KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat PDF

Title KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat
Author Moch Taufik
Pages 11
File Size 356 KB
File Type PDF
Total Downloads 67
Total Views 228

Summary

KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat) Moch Taufik Departemen Pendidikan Geografi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Ambalat merupakan blok dasar laut yang berlokasi di sebelah timur Pulau Borneo (Kalimantan)....


Description

KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat) Moch Taufik Departemen Pendidikan Geografi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRAK Ambalat merupakan blok dasar laut yang berlokasi di sebelah timur Pulau Borneo (Kalimantan). Konflik Blok Ambalat merupakan konflik antara negara Indonesia dengan Malaysia, yang memperebutkan klaim atas perairan di wilayah Sulawesi yang menyimpan kekayaan Migas yang cukup besar. Permasalahan utama di Blok Ambalat adalah karena adanya tumpang tindih kebijakan terhadap pemberian konsesi dan hak eksplorasi pada ladang minyak dan gas yang berada di wilayah laut tersebut. Dengan munculnya peta Malaysia yang menjadi dasar klaim atas Blok Ambalat pada tahun 1979 secara sepihak, maka mulai memicu konflik di perairan Ambalat. Berdasarkan hal tersebut, dalam meneliti kasus ini penulis menggunakan metode library research dalam proses pengumpulan data dan informasi yang relevan, serta menjelaskan persoalan melalui metode deskriptifkualitatif dengan pendekatan historis-relationship yang umum digunakan dalam menganalisis suatu kasus geografi politik. Berdasarkan hasil analisis, penulis menemukan bahwa terdapat 2 (dua) cara dalam penyelesaian sengketa internasional, yaitu secara damai (peacefull settlement) dan kekerasan (war of intervention). Dalam penentuan garis batas di perairan Ambalat antara kedua negara tersebut, idealnya mengacu pada UNCLOS 1982. Berdasarkan hasil temuan penulis, maka opsi penyelesaian sengketa di Blok Ambalat yang paling baik adalah dengan menggunakan jalan damai (peacefull settlement), yaitu dengan melakukan negosiasi (perundingan) antara kedua negara. Kata Kunci : Ambalat, Batas Maritim, Indonesia-Malaysia, Klaim.

1.

LATAR BELAKANG

Pada bulan Februari 2005, hubungan Indonesia dan Malaysia mengalami ketegangan karena sengketa kepemilikan atas blok dasar laut yang oleh Indonesia disebut Blok Ambalat. Sengketa ini muncul saat perusahaan minyak Malaysia, Petronas, memberikan konsesi eksplorasi minyak kepada perusahaan Shell pada tanggal 16 Februari 2005. Sementara itu, Indonesia sudah memberikan konsesi untuk wilayah dasar laut yang sama kepada Unocal pada tanggal 12 Desember 2004 (Sumaryo, dkk., 2007).

1

Konflik Blok Ambalat merupakan konflik antara negara Indonesia dengan Malaysia, yang memperebutkan klaim atas perairan di wilayah Sulawesi yang berindikasikan potensial kekayaan Migas yang cukup besar. Malaysia mengklaim perairan Ambalat berdasarkan peta yang dibuat pada tahun 1979. Malaysia mengklaim negaranya sebagai negara kepulauan sehingga mereka merasa dapat menggunakan ketentuan-ketentuan sesuai dasar klaim tersebut (Puspitasari D. D, dkk., 2008 : 41). Dengan kata lain, dalam perspektif Indonesia, Malaysia telah mengklaim kawasan yang sebelumnya telah dikelola oleh Indonesia. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan di Indonesia (Rais, J. dan Tamtomo, JP., 2005). Lebih lanjut, bahwa sengketa tersebut mendapat perhatian besar dari masyarakat internasional, terutama dari negara-negara ASEAN lain karena sedikit banyak, hal ini akan menimbulkan pengaruh juga terhadap negara-negara di kawasan tersebut. Oleh karena itu, perlunya suatu cara untuk penyelesaian sengketa antarkedua negara melalui jalur-jalur yang biasa dipergunakan dalam masyarakat internasional dengan berlandaskan pada hukum dan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Disamping itu juga, perlu adanya upaya-upaya kedepan bagi kedua negara dalam rangka menjaga hubungan kedua negara berkaitan dengan wilayah laut yang berada di perbatasan (Ferdi, 2010 : 113). Berdasarkan hal tersebut, penulis akan mencoba menjelaskan lebih lanjut mengenai konflik yang terjadi di perbatasan Indonesia dan Malaysia, khususnya mengenai sengketa Blok Ambalat dalam sudut pandang geografi politik. Selain itu, diharapkan dalam artikel ini kemudian dapat memberikan rekomendasi penyelesaian konflik tersebut dan dapat memupuk rasa cinta tanah air bagi warga Indonesia maupun pihak-pihak yang terkait.

2.

METODE PENULISAN

Dalam artikel ini, pengumpulan data/informasi yang digunakan adalah melalui riset kepustakaan (library research), yaitu suatu proses pengumpulan data untuk mengorelasikan antara berbagai teori dengan data-data yang ditemukan. Data-data yang dikumpulkan dapat diperoleh melalui buku, jurnal, majalah, situs internet, dan surat kabar cetak dan online. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode deskriptif-kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan suatu gejala atau fenomena secara mendalam. Setelah data-data yang relevan terkumpul, maka selanjutnya penulis menganalisis data-data tersebut dengan teknik analisis data model alir yang mencakup pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

2

Dalam artikel ini, penulis juga menggunakan pendekatan historis dan pendekatan relationship. Dalam konteks geografi politik, pendekatan historis adalah pendekatan yang mengkaji negara berdasarkan asal mula dan perkembangan suatu negara. Sedangkan pendekatan relationship lebih menekankan pada hubungan faktor-faktor lingkungan (alam) dengan aspek-aspek politik (Hayati, S dan Ahmad Y, 2007 : 16).

3.

HASIL TEMUAN

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka permasalahan utama yang terjadi di Blok Ambalat sebenarnya adalah karena adanya tumpang tindih kebijakan terhadap pemberian konsesi dan hak eksplorasi pada ladang minyak yang berada di wilayah laut tersebut. Berikut ini adalah beberapa temuan yang didapatkan oleh penulis sebagai hasil dari riset kepustakaan (library research). 3.1. Sengketa Ambalat Ambalat merupakan blok dasar laut yang berlokasi di sebelah timur Pulau Borneo (Kalimantan). Menurut Schofield, C. and Storey, I. (2005), Ambalat merupakan dasar laut yang berada pada rejim ZEE dan landas kontinen, yang artinya bukan dalam rejim kedaulatan (sovereignty), melainkan hak berdaulat (sovereign rights).

Gambar 1. Lokasi Ilustratif Blok Ambalat (Sumber: Arsana, I MA., 2010) Pada tanggal 16 Februari 2005, Petronas memberikan konsesi atas Blok ND-6 dan ND-7 (lihat Gambar 1) kepada Pertronas Carigali yang bermitra dengan Royal Dutch/Shell Group. Blok yang menjadi subyek konsesi Malaysia ini

3

tumpang tindih dengan blok Ambalat (label A pada Gambar 1) yang dikonsesikan tahun 1999 kepada Shell dan Blok Ambalat Timur atau East Ambalat (label EA pada Gambar 1) yang telah dikonsesikan oleh Indonesia kepada ENI, (perusahaan minyak Italia) dan Uncoal, perusahaan multinasional Amerika pada 12 Desember 2004 (Sumaryo, dkk., 2007). Sementara itu, Indonesia sendiri sudah memberikan beberapa konsesi lain sejak tahun 1960-an kepada beberapa perusahaan asing dengan lokasi dan nama yang berbeda (lihat beberapa blok lain pada Gambar 1). Menurut Arsana, I MA. (2010 : 50) bahwa: “yang dimaksud kawasan Ambalat sesungguhnya adalah blok dasar laut tertentu di Laut Sulawesi”. Lebih lanjut, Arsana menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kawasan Ambalat adalah dasar lautnya saja (landas kontinen), tidak termasuk perairannya. Dari aspek geopolitik, masalah sengketa Blok Ambalat tersebut juga harus dipandang dengan cermat. Dengan belajar pada kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2003 lalu, dimana kedua pulau kecil tersebut jatuh ke pihak Malaysia, maka menimbulkan kesan politik yang kuat dalam masyarakat. Pemerintah sudah saatnya memberikan perhatian khusus terhadap pulau-pulau kecil terluar dan wilayah laut Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Hal ini berkaitan dengan dengan potensi konflik yang suatu saat akan timbul menyangkut kepemilikan dan upaya disintegrasi bangsa. Indonesia sebagai NKRI harus mempertahankan kedaulatan bangsa dan berusaha mempertahankan kedaulatan bangsa dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Wilayah laut yang berada di perbatasan merupakan gerbang utama dalam menjaga wilayah Indonesia. Disamping itu, suatu negara akan dipandang kuat di mata internasional jika di antaranya mampu menunjukkan kemampuannya dalam menjaga wilayah teritorial negaranya (Ferdi, 2010 : 114). 3.2. Batas Maritim Indonesia Indonesia tidak mungkin bisa mengklaim semua zona maritim di sebelah timur laut Pulau Sumatra (di Selat Malaka) karena jaraknya yang sangat dekat dengan Malaysia yang juga memiliki hak yang sama. Hal ini didukung oleh Arsana, I MA. (2010 : 48) yang mengatakan bahwa: “mengingat lebar masingmasing zona maritim yang bisa diklaim oleh suatu negara pantai dibatasi oleh jarak tertentu, maka zona yang bisa diklaim oleh negara tersebut sangat tergantung pada jaraknya dengan negara tetangga”. Senada dengan hal tersebut, (Oegroseno, AH., 2009) menyatakan bahwa: “karena posisi geografisnya, Indonesia memiliki potensi klaim maritim yang tumpang tindih dengan sepuluh negara tetangga, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste”.

4

Untuk bisa menerapkan kedaulatan atau hak berdaulat di masing-masing zona maritim, suatu negara pantai harus menentukan batas masing-masing zona maritim bagi negaranya. Hal ini berlaku untuk semua zona, kecuali untuk landas kontinen. Pada landas kontinen atau dasar laut, hak berdaulat tidak memerlukan adanya deklarasi aktif (UNCLOS, Pasal 77 dalam United Nations, 1982). Penentuan batas terluar masing-masing zona ini dilakukan secara unilateral (sepihak, tanpa melibatkan negara lain) dan kemudian didepositkan ke PBB untuk diumumkan.

Gambar 2. Zona Maritim Berdasarkan UNCLOS (Sumber: diadaptasi dari Arsana dan Schofield, 2009) Berdasarkan hal tersebut, dengan adanya persamaan hak dalam hal klaim maritim bagi semua negara pantai, maka diperlukan adanya suatu kompromi. Jika suatu saat terjadi tumpang tindih klaim maritim kembali, sudah saatnya diperlukan adanya delimitasi batas maritim yang melibatkan negara-negara terkait, baik melalui negosiasi, maupun melalui pihak ketiga seperti International Court of Justice (ICJ). Garis yang disepakati inilah yang akan menjadi batas terluar zona maritim negara-negara tersebut, sehingga tidak bisa selalu dilakukan secara sepihak (unilateral) maupun secara bilateral atau multilateral. 3.3. Dasar Hukum Klaim Blok Ambalat 3.3.1. Dasar Hukum Malaysia

5

Gambar 3. Peta Klaim Malaysia Tahun 1979 (Sumber: Abarky, 2012) Malaysia memulai kisruh terhadap Indonesia di Blok Ambalat dengan berdasarkan peta klaim Malaysia tahun 1979, yang telah menetapkan sendiri batas laut antara Sabah dan Kalimantan Timur dengan menarik garis dasar lurus (garis pangkal) dari Pulau Sipadan hingga perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik. Kronologis munculnya peta Malaysia yang menjadi dasar klaim atas Blok Ambalat tersebut, dimulai pada tahun 1979, dimana Malaysia membuat peta secara sepihak. Peta Malaysia tahun 1979 sebenarnya tidak memiliki implikasi hukum (legal) akan tetapi mempunyai implikasi politis. Peta itu tidak hanya diprotes oleh Indonesia tetapi juga oleh negara Singapura, Filipina, Cina, Thailand, Vietnam, dan Inggris pun ikut mengajukan protes atas nama Brunai Darussalam saat Malaysia belum merdeka, karena dianggap sebagai upaya perebutan wilayah negara lain. Keabsahan legitimasinya hingga saat ini masih terus dipertanyakan. Semua negara yang melakukan protes menerangkan bahwa peta tahun 1979 tidak memiliki implikasi yuridis. Bahkan batas maritim yang ada tidak dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional, yaitu melalui perjanjian antarnegara yang berkaitan (Puspitasari D. D, dkk., 2008 : 44). 3.3.2. Dasar Hukum Indonesia

6

Gambar 4. Peta Klaim Blok Ambalat, Indonesia (Sumber: Sargindo, C., 2013) Indonesia berhasil memperjuangkan konsep negara kepulauan (Archipelagic State) hingga diakui secara internasional. Sehingga dapat menerapkan ketentuanketentuan yang berlaku sebagai negara kepulauan. Berdasarkan Konvensi Hukum laut 1982, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk minyak dan gas sampai sejauh 200 mil dari garis-garis pangkal nusantara Indonesia atau lebih jauh lagi sampai kelanjutan alamiah dari pulau-pulau terluar Indonesia ke dasar laut. Blok Ambalat merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur karena batuan dasarnya adalah bagian dari lempeng benua pembentuk Kalimantan. Letak Blok Ambalat masih dalam jarak 200 mil dari garis dasar kepulauan nusantara di pantai Kalimantan Timur. Fakta tersebut yang menguatkan bahwa Blok Ambalat memang masih dalam jangkauan wilayah Indonesia dan Indonesia berhak atas pengelolaannya. Terlebih lagi, Indonesia telah melakukan eksploitasi dan eksplorasi pada Blok Ambalat dan wilayah sekitarnya sejak dulu. Pada saat itu, Malaysia tidak pernah melayangkan nota protes sekalipun atas klaim Indonesia tersebut (Puspitasari D. D, dkk., 2008 : 44). 3.4. Opsi Penyelesaian Sengketa Blok Ambalat Pilihan penyelesaian sengketa internasional ada 2 (dua) cara, yaitu secara damai (peacefull settlement) dan kekerasan (war of intervention). Pilihan penyelesaian sengketa menyangkut kepemilikan Blok Ambalat, tergantung kepada Indonesia dan Malaysia sendiri dengan mempertimbangkan segala kemungkinan dan risiko yang akan terjadi. Biasanya, untuk permulaan dimulai dengan cara

7

damai melalui jalur diplomatik. Sebagai negara tetangga dan serumpun, pilihan terbaik adalah berusaha untuk menghindari jalan kekerasan (perang) yang dapat menimbulkan jatuhnya korban bagi kedua belah pihak. Pilihan dengan menggunakan negosiasi (perundingan) melalui komunikasi diplomatik yang dibangun antara kedua negara untuk menyelesaikan sengketa tersebut dapat dipakai, disamping tidak menutup kemungkinan penggunaan jalur hukum ke pengadilan internasional, yaitu Mahkamah Internasional Hukum Laut PBB (UNCLOS), maupun ke Mahkamah Internasional (ICJ) (Ferdi, 2010 : 117).

Gambar 5. Opsi Tentatif Batas Maritim di Laut Sulawesi versi Pemerintah Indonesia (Sumber: diadaptasi dari Peta NKRI dalam Bakosurtanal, 2009) Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, penyelesaian kasus batas maritim dapat dilakukan dengan negosiasi (perundingan) atau dengan meminta bantuan pihak ketiga. Sejauh ini, Indonesia dan Malaysia memilih negosiasi sebagai jalan penyelesaian sengketa. Sejak isu Ambalat ini muncul, negosiasi sudah dilakukan 14 kali secara bergantian di kedua negara, namun belum menemukan kepastian. Perlu diingat kembali, bahwa Ambalat hanya terkait dengan dasar laut (landas kontinen) saja, tidak ada hubungannya dengan tubuh air. Opsi garis yang dibicarakan dalam hal ini adalah garis batas maritim untuk dasar laut. Sementara itu, Indonesia dan Malaysia juga perlu menyelesaikan batas maritim untuk perairannya, yang dalam hal ini termasuk dalam rejim ZEE. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kedua negara tersebut akan mengadopsi konsep garis tunggal untuk dua rejim yang berbeda, atau menetapkan garis berbeda untuk tiap rejim? Jika memilih menetapkan garis batas tunggal, maka satu garis akan membagi dasar laut sekaligus airnya. Secara praktis, garis semacam ini akan

8

menentukan batas kewenangan untuk eksploitasi minyak dan gas di dasar laut sekaligus ikan di perairannya. Opsi seperti ini sangat menguntungkan ditinjau dari segi kepraktisan pengelolaan sumberdaya alam dan telah diadopsi di banyak kasus yang melibatkan delimitasi multi zona (Papanicolopulu, 2007). Sementara itu, jika delimitasi untuk masing-masing rejim (dasar laut dan tubuh air) dilakukan secara terpisah, maka ada kemungkinan akan dihasilkan garis yang berbeda untuk dasar laut (landas kontinen) dan tubuh airnya (ZEE). Solusi seperti ini akan menimbulkan suatu situasi yang dalam hal ini ada kawasan maritim yang dasar lautnya menjadi kewenangan Indonesia sementara airnya adalah kewenangan Malaysia atau sebaliknya. Batas maritim antara Indonesia dan Australia di Laut Timor, misalnya menganut prinsip ini. Batas landas kontinen (dasar laut) yang disepakati tahun 1971 dan 1972 antara Indonesia dengan Australia berbeda dengan batas ZEE (tubuh air) yang ditetapkan tahun 1997 (Prescott, 1997). Dengan demikian, berdasarkan kompleksitas kasus sengketa di Blok Ambalat ini, hendaknya menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus selalu mendapat perhatian untuk kita semua, baik untuk kajian mahasiswa, peneliti, maupun pengajar. Selain itu, dalam penentuan garis batas antara kedua negara idealnya kedua negara mengacu pada UNCLOS 1982, dengan tetap memperhatikan keberadaan konsesi dari kedua belah pihak mengenai sumberdaya alam (migas) yang sudah ada di kawasan Ambalat tersebut sejak tahun 1960-an.

4.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil temuan di atas, kesimpulannya adalah bahwa akar persoalan Ambalat antara Indonesia dan Malaysia sampai sekarang belum ada penentuan batas laut secara resmi di kawasan tersebut. Malaysia mendasarkan kepemilikan kepada peta maritimnya tahun 1979 yang telah memasukkan Blok Ambalat ke dalam wilayahnya. Sedangkan Indonesia mendasarkan kepemilikan Blok Ambalat kepada Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 dan Indonesia pun sudah sejak lama melakukan eksplorasi di kawasan Landas Kontinen tersebut. Oleh karenanya, maka penyelesaian sengketa ini paling baik dengan menggunakan jalan damai (peacefull settlement), yaitu melalui negosiasi (perundingan) antara kedua negara. Kedua belah pihak hendaknya mengacu kepada Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 (UNCLOS) yang merupakan aturan hukum internasional yang berkaitan dengan masalah laut. Karena kedua negara tersebut diketahui telah meratifikasi konvensi ini, sehingga seharusnya terikat untuk dapat menjalankan dan melaksanakan isi dari konvensi.

9

DAFTAR PUSTAKA Abarky. (2012). Kronologi Sengketa Ambalat (online). Tersedia: https://garudamiliter.blogspot.co.id/2012/05/ambalat.html. [18 Oktober 2016]. Arsana, I MA. (2010). “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi Maritim: Kajian Geospasial dan Yuridis”. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1, (1), 46 – 58. Arsana, I MA. dan Schofield, C. (2009). “Extending Indonesia? Opportunities and Challenges Related to the Definition of Indonesia’s Extended Continental Shelf Rights, dalam Cribb, R. dan Ford, M. (eds) Indonesia Beyond the Water’s Edge – Managing an Archipelagic State, ISEAS, Singapore. Bakosurtanal. (2009). Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia, Cibinong. Ferdi. (2010). “Sengketa Perbatasan Laut antara Indonesia – Malaysia pada Blok Ambalat Ditinjau dari Hukum Internasional. Jurnal Ilmiah Tambua Edisi Khusus, (ISSN 1412-5838), 112 – 121. Hayati, S dan Ahmad Y. (2007). Geografi Politik. Bandung: PT Refika Aditama. Oegroseno, AH. (2009). Indonesia’s Maritime Boundaries, dalam Cribb, R. dan Ford, M. (eds) Indonesia Beyond the Water’s Edge – Managing an Archipelagic State, ISEAS, Singapore. Papanicolopulu, I. (2007). “A Note on Maritime Delimination in a Multizonal Context: The Case of The Mediteranian, Ocean Development and International Law”, 38: 381 – 398. p 381. Prescott, V. (1997). “The Completion of Marine Boundary Delimination between Australia and Indonesia”. Geopolitics, 2, (2), 132 – 149. Puspitasari, D. D, Eidman, E. dan Luky A. (2008). “Studi Analisis Konflik Ambalat di Perairan Laut Sulawesi”. Buletin Ekonomi Perikanan, 8, (2), 41 – 49. Rais, J. dan Tamtomo, JP. (2005). Blok Ambalat: Opini Publik yang “Misleading”? Make Marine Cadastre Not War. Kompas 12 April 2005, Jakarta. Sargindo, C. (2013). Sekilas Tentang Ambalat (online). Tersedia: http://cucusargindo.blogspot.co.id/2013/01/ambalat-sekilas.html. [18 Oktober 2016]. Schofield, C. and Storey, I. (2005). “Energy Security and Southeast Asia: The Impact on Maritime Boundary and Territorial Disputes”. Harvard Asia Quarterly, 9, (4).

10

Sumaryo, Arsana, I MA. and Sutisna S. (2007). “The Strategic Value of Maritime Boundaries to Ocean Resource Exploration”. Proceeding – Indonesian Petroleum Association Thirty First Annual Convention & Exhibition, Jakarta, 14 – 16 May. United Nations. (1982). Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (online). Tersedia: http://hukum.unsrat.ac.id/hi/unclos_terjemahan.doc. [18 Oktober ...


Similar Free PDFs