Laporan Praktikum Pati dan Tepung PDF

Title Laporan Praktikum Pati dan Tepung
Course Teknologi Pengolahan Pangan
Institution Universitas Padjadjaran
Pages 17
File Size 355.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 145
Total Views 640

Summary

V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASANPraktikum yang dilakukan kali ini mengenai proses pembuatan tepung dan pati. Pati dan tepung merupakan dua bahan yang berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari segi karakteristik dan proses pembuatan.5 Tepung Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara p...


Description

V.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilakukan kali ini mengenai proses pembuatan tepung dan

pati. Pati dan tepung merupakan dua bahan yang berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari segi karakteristik dan proses pembuatan. 5.1

Tepung Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara pengilingan

atau penepungan. Tepung memiliki kadar air yang rendah, hal tersebut berpengaruh terhadap keawetan tepung. Jumlah air yang terkandung dalam tepung dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat dan jenis atau asal bahan baku pembuatan tepung, perlakuan yang telah dialami oleh tepung, kelembaban udara, tempat penyimpanan dan jenis pengemasan. Tepung juga merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena akan lebih tahan disimpan, mudah dicampur, dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Cara yang paling umum dilakukan untuk menurunkan kadar air adalah dengan pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering biasa (Nurani dan Yuwono, 2014). Tepung dibuat dengan kadar air sangat rendah sekitar 2-10%. Hal ini menunjukan bahwa tepung memiliki daya simpan yang lebih lama (Subagio, 2006). Menurut SNI 01-29741992, kadar air tepung maksimal 14%. Pembuatan tepung memiliki proses dan metode yang berbeda-beda tergantung dari jenis bahan apa yang akan dijadikan sebagai bahan dasar tepung, bisa dari gandum, umbi, bahkan sampai tulang hewan bisa dijadikan sebagai tepung. Tahapan proses pengolahan tepung pada umumnya terdiri dari pemilihan bahan, pembersihan, pengcilan ukuran, pengeringan, penggilingan/ penepungan, dan penyaringan (Murtiningsih, 2011). Pada proses pemilihan bahan baku, pengeringan, hingga penepungan memiliki metode yang berbeda tergantung dari bahan apa yang dijadikan tepung. Sortasi bertujuan untuk memisahkan mana bahan yang telah rusak atau busuk dengan bahan yang masih segar. Pemisahan dilakukan agar didapat kualitas tepung yang baik. Hasil penyortiran ini sangat penting di dalam proses keseragaman pindah panas pada saat pengeringan (Brennan,

1974).

Setelah dilakukan sortasi bahan terbebas, kemudian dilakukan pencucian dengan

air agar bahan terbebas dari kotoran yang menempel pada bahan. Setelah dicuci bahan harus melewati proses trimming yaitu pembersihan bahan dari bagianbagian misalnya akar yang tidak ikut dalam proses pengeringan. Reduksi ukuran dilakukan setelah perlakuan trimming, reduksi ukuran menurut Brennan memiliki arti pemecahan bahan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, di mana proses pengecilan ukuran merupakan suatu proses yang penting dalam Industri pangan. Tujuan pengecilan ukuran ini adalah untuk memperbesar luas permukaan bahan yang membantu dan memperlancar proses, dalam hal ini mempercepat bahan dan mempercepat proses blanching (Brennan, 1974). Menurut Herman (1991) kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan. Hal ini merupakan salah satu sebab dilakukan pengurangan atau pengeluaran air dari bahan pangan di dalam pengolahan misalnya dengan cara penguapan atau pengeringan. Dalam proses pembuatan tepung, dilakukan proses perendaman dalam larutan natrium metabisulfit. Menurut Margono, dkk (1993) fungsi

Natrium

metabisulfit

untuk

mencegah

proses

pencoklatan

dan

mempertahankan warna agar tetap menarik. Maryati (1992) dikutip dalam Taib Gunarif (1988) menyatakan pengeringan yang dilakukan dapat berlangsung dengan cepat, maka harus diberikan energi panas (suhu panas) pada bahan yang akan dikeringkan dan aliran udara untuk mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan. Jadi penggunaan suhu 60-70 oC selama 6-7 jam itu relatif. Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dan bahan makanan maka semakin cepat pula terjadinya pemindahan air. Namun bila udara yang digunakan sebagai medium pemanas, maka faktor suhu ini sangat tergantung pada kecepatan aliran udara menentukan kecepatan pengeringan. Air yang keluar dari bahan yang dikeringkan akan menjenuhkan udara sehingga kemampuanya untuk menyingkirkan air berkurang. Jadi dengan semakin tinggi suhu pengeringan, maka proses pengeringan akan semakin cepat. Akan tetapi bila tidak sesuai dengan bahan yang dikeringkan, akibatnya akan terjadi suatu peristiwa yang disebut “case hardening” yaitu suatu keadaan di mana bagian luar (permukaan) dari bahan sudah kering sedangkan sedangkan bagian dalamnya masih basah. Menurut Mathew and Parpia (1971) dan Flick et al (1977) pencoklatan pada bahan pangan disebabkan oleh reaksi mekanis selama panen,

pasca panen, penyimpanan dan pengolahan, dan merupakan penyebab utama dari penurunan mutu. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan tepung yang halus dan kasar. Penyaringan dilakukan dengan ayakan berukuran 100 mesh. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan plastik PP dan silica gel. Plastik PP memiliki kerapatan yang tinggi, tahan terhadap suhu dan kelembapan, serta memiliki daya serap air yang rendah sehingga mampu melindungi produk (Furqon, Maflahah, dan Rahman, 2016). Silica gel merupakan produk penyerap kelembapan udara yang sangat cocok untuk diaplikasikan untuk menjaga kualitas produk dalam kemasan tertutup. Silica gel bekerja efektif tanpa mengubah produk bentuk zatnya. Silica gel apabila disentuh tetap kering walaupun dia sudah bereaksi menyerap kelembapan udara (Mareta dan Shofia, 2011). Hasil pengamatan pembuatan tepung dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Hasil Pengamatan Pembuatan Tepung Karakteristik Kenampakan Sampel Rendemen Warna Aroma Tekstur 27,21% Putih agak Khas Halus+++ krem pisang Pisang

Ubi Jalar

Ubi Kayu

Halus +++ ++

Putih +++ ++

Khas Singkong

Sangat Halus

Putih agak krem

Khas sukun

Halus +++ ++

25,67%

402 g 1560 kg 64,98%

Beras

Khas ubi jalar

21,10%

23,70% Sukun

Orange muda

Putih +++ ++

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)

Khas beras

Halus dan Licin

Gambar

Tepung pisang adalah salah satu hasil pengolahan pascapanen buah pisang. Tepung pisang merupakan hasil penggilingan buah pisang kering (gaplek pisang) dan merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Umumnya semua jenis buah pisang mentah dapat diolah menjadi tepung, tapi warna tepung yang dihasilkan bervariasi, karena dipengaruhi oleh tingkat ketuaan buah, jenis buah dan cara pengolahan. Tepung pisang dibuat dari buah pisangyang masih mentah namun yang sudah cukup tua. Tepung pisang merupakan salah satu alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (fortifikasi), dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000). Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui nilai rendemen tepung pisang adalah 27,21%. Hal ini sudah sesuai dengan literatur, berdasarkan hasil analisa Dian Histifarina (2010), dalam diversifikasi produk pisang, tepung pisang bisa di jadikan sebagai bahan substitusi pembuatan roti. Untuk meningkatkan nilai tambah buah pisang di butuhkan rendemen diatas 25%. Warna tepung yang dihasilkan adalah putih agak krem, hal ini sesuai dengan SNI (01-3841-1995). Ciri tepung pisang yang dianggap normal dan telah memenuhi standar SNI adalah berwarna khas daging pisang, yaitu putih kekuningan atau putih kecoklatan (SNI, 1995). Menurut SNI (1995), ciri tepung pisang yang dianggap normal dan telah memenuhi standar SNI adalah beraroma khas buah pisang. Hasil pengamatan yang diperoleh sudah sesuai dengan SNI. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 01-3841-1995 tentang tepung pisang, kehalusan lolos ayakan 60 mesh minimal 95%. Hasil pengamatan diperoleh kehalusan yang lolos ayakan hanya 74%, adanya perbedaan ini dikarenakan ayakan yang digunakan lebih kecil yaitu 100 mesh sehingga hasil yang diperoleh lebih sedikit. Tepung ubi jalar merupakan hancuran ubi jalar yang dihilangkan sebagian kadar airnya sekitar 7 % (Sarwono, 2005). Tepung ubi jalar mempunyai banyak kelebihan antara lain: (1) lebih luwes untuk pengembangan produk pangan dan nilai gizi, (2) lebih tahan disimpan sehingga penting sebagai penyedia bahan baku industri dan harga lebih stabil, (3) memberi nilai tambah pendapatan produsen dan menciptakan industri pedesaan serta meningkatkan mutu produk (Damardjati dkk,

1993). Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa rendemen yang diperoleh sebesar 21,10%, hal ini sesuai dengan literatur. Rendemen tepung ubi jalar sebesar 20-30% tergantung dari varietas ubi jalarnya (Antarlina dan J.S. Utomo, 1999). Warna tepung ubi jalar adalah orange muda, hal ini dikarenakan adanya kandungan antosianin pada ubi jalar yang digunakan. Antosianin termasuk dalam kelompok flavonoid yang penyebarannya luas diantara spesies tanaman, merupakan pigmen berwarna yang umumnya terdapat di bunga berwarna merah, ungu dan biru (Nurani dan Yuwono, 2014). Tekstur yang halus pada tepung ubi jalar dikarenakan sebelumnya tepung sudah mengalami proses penghalusan menggunakan grinder dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh sehingga hasilnya sangat halus. Aroma pada tepung ubi jalar timbul dikarenakan adanya senyawa volatile dalam ubi jalar. Dijelaskan oleh Herman (1991), bahwa turunan aldehida-keton, aldehid aromatik yang terkandung dalam ubi jalar mempunyai bau yang khas, dimana aroma tersebut akan semakin terurai (keluar)

apabila dilakukan pengolahan seperti perebusan, pengukusan, dan

penggorengan. Ubi kayu (Manihot esculenta) merupakan salah satu tanaman tropis yang paling berguna dan secara luas dimanfaatkan sebagai sumber kalori yang murah. Namun, ubi kayu mengandung asan sianida (HCN) yang versifat toksik, sehingga masalah penurunan kadar HCN menjadi perhatian utama dalam pemanfaatan ubi kayu. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperpanjang umur simpan ubi kayu adalah dengan mengolahnya menjadi tepung (Kobawila et al., 2005; Adamafio et al., 2010). Rendemen yang dihasilkan adalah 25,67%. Menurut Arief dan Asnawi (2010), rendemen tepung ubi kayu berkisar 25-30%. Berdasarkan SNI 01-2997-1996 tentang tepung pisang, syarat mutu tepung pisang adalah memiliki warna putih, aroma khas singkong dan kehalusan lolos ayakan 80 mesh adalah minimal 90%. Hasil praktikum sudah sesuai dengan SNI tentang tepung pisang. Sukun merupakan tanaman lokal yang penyebarannya sangat luas dan merata di daerah yang beriklim tropis, termasuk Indonesia (Taylor & Tuia, 2007). Buah sukun menjadi komoditas yang cukup penting karena produktivitasnya yang tinggi (Omobuwajo et al., 2003). Meskipun demikian, pemanfaatan buah sukun masih terbatas karena masalah penyimpanan yang sulit dalam bentuk buah segar.

Oleh karena itu, salah satu upaya yang dilakukan adalah mengolahnya dalam bentuk tepung. Buah sukun yang ditepungkan memiliki nilai zat gizi yang relatif tetap dan pemanfaaatannya tidak terkendala waktu (Adebayo & Ogunsola, 2005). Warna tepung sukun yang dihasilkan adalah putih agak krem. Warna tepung yang tidak putih sempurna diakibatkan buah sukun mengandung enzim polifenol. Enzim polifenol adalah enzim yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan pada buah sukun ketika dikupas. Untuk mencegah terjadinya pencoklatan, sukun direndam dalam larutan natrium metabisulfit. Tujuan dari perendaman buah sukun yaitu untuk mengurangi rasio pencoklatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprapti (2002) yang menyatakan bahwa buah sukun direndam dalam natrium metabisulfit bertujuan untuk mencegah reaksi pencoklatan yang disebabkan oleh enzim polifenol yang berada dipermukaan bekas irisan buah sukun. Aroma yang dihasilkan sudah sesuai dengan SNI. Menurut SNI 01-37522006 tepung bahwa aroma yang baik untuk tepung yaitu normal (bebas dari bau asing). Tekstur yang halus pada tepung sukun dikarenakan sebelumnya tepung sukun sudah diayak menggunakan ayakan 100 mesh sehingga hasilnya sangat halus. Menurut Widowati et.al. (2001), rendemen tepung sukun sebesar 10-18%. Hasil yang diperoleh dari praktikum lebih besar dibandingkan literatur, hal ini dapat dikarenakan adanya perbedaan penggunaan alat pengering dan tingkat kematangan sukun yang digunakan. Tepung beras merupakan salah satu alternatif bahan dasar dari tepung komposit dan terdiri atas karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin. Tepung beras adalah produk setengah jadi untuk bahan baku industri lebih lanjut. Untuk membuat tepung beras membutuhkan waktu selama 12 jam dengan cara beras direndam dalam air bersih, ditiriskan, dijemur, dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 80 mesh (Hasnelly dan Sumartini, 2011). Menurut SNI 3549:2009 tentang tepung beras, syarat mutu tepung beras adalah memiliki warna putih khas tepung beras, berbentuk serbuk halus, memiliki aroma normal khas beras dan kehalusan lolos ayakan 80 mesh adalah minimal 90%. Tepung beras yang dihasilkan dari praktikum sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Rendemen yang dihasilkan sebesar 64,98%. Rendemen yang bermutu bagus

adalah dengan presentase 50% atau setengah dari berat awal. Jumlah rendemen juga dipengaruhi oleh proses pengeringan di udara terbuka (K.A. Buckle, 1985).

5.2

Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang

banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi (Hill dan Kelley, 1942). Selain ukuran granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976). Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak (Bank dan Greenwood, 1975). Umumnya pati mengandung 15 – 30% amilosa, 70 – 85% amilopektin dan 5 – 10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1979). Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran, ada yang berbentuk bulat, oval, atau bentuk tak beraturan demikian juga ukurannya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron ini tergantung sumber patinya (Fennema, 1985). Menurut Richana dan Titi (2004), pembuatan pati terdiri dari proses pencucian, pengupasan, pengecilan ukuran, penyaringan, pengendapan, pencucian pati,

pengeringan,

penggilingan

dan

pengayakan

dengan

ayakan

80

mesh. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih melekat pada permukaan kulit bahan. Pengupasan bertujuan untuk membuang bagianbagian yang tidak di inginkan dan rusak seperti bagian lapisan kulit luar, akar dan kotoran yang melekat pada lapisan kulit serta bagian yang cacat. Pengecilan ukuran bertujuan mempermudah proses penghancuran. Penghancuran bertujuan untuk merusak jaringan pada bahan sehingga mempermudah pengeluaran pati. Penghancuran dilakukan dengan bantuan air dengan perbandingan 1:4 dengan menggunakan blender. Menurut Jayanuddin et al. (2014), banyaknya pelarut air mempengaruhi luas kontak padatan dengan pelarut air sehingga distribusi pelarut air ke padatan akan semakin besar. Meratanya distribusi pelarut ke padatan akan memperbesar rendemen yang dihasilkan. Semakin banyak penambahan air dalam perbandingan maka kadar pati semakin tinggi hal ini dikarenakan jumlah air yang ditambahkan pada pati mempengaruhi sifat dari sistem pati (Richana dan Sunarti, 2004). Penyaringan bertujuan untuk memisahkan fraksi pati dengan ampas dengan menggunakan kain saring. Pengendapan pati bertujuan untuk memisahkan fraksi pati dengan komponen lain yang tidak di inginkan. Pengendapan di lakukan selama 24 jam, agar pati yang diinginkan benar-benar sudah terpisah dari komponen lain dan tidak ada pati yang tersisa. Pencucian pati bertujuan untuk memisahkan komponen pati dengan kotoran yang masih melekat pada pati. Pencucian dilakukan sebanyak 2-3 kali dengan bantuan air bersih. Pengeringan bertujuan untuk mengeluarkan air yang terdapat pada bahan hingga diperoleh kadar air tertentu. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 50ocelcius selama 24 jam. Menurut Muchtadi (1997), proses pengeringan sangat dipengaruhi oleh suhu dan lama pengeringan. Akan tetapi pengeringan dengan menggunakan suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan pengeringan yang tidak merata. Semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar pati semakin menurun. Hal ini diduga karena perlakuan suhu yang tinggi akan mengakibatkan rusaknya sebagian molekul pati pada saat pengeringan (Lidiasari, E., et al, 2006). Novary (1997) menyatakan bahwa waktu dan suhu pengeringan yang digunakan tidak dapat ditentukan dengan pasti untuk setiap bahan pangan, tetapi tergantung

pada jenis bahan yang dikeringkan, diantaranya untuk jenis bubuk bahan pangan menggunakan suhu 40 – 60oC selama 6 – 8 jam. Penggilingan bertujuan untuk menghancurkan pati yang telah dikeringkan hingga membentuk partikel-partikel yang halus. Pengayakan bertujuan untuk memisahkan bagian-bagian yang tidak diinginkan seperti kotoran, debu atau bahan lain yang mungkin terikut sehingga akan menghasilkan pati yang memiliki tekstur halus dan ukuran yang seragam. Pengayakan dilakukan dengan menggunakan ayakan 80 mesh (Richana dan Titi, 2004). Pati yang sudah diayak disimpan dalam kemasan PP dan menggunakan silica gel. Penggunaan plastik PP dikarenakan kemasan tersebut memiliki kerapatan yang tinggi, tahan terhadap suhu dan kelembapan, serta memiliki daya serap air yang rendah sehingga mampu melindungi produk (Furqon, Maflahah, dan Rahman, 2016). Silica gel merupakan produk penyerap kelembapan udara yang sangat cocok untuk diaplikasikan untuk menjaga kualitas produk dalam kemasan tertutup. Silica gel bekerja efektif tanpa mengubah produk bentuk zatnya. Silica gel apabila disentuh tetap kering walaupun dia sudah bereaksi menyerap kelembapan udara (Mareta dan Shofia, 2012). Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Hasil Pengamatan Pembuatan Pati Karakteristik Kenampakan Sampel Rendemen Warna Aroma Tekstur

Pisang

Ubi Jalar Ubi Kayu

1,39 %

Putih Tidak Kecoklatan Beraroma

8.744%

Tidak beraroma

11.016%

1.935% Sukun

Putih

Putih +++ ++ Putih +++

Tidak beraroma Khas sukun +, Bau busuk ++

Halus + +++

Halus dan kesat Halus + ++++ Halus + dan kesat

Gambar

Beras

18,33%

Putih

Khas Beras

Halus dan Licin

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018) Dalam meningkatkan nilai guna pisang, beberapa penelitian sudah dilakukan untuk mengkonversi pisang menjadi pati dan tepung (Sunthralingam dan Ravindran, 1993). Berdasarkan hasil pengamatan, pati pisang memiliki rendemen sebanyak 1,39%. Alamanda, D.S. (2015) dalam penelitiannya tentang Karakteristik Fisikokimia Pati Pisang Pada Berbagai Tingkat Kematangan, menyatakan bahwa varietas pisang tidak terlalu memengaruhi jumlah rendemen dari pati pisang, namun tingkat kematangan pisang memengaruhi jumlah rendemen dengan sangat signifikan, hal tersebut dijelaskan dalam grafik berikut

Gambar 1. Grafik rendemen proses ekstraksi pati pisang dari varietas dan tingkat kematangan yang berbeda (%, basis basah) (Alamanda D.S., 2015)

Rendemen pati pi...


Similar Free PDFs