Kebijakan dan Strategi Pengelolaan SDA di Indonesia PDF

Title Kebijakan dan Strategi Pengelolaan SDA di Indonesia
Author Cindy Kristiani
Pages 16
File Size 92.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 107
Total Views 238

Summary

Kebijakan dan Strategi Pengelolaan SDA di Indonesia 1. PENDAHULUAN Seluruh kehidupan di dunia tidak dapat terlepas dari air. Air menjadi prasyarat bagi kelangsungan hidup setiap makhluk. Hak hidup setiap warga Negara harus mendapat jaminan dan perlindungan Negara. Negara harus mampu mengatur bangsa ...


Description

Kebijakan dan Strategi Pengelolaan SDA di Indonesia

1. PENDAHULUAN Seluruh kehidupan di dunia tidak dapat terlepas dari air. Air menjadi prasyarat bagi kelangsungan hidup setiap makhluk. Hak hidup setiap warga Negara harus mendapat jaminan dan perlindungan Negara. Negara harus mampu mengatur bangsa dengan kekuasaan yang telah diamanatkan di dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, Negara mengamanatkan kepada pemerintah melalui UU No.7 Tahun 2004 untuk mengatur dan menjamin kebutuhan dan memberikan perlindungan hak setiap individu bangsa untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif, termasuk pula memberikan perlindungan terhadap resiko yang timbul akibat potensi dan daya air. Air sangat berpengaruh terhadap krisis pangan, krisis kesehatan, kemiskinan dan daya saing kawasan bahkan nasional. Pendek kata, standar hidup kita tidak dapat ditingkatkan dan dipertahankan tanpa air yang cukup baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan sumber daya air (SDA) sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional harus mendapat perhatian yang lebih serius. Potensi air hujan tahunan yang dikaruniakan Tuhan bagi negeri ini menduduki urutan terbesar kelima diantara negara-negara lain di dunia. Sekalipun demikian, gejala atau tanda-tanda permasalahan air telah dapat kita rasakan di berbagai tempat, dan hal ini menjadi kendala bagi kelangsungan pembangunan, dan perikehidupan. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, boleh jadi akan memperburuk reputasi bangsa kita, serta kelangsungan hidup bangsa dan negara kita. Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan YME, saat ini Indonesia telah memiliki panduan generik di tingkat Nasional yang diharapkan dapat memandu arah pengelolaan sumber daya air sekarang dan ke depan. Panduan ini telah dikukuhkan di dalam Peraturan Presiden No.33 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air. Produk Peraturan Presiden tersebut merupakan hasil kerja Dewan Sumber Daya Air Nasional yang beranggotakan sebanyak 44 orang terdiri atas 22 orang pimpinan kementerian/lembaga pemerintah, dan 22 orang dari unsur perwakilan lembaga nonpemerintah yang berpengaruh ataupun berkepentingan dengan sumber daya air. Makalah ini bermaksud menyampaikan gagasan mengenai pokok pokok kebijakan pengelolaan SDA di tingkat nasional dalam upaya memberikan solusi bagi masalah masalah strategis dan aktual yang dihadapi bangsa Indonesia. Bagian awal makalah dimulai dengan penjelasan mengenai metodologi perumusan kebijakan, dan pada bab

berikutnya mengungkapkan permasalahan pengelolaan SDA berikut tantangannya. Bab selanjutnya menjelaskan mengenai pokok pokok kebijakan dan strategi pengelolaan SDA, dan pada bab terakhir menjelaskan tentang tindak lanjut yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan dan strategi pengelolaan SDA. 2.

METODOLOGI PERUMUSAN KEBIJAKAN

Kebijakan pada dasarnya merupakan konstruksi pikiran yang dirancang berdasarkan konseptualisasi dan spesifikasi keadaan bermasalah baik yang telah terjadi maupun yang diprediksi terjadi di masa mendatang. Perumusan masalah merupakan aspek yang paling penting dalam analisis kebijakan, tetapi hal yang satu ini ternyata paling sulit dilakukan karena seringkali kompleks dan memerlukan dukungan data dan informasi yang akurat. Permasalahan SDA memang sangat luas cakupannya. Tidak hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan air, sumber-sumber air dan daya yang terkandung di dalamnya, tetapi mencakup semua unsur yang berkaitan dengan unsur yang berpengaruh terhadap kondisi SDA dan unsur yang dipengaruhinya. Data empirik tentang keadaan bermasalah diperoleh dari berbagai sumber informasi misalnya dengan mempelajari pembicaraan mutakhir dari masyarakat, informasi literatur dan data statistik, serta kebijakan atau peraturan per-UU-an yang terkait dengan SDA. Keadaan bermasalah ini diperoleh dengan cara menilai kesenjangan antara visi pengelolaan SDA dengan realita keadaan yang berkaitan dengan SDA. Penyusunan kebijakan nasional pengelolaan SDA dilakukan melalui serangkaian diskusi intensif oleh panitia khusus yang berjumlah 39 orang terdiri dari unsur anggota Dewan SDA Nasional dan para pejabat yang mewakili para Menteri selaku anggota Dewan. Hasil kerja panitia khusus ini kemudian disampaikan dalam sidang pleno Dewan SDA Nasional untuk dibahas dalam rangka membangun kesepakatan. Analisis dilaksanakan dengan cara mengidentikasi hubungan sebab akibat yang mempertemukan gejala gejala yang mempengaruhi keadaan SDA serta beberapa aspek yang berhubungan dengan keadaan SDA termasuk berbagai tantangannya yang dapat diintervensi menjadi peluang melalui penerapan kebijakan publik. Rumusan kebijakan nasional ini dibuat berdasarkan pendekatan yang bersifat antisipatif terhadap permasalahan SDA yang terjadi hingga saat ini dan yang mungkin akan muncul di waktu yang akan datang yang ditempuh melalui penerapan kebijakan yang pada intinya bertujuan menurunkan atau menekan resiko kerugian yang timbul akibat keadaan bermasalah dengan cara mengelola tingkat kerentanan kawasan terhadap lima jenis bahaya, yaitu: (1) kelangkaan air baik dari segi kuantitas maupun kualitas (2) banjir (3) erosi dan sedimentasi, (4) tanah longsor, dan (5) intrusi air laut.

3. VISI, PERMASALAHAN DAN TANTANGAN PENGELOLAAN SDA

Kebijakan nasional menetapkan visi pengelolaan SDA sebagai berikut: “terwujudnya SDA yang terkelola secara adil, menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat”. Rumusan visi tersebut dinspirasi oleh amanat yang terkandung di dalam Pasal 3 UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Menyeluruh, berarti mencakup semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air, serta mencakup seluruh tahapan pengelolaan yaitu: perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi. Terpadu, berarti pengelolaannya melibatkan semua pemilik kepentingan baik antarsektor maupun antarwilayah administrasi. Berwawasan lingkungan hidup, maksudnya memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Berkelanjutan, maksudnya tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang tetapi juga termasuk untuk generasi yang akan datang. Keberhasilan pencapaian visi tersebut harus terukur secara periodik tahunan melalui tiga kriteria sebagai berikut: 1) Efisiensi ekonomi. Didepan mata, permintaan jasa pelayanan air kian meningkat, sementara itu di berbagai tempat terjadi kelangkaan atau keterbatasan air bersih dan sumber daya finansial. Dalam situasi seperti itu, efisiensi ekonomi dalam pendayagunaan SDA harus menjadi perhatian. 2) Keadilan. Air adalah salah satu kebutuhan dasar yang mutlak diperlukan oleh setiap orang, karena itu akses untuk memperoleh air yang bersih perlu diupayakan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup yang sehat dan produktif. 3) Keberlanjutan fungsi lingkungan hidup. Pendayagunaan SDA tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi jangka pendek, tetapi harus memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, karena itu setiap upaya pendayagunaan harus diimbangi dengan upaya konservasi yang memadai. Berdasarkan pengamatan sistemik terhadap realita yang terjadi, dapatlah disimpulkan beberapa permasalahan generik sebagai berikut: a. Dampak pertambahan jumlah penduduk Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005 mencapai 219 juta orang. Publikasi BPS pada bulan Agustus 2010 menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia menjadi 237,6 juta orang, Pertumbuhan ini tidak diikuti dengan sebaran yang merata, baik antarpropinsi maupun antarpulau. Berdasarkan Sensus Kependudukan tahun 2010, 58% penduduk bermukim di Pulau Jawa dan Bali yang hanya memiliki luas 7% dari luas daratan di Indonesia. Sementara itu, Maluku dan Papua yang memiliki 25% luas wilayah Indonesia hanya dihuni oleh 3% dari jumlah penduduk yang ada. Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan melampaui angka 280 juta dalam tahun 2020. Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah tiga provinsi yang terbanyak penduduknya. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah

yang terbanyak penduduknya di luar P.Jawa yaitu 12,98 juta orang. Rata-rata tingkat kepadatan penduduk Indonesia memang masih terasa longgar yaitu 124 orang per km2, tetapi distribusinya per provinsi sangatlah kontras. Provinsi DKI Jakarta menempati urutan provinsi terpadat yaitu sebesar 14.440 orang per km2. Sementara itu kepadatan penduduk di Prov. Papua Barat hanya sebesar 8 orang per km2. Dengan laju urbanisasi sebesar 5% per tahun, yang terutama dialami oleh kotakota besar di Pulau Jawa, penduduk perkotaan akan meningkat menjadi 52% pada tahun 2020 dibandingkan dengan 38% pada tahun 1995. Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk ini mempunyai korelasi yang sangat erat dengan permasalahan laju alih fungsi lahan, pencemaran air, dan tingkat kerentanan kawasan terhadap bahaya yang berkaitan dengan air (krisis air, banjir, tanah longsor, pencemaran sumber-sumber air, dan intrusi air laut). Begitu pula laju urbanisasi akan sangat membebani pengelolaan SDA, terutama yang berkaitan dengan penyediaan air baku, sanitasi dan drainasi. b. Alih fungsi lahan Peran Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi, telah mendorong pertumbuhan kota-kota di pulau ini. Pertumbuhan penduduk terutama di daerah perkotaan, pada akhirnya berdampak pada berbagai permasalahan SDA di Pulau Jawa. Sampai saat ini P.Jawa juga berfungsi sebagai lumbung beras nasional, karena 49% luas sawah beririgasi terletak di sini. Alih fungsi lahan di Pulau Jawa dan Bali hingga saat ini masih berjalan terus dengan intensitas yang wajib diwaspadai. Sawah-sawah beririgasi teknis dan lahan pertanian produktif lainnya banyak beralih fungsi menjadi kawasan permukiman, perkotaan, kawasan industria, serta untuk tapak pembangunan infrastruktur transportasi. Hal ini berdampak pada kemampuan pulau ini dalam menyimpan air yang berlimpah di musim hujan agar tidak terjadi defisit air di musim kemarau. Selain itu, alih fungsi lahan di P.Jawa juga menimbulkan pergeseran terhadap berbagai jenis penggunaan air, yaitu berkurangnya kebutuhan air irigasi dan meningkatnya kebutuhan air rumah tangga, perkotaan dan industri. Disamping terjadi pergeseran jenis kebutuhan air, terjadi pula perubahan kualitas air, yaitu semakin tingginya tingkat pencemaran air yang berdampak pada keberlanjutan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Akibatnya, banyak kota dan industri yang menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka, sementara kemampuan peresapan air semakin berkurang. Penggunaan air tanah secara berlebihan berdampak pada masalah lingkungan berupa penurunan muka air tanah, berkurangnya resapan air, dan penurunan permukaan tanah yang mengakibatkan semakin meluasnya daerah rawan banjir di musim penghujan. Alih fungsi lahan tidak hanya berlangsung di P.Jawa, tetapi juga terjadi di beberapa pulau di luar Jawa. Alih fungsi lahan di P.Sumatra dan Kalimantan pada umumnya terjadi di kawasan hutan dan lahan pertanian yang berubah fungsi sebagai kawasan perkebunan sawit, dan kawasan pertambangan. Hal ini akan menjadi

ancaman bagi kelangsungan sistem penyediaan pangan nasional, degradasi sungai dan danau karena pendangkalan dan pencemaran air, bahkan juga menimbulkan kenaikan tingkat kerentanan kawasan terhadap bahaya banjir terutama bagi kawasan perkotaan yang daerah tankapan airnya terdapat kegiatan pertambangan. Begitu pula yang terjadi di pulau lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua. Perkembangan kegiatan pertambangan di pulau- pulau ini berpotensi besar terhadap pencemaran SDA, aliran banjir, dan pendangkalan sungai dan danau. c. Kondisi lahan pertanian dan kawasan hutan di setiap DAS Tingkat kekritisan kawasan hutan dan lahan pertanian di setiap DAS sangat berpengaruh terhadap distribusi aliran permukaan bulanan. Berbagai program dan gerakan rehabilitasi hutan dan lahan di DAS kritis ternyata belum mampu mengimbangi laju kerusakan hutan dan lahan. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya kemampuan DAS dalam menyimpan air di musim kemarau, sehingga frekuensi kejadian banjir bandang dan tanah longsor kian meningkat, begitu juga waduk dan sungai banyak yang mengalami pendangkalan karena sedimentasi, dan sumber-sumber air cepat mengering walaupun hanya dalam hitungan dua atau tiga bulan tidak turun hujan. Lahan kritis kritis yang pada tahun 1984 hanya sebanyak 22 DAS, secara dramatis meningkat menjadi 39 DAS pada tahun 1992, dan meningkat lagi pada tahun 1998 menjadi 62 DAS kritis yang memerlukan penanganan super prioritas. Sampai sekarang belum ada satu pun DAS kritis yang bisa dikeluarkan dari daftar DAS kritis. Sementara itu DAS-DAS lain yang tadinya tidak tergolong kritis datang berduyun-duyun menambah panjang deretan daftar DAS kritis. Hal ini tentu saja akan semakin memperberat beban tugas pengelolaan SDA. d. Ketersediaan infrastruktur pengelolaan sumber daya air Kondisi infrastruktur di Indonesia saat ini masih ditandai oleh rendahnya aksesibilitas, kualitas, ataupun cakupan pelayanan. Akibatnya, sarana dan prasarana yang ada belum sepenuhnya dapat menjadi tulang punggung bagi pembangunan sektor riil termasuk dalam rangka mendukung kebijakan ketahanan pangan di daerah, mendorong sektor produksi, serta mendukung pengembangan wilayah. Berdasarkan publikasi yang diterbitkan oleh Ditjen. Cipta Karya, jumlah penduduk (perkotaan dan pedesaan) yang mendapatkan akses pelayanan air minum pada tahun 2009 belum ada satu pun provinsi yang telah mencapai target MDG yaitu 67,7%. Sedangkan secara nasional baru tercapai 47,6%. Selain itu pencapaian layanan air minum perpipaan di kawasan perkotaan, meskipun sudah ada tiga provinsi (Bali, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan) yang telah melampaui target MDG tetapi secara nasional baru tercapai 35,03%. Program peningkatan sistem penyediaan air minum di berbagai kota pada umumnya hingga saat ini masih terkendala oleh ketersediaan air baku pada sumber airnya. Banyak

masyarakat miskin di kawasan rawan air masih harus berjuang menyisihkan jam produktifnya guna mendapatkan air bersih. Terbatasnya akses pemenuhan kebutuhan air dan sanitasi mengakibatkan pengambilan air tanah semakin tak terkendali hingga melampaui “safe yield” nya. Pada tahun 2004 tercatat bahwa prosentase rumah tangga yang menggunakan air tanah berada di atas angka 73%. Pengambilan air tanah yang tak terkendali, selain menjadi sumber penyebab intrusi air asin juga menjadi sumber penyebab terjadinya amblesan tanah secara permanen. Akibatnya, semakin banyak kawasan perkotaan yang menjadi kawasan rawan banjir, seperti kota Jakarta dan Semarang. Pengembangan prasarana penampung air, seperti waduk, embung, danau, dan situ, masih belum memadai, sehingga belum dapat memenuhi penyediaan air untuk berbagai kebutuhan, baik pertanian, rumah tangga, perkotaan, maupun industri terutama pada musim kering yang cenderung semakin panjang di beberapa wilayah. Daerah irigasi yang penyediaan airnya lebih terjamin airnya melalui waduk, baru sekitar 12 % dari total luas daerah irigasi, sedangkan 88% daerah irigasi lainnya dilayani dengan bendung tanpa penampungan sehingga kecukupan airnya sangat tergantung adanya air di sungai. Selain itu, laju pengembangan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air juga masih belum mampu mengimbangi laju degradasi lingkungan penyebab banjir sehingga bahaya banjir masih menjadi ancaman bagi banyak wilayah. e. Peningkatan eksploitasi air tanah Fenomena ini banyak terjadi di kawasan permukiman dan perkotaan terutama di kota-kota besar di Indonesia, dikarenakan sebagai ketersediaan air permukaan yang menipis ataupun karena tidak memenuhi persyaratan kualitas. Eksploitasi air tanah yang melebihi kapasitas pengisiannya akan dapat menimbulkan penurunan atau amblesan permukaan tanah sehingga menambah tingkat kerentanan terhadap banjir. Aktivitas pengambilan air di daerah sepanjang pesisir pantai menimbulkan intrusi air laut ke daratan sehingga mencemari air di sumur dan sungai. f. Sengketa penggunaan air Sengketa dalam penggunaan air tidak hanya terjadi diantara para petani pemakai air irigasi, tetapi juga terjadi antara petani pengguna air irigasi dengan perusahaan air minum. Bahkan terjadi juga antara Kabupaten dengan pemerintah kota, dan antara daerah hulu dan daerah hilir. Ini semua terjadi karena kelangkaan air terutama di musim kemarau, serta tidak jelasnya sistem alokasi pembagian air dan pengaturan pembagian hak dan kewajiban antarwilayah di dalam satu sistem pengelolaan SDA. g. Keterbatasan peran masyarakat & dunia usaha Berbagai inisiatif masyarakat maupun dunia dalam pengelolaan SDA, hingga saat ini nampaknya kurang begitu memperoleh perhatian pemerintah. Berbagai pola inisiatif masyarakat yang tumbuh secara swadaya tidak hanya berhubungan dengan pendayagunaan SDA saja, tetapi banyak juga yang bernilai positif terhadap tujuan konservasi SDA, seperti: pemeliharaan hutan dan kawasan mata air ataupun

daerah resapan air, serta kegiatan bersih sampah di sungai. Demikian juga dari kalangan dunia usaha terdapat berbagai inisiatif yang berkaitan dengan pemanfaatan dana CSR (Company Social Responsibility) untuk membiayai pelaksanaan kegiatan konservasi SDA.

h. Tumpah tindih fungsi lembaga pengelola Pengelolaan SDA mencakup kepentingan lintas sektor dan lintas wilayah. Keterpaduan tindak antarkepentingan baik pemerintah maupun non-pemerintah sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber-sumber air. Sejauh ini masih banyak terjadi tumpang tindih peran antarlembaga pemerintah baik antara instansi di tingkat pusat maupun antara pusat dan daerah. Tumpang tindih terjadi tidak hanya dalam pelaksanaan kewenangan tetapi juga terjadi di dalam penyusunan program dan anggaran sehingga terjadi inefisiensi dalam penggunaan sumber daya keuangan yang ada. i.

Keterbatasan data dan informasi sumber daya air Jaringan pemantauan kondisi hidrologi yang seharusnya menjadi sarana penyedia informasi penting tentang ketersediaan dan kondisi air baik untuk keperluan perencanaan dan pengeloaan SDA, nampaknya juga belum memperoleh perhatian yang cukup memadai baik dari segi kerapatan jumlah stasiun pemantaunya maupun jenis jaringannya, organisasi dan personilnya, dan kesinambungan sumber pendanaannya. Keterbatasan dan ketidak akuratan data dan informasi SDA juga disebabkan karena belum terbangunnya jejaring antarpara pengamat hidrologi yang ada di berbagai instansi.

Selain permasalahan tersebut diatas terdapat pula beberapa tantangan sebagai berikut: 1) Negara kepulauan yang beriklim tropis Rerata ketersediaan potensial air tawar di daratan Indonesia kurang lebih sebesar 15.000 m3/kapita/tahun. Angka tersebut kelihatannya sangat besar, yaitu hampir 25 kali lipat dari rata-rata ketersediaan potensial air per kapita dunia yang besarnya 600 m3/kapita/tahun. Sebagai negara kepulauan beriklim tropis, sebaran curah hujan di Indonesia sangat variatif. Ada pulau-pulau yang curah hujannya kurang dari 800 mm/tahun, dan ada pula pulau yang curah hujannya sampai dengan 4000 mm/tahun. Distribusi hujan pada setiap tahun pun hanya terkonsentrasi selama kurang lebih lima bulan (November s/d Maret) sehingga banjir sangat berpotensi terjadi pada bulan-bulan tersebut, sedangkan pada tujuh bulan berikutnya curah hujan amat kecil dan jarang sehingga mengalami kelangkaan air. Karena kebutuhan manusia terhadap air tidak akan pernah berkurang bahkan mengalami peningkatan, maka kekeringan dengan berbagai dampak kerugian yang ditimbulkannya sangat berpotensi terjadi selama musim kemarau, jikalau pengelolaan SDA tidak berjalan efektif.

2) Keterikatan Indonesia dalam Millenium Development Goal (MDG) Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional terikat pada kesepakatan MDG dan Johannesburg Summit 2002 yang antara lain mentargetkan jumlah penduduk yang belum memperoleh layanan air bersi dan sanitasi pada tahun 2000, berkurang hingga separuhnya pada tahun 2015. Sementara itu, tingkat layanan terhadap kebutuhan air bersih dan sanitasi pada saat ini masih rendah, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan k...


Similar Free PDFs