirumuskan secara umum, sedang pada penodongan perbuatan yang dilakukan harus bersifat konkrit. c) Sifat

kekuatan

kekekalan

perintahnya. Pada hukum,

perintah

berlangsung

terus-menerus sementara pada penodongan, apabila perintah telah dilaksanakan, maka habislah kekuatannya.

Norma merupakan pencerminan dari kehendak masyarakat. Kehendak masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dilakukan dengan membuat pilihan antara tingkah laku yang disetujui dan yang tidak disetujui. Pilihan itulah yang kemudian akan menjadi norma dalam masyarakat. Karena itulah, norma hukum merupakan persyaratan dari tumbuh dan munculnya penilaian-penilaian yang ada dalam masyarakat. Selain mengandung penilaian, norma hukum juga mengandung nalar tertentu. Nalar tersebut terletak pada penilaian yang dilakukan masyarakat terhadap tingkah laku dan perbuatan orang-orang dalam masyarakat. Sehingga hukum, yang mengandung nalar, dapat membentuk masyarakat menurut suatu pola tertentu yang dikehendakinya.

Dari penjelasan si atas, dapat disimpulkan norma hukum mengandung dua unsur, yaitu : 1) Patokan penilaian. Hukum digunakan untuk menilai kehidupan masyarakat, yaitu dengan menyatakan apa yang dianggap baik dan buruk. Penilaian inilah yang kemudian akan melahirkan petunjuk tentang tingkah laku masyarakat. Page | 7

2) Patokan tingkah laku. Pandangan tingkah laku ini lahir bila hukum dipandang sebagai perintah, yaitu ketika masyarakat bertingkah laku sesuai dengan yang diperintahkan oleh hukum.

3. Norma Hukum dan Peraturan Hukum Norma hukum sering disebut juga sebagai norma petunjuk tingkah laku. Norma hukum sendiri berisi suruhan dan larangan. Untuk memastikan apakah suatu peraturan merupakan norma hukum atau bukan, dapat dilihat dalam dua ukuran tersebut. Dengan patokan tersebut, ternyata tidak semua peraturan hukum mengandung norma hukum di dalamnya. Beberapa peraturan hukum yang tidak mengandung norma hukum adalah : 1) Peraturan-peraturan yang termasuk ke dalam hukum acara 2) Peraturan-peraturan yang berisi rumusan-rumusan pengertian yang dipakai dalam suatu kitab hukum. 3) Peraturan-peraturan yang memperluas, membatasi, atau mengubah isi dari peraturan lain. 4) Peraturan-peraturan yang hanya menunjuk kepada peraturan lain.

Sebenarnya, peraturan hukum tidak lain hanya merupakan lambang-lambang yang dipakai untuk menyampaikan norma-norma hukum. Lambang itu sendiri dapat berupa peraturan tertulis, dapat pula berupa tanda-tanda lain. Apapun bentuknya, karena semua itu hanya berupa lambang saja, maka hal itu bisa saja dibuang, dirusak, dan dimusnahkan tanpa menghapus norma hukumnya sendiri. Peraturan hukum memuat rumusan-rumusan yang bersifat abstrak, namun demikian peraturan-peraturan itu merupakan bagian dari tatanan hukum yang memberikan suatu klasifikasi hukum terhadap kenyataan kehidupan sehari-hari. Norma hukum, berasal dari rumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya atau seyogyanya seseorang bertingkah laku. Asal-usul norma hukum ini berupa kekuasaan yang memaksa. Sanksi bila melanggar norma hukum ini berasal dari masyarakat secara resmi. Daya kerja norma hukum ini adalah dengan membebani individu dengan kewajiban, dan memberi hak. Norma hukum bersifat normatif dan memerintah. Page | 8

Dalam hukum, dikenal istilah perbuatan nir-hukum (unlawful act), yang dimengerti sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Yang dimaksud melanggar hukum di sini adalah sifat dari perbuatan tersebut, bukan perbuatan itu sendiri; dengan kata lain, hukumlah yang memberi kualifikasi terhadap perbuatan itu sebagai perbuatan yang nir-hukum.

B. PERATURAN HUKUM DAN PERISTIWA HUKUM

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peraturan hukum tidaklah sama dengan dunia kenyataan, peraturan hukum hanya memberikan kualifikasi terhadap dunia tersebut. Untuk dapat berfungsi dalam masyarakat, peraturan hukum membutuhkan adanya suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum ini adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya lalu diwujudkan1. Sementara menurut Van Apeldooren, peristiwa hukum adalah suatu peristiwa yang didasarkan pada hukum, menimbulkan atau menghapuskan hak. Lebih lanjut lagi, Bellefroid mengatakan peristiwa hukum adalah suatu peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat menimbulkan hukum, karena suatu peristiwa dapat merupakan peristiwa hukum apabila peristiwa tersebut oleh hukum dijadikan sebagai suatu peristiwa hukum. Dari pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa tidak setiap peristiwa merupakan peristiwa hukum, hanya peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum serta yang menimbulkan hak dan kewajiban sajalah yang kemudian dapat digolongkan sebagai peristiwa hukum. Peraturan hukum membuat suatu kerangka dari peristiwa yang dapat terjadi dalam kenyataan kehidupan sehari-hari.Vinogradoff mengatakan bahwa peraturan hukum hanya berupa garis besar yang bersifat sebagai bagan dari peristiwa sesungguhnya. Keberadaan peristiwa hukum memang dapat menggerakkan hukum, akan tetapi tidak semua hal dalam peristiwa itu dianggap penting oleh hukum. Hukum hanya membutuhkan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa tingkah laku yang tercantum dalam peraturan hukum itu memang terjadi. 1

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 35. Page | 9

Bagan peristiwa hukum :

Peristiwa Hukum

Perbuatan Subjek Hukum (PSH)

Perbuatan Hukum Sepihak

Peristiwa

Ganda Perbuatan Subjek Hukum Lainnya Melawan Hukum

Sah

Bukan PSH (Kejadian, Keadaan, Lampaunya Waktu) Bukan Peristiwa Hukum

Pada bagan di atas, peristiwa hukum dibagi menjadi perbuatan subjek hukum dan bukan perbuatan subjek hukum. Perbuatan subjek hukum didefinisikan sebagai perbuatan manusia atau badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban 2. Perbuatan subjek hukum sendiri kemudian dibagi menjadi perbuatan hukum dan perbuatan subjek hukum lainnya. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang dilakukan orang dengan maksud guna menimbulkan suatu akibat hukum yang dikehendaki dan diperkenankan oleh hukum 3 . Sehingga dengan kata lain perbuatan hukum adalah perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum itu sendiri. Perbuatan hukum ini kemudian dibagi menjadi 2, yaitu secara sepihak dan ganda. Perbuatan hukum sepihak adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang melalui pernyataan kehendaknya, sehingga menimbulkan akibat hukum4. Contoh perbuatan hukum yang dilakukan secara sepihak misalnya adalah pemberian hibah untuk pembangunan sekolah, atau tempat-tempat umum lainnya. Sedang perbuatan hukum yang dilakukan secara ganda adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang menimbulkan akibat

2 3 4

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996). H. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006). Page | 10

hukum5, yang kemudian menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak tersebut secara timbal-balik. Contoh perbuatan hukum yang dilakukan secara ganda adalah perjanjian balik nama, yang memindahkan hak kepemilikan atas suatu barang dari seseorang kepada orang lain. Namun perlu diingat bahwa perjanjian balik nama tidak hanya memindahkan hak kepemilikan atas suatu barang, melainkan juga kewajiban-kewajiban yang terkait dengan kepemilikan barang tersebut. Pembagian kedua dari perbuatan subjek hukum adalah perbuatan subjek hukum lainnya. Perbuatan subjek hukum lainnya ini kemudian dibagi 2, yaitu perbuatan yang sah dan perbuatan yang melawan hukum. Adapun perbuatan yang sah (“zaakwaarneming”) adalah perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum yang mendatangkan hak dan kewajiban dan akibat hukum, akan tetapi tidak melanggar hukum, dan oleh karenanya disebut sah secara hukum. Contoh dari perbuatan sah adalah perkawinan. Perkawinan yang dilakukan antar kedua individu akan sah bila tercatat pada catatan sipil, dan bila perkawinan itu telah sah, maka kedua individu akan memperoleh berbagai hak dan kewajiban baru yang tadinya tidak mereka peroleh akibat hukum. Sedang perbuatan yang melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan berbagai kaidah hukum. Substansi dari perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: a. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau b. melanggar hak subyektif orang lain, atau melanggar kaidah tata susila (goede zeden), atau c. bertentangan dengan azas “Kepatutan”, ketelitian serta sikap hati-hati dalam pergaulan hidup masyarakat6. Contoh perbuatan melawan hukum adalah tindak pembunuhan berencana, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIX Pasal 340. Dalam pasal 340 disebutkan bahwa “barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”7. Dari 5 6

7

Ibid. Perbuatan Melawan Hukum. http://ppk.or.id/downloads/Perbuatan%20Melawan%20Hukum.pdf, diakses pada 28 Juni 2008, pukul 23.31. Prof. Moeljatno, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), hal.123. Page | 11

pasal tersebut jelas terlihat bahwa tindak pembunuhan berencana merupakan perbuatan yang melanggar hukum, dan pelaku yang melakukannya akan ditindak sesuai hukum yang berlaku. Pembagian kedua dari peristiwa hukum adalah bukan perbuatan subjek hukum. Peristiwa yang termasuk bukan perbuatan subjek hukum adalah peristiwa yang menimbulkan akibat hukum tetapi terjadi di luar kehendak subjek hukum, dan tidak dapat dikendalikan oleh subjek hukum. Peristiwa bukan perbuatan subjek hukum ini kemudian dibagi menjadi tiga, yaitu kejadian, keadaan, dan lampaunya waktu (daluarsa). Yang dimaksud dengan kejadian adalah terjadinya suatu peristiwa yang tidak dikehendaki/diduga sebelumnya, dan berakibat pada munculnya hak dan kewajiban serta menimbulkan akibat hukum. Contohnya ketika terjadi kecelakaan pada A, di mana A sudah mengasuransikan dirinya lewat sebuah perusahaan asuransi, yang mengakibatkan A menjadi cacat total. Di sini perusahaan asuransi kemudian berkewajiban memberikan santunan dan sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan perjanjian dalam asu...


Similar Free PDFs