KORUPSI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH PDF

Title KORUPSI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH
Author M Rakee Mahesa
Pages 13
File Size 306.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 243
Total Views 510

Summary

KORUPSI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Nama Penulis : Mahmud Rakee Mahesa NIM : 07011281924076 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Publik Tahun 2019 Dosen Pembimbing : Muh. Zainul Arifin, SH. MH Abstrak Korupsi merupakan pokok permasalahan yang serius ba...


Description

Accelerat ing t he world's research.

KORUPSI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH M Rakee Mahesa

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

paper pemberant asan korupsi di Indonesia arief Arief Lasant u

REFORMASI BIROKRASI DALAM MENCIPTAKAN GOOD GOVERNANCE SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN T I… Shant i Dwi Kart ika Pencegahan dan Pemberant asan Korupsi di Indonesia ramadhani ardiansyah

KORUPSI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Nama Penulis : Mahmud Rakee Mahesa NIM : 07011281924076 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Publik Tahun 2019 Dosen Pembimbing : Muh. Zainul Arifin, SH. MH Abstrak Korupsi merupakan pokok permasalahan yang serius bagi bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan masalah yang timbul dari tindak pidana korupsi dapat menghambat pembangunan di Indonesia. Di Indonesia, kasus tindak pidana korupsi sudah menjalar hebat bahkan menjadi tradisi yang membudaya, dimana korupsi sudah bukan barang tabu lagi. Korupsi juga merupakan kejahatan yang luar biasa, dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi dapat merusak nilai-nilai demokrasi, moralitas, merugikan keuangan negara, pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Kata Kunci : Korupsi, Tindak Pidana Korupsi, Pelanggaran Pendahuluan Indonesia adalah Negara hukum, hal ini secara tegas dituangkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Sebagai Negara hukum tentunya segala perbuatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus diatur dengan hukum. Hukum sebagai pranata sosial memiliki peranan penting dalam masyarakat untuk menciptakan ketentraman, keadilan dan keamanan juga mengatur segala perbuatan manusia yang dilarang maupun yang diperintahkan. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan bagaikan membuka kotak Pandora. Sebut saja tatkala Mahkamah Konstitusi (MK) pada 3 November 2009 membuka rekaman pembicaraan Anggodo Widjoyo dengan sejumlah orang menyebut beberapa nama pejabat penegak hukum untuk berkonspirasi membiarkan penyebaran penyakit ganas bernama korupsi. Akhir Maret 2010 Susno Duadji membuka praktik kongkalikong pegawai pajak dengan aparat penegak hukum polisi jaksa hakim dalam rangka mencuri uang pajak yang menjadi tulang punggung pembiayaan negara. Lembaga birokrasi sebagai organ negara yang menangani sektor pelayanan publik ditengarai banyak pihak menjadi sarang korupsi. Arbi Sanit mengatakan bahwa pelaku birokrasi-birokrat mempunyai wewenang yang sangat besar yang memunculkan dikotomi antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan sehingga birokrasi lebih mengedepankan sikap menguasai daripada melayani masyarakat. Tatkala semua aspek kehidupan masyarakat ditangani oleh birokrasi maka

layanan birokrasi justru menjadi lahan subur bagi birokrat untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sebab pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Jika melihat eksistensi birokrasi pelayanan publik selama ini kekuasaan dan kewenangannya yang luas adalah faktor yang tak terbantahkan untuk menyebutnya sangat dekat dengan korupsi. Celakanya korupsi tidak hanya terjadi dalam lembaga negara bernama birokrasi melainkan sudah merambah kesegenap sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut membuat bangsa Indonesia memiliki citra sebagai bangsa yang korup. Korupsi terjadi karena ada kongkalikong antar oknum pejabat serta penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah. Dengan begitu masalah besar dalam penyelenggaraan negara dan sistem pemerintahan Indonesia dewasa ini adalah korupsi baik di pusat maupun daerah. Era reformasi 1998 dan kebijakan otonomi daerah yang secara masif sejak tahun 1999 mendesentralisasikan pengelolaan aparat birokrasi kepada pemerintah daerah bukannya membuat pelayanan publik di daerah menjadi lebih baik dan berkualitas melainkan justru semakin merumitkan proses pelayanan. Korupsi yang dulu berada di pusat, korupsi juga ikut terdesentralisasi. Di era otonomi daerah korupsi bisa berimplikasi fatal bagi segenap sektor kehidupan masyarakat daerah. Korupsi terutama mengurangi jatah anggaran bagi pelayanan masyarakat miskin di daerah; anggaran pelayanan pendidikan, anggaran pembangunan infrastruktur, anggaran pelayanan kesehatan serta anggaran sektor-sektor yang signifikan berkaitan dengan kepentingan dasar masyarakat daerah. Korupsi juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi dalam pembangunan dan pemerintahan yang pada akhirnya menjadi beban masyarakat sebagai pengguna pelayanan public. Masyarakat kemudian menanggung biaya ganda berupa pembayaran legal dalam bentuk pajak serta pembayaran ilegal dalam bentuk pungutan dan sogokan. Di sisi lain bagi negara berkembang seperti Indonesia terwujudnya good governance adalah suatu keharusan yang mesti diupayakan. Tuntutan tersebut menjadi penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai maka terwujudnya negara yang bersih dan responsif semaraknya masyarakat sipil dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab niscaya tidak lagi hanya menjadi sebuah impian. Atas permasalahan tersebut di atas maka muncul pertanyaan yang hendak dijawab melalui tulisan ini yaitu, Pertama mengapa hingga sejauh ini dalam tubuh birokrasi pelayanan publik rentan terjadi korupsi. Dan kedua kebijakan seperti apa yang dapat ditempuh untuk menanggulangi praktik korupsi birokrasi pelayanan publik termaksud. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa hal yang hendak diurai dalam tulisan ini yakni 1) pengenalan dan pemahaman terhadap dimensi dan jaringan korupsi, 2) pengenalan dan pemahaman terhadap latar belakang terjadinya korupsi, 3) pengenalan dan pemahaman areal dalam tubuh birokrasi pelayanan publik yang rawan transaksi korupsi, 4) usulan format kebijakan untuk pemberantasan korupsi birokrasi pelayanan publik. 1.Rumusan Masalah  

Apa saja kategori Korupsi berdasarkan penelitian dari seorang ahli? Apa saja kendala dalam upaya mengatasi KKN di Indonesia?

  

Apa saja faktor dalam pendukung KKN? Apa saja penyebab Korupsi dalam tubuh birokrasi pelayanan publik? Apa saja kebijakan publik dalam mencegah terjadinya Korupsi? 2.Tujuan Kajian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih detail mengenai masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang ada di Indonesia, mengetahui faktor dan penyebab serta kebijakan publik yang bisa meminimalisir bahkan mencegah tindakan Korupsi di Indonesia karena Korupsi itu melanggar Hukum Adminstrasi Negara atau dalam hal ini pejabat melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Di Indonesia sendiri Korupsi masih menjadi budaya tersendiri bagi bangsa Indonesia terutama bagi para pejabat di Indonesia sehingga hal ini menghambat perkembangan negara Republik Indonesia dalam memajukan kesejahteraan masyarakatnya. B.Metode Penelitian Jenis metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk mengumpulkan data yang detail, mendalam, serta aktual. Penelitian deskriptif akan memberikan hasil terkait sebuah masalah dan kondisi yang berlaku. Penelitian tersebut menjelaskan gejala-gejala yang sudah ada, seperti masalah sekaligus meneliti kondisi yang terjadi. Penelitian ini juga menjadikan perbandingan tentang apa yang dapat dilakukan untuk mendapatkan sebuah solusi paling tepat. PEMBAHASAN DAN KAJIAN a.Dimensi dan Jejaring Korupsi Bila ditinjau dari berbagai segi seperti legal perundang-undangan, kebijakan dan institusi untuk pemberantasan korupsi Indonesia telah memiliki kelengkapan yang relatif memadai untuk melakukan pemberantasan korupsi secara sistematis termasuk birokrasi di sektor pelayanan publik Indonesia telah memiliki TAP MPR No XI MPR 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme KKN dan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Dari ketentuan tersebut lahir pula UU No.31 Tahun 1999 Jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang di beberapa negara seperti Hongkong dan Singapura berhasil mengikis korupsi dan menjadi ujung tombak gerakan pemberantasan korupsi. Di lain pihak sudah ada beberapa peraturan pemerintah dengan operasional pemberantasan korupsi. Jadi secara teoritis sebenarnya hampir tidak ada alasan bagi peningkatan dan perluasan praktik korupsi di Indonesia. Rose Ackermen mengkategorikan korupsi ke dalam tiga dimensi yakni ekonomi, budaya, dan politik. Korupsi dalam dimensi ekonomi menurutnya berpangkal dari gejala yang salah dalam manajemen negara di mana institusi-institusi yang dirancang untuk mengatur hubungan antara negara dengan penduduk justru digunakan untuk memperkaya diri dan mendapat tambahan keuntungan bagi yang korup. Dalam dimensi politik digambarkan sebagai tradisi memberi suap, hadiah kado, harga, dan

pemberian, yang oleh orang lain disebut sebagai tindakan korup namun bagi kebudayaan suatu masyarakat dianggap sebagai kebiasaan pemberian hadiah atau persenan yang wajar yang dibuat menjadi lega1. Lalu dalam dimensi politik korupsi digambarkan sebagai perilaku korup para aktor dalam menjalani hubungan antara negara dengan sektor swasta. Kadang kadang petugas negara yang menjadi pelaku dominan kadang kadang pelaku swasta yang paling berkuasa. Secara lebih luas korupsi digambarkannya sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan ketiga dimensi korupsi tersebut di atas terjadi tatkala ada hubungan pemberi penerima jasa di sektor publik dan itu membuka peluang untuk berkorupsi. Sementara Robert Klitgaard memasukkan pengertian korupsi ke dalam rumus : C=M+D-A Dari rumus tersebut dapat dijelaskan bahwa korupsi (C = Corruption) adalah fungsi dari monopoli (M = Monopoly) ditambah kewenangan (D = Discretion) dikurangi akuntabilitas (A = Acuntabiliy). Jadi korupsi dapat terjadi apabila ada monopoli kekuasaan di tengah ketidakjelasan aturan dan kewenangan akan tetapi tidak ada mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada public. Kemudian William J Cham-bliss mengemukakan bahwa dalam korupsi terlibat banyak pihak yang disebutnya sebagai cabal atau jejaring korupsi. Ia melihat bahwa korupsi merupakan bagian integral dari setiap birokrasi yang bertemu dengan kepentingan segelintir pengusaha penegak hukum dan politisi yang sulit dibongkar. Jejaring korupsi itu melibatkan para elite di pusat kekuasaan pucuk pimpinan eksekutif elite partai politik petinggi lembaga peradilan dan kalangan bisnis. Korupsi merupakan bagian dari sistem itu sendiri oleh karena itu bukan pekerjaan mudah untuk memberantas korupsi karena aparat penegak hukum sering berada pada situasi yang dilematis. Korupsi bukanlah kejahatan di luar sistem oleh karena itu jejaring korupsi sangat sulit diterobos dari dalam karena kolusi antara pengusaha dengan politisi dan aparat penegak hokum. Jejaring korupsi juga sulit diterobos dari luar karena aparat penegak hukum dapat menyediakan penjahat kelas teri yang siap dikorbankan untuk melindungi pelaku sesungguhnya yang berada dalam jejaring tersebut. Syed Husein Alatas, berdasarkan hasil penelitiannya di Asia, terutama di Malaysia dan Indonesia menyebut tujuh kategori korupsi, yaitu 1) korupsi transaktif yang merupakan uang yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima keuntungan bersama, kedua pihak sama-sama aktif dalam menjalankan perbuatan tersebut. 2) korupsi pemerasan merupakan jenis korupsi yang dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap demi mencegah kerugian yang mengancam dirinya, kepentingannya atau orang-orang dan halhal yang dihargainya, korupsi yang dilakukan oleh polisi lalu lintas termasuk jenis korupsi pemerasan. 3) korupsi investif merupakan pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang diharapkan akan diperoleh pada masa mendatang, bentuk korupsi seperti ini dilakukan oleh orang yang memberi uang bulanan secara rutin kepada hakim, harapannya kelak ketika kasusnya masuk ke pengadilan, hakim yang telah digajinya langsung menangani perkaranya. 4) korupsi perkerabatan (nepotisme) yang merupakan penunjukan secara tidak sah terhadap teman atau saudara untuk memegang suatu

jabatan, atau tindakan pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku. 5) korupsi defensif merupakan korupsi yang dilakukan oleh korban pemerasan dengan melakukan korupsi ini orang yang diperas menyelamatkan kepentingannya, korupsi seperti ini sering dilakukan oleh keluarga terdakwa yang tidak ingin terdakwa ditahan atau diproses lebih lanjut. 6) korupsi otogenik merupakan korupsi yang dilakukan seorang diri karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu yang diketahuinya sendiri, panitera pengadilan kerap melakukan korupsi seperti ini dalam administrasi pendaftaran perkara, ketidakjelasan tarif pendaftaran membuatnya leluasa menentukan harga yang harus dibayar oleh pengacara. Dan 7) korupsi dukungan yang merupakan dukungan terhadap korupsi yang ada atau penciptaan suasana yang kondusif untuk dilakukannya korupsi, korupsi ini dilakukan oleh elite di lembaga peradilan yang tidak mempunya kemauan politik untuk menindak tegas bawahannya. Hasil penelitian Alatas tersebut diatas berjasa dalam membuat tipologi korupsi yang umum dikenal di mana-mana. Data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti Transparansi Internasional (TI), Political Economy and Risk Consultacy (PERC) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sejak reformasi 1998 Indonesia terus menerus masuk 10 besar negara terkorup di dunia. Pada tahun 1998 Indonesia berada di peringkat ke 6 negara terkorup setelah Kamerun, Paraguay, Honduras, Tanzania dan Nigeria. Tahun 1999 Indonesia berada di posisi ke 3 setelah Kamerun dan Nigeria. Pada tahun 2000 Indonesia berada di posisi ke 5 setelah Nigeria, Yugoslavia, Ukraina dan Azerbaijan. Setahun berikutnya Indonesia berada di peringkat 4 setelah Bangladesh, Nigeria dan Uganda. Tahun 2003 Indonesia kembali menduduki urutan ke 6 dan tahun 2004 Indonesia berada di urutan ke 5 negara terkorup. Korupsi yang sudah berurat-berakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia dirasa masih terjadi di banyak daerah. Korupsi malah dominan dilakukan oleh kalangan pejabat, dimana didapati ada banyak mantan bupati, mantan gubernur, mantan anggota DPRD dan mantan pejabat birokrasu di daerah yang tersangkut pidana korupsi, di mana tindakan korupsi mereka lakukan saat memegang jabatan tertentu di daerah. b.Korupsi dalam konteks Governance dan Kendala Pemberantasannya Hasil penelitian Bozz-Allen dan Hamilton memperlihatkan bahwa Indonesia sampai tahun 1999 menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good governance, indeks korupsi dan indeks efisiensi peradilan dibandingan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Indeks Good Governance Indonesia hanya sebesar 2,88 jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Temuan tersebut didukung studi Huther dan Shah yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori negara poor governance (Tabel dibawah).

Negara

Indeks Efisiensi Peradilan

Indeks Korupsi

Indeks Good Governance

Kategori Kualitas Governance Malaysia 9,00 7,38 7,72 Baik Singapura 10,00 8,22 8,93 Baik Thailand 3,25 5,18 4,89 Cukup Baik Philipina 4,75 7,92 3,47 Cukup Baik Indonesia 2,50 2,15 2,88 Buruk Studi Huther dan Shah tersebut melihat kualitas good governance dengan cara menghitung besarnya government wuality index di masing-masing negara yang menjadi sampel, di antaranya indeks efisiensi peradilan, indeks korupsi dan indeks good governance. Realitas tersebut memperlihatkan bahwa secara objektif harus diakui kualitas governance di Indonesia masih jauh dari kategori good governance. Sementara berkaitan dengan kendala dalam pemberantasan korupsi, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mengemukakan bahwa setidaknya ada empat kendala atau berita buruk bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia termasuk juga di Indonesia dan daerahdaerah. Pertama, kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Hal ini mengindikasikan rendahnya komitmen pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi dan selama ini pemberantasan korupsi belum menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah. Kedua, kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi program pemberantasan korupsi. Minimnya bantuan dari luar negeri merupakan cerminan rendahnya tingkat kepercayaan negara-negara donor terhadap komitmen dan keseriusan pemerintah di setiap negara termasuk Indonesia dalam melakukan pemberantasan korupsi. Ketiga, kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Dan Keempat, rendahnya insentif dan gaji para pejabat publik. Insentif dan gaji yang rendah ini berpotensi mengancam profesionalisme, kapabilitas dan independensi hakim serta aparat penegak hukum lainnya, termasuk dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain dari keempat berita buruk tersebut, realitas penyakit korupsi di Indonesia bertambah parah karena terjadinya perdebatan tiada henti tentang posisi dan kedudukan hukum dari kebijakankebijakan publik yang dilaksanakan pejabat negara dapat disentuh oleh hukum pidana sehingga pejabat negara yang korup dapat digugat, baik secara hukum pidana maupun perdata. Ada juga yang berpendatapat bahwa hukum administrasi negara merupakan satu-satunya perangkat hukum yang dapat menyentuh kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh para pejabat negara. c.Birokrasi Pelayanan Publik Birokrasi pelayanan publik adalah lembaga pemerintah yang sehari-hari selalu bersentuhan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Penyelenggaran pelayanan publik

merupakan kewajiban pokok pemerintah untuk menyediakan dan menyelenggarakannya. Dalam kegiatan pemerintahan sehari-hari yang diutamanadalah pelayanan sehingga pelayanan merupakan hal penting yang mesti menjadi perhatian serius setiap lembaga birokrasi pemerintah. Adapun jenis-jenis pelayanan publik yang umum diselenggarakan oleh lembaga birokrasi pemerintah di daerah-daerah di Indonesia ialah : 1) Pelayanan pembuatan KTP, 2) Pelayanan pembuatan Kartu Keluarga, 3) Pembuatan Akte Kelahiran, 4) pembuatan Akta Catatan Sipil, 5) SPT (Surat Pernyataan Tanah), 6) pembuatan Akte Jual Beli Tanah, 7) Pembuatan Surat Keterangan Mutasi Penduduk, 8) Pembuatan Rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan, 9) Keterangan Kepegawaian, 10) Surat Keterangan Berkelakuan Baik, 11) Rekomendasi Usaha, 12) Keterangan lain-lain. d.Korupsi dalam tubuh Birokrasi Di masa Orde Baru kebanyakan ilmuwan meyakini bahwa akselerasi pertumbuhan ekonomi terutama dalam konteks pertumbuhan industrialisasi tidak cocok dengan demokrasi. Robert Wade mengatakan bahwa penyebab utama prestasi pembangunan terutama pembangunan ekonomi di kawasan Asia Timur, termasuk Indonesia adalah karena birokrasi negara yang intervensionis, bukan birokrasi yang policy-massif. Tidak mengherankan karena dominannya kekuatan serta kekuasaan birokrasi, sektor pelayanan publik yang menjadi ujung tombak aktivitas lembaga birokrasi adalah sektor yang tidak pernah steril dari perilaku korupsi. Dengan kewenangan yang dimilikinya, birokrasi bisa memaksa orang lain entah masyarakat maupun pengusaha secara individu atau kelembagaan untuk terlibat dalam tindakan koruptif. Di banyak daerah pedalaman Kalimantan Tengah, misalnya untuk kepengurusan selembar KTP kerap kali masyarakat dibebankan pembayaran uang adminsitrasi sebesar Rp10.000 – Rp20.000 yang penggunannya tidak dijelaskan secara transparan pada saat mengurus IMB (Izin Mendirikan Bangunan), jangan berharap banyak akan cepat selesai bila hanya mengandalkan persyaratan mengisi formulir, melainkan harus disertai penyodoran sejumlah uang kepada aparat yang mengurusnya saat mengurus KTP ataupun hal lain. Bahkan di daerah Kecamatan Kayuagung untuk mengurus KTP juga tidak bisa hanya dengan mengandalkan persyaratan mengisi formulir, tapi harus dengan penyodoran sejumlah uang juga sebagai pelicin dalam mengurusan pembuatan KTP, jika hal ini tidak dilakukan maka pembuatan KTP akan di antrikan atau ditumpuk sehingga proses pembuatan KTP akan berlangsung sangat lama, bahkan berbulan-bulan proses pembuatan KTP te...


Similar Free PDFs