Kakawin Bharata-Yuddha: Yudhishttira sebagai Panutan Pemimpin yang Ideal PDF

Title Kakawin Bharata-Yuddha: Yudhishttira sebagai Panutan Pemimpin yang Ideal
Author Alfi Yusrina
Pages 7
File Size 70.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 177
Total Views 212

Summary

Kakawin Bharata-Yuddha: Yudhishttira sebagai Panutan Pemimpin yang Ideal Alfi Yusrina 0906527351 ABSTRAK Kakawin Baratha Yudha adalah salah satu versi Mahabharata yang berbentuk syair dan ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini menceritakan perang saudara antara Pandawa dan Kurawa. Tokoh utama d...


Description

Kakawin Bharata-Yuddha: Yudhishttira sebagai Panutan Pemimpin yang Ideal Alfi Yusrina 0906527351

ABSTRAK Kakawin Baratha Yudha adalah salah satu versi Mahabharata yang berbentuk syair dan ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini menceritakan perang saudara antara Pandawa dan Kurawa. Tokoh utama dalam kakawin ini adalah Pandawa, yang terdiri dari lima ksatria yang bersaudara. Salah satu yang menarik adalah peran Yudhishttira. Tulisan ini membahas delapan ciri prinsip seorang pemimpin yang ideal melalui tokoh Yudhishttira.

Kata Kunci: Barata Yudha; ideal; kakawin; Mahabarata; Pandawa Lima; Pemimpin; penokohan; Yudhishttira.

Pendahuluan Dalam pembagian kasta di agama Hindu, golongan ksatria dipercaya mampu memimpin dan membela negara. Setiap ksatria memiliki cara pandangnya sendiri untuk memimpin. Pada dasarnya seorang ksatria telah diwarisi bakat untuk menjadi pemimpin bangsanya. Keunggulan para ksatria dalam hal memimpin peperangan dapat ditemukan dalam cerita Mahabharata. Mahabharata merupakan salah satu cerita epos India yang sangat legendaris. Cerita Mahabharata selalu menjadi pembicaraan dari masa ke masa. Kemasyuran cerita Mahabharata telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran cerita Mahabharata dapat disajikan dalam berbagai bentuk. Di Jawa, Mahabharata mulai diperkenalkan melalui kesenian wayang kulit. Di lain

1

tempat, ada pertunjukan Mahabharata dalam bentuk wayang orang atau sendratari. Selain dikemas dalam bentuk pertunjukan, Mahabharata juga dapat ditemukan dalam bentuk novel dan komik. Adapula cerita Mahabharata yang berbentuk kakawin. Kakawin merupakan bentuk syair yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dengan susunan kata yang banyak dipengaruhi dari India. Tulisan ini secara khusus membahas cerita Mahabharata yang telah diterjemahkan oleh Prof. Dr. R. M. Sutjipto Wirjosuparto dari Kakawin Bharata-Yuddha. Kakawin Bharata-Yuddha ini ditulis pada masa Kediri. Kitab ini merupakan upaya pujangga kerajaan dalam menganalogikan keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala. Penceritaan Kakawin Bharatha-Yuddha tidak jauh berbeda dengan versi aslinya. Intisari dari cerita ini tentang perang Bharata-Yuddha. Perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Yudishttira melawan sepupu mereka, yaitu para Kaurawa yang dipimpin oleh Duryudana. Keunggulan kakawin ini apabila dibandingkan dengan versi lainnya, penulisnya lebih berkonsentrasi pada penceritaan suasana dan kejadian ketika peperangan Bharata Yudha berlangsung. Dengan fokus cerita yang hanya berkisar tentang strategi peperangan, hal ini memberi kesempatan bagi penulis untuk lebih leluasa membicarakan setiap tokoh beserta pemikiran mereka. Salah satu tokoh penting untuk dibahas dalam tulisan ini adalah Yudhishttira. Sebagai ksatria dan seorang pemimpin tokoh Yudhishttira dalam cerita ini tidak terlalu banyak dideskripsikan. Hal ini jika dibandingkan dengan penggambaran tokoh Arjuna dan Bima yang hampir selalu disebut dalam setiap adegan. Walaupun sekilas Yudhishttira terlihat tidak terlalu banyak berperan, di akhir cerita tokoh ini menjadi kunci atas kemenangan Pandawa. Penokohan Yudhishttira sebagai seorang pemimpin peperangan ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Untuk itu, fokus analisis ini diarahkan pada penokohan Yudhishttira sebagai pemimpin.

2

Yudhishttira sebagai Pemimpin yang Berkarakter Kuat Seorang

pemimpin

yang

hebat

adalah

pemimpin

yang

sukses

memperjuangkan kaumnya. Kesuksesan itu muncul dari kepribadian yang memusatkan pada kehidupan dan memegang teguh prinsip-prinsip utama yang benar. Dalam hal ini, Covey telah meringkas ciri-ciri seorang pemimpin yang sukses menjadi delapan prinsip utama. Kedelapan prinsip tersebut yaitu terus belajar, berorientasi pada pelayanan, memancarkan energi positif, mempercayai orang lain, hidup seimbang, melihat hidup sebagai sebuah petualangan, sinergistik, dan berlatih untuk memperbarui diri. Yudhishttira adalah seorang pemimpin dan juga keturunan Dewa Dharma. Dalam agama Hindu, Dewa Dharma adalah dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dewa Dharma itu tercermin dari sikap Yudhishttira dalam bertindak. Sebagai anak dari Dewa Dharma, Yudhishttira selalu berusaha menjalankan dharma dalam hidupnya. Penggambaran karakter yang demikian rupa itu menunjukkan bahwa Yudhishttira adalah sosok yang mau terus belajar dan selalu memancarkan energi positif. Kemauannya untuk terus belajar menjadikan Yudhishttira sebagai orang terpintar di antara saudara-saudaranya. Ilmu yang telah ia pelajari digunakan untuk membantu Pandawa dalam memecahkan masalah mereka. Contoh ini dapat dikaitkan pula dengan prinsip pemimpin yang lain, yaitu berorientasi pada pelayanan, karena Yudhishttira menggunakan ilmunya untuk keberlangsungan banyak orang. Untuk gambaran yang lebih jelas mengenai Yudhishttira pada bab-bab pertama Kakawin Baratha-Yudha dapat dibaca dalam kutipan berikut ini. “Dengan senang hati raja Yudhishttira, anak dewa Dharmma mengantarkannya dengan mengendarai seekor gajah yang marah. Dengan sejenak ia duduk di bawah payung kuning. Di dalam tangannya ia membawa buku yang tertutup dengan kancing ratna yang berkilauan. Sungguh, ia merupakan jelmaan dewa Dharmma, yang menginginkan terbunuhnya raja Salya dan Suyodhana, di dalam perang. Apabila musuh-musuhnya itu

3

tidak mau tunduk dan tetap galak, bukunya akan menjelma menjadi senjata wajra.” (Hlm. 207)

Kutipan di atas menjelaskan Yudhishttira selalu membawa buku, ia menjadikan ilmu pengetahuan sebagai modal utamanya dalam membantu orang lain. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adegan-adegan ketika Yudhishttira dimintai pendapat tentang suatu keputusan. Pembawaannya yang berilmu pengetahuan tinggi membetuk karakter Yudhishttira menjadi ksatria yang bijaksana. Salah satu kebijakan Yudhishttira dapat dipahami dari kutipan adegan berikut ini. “Maka dari sebab ini raja Yudhishttira memerintah untuk menyusun gelar makara byuha yang menakutkan. Dhreshtta-dyunna dan Ghattotkaca menjadi sapitnya, sedangkan pahlawan Satyaki menjadi mulutnya. Nakula dan Sahadewa merupakan matanya, anakanak orang Pannddawa merupakan sungutnya, sedangkan Abhimanyu merupakan hidungnya. Raja Yudhishttira merupakan kepalanya, sedangkan yang menjadi badan dan punggungnya yang merupakan barisan belakang, ialah segala raja-raja.” (Hlm. 226)

Yudhishttira seorang pemikir yang handal, ia pandai menyusun strategi peperangan. Ia juga mampu berperang di barisan paling depan jika dibutuhkan. Ada kalanya Yudhisttira berada di posisi depan peperangan. Hal ini terjadi apabila situasi mengehendaki. Ia menjadi tokoh yang fleksibel. Sikap ini sesuai dengan prinsip yang melihat hidup sebagai sebuah petualangan. Prinsip kepemimpinan lain yang terpenuhi dalam Yudhishttira adalah sikap yang mau memancarkan energi positif. Sebagai orang yang selalu berbuat jujur, ia selalu menjadi kepercayaan banyak orang. Pihak musuh pun demikian percayanya pada Yudhishttira. Demikian kutipannya. “Tetapi Dronna belum mau percaya begitu saja, sehingga ia tanya kepada Yudhishttira, anak dewa Dharma. Ia disuruh oleh Dronna, sang pendeta, untuk mengatakan apakah benar bahwa anaknya telah gugur: “Sungguh demikian halnya tuan!” Demikian kata Yudhishttira. Tetapi sesungguhnya kata-kata yang harus diucapkan menurut kehendak

4

Kreshnna ialah “Aswatthama telah mati.” Demikian katanya, tetapi di dalam hatinya yang dimaksudkan si gajah.” (Hlm. 258)

Peran Yudhishttira dalam peperangan Baratha-Yudha pada bagian awal tidak terlalu banyak terlihat. Peran Yudhishttira mulai terlihat jelas dalam peperangan melawan panglima Kaurawa yang bernama Salya. Pada awalnya, Yudhishttira tidak sampai hati untuk melawan gurunya sendiri. Setelah dewa Kreshnna yang meminta, akhirnya Yudhishttira luluh hatinya. Adegan ini merupakan contoh dari prinsip pemimpin yang mau berlatih untuk memperbarui diri. Yudhishttira mau menerima saran Kreshnna, hal ini bukan karena Yudhishttira yang mudah menuruti kehendak orang lain melainkan sebuah sikap keterbukaan. Di adegan yang lain, sikap Yudhishttira yang mau menerima masukan dari orang lain terlihat dalam kutipan berikut. “Apabila Yudhishttira, anak dewa Dharma, tidak membunuh raja Salya, perang ini tidak akan berakhir! Sebab bagaimanakah panah-panah rudra-rosa itu dapat dihilangkan?” demikianlah kata-kata dewa-dewa dengan tandas. Tetapi Yudhishttira, anak dewa Dharma itu bersikap tenang, karena sifatnya lemah lembut dan dalam pikirannya selalu memberi maaf. Maka dari sebab itu raja Kreshnna dengan waspada minta belas kasihan kepada Yudhshttira supaya ikut serta dalam pertempuran.” (Hlm. 321)

Kutipan di atas menggambarkan situasi ketika panglima perang Kaurawa, Raja Salya, telah melepaskan panah rudra-rosa. Panah-panah itu apabila telah dilepaskan akan berubah menjadi raksasa-raksasa yang jika disakiti jumlahnya akan semakin banyak. Hanya situasi tenanglah yang dapat mengendalikan raksasa-raksasa itu. Hanya ada satu jalan untuk membasmi raksasa-raksasa itu yaitu melalui tombak sakti milik Yudhishttira. Pada adegan inilah peran Yudhishttira menjadi kunci dari jalannya cerita.

5

Bagian awal Kakawin Baratha-Yudha telah disebutkan kitab yang selalu dibawa Yudhishttira dapat berubah menjadi senjata yang sangat sakti. Kutipan berikut ini menjelaskan tentang hal itu.

Pada waktu itu raja Kreshnna menyerukan kepada raja Yudhishttira, anak dewa Dharma, untuk menembakkan (senjata) pustaka. Akhirnya raja Yudhishttira menemukan kembali kesadarannya dan ia suka dalam hati, ketika ada orang yang memperingatkannya. Dengan wajarnya ia memegang senjata pustaka yang bernama kalimahoshadha. Mantramantranya telah diucapkan dengan sempurna, sehingga senjata itu memiliki kekuatan gaib dan menjelma menjadi tombak yang mengeluarkan api yang berkobar-kobar. (324)

Setelah membahas delapan ciri prinsip pemimpin, karakteristik Yudhishttira menjadi sangat jelas dalam cerita ini. Yudhishttira dengan kedelapan ciri prinsip itu memberikan sebuah kemenangan di akhir-akhir cerita. Setelah Yudhishttira menumpas Salya, kelima Pandawa pergi mencari sisa-sisa pasukan Kaurawa yang masih hidup. Penumpasan pasukan Kaurawa menggambarkan sosok ciri pemimpin yang ingin terus berusaha untuk keadaan yang lebih baik. Kemenangan Pandawa menjadikan Yudhishttira dinobatkan sebagai raja seluruh alam semesta. Kejayaan Yudhishttira juga tidak dapat dilepaskan dari sifatsifat yang ia miliki dan peran dewa-dewa yang menjelma di dalam dirinya dan dewadewa.

Simpulan Kakawin

Bharatha-Yuddha

membahas

perang

saudara

antara

keluarga Pandawa para Kaurawa. Keistimewaan versi ini adalah fokusnya yang berpusat

pada

peperangan

Bharatha

Yuddha.

Hampir

keseluruhan

cerita

membicarakan deskripsi ketika perang berlangsung. Analisis ini sampai kepada pembahasan tokohYudhishttira.

6

Kakawin ini menampilkan Yudhishttira sebagau sosok pemimpin yang berprinsip. Yudhishttira memegang teguh prinsip-prinsip utama yang benar. Seperti yang dijelaskan Covey, ciri-ciri seorang pemimpin yang sukses harus setidaknya memenuhi delapan ciri prinsip pemimpin. Dalam perannya, Yudhishttira

memenuhi ciri-ciri itu. Kedelapan prinsip

tersebut yaitu terus belajar, berorientasi pada pelayanan, memancarkan energi positif, mempercayai orang lain, hidup seimbang, melihat hidup sebagai sebuah petualangan, sinergistik, dan berlatih untuk memperbarui diri. Frekuensi kemunculan Yudhishttira dalam jalannya cerita tidak banyak diceritakan. Keunikan Yudhishttira yaitu walaupun tidak banyak disebut-sebut dalam cerita, ia menjadi puncak dan tombak kemenangan Pandawa. Kemenangan Pandawa tersebut adalah buah hasil dari kerjasama dan kekompakan para Pandawa. Hal ini juga tidak terlepas dari karakter Yudhishttira sebagai pemimpin yang bijaksana. Gambaran Yudhishttira pada kakawin ini sangat bermanfaat dalam menentukan panutan pemimpin yang ideal.

Daftar Pustaka Tolong masukin dapus barata juda ya.. thanx Covey, Stephen R. 2009. Principle Centered Leadership. Rosetta Books.

7...


Similar Free PDFs