LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI APSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO PDF

Title LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI APSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO
Author Emil Nur Arifah
Pages 17
File Size 1 MB
File Type PDF
Total Downloads 312
Total Views 384

Summary

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI APSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO Ditujukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah BIOFARMASI Disusun Oleh : Nama : Emil Nur Arifah NPM : 19FF04005 Kelas : Matrikulasi FA-1 UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA FAKULTAS FARMASI BANDUNG 2020 Modul 5 ABSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN V...


Description

Accelerat ing t he world's research.

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI APSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO Emil Nur Arifah

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

LAPORAN PRAKT IKUM BIOFARMASI – FARMAKOKINET IKA MODUL 5 UJI DIFUSI IN VIT RO KEL… Put ri Andini S.Farm.,Apt .

Formulasi dan Evaluasi Sist em Dispersi Padat Ibuprofen dengan Polimer Dekst rosa dalam Sediaan Su… abang Disha FORMULASI SEDIAAN T RANSDERMAL GEL GLUKOSAMIN MENGGUNAKAN ENHANCER SERTA UJI PENET … Zuliar Permana

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI APSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO Ditujukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah BIOFARMASI

Disusun Oleh : Nama NPM Kelas

: : :

Emil Nur Arifah 19FF04005 Matrikulasi FA-1

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA FAKULTAS FARMASI BANDUNG 2020

Modul 5 ABSORPSI OBAT PERKUTAN SECARA IN VITRO A. TUJUAN Mengetahui cara evaluasi sediaan yag diberikan perkutan secara in vitro menggunakan sel difusi Franz. B. PRINSIP PERCOBAAN Absorpsi paracetamol perkutan secara in vitro menggunkan sel difusi Franz pada cairan reseptor larutan dapahar phospat pH 7,4 menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 243nm. C. DASAR TEORI Absorpsi adalah proses pergerakan obat yang sudah terlarut dari tempat pemberian ke dalam sirkulasi darah melalui membrane pada tempat pemberian obat. Obat dapat diabsorpsi melalui sublingual, bukal, gastrointestinal, subkutan, rektal, muscular, peritoneal, ocular, nasal dan pulmonal. Mekanisme absorpsi terdiri dari tiga macam yaitu 1. Difusi pasif Mekanisme menyangkut senyawa yang dapat larut dalam komposisi penyusun membrane. Penembusan karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia dan tidak memerlukan energy. Sebagian besar obat melalui mekanisme kerja dufusi pasif. Difusi pasif sangat tergantung kelarutan dalam lemak dan gradient konsentrasi. Molekul hidrofobik memiliki koefesien partisi besar dan molekul hidrofilik memiliki koefesien partisi kecil. 2. Transport protein Mekanisme molekul polar kelarutan rendah dalam minyak, permiabilitas rendah. Beberapa dapat menembus melawan gradient konsentrasi. a. Channels Spekulasi awal terhadap keberadaan small aqueous pores dalam membrane berdasarkan kenyataan membrane sangat permiabel terhadap molekul polar yang kecil. Contohnya air dan ion. Ada dua channel yaitu water channels dan ion channels. b. Difusi terfasilitasi (Carrier) Mekanisme

untuk

menjelaskan

absorpsi

senyawa

larut

air,

tidak

membutuhkan energy, dapat jenuh, dapat terjadi kompetisi dan masih tergantung pada gradient konsentrasi. Contoh untuk gula dan asam amino.

c. Transport aktif (Pumps) Merupakan protein yang dapat mentrasnport senyawa melawan gradient konsentrasi menggunakan Adenosin-5triphosphate (ATP) sebagai energy. 3. Pinositosis Merupakan mekanisme absorpsi untuk makromolekul. Pinositosis mirip seperti fagositosis dimana molekul seperti “dimakan” oleh struktur yang ada dimembrane absorpsi. Kulit merupajan lapisan pelindung yang sempurna terhadap pengaruh luat baik pengaruh fisik maupun pengaruh kimia. Kulit merupakan jaringan yang lentur dan elastis, menutupi seluruh perumkaan tubuh dan merupakan 5% berat tubuh. Kulit dibentuk dari tiga lapisan yang berbeda yang berurutan dari luar ke dalam yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun dari pembuluh darah dan pembuluh getah benting dan lapisan hypodermis yang merupakan jaringan bawah kulit yang berlemak (Aiache, 1982).

Gambar 1. Penampang melintang kulit Absorpsi perkutan menunjukkan bahwa penembusan obat terjadi pada lapisan epidermis kulit dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda yang terdiri dari stratum corneum, stratum licidum, stratu, granulosum, stratu, spinosum, dan stratum basale.

Gambar 2. Penampang melintang lapisan epidermis Terdapat 3 rute absorpsi perkutan yaitu transcelluler route atau rute menembus sel dan intercelluker route atau rute menembs ruang antar sel. Sediaan yang diaplikasikan dii kulit bertujuan local dan sistemik. Untuk sediaan yang bertujuan local, obat tidak diharapkan sampai ke pembuluh darah yang ada dilapisan dermis. Untuk sediaan obat yang bertujuan sistemik, obat diharapkan sampai menembus pembuluh darah yang ada di dermis dan akan dialirkan oleh darah ke seluruh tubuh. Sediaan tersebut disebut dengan sediaan transdermal.

Gambar 3. Rute absorpsi perkutan

Dalam formulasi sediaan transdermal biasanya ditambahkan zat peningkat penetrasi atau absorption enhencher. Golongan senyawa yang dapat digunakan sebagai absorption enhencher adalah alcohol dan poliol, amin dan amida, asam lemak, terpen, ester, sulfoksid,, siklodektrin, dan surfactant (Remon, 2007). Evaluasi biofarmasetik sediaan yang diaplikasikan di kulit diperlukan baik untuk sediaan yang bertujuan local maupun sistemik. Terdapat dua teknik evaluasi sediaan yang diberikan secara perkutan yaitu menggunkan teknik difusi Franz dan difusi “FlowThrough” (Addicks, 1987).

Gambar 4. Skema alat difusi Franz Uji permeasi in vitro yang menggunakan sel difusi Franz harus memperhatikan kondisi penghantaran obat yang dikontrol karena permeasi obat dapat tergantung pada kulit dan membrane yang digunakan. Factor yang perlu diperhatikan dalam uji permeasi in vitro yaitu : 1. Pemilihan membrane Penggunaan kulit manusia sebagai membrane uji mempunyai beberapa kesulitan untuk mendapatkan kulit manusia tersebut, kesulitan dalam mengontrol jenis kelamin, ras, umur, dan kondisi kulit sehingga ujntuj uji in vitro digunakan kulit binatang seperti kulit tikus, babi, marmot, kelinci dan ular. 2. Larutan donor Senyawa yang dilarutkan atau didispersika dalam pembawa (enhancer) akan berdifusi melalui pembawa menuju ke permukaan kulit sebelum obat diabsorpsi. Pembahwa yang dapat mempengaruhi pelepasan senyawa dari pembawa dan dapat berinteraksi

dengan stratum korneum. Factor yang mempengaruhi pelepasan obat melalui sifat fisikokimia zat dan pembawa yakni kelarutan, ukuran molekul, viskositas dan polaritas (Wiechers, 1989). 3. Larutan akseptor Larutan akseptor digunakan sebagai kompartemen akseptor berupa larutan fisiologi salin, larutan ringer, atau larutan fisiologi lainnya rang relevan. Factor penting dari larutan akseptor adalah suhu, kelarutan senyawa dalam medium dan pengadukan (Friend, 1992).

D. ALAT DAN BAHAN Alat :

Bahan :

1. Sel difusi Franz

1. Paracetamol

2. Spektrofotometri UV-Vis

2. Kertas lensa

3. Kuvet

3. KH2PO4

4. Timbangan analitik

4. NaOH

5. Beaker glass

5. Viscolam

6. Pipet tetes

6. Sodium Lauril Sulfat (Texapon) 7. Trietanolamin (TEA)

E. PROSEDUR KERJA 1. Pembuatan cairan reseptor dapar fospat pH 7,4 (FI III, 656) Menimbang 0,59 gram kalium hidrogen fosfat

Menimbang 2,15 gram natrium hidrogenfospat

Larutkan dalam 500ml air bebas karbondioksida

2. Penyiapan membrane Menyiapkan minyak kelapa 15%, asam oleat 15%, vaselin putih 15%, kolesterol 5%, asam stearat 5%, skualen 5%, parafin cair 10%, asam palmitat 10% dan minyak zaitun 20%,

Leburkan seluruh bahan bertititk lebur tinggi

Timbang kertas Whatman, rendm dalam cairan Spangler selama 15 menit.

ngkat kertas dan letakkan diantara 2 kertas saring agar cairan Spangler terhisap

Membran buatan yang akan digunakan ditimbang untuk mengetahui jumlah cairan yang diserap

3. Pembagian gel Menimbang paracetamol , viscolam, dan sodium lauril sulfat

Masukkan paracetamol daoam 50ml aquades, adus sampai larut

Masukkan viscolam dalam larutan tersebut diatas, tetekan TEA sedikit demi sedikit hingga terbentuk massa gel (F0)

Masukkan sodium lauril sulfat dalam beaker glass, tambahkan aquades hingga 100ml (F1)

4. Evaluasi sediaan gel Aliri alat dengan air bersuhu 37℃ Masukkan cairan reseptor kedalam kompartemen reseptor dan catat volum

Letakkan membran yang disiapkan pada alat

Adaptasikan 10 menit

Oleskan gel masing-masin 1 gram diatas membran

Ambil sampel cairan reseptor pada menit ke 5, 15, 30, 60, dan 120 sebanyak 3 ml Ganti cairan reseptor setiap kali pengambilan dengan cairan reseptor bersuhu 37℃ Ukur absorbansi sampel pada Spektrofotometri UV pada λ 243nm Analisis hasil yang diperoleh

F. TUGAS PENDAHULUAN 1. Tuliskan cara pembuaatan dapar fospat pH 7,4 sebanyak 500ml Jawab : Dapar fospat pH 7,4 (FI III, 656) : Kalium dihidrogen fosfat

1,18 gram

Natrium dihidrogen fosfat anhidrat

4,3 gram

Add air bebas karbondioksida hingga

1000mL

Pembuatan dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 500ml : Kalium dihidrogen fosfat 

= 0,59 gram

Natrium dihidrogen fosfat anhidrat

= 2,15 gra,

Add air bebas karbondioksida hingga

= 500 ml

2. Cara pembuatan membrane buatan dari kertas Whatman yang dibacemkan dalam cairan Spangler. Jawab : Kertas Whatman no.1 dibacam dengan cairan Spangler. Komposisi cairan Spangler : minyak kelapa 15%, asam oleat 15%, vaselin putih 15%, kolesterol 5%, asam stearat 5%, skualen 5%, parafin cair 10%, asam palmitat 10% dan minyak zaitun 20%. Seluruh bahan dileburkan diawali dengan bahan bertitik lebur tertinggi. Kertas Whatman ditimbang, direndam dalam cairan Spangler selama 15 menit. Kertas diangkat dan diletakkkan diantara 2 kertas saring agar cairan Spangler terhisap. Membran buatan yang telah siap, ditimbang untuk mengetahui jumlah cairan yang diserap. Membran memenuhi syarat uji keseragaman membran jika persentase cairan Spangler terserap antara 102,19-131,22 % (Wirawan, 1993).

G. HASIL PRAKTIKUM 1. Perhitungan absopsi pada gel tanpa peningkat penetrasi (F0) Diketahui : Volume cairan reseptor

= 7mL

Volume sampling

= 3mL

Persamaan

Y= 0,0812x + 0.081 Gel tanpa peningkat penetrasi (F0)

Menit ke

Abs/Y

C (bpj)

Qb’

Fk

Fk kum

Qb

0

40.86206897

5

0.555 5.83743842 40.86206897 17.51231527

15

0.359 3.42364532 23.96551724 10.27093596 17.51231527

41.47783251

30

0.274 2.37684729 16.63793103 7.130541872 27.78325123

44.42118227

60

0.160 0.97290640 6.810344828 2.918719212 34.91379310

41.72413793

2. Perhitungan absopsi pada gel mengandung peningkat penetrasi (F1) Diketahui : Volume cairan reseptor

= 7mL

Volume sampling

= 3mL

Persamaan

Y= 0,0812x + 0.081 Gel mengandung peningkat penetrasi (F1)

Menit

Abs/Y

C (bpj)

Qb’

Fk

Fk kum

Qb

5

0.594

6.31773399

44.22413793

18.95320197

0

44.22413793

15

0.423

4.21182266

29.48275862

12.63546798

18.95320197

48.43596059

30

0.458

4.64285714

32.49999998

13.92857143

31.58866995

64.08866993

60

0.349

3.30049261

23.10344828

9.901477833

45.51724138

68.62068965

ke

3. Grafik hubungan antara jumlah obat yang terabsorpsi dengan waktu pada F0 dan F1

Hubungan Qb dan waktu pada F0 dan F1 80 70 60

Qb

50 40

F0

30

F1

20 10 0 0

10

20

30

40

50

60

70

Waktu (menit)

Gambar 5. Hubungan antara Qb dan waktu pada F0 dan F1

H. PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian evaluasi sediaan yang diberikan melalui rute perkutan secara in vitro menggunakan sel difusi Franz. Prinsip kerja dari sel difusi Franz dengan meletakkan membrane semi permiabel diantara kompartemen donor dan reseptor, kemudian senyawa-senyawa yang masuk kedalam cairan reseptor diukur kadarnya menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Cairan reseptor yang dimaksut mengambarkan cairan tubuh yang terbuat dari larutan dapar phospat pH 7,4. Pada pengujian ini kulit yang digunakan adalah kulit sintesis yaitu membrane kertas Whatmann yang dibacemkan dalam cairan Spangler dimana membrane tersebut menggambarkan menggambarkan stratum korneum yang menjadi penghalang utama obat melewati kulit. Cairan Spangle yang terdiri dari minyak kelapa 15%, asam oleat 15%, vaselin putih 15%, kolesterol 5%, asam stearat 5%, skualen 5%, parafin cair 10%, asam palmitat 10% dan minyak zaitun 20%. Komponen dalam cairan Spangler ini menyerupai kondisi kulit manusia. Meskipun memiliki sifat menyerupai kulit tetapi bahan–bahan tersebut tidak memiliki sifat sekompleks kulit sebenarnya. Membrane dibuat dengan merendam kertas Whatmann dalam cairan Spangker selama 15 menit, kemudian diletakkan diantara dua kertas saring agar cairan Spangler terhisap. Membrane yang akan

digunakan harus ditimbang agar memiliki bobot yang sama untuk mengetahui jumlah cairan yang diserap. Absorpsi melalui kulit dapat melalui rute transdermal. Rute transdermal bertujuan sistemik dengan menembus ke pembuluh darah yang didernmis adan akan dialirkan ke seluruh tubuh oleh darah. Rute transdermal, obat akan mengalami partisi ke stratum korneum kemudian berdifusi melalui matriks lipid-protein pada startum korneum. Selanjtnya obat akan perpartisi ke epidermis aktid lalu berdifusi melalyi massa selular pada epidermis. Proses difusi melalui massa berserabut dari dermis bagian atas dan terjadi penetrasi terhadap pembuluh kapiler dan mengalami pengenceran sistemik. Obat yang dievaluasi absoprsinya pada kulit adalah sediaan gel dengan zat aktif paracetamol. Penggunaan utama paracetamol sebagai antipiretik. Paracetamol agak sukar larut dalam air, tetapi mudah larut dalam etanol. Paracetamol dapat diabsorpsi secara cepat karena sifatnya cenderung lipofilik. Pembuatan gel dilakukan pencampuran zat aktif paracetamol dengan viscolam sebagai basis gel yang dapat juga digunakan sebagai emulgator dan ditambahkan sedikit trietanolamin sebagai alkilazing agent karena bersifat basa. Gel tersebut sebagai F0 atau gel tanpa peningkat penetrasi. Selanjutnya dibuat lagi gel paracetamol dengan komposisi tersebut diatas namun dilakukan penambahan sodium lauril sulfat sebagai peningkat penetrasi (skin penetrant). Gel tersebut dilabeli sebagai F1 yang merupakan gel yang mengandung peningkat penetrasi kulit. Peningkat penetrasi digunakan unutuk memperbaiki fluks obat melewati membrane. Peningkat penetrasi yang efektif dapat meningkatkan penghalangan dari startum korneum. Peningkat penetrasi dapat bekerja dengan tiga mekanisme yaitu dengan merusak struktur stratum korneum, berinteraksi dengan protein interseluler dan memperbaiki partisi obat. Selanjutnya dilakukan evaluasi sediaan gel dengan sel difusi Franz yang merupakan mettode pengujian difusi secara in vitro, dimana kondisi pengujian disesuaikan pada kondisi manusia. Digunakan kulit sintetis dari kertas Whatmann yang dibuat mirip dengan kondisi membrane manusia. Kompartemen reseptor berisi dapar fosfat pH 7,4. Pemilihan dapar fosfat pH 7,4 dimaksudkan mengkondisikan cairan seperti pH tubuh normal yaitu tubuh manusia normal mempunyai kisaran pH 7,35 samapi 7,45. Pengkondisian pH seuhu sesuai dengan pH dan suhu normal manusia normal dimaksutdkan untuk menghasilkan nilai pengujuran yang mendekati atau sama dengan bila pengujian dilakukan langsung terhadap manusia. Pengujian dengan sel difusi Franz dilakukan dengan pengaturan suhu 37℃ yang dikondisikan seperti suhu tubuh normal.

Kompartemen aseptor ditambahkan magnetic bar dengan kecepatan 120 rpm yang menggambarkan sirkulasi darah dalam tubuh yang terus mengalir. Pengambilan sampel sebanyak 3 ml dari cairan reseptor dilakukan pada menit ke 5, 15, 30 dan 60. Kemudian sampel dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 243 nm. Pemilihan instrrumen analisis spektrofotometri karena sampel yang digunakan memiliki gugus kromofor dan auksokrom yang dapat dideteksi oleh alat. Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian dilakukan perhitungan untuk mengetahui jumlah obat yang terabsorpsi pada sediian gel yang diberikasn secara perkutan. Dari hasil praktikum dapat dilihat pada gamber 5. Hubungan antara jumlah obat yang terbasopsi dengan lamanya waktu penetrasi obat kedalam tubuh. Semakin lama waktu jumlah obat yang terabsorpsi akan semakin besar sehingga obat yang masuk dalam darah dan dialirkan keseluruh tubuh lebih banyak dan memiliki efek terapeutik sesuai dengan yang diharapkan. Pada F1 dengan formula gel dengan tambahan sodium lauril sulfat sebagai peningkat penetrasi, memiliki jumlah obat yang terabsorpsi lebih besar dibandingkan dengan F0 yang merupakan gel tanpa tambahan sodium lauril sulfat. Peningkatan penetrasi akan mengurangi waktu laten (lag time) pada pemberian gel sehingga akan segera dihasilkan efek terapetik. I. KESIMPULAN Dari hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa evaluasi sediaan gel paracetamol yang diberikan perkutan secara in vitro menggunakan sel difusi Franz pada gel dengan penambahan peningkat penetrasi (F1) memiliki absorpsi yang lebih besar dibandingkan dengan gel tanpa penambahan penetrasi (F0). J. DAFTAR PUSTAKA Addick, W.J., et. Al., 1987. Validation of Flow-Through Diffusion Cell for Use in Transdermal Research. Pharmaceutical Research. Vol. 4 No. 4. 338. Aiche, J.M., and Her,am, A. M. G., 1982. Farmasetika & Biofarmasi. Edisi 2. Technique et Documentation. Paris. Remon J. P., 2007. Penuntun Praktikum Biofarmasi. STFB. Bandung. Wirawan, T., 1993, Pengaruh pH dan Tween 80 Terhadap Laju Difusi Natrium diklofenak Melalui Membran yang Dibacam dengan Larutan Spangler, Tugas Akhir Sarjana Farmasi, Departemen Farmasi, FMIPA, ITB, Bandung, 18-22.

K. LAMPIRAN...


Similar Free PDFs