HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I PDF

Title HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
Author Hanafi Sulaiman
Pages 15
File Size 2.1 MB
File Type PDF
Total Downloads 198
Total Views 695

Summary

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci....


Description

Accelerat ing t he world's research.

HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I Hanafi Sulaiman Hanafi Sulaiman

Cite this paper

Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

hukum t aklifi dan pembagiannya Andhyka Ome

Pengert ian dan Pembagian Hukum Syara'.docx lia rosa MAKALAH ST UDI FIQH PEMBAGIAN HUKUM ISLAM (TAKLIFI DAN WADH’I) EKO SUHART ONO

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh. 1 Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Sebenarnya keberadaan fiqh harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakangan. Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu produk telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini mengenai sejarah perkembangan dan alirann-aliran ilmu ushul fiqh. Sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada. Penelitian ini menyelidiki sejarah perkembangan Ushul fiqh, aliran dalam ushul fiqh, serta karya ilmiah pada bidang ushul fiqh. Ushul Fiqh merupakan ilmu hukum islam di bidang amaliyah praktis; bidang kajian usul fiqh merupakan persoalan yang praktis bukan dalam bidang tauhid/iktiqad, Ushul Fiqh merupakan prosedur yang terukur bagi fuqaha dalam menjalankan istinbat hukum. Metode yang digunakan fuqaha merupakan aplikasi

1

Irwansyah Saputra, Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh, Vol. 1,No. 1, maret 2018, hlm. 39

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

satuan dalil tertentu dalam kasus hukum amaliyah dengan nalar deduktif dan normatif. Kaidah Ushul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama (mukhtalafun alaih). Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas, sedangkan yang tidak disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf, syar’u man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang disepakati di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang tidak disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam kegiatan ijtihad mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena menganggapnya salah.2 Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari’at. Sebagaimana yang di katakan Imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orangorang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani’) dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh. 2

Munadi, Pengantar Ushul Fiqh, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2017), hlm. 3

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hukum Syara’ Hukum syar’i atau hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum” dan kata “syara”. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “hukum” yang secara etimologi berarti “memutuskan”, “menetapkan”, dan menyelesaikan”. Kata “hukum” dan kata lain yang berakar kepada kata itu terdapat dalam 88 tempat pada ayat Al-Qur’an; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Kata hukum itu sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia. Dalam memberikan arti secara definitif kepada kata “hukum” itu terdapat perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang seder hana dapat dikatakan bahwa hukum adalah: “Seperangkat peraturan tentang ting kah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”. Kata “syara’” secara etimologis berarti: “jalan, jalan yang biasa dilalui air”. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepa da Allah. Kata ini secara sederhana ber arti “ketentuan Allah”. Dalam Al-Qur’an terdapat 5 kali di sebutkan kata “syara’” dalam arti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum dirangkaikan dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’” akan berarti: “Seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang ting kah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”. Pengetahuan tentang hukum syara’ merupakan hasil nyata dari penge tahuan tentang fiqh dan ushul fiqh. Produk dari dua ilmu ini adalah penge tahuan tentang hukum syar‘i dalam hal yang menyangkut tingkah laku manusia mukalaf. Hanya saja kedua ilmu ini memandang dari arah yang berbede. Ilmu ushul fiqh memandang dari segi dan ke arah metode pengenalannya dan sumber yang di

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

gunakan untuk itu; sedangkan ilmu fiqh memandang dari segi meru muskannya dengan perbuatan dalam lingkup yang digariskan oleh ushul fiqh. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara ahli ushul fiqh dengan ahli fiqh dalam memberikan definisi terhadap “hukum syara’”. Hukum syara’ menu rut definisi ahli ushul ialah: “Khitab (titah) Allah yang menyangkut tindak tanduk mukalaf dalam bentuk tun tutan, pilihan berbuat atau tidak; atau “dalam bentuk ketentuan-ketentuan”.3 B. Macam-Macam Hukum Bertitik tolak dari definisi hukum syar‘i di atas, yaitu titah Allah yang menyangkut perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan, maka hukum syara’ itu terbagi dua: 

Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan, yang disebut hukum taklifi. Penamaaan hukum syara’ dengan taklifi, karena titah di sini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukalaf. Titah Allah yang berbentuk wadh’i yang berbentuk ketentuan yang



ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukalaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukalaf itu, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.4 Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam,yaitu: 

Hukum Taklifi



Hukum Wadh’i Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan

Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat. 3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: K E N C A N A - Prenada Media Group, 2011), hlm. 333 4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,..., hlm. 336

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuanketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang menjadipenghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut: 1) Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur. 2) Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.5 C. Pengertian Hukum Taklifi Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan ( untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf ) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. 6 Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian yaitu: 1.

Wajib 

Pengertian Wajib

Wajib adalah suatu perbuatan yang di tuntut Allah SWT untuk di lakukan secara tuntutan pasti yang di beri pahala bagi yamg melakukan dan di ancam dengan dosa bagi yang meningggalkan. 

Pembagian Wajib 5

Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm:40-41 Alaidin Koto, Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), (Jakarta:Grasindo Persada, 2004), hlm, 41 6

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

Bila dilihat dari sisi orang yang di bebani kewajiban hukum wajib di bagi menjadi dua : a) Wajib ‘aini yaitu kewaiban yang di bebenkan kepada setiap orang yang sudah berakal (mukallaf) tanpa kecuali. Kewajiban ini tidak bisa gugur kecuali di lakukan sendiri, misalnya melakukan solat lima waktu. b) Wajib kifayah yaitu kewajiban yang di berikan kepada seluruh mukallaf , namun bilamana telah dilakukan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap terpenuhi. Wajib kifayah terkadang berubah menjadi wajib ‘aini , bilamana di suatu negara tidak ada lagi orang yang mwmpu melaksanaakannya selain dirinya, contoh sholat jenazah. Bila dilihat dari sisi kandungan perintah, hukum wajib dibagi menjadi dua macam : a) Wajib muayyan yaitu suatu kewajiban di mana orang yang menjadi obyeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain . seperti kewajiban sholat lima waktu , puasa romadlon dan zakat. b) Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban di mana yang menjadi obyeknya boleh di pilih antara beberapa alternative seperti kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah (QS , 5:89) Bila dilihat dari sisi waktu pelaksanaannya hukum wajib di bagi menjadi dua macam : a) Wajib mutlaq adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya tidak di batasi dengan waktu tertentu. seperti kewajiban membayar puasa romadlon yang tertinggal. b) Wajib muaqqat adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya di batasi waktu tertentu. 2.

Mandub 

Pengertian Mandub

Mandub secara lughowi adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Secara istilah, sebagian ulama mendefinisikan mandub adalah sesuatu yang di beri pahala orang yang melakukannya dan tidak di siksa orang yang

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

meninggalkannya. Selain kata mandub , juga digunakan lafadz lain yang artinya samadengan kata mandub, seperti sunnah, nafal, tathawu’, mustahab, dan mustahsan. 

Pembagian Mandub

a) Sunnah muakkadah adalah sunnah yang sangat di anjurkan, yaitu perbuatan yang biasa di lakukan oleh rasul dan jarang di tinggalkannya. Misalnya sholat sunnah sebelum fajar dsb. b) Sunnah ghairu muakkad adalah sunnah biasa, sesuatu yang di lakukan rasul, namun bukan menjadi kebiasaannya. c) Sunnah al zawaid yaitu mengikuti kebiasaan rasul sehari hari sebagai manusia, seperti sopan santun, makan dan minum, dll. 3.

Haram 

Pengertian Haram

Haram (‫ )الحرام‬atau muharram (‫ )المحرم‬secara lughowi berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya atau larangan, sesuatu yang dianut syari’(pembuat hukum) untuk tidak melakukannya. 

Pembagian Haram

a) Al muharram li dzatihi sesuatu yang di haramkan oleh syariat karna esensinya mengandung mudharat bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya misalnya : larangan zina(QS,17:32), memakan bangkai(QS, 5:38), dan mencuri(QS. 5:38), b) Al muharram li ghairihi sesuatu yang di laramg bukan karna esensinya tapi karna ada pwrtimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang di laang secara esensial. Misalnya, larangan jua beli di waktu sholat jumat(QS, 62:9) 4.

Makruh 

Pengertian Makruh

Makruh (‫ )المكروه‬secara lughowi berrarti yang di benci semakna dengan (‫)القبه‬ yang buruk, secara istilah ada dua definisi. Dari segi esensinya makruh adalah sesuatu yang apabila ditinggalkan mendapat pujian dan apabila dikerjakan pelakunya mendapat celaan.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com



Pembagian Makruh

Menurut Hanafiyah makruh dibagi menjadi dua macam a) Makruh tahrim adalah sesuatu yang yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang dilarangnya bersifat dzanni, seperti larangan memakai sutera dan perhiasan. b) Makruh

tanzih

adalah

yang

di

anjurkan

oleh

syariat

untuk

menjalakannya, misalnya memakan daging kuda. 5.

Mubah 

Pengertian Mubah

Kata “Mubah” (‫ )المباح‬berasal dari fi’il madhi “a ba ha” dengan arti menjelaskan dan “memberitahukan”. Kadang-kadang muncul dengan arti “melepaskan” dan mengizinkan. Dalam istilah hukum mubah berarti Sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk memilih antara memperkuat dan meninggalkan. Ia boleh melakukan atau tidak. 

Pembagian Mubah Mubah dibagi menjadi tiga bagian

a) Perbuatan yang di tetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’ dan manusia di beri kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya. b) Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah untuk melakukannya. c) Perbutan yang sama sekali tidak ada keteranagan dari syara’ tentang kebolehan atau ketidak bolehannya. D. Pengertian Hukum Wadh’i Dalam pengantar terdahulu disebutkan bahwa titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku mukalaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat dinamakan hukum taklifi. Titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi itu disebut hukum wadh‘i. Hukum wadh‘i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia tetapi bisa berbentuk ketentuan-ketentuan yang ada kaitannya dengan perbuatan mukalaf yang dinamakan hukum taklifi, baik

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

hubungan itu dalam bentuk sebab dan yang diberi sebab; atau syarat dan yang diberi syarat atau penghalang dan yang dikenakan ha langan. Dengan demikian, hukum wadh‘i itu ada tiga macam, yaitu: sabab (sebab), syarat, dan mani’.7 Kelangsungan sesuatu hukum taklifi berkaitan dengan tiga hal tersebut. Bila sesuatu perbuatan yang dituntut ada sebabnya, juga telah memenuhi syaratsyaratnya dan telah terhindar dari segala mani’ (penghalang), maka perbuatan itu dinyatakan sudah memenuhi ketentuan hukum. Ditinjau dari segi hasil sesuatu perbuatan hukum dalam hubungannya dengan tiga hal di atas, para ahli memasukkan ke dalam hukum wadh‘i tiga hal lagi, yaitu: shah, fâsid, dan bathal. Hukum wadh’i sebagaimana telah di sebutkan dalam kitab Al-wadhih fii Usulil Fiqih, yang di tulis oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya Allah SWT dalam kitabnya, dengan menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah yang lainnya. Adapun menurut pendapat yang lainnya, hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah. Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, bahwasannya hukum wadh’i adalah sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya, larangannya, kemudahannya, hokum asal yang telah ditetapkan oleh Syari’ (Allah). Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hokum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain.Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab

7

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,..., hlm. 394.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

(al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi. Hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa hokum wadh’i adalah hukum yang yangberkaitan dengan dua hal, yaitu sebab dan yang disebabi. Seperti contonya: orang yang junub menyebabkan orang tersebut harus mandi, dan adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan orang tersebut harus berzakat. Adapun pembagian hukum wadh’i terbagi menjadi tiga macam yaitu; Sebab, Syarat, dan Mani’ Penghalang. Namun sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah. Macam-Macam Hukum Wadh’i Sebab

1.

Sesuatu yang oleh Syar’i dijadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang menjadikan akibatnya, sekaligus menhubungkan adanya akibat karena adanya sebab dan ketiadaan sebab. Jadi sebab merupakan sesuatu yang nyata dan pasti yang dijadikan syar’i sebagai pertanda dalam hukum syara’ mengenai akibatnya. 8 Sesuatu yang jelas dan merupakan titik tolak atau pangkal lahirnya hukum, sehingga dengan adanya sebab mengakibatkan tidak adanya hukm.

8

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Gema Risalah Perss, 1996), hlm.

197.

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspot.com

http://iaisambas.academia.edu/hanafisulaiman ~ http://hanafisya15.blogspo...


Similar Free PDFs