Karakteristik Pola Permukiman Perdesaan Sebagai Wujud Sosial PDF

Title Karakteristik Pola Permukiman Perdesaan Sebagai Wujud Sosial
Author Antariksa Sudikno
Pages 6
File Size 40.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 702
Total Views 947

Summary

Karakteristik Pola Permukiman Perdesaan Sebagai Wujud Sosial-Budaya Antariksa Pengertian Desa Desa dalam arti umum adalah permukiman manusia yang letaknya di luar kota dan penduduknya berpangupajiwa agraris. Dalam bahasa Indonesia sehari-hari disebut juga kampung. Desa dalam arti lain adalah bentuk ...


Description

Karakteristik Pola Permukiman Perdesaan Sebagai Wujud Sosial-Budaya

Antariksa

Pengertian Desa Desa dalam arti umum adalah permukiman manusia yang letaknya di luar kota dan penduduknya berpangupajiwa agraris. Dalam bahasa Indonesia sehari-hari disebut juga kampung. Desa dalam arti lain adalah bentuk kesatuan administratif yang disebut juga kelurahan. Dengan demikian di kota-kota pun dikenal sebutan desa (misalnya desa Kalicacing di Kota Salatiga) meskipun isinya penuh dengan pertokoan dan pasar serta deretan kios. Adapun desa yang tersebar di luar kota dengan lingkungan fisisbiotisnya adalah gabungan dukuh. Dukuh ini sendiri dapat mewujudkan suatu unit geografis karena tersebar seperti pulau di tengah-tengah persawahan atau hutan. Di Jawa Barat yang disebut kampung adalah dukuh. Adapun kesatuan administratif desa, sebutan di luar Jawa dapat beraneka: gampong (Aceh), huta (Tapanuli), nagari (Sumatra Barat), marga (Sumatra Selatan) wanus (Sulawesi Utara), dan dusundati (Maluku). Memang ada definisi lain yang titik berangkatnya dari desa sebagai permukiman, sebagai berikut: suatu tempat atau daerah tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama dimana mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan kehidupan mereka. Dalam definisi tersebut tersirat adanya tiga unsur: penduduk, tanah, dan bangunan; karena masing-masing unsur itu lambat atau cepat mengalami perubahan, maka desa sebagai pola permukiman bersifat dinamis. Secara geografis definisi tadi juga dapat dipertanggungjawabkan, karena manusia sebagai penghuni desa selalu melakukan adaptasi spasial dan ekologis sejalan dengan kegiatannya berpangupajiwa agraris. Adapun desa dalam arti administratif dijelaskan sebagai suatu kesatuan hukum bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa di Jawa pada asal mulanya dihuni oleh orang-orang seketurunan; mereka memiliki nenek moyang sama, yaitu para cikal-bakal pendiri permukiman yang bersangkutan. Jika suatu desa kemudian penuh, masalah-masalah ekonomi bermunculan, beberapa keluarga ke luar untuk mendirikan pemukiman baru dengan cara membuka hutan; tindakan ini disebut tetruka. Kesimpulan kita, setiap desa pasti memiliki ‘geographical setting’ dan ‘human effort’nya masing-masing yang berbeda-beda. Ada desa bersumber daya menguntungkan tetapi semangat membangun, keterampilan, dan pengetahuan masyarakatnya serba kurang, sehingga desa tersebut tak dapat maju. Sebaliknya ada desa yang meski sumber dayanya serba terbatas, tetapi dapat maju ekonomisnya, berkat kemampuan penduduknya mengatasi berbagai hambatan alam. Sehubungan hal ini ditemukan empat unsur geografis yang ikut menentukan persebaran desa, yaitu lokasi, iklim, tanah, dan air (Daldjoeni 2003:53-55). Desa-desa tradisional asli dan utuh merupakan ‘monumen hidup’ (living monument) yang layak dipelihara keberadaannya. Dimaksud dengan desa tradisional adalah desa adat yang sebagian besar rumah/bangunannya masih bercorak arsitektur tradisional, dan masyarakatnya 1

pun tetap berpegang teguh pada adat, tradisi, serta budaya warisan leluhurnya (Soeroto 2003:47-48).

Keterkaitan Manusia Budaya Lingkungan dalam Tradisi Bermukim Tradisional diartikan sebagai sesuatu yang berasal dari masa lampau atau sesuatu yang diwariskan (Rapoport 1989). Dalam hal ini tradisional berkaitan dengan suatu perwujudan dari serangkaian lambang dan tata laku/kebiasaan yang dipilih untuk mewakili kontinuitas sosial-budaya yang diwariskan dari masa lampau. Tradisi tersebut mengalami perubahan dalam proses transmisi dari satu individu ke individu yang lain dan dari satu generasi ke generasi yang lain, dimana elemen-elemen utamanya masih tetap bertahan atau tetap dapat dikenali. Elemen-elemen utama ini lah yang merupakan prinsip-prinsip dasar pembentukan suatu kawasan terbangun dan lansekap budaya. Dengan demikian, bermukim berkaitan erat dengan tampat-tempat yang diciptakan oleh manusia untuk mewadahi kegiatan hidupnya (yaitu, kerja, rekreasi. bertempat tinggal). Permukiman atau settlement dengan ruang-ruang perkotaannya merupakan tempat dimana kegiatan bermukim secara kolektif dilakukan. Sedang rumah adalah tempat dimana seseorang bermukim secara individual dan membentuk keluarga. Secara bersama-sama, permukiman. ruang perkotaan dan rumah. membentuk keseluruhan lingkungan bermukim. Di dalam menciptakan totalitas lingkungan bermukim, nilai-nilai bersama seperti misalnya: 1. Adanya tempat khusus untuk melakukan transaksi perdagangan, seperti misalnya pasar; 2. Adanya kesepakatan untuk mengangkat salah satu warga sebagai pimpinan informal suatu kelompok bermukim; 3. Adanya lambang status sosial berupa penggunaan material bangunan tertentu (misalnya marmer) atau gaya arsitektur tertentu (misalnya joglo -untuk kaum bangsawan vs panggang untuk orang kebanyakan pada permukiman tradisional Jawa) pada bangunan rumah; dan 4.Aspek-aspek yang secara turun-temurun ditularkan dalam kegiatan bermukim manusia. Dengan demikian tradisi bermukim adalah "aspek-aspek dalam kegiatan bermukim yang diwariskan dari suatu individu ke individu yang lain dan dan satu generasi ke generasi yang lain.

Persebaran desa dan ciri-ciri desa Persebaran desa artinya menggerombolnya ataupun saling menjauhinya antara yang satu dengan yang lain. Hal tersebut juga berlatar belakang fasilitas iklim dalam hubungannya dengan ketinggian tempat. Adapun yang mengenai pentingnya air, demikian; untuk irigasi, perikanan, peternakan, dan sebagainya. Persebaran desa sebagaimana ditulis di atas, yang latar belakangnya adalah kondisi geografisnya, berpengaruh atas ciri-ciri kehidupan masyarakat yang menjadi penghuninya. Mengenai ini dapat diuraikan pokok-pokoknya sebagai berikut: a. Desa dan masyarakatnya erat sekali hubungannya dengan alam. Terutama iklim yang pengaruhnya tampak pada permusimannya, seakan-akan mengatur kegiatan manusia dalam bertani; b. Penduduk di desa merupakan satu unit sosial dan unit kerja; jumlah mereka relatif tidaklah besar dan struktur ekonomi pada umumnya agraris. Bahwa kini lambat laun karena pengaruh kota atau pendidikan formal keadaan mulai agak menyimpang dapat dimaklumi. Dalam hal itu dapat pula dikatakan desa mengalami proses urbanisasi dalam arti mengkota, memperlihatkan ciriciri kekotaan baik secara fisik, ekonomi maupun budaya; dan d. Masyarakat desa 2

mewujudkan suatu paguyuban atau gemeinschaft dimana ikatan kekeluargaan erat. Sementara itu proses sosial, perubahannya yang dimaksud, berjalan lambat. Juga control kemasyarakatannya di desa lebih ditentukan oleh adat, moral, dan hukum yang informal. Menurut dirjen Bangdes (pembangunan desa) ciri-ciri wilayah desa antara lain: 1) perbandingan lahan dengan manusia (man-land ratio) cukup besar; lahan di pedesaan relatif lebih luas dari pada jumlah penduduk, sehingga kepadatan penduduk masih rendah; 2) lapangan kerja yang dominan agraris; 3) hubungan antar warga desa amat akrab; 4) tradisi lama masih berlaku (Daldjoeni 2003:59-60).

Bentuk dan pola permukiman desa Daldjoeni (2003: 60-66) bentuk-bentuk desa secara sederhana, antara lain: 1. Pola permukiman menyebar (Disseminated rural settlement): a. Farmstead: rumah petani terpencil yang dilengkapi gudang alat mesin, penggilingan gandum, lumbung dan kandang ternak; b.Homestead: rumah terpencil; dan c.Road site: bangunan terpencil di tepi jalan (restoran, pompa bensin, motel, dan lain-lain). Ciri-ciri dari pola permukiman menyebar adalah jarak antara permukiman penduduk yang satu dengan yang lain terlalu jauh. Hal ini menyebabkan tipe permukiman pola menyebar tidak kondusif lagi bagi perhubungan desa dan dapat mengganggu evolusi dari desa yang baru terbentuk menjadi komunitas fungsional. 2. Pola permukiman terpusat Pola permukiman terpusat, yakni pola permukiman yang rumahnya mengelompok (agglomerated rural settlement), dan merupakan dukuh atau dusun (hamlet) yang terdiri atas kurang dari 40 rumah, serta kampung (village) yang terdiri atas 40 rumah atau lebih bahkan ratusan rumah. Di sekitar kampung dan dusun terdapat tanah pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, kehutanan, dan tempat bekerja sehari-hari. Perkampungan pertanian pada umumnya mendekati bentuk bujur sangkar sedangkan perkampungan nelayan umumnya memanjang (satu baris atau beberapa baris rumah) sepanjang pantai atau sepanjang sungai. Pola permukiman ini terdapat di daerah pegunungan. Pada umumnya, warganya masih satu kerabat. Pemusatan tempat tinggal tersebut didorong oleh adanya rasa kegotongroyongan. Jika jumlah penduduk bertambah, pemekaran permukiman mengarah ke segala arah, tanpa adanya rencana. Sementara itu, pusat-pusat kegiatan penduduk dapat bergeser mengikuti pemekaran. Ciri-ciri pola permukiman terpusat adalah: a. Plot rumah saling berhubungan; b. Kerugiannya, yaitu jarak rumah penduduk dengan lahan pertanian mereka agak jauh; dan c. Kelebihan dari pola pemukiman terpusat, yaitu areal pertanian pribadi dapat tersebar luas. 3. Pola permukiman linier Pemukiman penduduk di dataran rendah umumnya membentuk pola permukiman linear, dengan rentangan jalan raya yang menembus desa. Jika terjadi pemekaran, tanah pertanian menjadi pemukiman baru. Ada kalanya pemekaran menuju ke arah pedalaman. Untuk memudahkan transportasi dibuatkan jalan baru mengelilingi desa, semacam ring road. Ciri-ciri pola permukiman linier adalah: a. Perkembangan permukiman penduduknya menurut pola jalan yang ada (memanjang atau sejajar dengan rentangan jalan raya yang menembus desa); dan b. Keuntungan dari pola permukiman ini adalah aksesibilitas ke kota yang tinggi. 3

Karakteristik masyarakat Pedesaan Soemarjan (1996) membagi masyarakat menjadi tiga kategori, yaitu masyarakat sederhana (tradisional), masyarakat madya dan masyarakat pra moderan atau masvarakat modern. Ciri-ciri utama dari masyarakat sederhana adalah: 1. Hubungan dalam keluarga dan masyarakat setempat sangat kuat; 2.Organisasi sosial pada pokoknya didasarkan atas adat istiadat yang terbentuk menurut tradisi; 3.Kepercayaan kuat pada kekuatan-kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan manusia, akan tetapi tidak dikuasai olehnya; 4.Tidak ada lembaga-lembaga khusus untuk memberi pendidikan dalam bidfang teknologi ketrampilan diwariskan oleh orang tua kepada anak sambil berpraktek dengan sedikit teori dan pengalaman dan tidak dari hasil pemikiran atau eksperimen; 5.Tingkat buta huruf relatif tinggi; 6.Hukum yang berlaku tidak tertulis, tidak kompleks dan pokok-pokoknya diketahui dan dipahami oleh hampir semua warga msyarakat yang sudah dewasa; 7.Ekonominya sebagian besar meliputi produksi untuk pasaran kecil setempat, sedangkan uang sebagai alat pengukur harga berperan secara terbatas sekali; dan 8.Kegiatan ekonomi dan sosial yang memerlukan kerjasama orang banyak dilakukan secara tradisional dengan gotong royong tanpa hubungan kerja antar buruh dengan majikan.

Sistem kekerabatan Sistem kekerabatan dalam setiap masyarakat mempunyai ciri khas tertentu dan sangat tergantung pada budaya setempat. Kekerabatan menurut Mansur (1988:21-22) adalah lembaga yang bersifat umum dalam masyarakat dan memainkan peranan penting pada aturan tingkah laku dan susunan kelompok, sebagai bentuk dan alat hubungan sosial. Unsurunsurnya ialah keturunan, perkawinan, hak dan kewajiban serta istilah-istilah kekerabatan. Pemahaman atas wujud organisasi sosial suatu masyarakat dimulai dengan urutan kelompok kerabat terkecil, yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga besar (extendedfamily), kelompok sedarah (kindred), dan seterusnya. Kelompok kerabat yang lebih besar, seperti klan (clan), paroh masyarakat (moiety) pun bervariasi (Melalatoa, 2005:39). Mansur (1988:17) membagi sistem keturunan menjadi tiga macam hubungan, yaitu keturunan dari garis bapak (patrilineal), keturunan dari garis ibu (matrilineal), dan bilateral (dari keduanya). Jika dilihat dari sistem kepercayaan yang dianut, pola perwalian serta penghitungan keturunan, sistem kekerabatan masyarakat Sasak pada umumnya bersifat patrilineal. Menurut Sasongko (2002:35) Suku Sasak menganut sistem matrilocal yaitu kebiasaan adat menetap setelah menikah bersama orang tua baik bersama orang tua laki-laki maupun perempuan tetapi yang sering dilakukan adalah tinggal di rumah orang tua pihak laki-laki, karena itu yang termasuk keluarga inti (nuclear family) dalam adat Suku sasak adalah orang tua, saudara, anak, dan istri/suami. Pada umumnya mereka tinggal di rumah ini untuk selamanya, tetapi tidak ada ketentuan jika pasangan baru berkeinginan untuk pindah dan membangun rumah di tempat lain. Adat menetap setelah menikah bertujuan untuk mempererat hubungan persatuan keluarga. Dalam Adat Sasak sistem kekerabatan ini dinamakan sistem keluarga batih yaitu bentuk-bentuk persatuan keluarga yang dilakukan untuk mempererat hubungan keluarga, dan dalam keluarga batih ini orang tua memegang peranan yang sangat penting diantaranya adalah: - Sebagai kepala keluarga; - Pengambil keputusan dalam menentukan letak rumah anak, letak pintu, dan jendela untuk rumah yang akan dibangun; - Sebagai pengatur dan pengendali; - Sebagai penentu dalam penggunaan hak milik keluarga; dan - Penentu pembagian hak waris. 4

Sistem pelapisan sosial dan kepercayaan Dalam masyarakat terbentuk sistem pelapisan sosial (social stratification), yaitu pembedaan penduduk ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Sistem pelapisan sosial bersifat universal dan terdapat pada setiap bentuk kemasyarakatan (Soekanto 2001). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Menurut Sasongko (2002:28) sistem pelapisan sosial masyarakat Sasak terdiri dari dua lapisan, yaitu 1. Pelapisan sosial dasar adalah pelapisan sosial yang terdiri dari golongan bangsawan beserta keturunannya. Pada umumnya masyarakat mematuhi segala yang diminta, diperlukan, dan diperintahkan oleh bangsawan hanya pada batas tertentu saja, golongan ini merupakan golongan tertinggi dalam lapisan sosial masyarakat Sasak berdasarkan adat istiadat; 2. Pelapisan sosial samar adalah sistem pelapisan sosial yang anggotanya terdiri atas rakyat biasa yang dihormati dan mendapat kedudukan di masyarakat, yang mengalami perubahan pada kriteria dasar pelapisan antara lain: kekayaan, dan pendidikan; dan 3. Masyarakat biasa adalah masyarakat yang tidak memiliki gelar bangsawan dan kedudukan yang tinggi di masyarakat. Dalam struktur masyarakat juga menganut sistem kepercayaan dan kepemimpinan yang merupakan pedoman bagi masyarakat desa dalam melakukan interaksi dalam kehidupan bermasyarakat yang mempengaruhi kehidupan sosial. Sistem kepemimpinan adat pada masyarakat adat Suku Sasak dipimpin Keliang (ketua adat/pembantu kepala dusun), selain perangkat kepala desa, dan kepala dusun. Menurut Sasongko (2002: 31) tugas kepemimpinan Keliang, yaitu sebagai pelaksana pemerintahan umum, mengadili perkara-perkara adat dalam kampung dan sebagai wakil/wali pengantin wanita dalam perkawinan. Sistem kepemimpinan dalam keagamaan Suku Sasak, yaitu memberi penghormatan kepada Tuan Guru dan Kyai cenderung dipatuhi masyarakat dalam hal agama, pembagiam harta warisan dan ketentuanketentuan yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan.

Sumber Pustaka Mansur, Y. M. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: Pustaka Graika Kita. Rapoport, A. 1993. Development, Culture, Change and Supportive Design. USA: University of Wisconsin-Milwaukee. Sasongko, I. 2002. Transformasi Struktur Ruang pada Permukiman Sasak, Kasus: Permukiman Desa Puyung. Jurnal ASPI. 2 (1):117-125. Soekanto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke-35, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Daldjoeni, N. 2003. Geografi Kota dan Desa. Bandung: P.T. Alumni. Soeroto, M. 2003. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Antariksa © 2011 5

6...


Similar Free PDFs