Khutbah Idul Fitri 1440 H PDF

Title Khutbah Idul Fitri 1440 H
Author Akmal Sjafril
Pages 7
File Size 248.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 833
Total Views 876

Summary

Marilah Kembali Kepada Tujuan Kita Semula Akmal Sjafril Ma’aasyiral mu’miniina rahimakumullaah, Bulan Ramadhan yang baru saja berlalu masih meninggalkan kesan yang kuat. Kita melepasnya pergi dengan perasaan yang bercampur menjadi satu. Kita bersyukur karena telah mendapatkan kesempatan untuk menjal...


Description

Marilah Kembali Kepada Tujuan Kita Semula

Akmal Sjafril

Ma’aasyiral mu’miniina rahimakumullaah, Bulan Ramadhan yang baru saja berlalu masih meninggalkan kesan yang kuat. Kita melepasnya pergi dengan perasaan yang bercampur menjadi satu. Kita bersyukur karena telah mendapatkan kesempatan untuk menjalankan kewajiban kita sebulan penuh, kita bersedih karena mengingat banyaknya amal yang tak optimal, dan kita berharap kiranya Allah SWT memperkenankan kita untuk berjumpa dengan Ramadhan berikutnya. Hari ini, kita membesarkan nama Allah, sehingga seluruh dunia mendengar nama-Nya bergaung. Hari ini, tak ada yang lebih besar selain nama Allah, dan kita bersyukur telah mendapatkan kenikmatan iman dan Islam sehingga merasakan lezatnya mengagungkan nama Allah. Sebagaimana perintah Allah dalam Surat Al-Baqarah di ayat ke-185: “wa litukabbirullaaha ‘alaa maa hadaakum, wa la’allakum tasykuruun,” (dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur). Bersyukurlah kita yang bertakbir, karena hanya mereka yang mendapatkan petunjuklah yang hari ini mengagungkan nama Allah! Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd. Sebulan penuh, telah berulang kali kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an seputar Ramadhan. Jumlahnya tidak banyak, hanya lima ayat, yaitu dari ayat ke-183 hingga ke-187 di Surat AlBaqarah. Para da’i, asatidz, khatib dan ulama paling sering mengulang-ulang ayat pertama dari rangkaian ini untuk mengingatkan kita akan tujuan awal kita yang sesungguhnya.

Setiap Muslim diwajibkan untuk shaum, sebagaimana umat-umat terdahulu pun telah diwajibkan untuk menjalankan ibadah shaum. Hanya saja, ibadah shaum umat Muhammad saw memang berbeda dengan shaum-nya umat-umat para Nabi terdahulu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw menjelaskan bahwa yang membedakan shaum kita dengan shaum-nya Ahli Kitab adalah sahur. Tidak seperti umat Muhammad saw yang melaksanakan shaum dari Subuh hingga Maghrib, Ahli Kitab melaksanakan shaum-nya sejak tidur

di malam hari dan berbuka di waktu Maghrib. Dalam ayat ke-26 di Surat Maryam, kita pun menjumpai shaum yang dipraktikkan oleh Maryam sebagai nadzar-nya, yaitu shaum yang disertai tidak berbicara kepada seorang manusia pun sepanjang hari. Ada pula shaum wishal, yaitu shaum tanpa sahur dan berbuka. Rasulullah saw melarang shaum jenis ini, meski beliau pun pernah melakukannya. Ini adalah keistimewaan beliau, sebab, sebagaimana yang beliau nyatakan sendiri, Allah SWT telah memberinya makan. Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd. Ma’aasyiral mu’miniina rahimakumullaah, banyak orang memetik pelajaran dari kenyataan bahwa bukan hanya manusia saja yang melaksanakan shaum, tapi binatang pun berpuasa. Ulat berpuasa di dalam kepompong, kemudian ‘terlahir kembali’ sebagai kupu-kupu yang cantik. Masamasa yang dihabiskan ulat dengan kelaparan dan kehausan di dalam kepompong terbayar lunas. Jika sebelumnya ia berwujud menjijikkan dan dimusuhi oleh manusia, maka kini ia memiliki wujud yang indah dan disukai keberadaannya. Mengambil hikmah dari mana saja tidaklah dilarang. Akan tetapi, menurut Khatib, puasanya binatang tidaklah sama persis dengan shaum-nya manusia. Binatang tidaklah berbuat sesuatu karena pertimbangan akal, melainkan karena dorongan instingnya. Ketika lapar ia makan, saat kenyang ia berhenti makan. Jika birahinya bangkit, yang jantan akan bertarung hidup-mati demi mendapatkan kesempatan untuk kawin. Adapun manusia, jika lapar tak mesti makan, dan berhenti makan sebelum kenyang. Jangankan bertarung demi memperebutkan lawan jenis, bersaing dengan khitbah saudaranya pun tidak diperbolehkan. Jika ulat berlapar-lapar di dalam kepompong karena ia tidak mengenal jalan hidup yang lain, maka manusia melaksanakan shaum demi menjalankan perintah Allah, meskipun mereka sangat mampu untuk melanggarnya. Kepada siapa Anda akan bertanya tentang sosok manusia? Kata Sigmund Freud, manusia sesungguhnya ingin melakukan perbuatan-perbuatan keji, namun keinginannya itu ia tekan agar ia terlihat baik di mata masyarakat. Kata Charles Darwin, naluri paling mendasar bagi setiap makhluk hidup, tak terkecuali manusia, adalah naluri untuk bertahan hidup (survival). Kata Friedrich Nietzsche, manusia selalu ingin berkuasa atas manusia lainnya. Tapi Freud, Darwin dan Nietzsche tidak pernah mengenal kisah tentang Khubaib bin Adi ra, seorang sahabat Rasulullah saw yang sebelum disalib masih sempat berkata dengan gagah di hadapan musuh-musuhnya, “Demi Allah, aku tidak suka berada di tengah keluargaku, sementara Muhammad di tempatnya terkena sebuah duri karena ulah kalian!” Freud, Darwin dan Nietzsche juga tidak mengenal kisah tiga mujahid yang kehausan dalam sakaratul maut-nya di Perang Yarmuk. Ketiganya saling mendahulukan saudaranya untuk mendapatkan air, sampai akhirnya ketiganya syahid sebelum sempat meneguknya. Salah satu di antara ketiganya adalah Ikrimah ra, anaknya Abu Jahal, seorang musuh besar Islam. Di Perang Yarmuk, Ikrimah ra berperang seolah mencari kematian demi menebus dosa-dosanya yang terdahulu. Belajar kemanusiaan dari Barat hanya membawa kita pada kebingungan, sebab mereka sendiri masih kebingungan mendefinisikan manusia. Kita baru memasuki bulan Juni, namun telah tercatat tidak kurang dari 150 kasus penembakan masal yang sudah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2019 saja. Sementara itu, masih ada akademisi yang berupaya menggali ilmu tentang hak asasi manusia dari negeri ini.

Sekarang ramai orang mengagung-agungkan kemanusiaan di atas ketuhanan. Apa saja yang diinginkan manusia, itulah yang diundang-undangkan. Banyak yang tak lagi peduli soal ridha Allah, sehingga yang keji pun dihias sehingga nampak indah. Homoseksualitas merebak dan diberi simbol pelangi, kemudian disebarluaskan atas nama cinta, dibubuhi dengan argumen, “Saya cinta sejenis, dan ini lahir dari kedalaman hati saya sendiri.” Padahal di Surat Asy-Syams, Allah telah berfirman:

Bukankah semua kejahatan itu pun bermula dari hati? Hati siapakah gerangan yang tak pernah terlintas di dalamnya godaan untuk berbuat maksiat? Hati siapakah yang senantiasa terbebas dari pengaruh hawa nafsu? Padahal dalam Surat Yusuf telah ditegaskan:

Istri majikan Nabi Yusuf as menginginkan beliau, dan beliau pun menginginkannya! Laki-laki yang lebih baik dari seluruh mu’min yang hadir dan membesarkan nama Allah pada hari ini juga memiliki keinginan dalam hatinya, dan tidak semua keinginan boleh diwujudkan, meski keinginan Nabi Yusuf as sekalipun. Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd. Rasulullah saw telah bersabda, “Ad-diinu nashiihah.” Agama adalah nasihat. Surat Al-‘Ashr adalah pengingat abadi bahwa semua manusia niscaya akan merugi, kecuali mereka yang beriman, beramal shalih, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Manusia memiliki akal, juga memiliki hawa nafsu. Jika akalnya memegang kendali, maka itulah yang terbaik. Akan tetapi, manusia itu pelupa, hatinya terbolak-balik, dan imannya naik-turun. Shaum mengajari kita untuk mengenal diri kita, berdialog dengan jiwa sendiri, dan meneguhkan dominasi akal atas hawa nafsu. Kita bisa makan, namun kita menahannya sampai berbuka. Kita bisa minum tanpa seorang pun yang mengetahuinya, namun kita menahannya semata karena Allah. Allah telah menghalalkan istri-istri kita, namun itu pun ditunda demi menjalankan ibadah shaum dan i’tikaf. Jika yang tadinya halal pun ditahan, apatah lagi yang sejak awal diharamkan? Maka kita pun menahan lisan, mata, telinga, tangan dan kaki kita dari segala keburukan, meski kita sangat mampu untuk melakukannya. Shaum diwajibkan kepada umat Muhammad saw dan umat para Nabi sebelumnya, untuk mengingatkan manusia akan kemanusiaan itu sendiri. Siapa yang lebih mengenal manusia ketimbang Dzat yang menciptakan manusia itu? Karena itulah kita diwajibkan untuk shaum, sebagaimana umat-umat terdahulu juga diwajibkan untuk shaum. Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd.

Marilah memperbarui komitmen kita kepada Allah SWT. Selain untuk mengenali kembali kemanusiaan yang sesungguhnya, kita menjalankan perintah-Nya untuk melaksanakan shaum demi mendapatkan derajat ketaqwaan. Jika Ramadhan meninggalkan kita sementara ketaqwaan kita tak juga bertambah, tentu tak ada alasan bagi kita untuk berbahagia di hari ini. Kata “taqwa” memiliki makna “takut” dan “berhati-hati”. Selain “ittaqullaah”, Al-Qur’an juga memuat kata “ittaqunnaar”. Misalnya pada firman Allah:

Perintah “fattaqunnaar” tidak diterjemahkan menjadi “bertaqwalah kepada Neraka”, melainkan “berhati-hatilah terhadap Neraka” atau “jagalah dirimu dari Api Neraka”. Karena itu, bertaqwa kepada Allah pun dapat dipahami sebagai sikap takut kepada Allah atau berhati-hati dalam urusan kita dengan Allah. Mereka yang bersikap sembrono kepada Allah tidaklah tergolong sebagai orang-orang yang bertaqwa. Berhati-hati dalam urusan kita dengan Allah banyak diformulasikan sebagai sikap ‘menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya’. Meskipun terlihat simplistis, tapi formulasi ini tidak keliru benar. Rasulullah saw, melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, menjelaskan kecemburuan Allah dengan sangat menarik: “Sesungguhnya Allah cemburu, dan kecemburuan Allah adalah ketika seorang mu’min melakukan apa yang Allah haramkan.” Adapun cemburu itu dirasa karena cinta dikhianati, dan pengkhianatan terbesar terhadap cinta Allah adalah ketika kita menduakan-Nya. Berhati-hatilah dengan Allah, dan jangan dekati kemaksiatan. Setiap kali kita bermaksiat, setiap kali pula kita membangkitkan kecemburuan Allah. Setelah menjalankan Rukun Islam dan meneguhkan Rukun Iman, kita diajak untuk bersikap ihsan. Adapun Rasulullah saw mendefinisikan ihsan sebagai “...engkau beribadah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak bisa, sesungguhnya Dia melihatmu.” Seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam segala kerjanya, sebab ia menyadari bahwa Allah tengah mengawasinya. Ada sebuah ayat yang senantiasa dibacakan oleh para Khatib Jum’at, yang juga akan dikutip di sini. Pada ayat ke-102 dalam Surat Ali ‘Imran, Allah SWT berfirman:

Orang-orang beriman diseru oleh ayat ini agar mereka takut dengan sebenar-benarnya takut, berhati-hati dengan sebenar-benarnya kehati-hatian. Tentu karena ada sesuatu hal penting yang harus diwaspadai. Itulah kematian yang pasti terjadi, namun tak seorang pun tahu akan menjumpainya dalam keadaan bagaimana. Al-Qur’an berpesan, “Jangan mati kecuali dalam keadaan Muslim!” Apa pun yang terjadi, matilah sebagai Muslim! Karena tak ada yang tahu kapan kematian akan datang, maka kita mewaspadai diri kita di setiap saatnya, agar jangan sampai melakukan sesuatu yang akan mengeluarkan kita dari Islam. Na’uudzubillaah, tsumma na’uudzubillaah! Bagaimanakah gerangan cara untuk memastikan bahwa kita kelak akan mati sebagai Muslim? Terhadap pertanyaan ini, Al-Qur’an telah menyediakan jawabannya, yaitu tepat pada ayat sesudahnya. Allah SWT berfirman:

Berpegang kepada tali Allah, menyatukan hati dengan sesama Muslim, berkumpul dengan orangorang shalih; rupanya, itulah resep untuk menjaga keselamatan ‘aqidah dalam diri kita. Manusia tidak hidup sendiri, bahkan manusia pertama pun Allah berikan pasangan sebagai teman hidupnya. Jika ‘aqidah kita selamat, maka kita tidak selamat sendirian. Ada orang-orang yang menginspirasi kita untuk menjadi lebih baik, ada orang-orang yang menjadi guru dan teladan kita dalam memperbaiki diri, ada orang-orang yang membersamai kita dalam setiap langkah perbaikan, dan ada orang-orang yang tak melepaskan nama kita dari doa-doanya. Berhati-hati dalam urusan kita dengan Allah, atau berhati-hati dalam menjaga ‘aqidah kita, dapat dilakukan dengan menjaga hubungan kita dengan sesama Muslim, karena bersama merekalah kita mampu menjaga diri. Di tempat lain, pesan taqwa juga muncul dalam kaitannya dengan ukhuwwah. Pada ayat ke-10 dalam Surat Al-Hujurat, Allah SWT berfirman:

“Setiap Mu’min itu bersaudara,” demikian ketetapan Allah. Ini bukan pertanyaan, bukan tawaran, bukan pula pilihan. Allah tidak sedang bernegosiasi dengan siapa pun melalui ayat ini. Karena Allah telah menetapkan bahwa setiap Mu’min itu bersaudara, maka itulah kerangka berpikir kita kepada setiap orang yang beriman. “Maka damaikanlah pertengkaran di antara dua orang saudara,” begitu kelanjutan ayat tadi. Setiap Mu’min adalah saudara kita, dan yang namanya saudara itu memang tidak selalu rukun. Sesekali, ada pertengkaran, ada kesalahpahaman, atau bahkan ada ketidakcocokan sifat yang permanen. Tapi, saudara tetaplah saudara. Sebesar apa pun ketidaksukaan kita kepada adik, kakak, atau sepupu kita, dia tetaplah saudara yang senasib sepenanggungan dengan kita. Walaupun kita tidak suka dengan perangainya, saat ia kena musibah, pasti akan kita selamatkan juga, dan pasti kita tidak akan bergembira di atas penderitaannya. Begitulah bersaudara. Saudara yang bertengkar itu biasa. Yang tidak biasa adalah saudara yang tak mau berdamai setelah bertengkar, atau saudara yang membalikkan badannya ketika melihat saudaranya menderita, apalagi saudara yang menyerahkan leher saudaranya kepada musuh! Kalau memang bersaudara, maka jagalah kepentingan saudaramu. Jagalah harga dirinya, jangan biarkan mereka dipermalukan dan diinjak-injak. Jagalah hak-haknya, jangan biarkan mereka terzhalimi. Perbaikilah hubunganmu dengan saudara-saudaramu, agar baik hubunganmu dengan Allah SWT yang telah menciptakan mereka. Engkau selamat karena berpegang kepada tali Allah, karena berkumpul bersama orang-orang shalih, karena diselamatkan oleh saudara-saudaramu. Jika kini engkau berpaling dari mereka, bagaimana engkau bisa meyakini bahwa Allah meridhaimu? Kalau memang bersaudara, maka jarak dan batas-batas geografis tidak lagi relevan. Kakak, adik, orang tua dan anak-anakmu di Palestina kini tak bisa hidup layak dan tak diperbolehkan memakmurkan Masjidil Aqsha! Kakak, adik, orang tua dan anak-anakmu di Suriah sudah lama tidak mengecap kehidupan yang damai! Kakak, adik, orang tua dan anak-anakmu dari Suku Rohingya telah lama mengungsi dan tak tahu ke mana harus pergi! Kakak, adik, orang tua dan anak-anakmu di India dan Sri Lanka kini habis-habisan disakiti oleh tetangga-tetangga mereka sendiri! Kakak, adik, orang tua dan anak-anakmu dari Bangsa Uyghur tidak bisa shalat, tilawah dan shaum dengan bebas! Kalau memang mereka saudara-saudara kita, dan kita diam menyaksikan mereka dizhalimi, lantas bagaimana pertanggung jawaban kita nanti di hadapan Allah? Ayat yang berbicara soal ukhuwwah pada akhirnya ditutup dengan pesan taqwa jua. “Bertaqwalah kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” Berhati-hatilah dengan Allah, berhati-hatilah dalam berkasih sayang dengan saudara-saudaramu, berhati-hatilah memperlakukan hamba-hamba-Nya. Kalau engkau tidak bersungguh-sungguh menyayangi hamba-hamba Allah, yaitu saudarasaudaramu, bagaimana mungkin engkau berharap Allah akan menyayangimu? Mungkin inilah salah satu masalah bangsa ini. Kita terlalu banyak mengabaikan hak-hak saudara kita, sehingga rahmat Allah terhijab dari kita. Kita berikan mereka tempat tersempit dan terpanas di angkot, kita perebutkan kursi di kereta, tanpa kita pedulikan bahwa ada di antara mereka yang sudah tua, sedang sakit atau kepayahan karena letih. Kita tidak pedulikan perasaan mereka hanya karena jabatannya lebih rendah, kita jatuhkan martabatnya karena kedengkian, dan kita makan dagingnya dengan menikmati ghibah tentang dirinya. Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd.

Marilah kembali ke titik awal, ke titik pangkal perjalanan kita di bulan Ramadhan kemarin. Kita ingin menjadi pribadi yang lebih bertaqwa; yang lebih takut dan berhati-hati dalam urusannya dengan Allah. Dalam rangka memperbaiki hubungan kita dengan Allah, marilah perbaiki hubungan kita dengan sesama Mu’min. Jangan mengundang murka Allah dengan menyakiti hamba-hamba-Nya. Renungkanlah cara Allah SWT menjelaskan ‘jalan lurus’ yang kita minta dalam Surat Al-Fatihah, yaitu ketika Allah melanjutkannya dengan firman-Nya:

Allah tidak menjelaskan ciri-ciri fisik dari ‘jalan yang lurus’, sebab jalan yang dibicarakan itu memang bukan bersifat material. Untuk menemukan jalan yang lurus, maka kita harus mengenali orang-orang yang telah Allah beri nikmat, yaitu nikmat keimanan. Jalan yang lurus itu telah penuh dengan rombongan orang-orang beriman. Kita bukanlah orang yang pertama beriman, bukan yang pertama bertaubat, bukan yang pertama hijrah dan sebagainya. Masuklah ke dalam barisan, tundukkan kepala dan berjalanlah bersama. Jika engkau melepaskan tali Allah, maka engkau keluar dari barisan ini, dan engkau tidak lagi menjadi bagian dari orang-orang yang selamat. Di antara segala makhluk ciptaan-Nya, Allah SWT mengistimewakan manusia. Di antara manusia, Allah mengistimewakan mereka yang beriman kepada-Nya. Di antara Kaum Mu’minin, Allah mengistimewakan mereka yang lebih bertaqwa; para Nabi dan Rasul, dan para ulama yang mewarisinya. Hormatilah manusia, berkasih sayanglah dengan sesama Mu’min, dan berhatihatilah dengan para ulama. Janganlah menebar kerusakan di tengah-tengah manusia, janganlah mengadu domba di antara sesama Mu’min, dan jangan coba-coba berkonspirasi menyakiti ulama! Semoga Allah mengumpulkan kita di Jannah-Nya kelak, sebagaimana Dia telah mengumpulkan kita di pagi hari yang indah ini. Hari ini, kita mengagungkan nama Allah, bersama seluruh alam yang turut mengagungkan nama-Nya. Tidak ada yang menandingi kebesaran Allah, dan tidak ada kebesaran kecuali bersama-Nya....


Similar Free PDFs