Makalah kependudukan - studi kasus PDF

Title Makalah kependudukan - studi kasus
Author Ridwan Fadhly
Course Hukum
Institution Universitas Padjadjaran
Pages 11
File Size 286.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 60
Total Views 191

Summary

Hubungan Hukum Kependudukan dengan Pencatatan Sipil(Studi Kasus minimnya pencatatan perkawinan di desa SuntejayaKabupaten Bandung Barat)Mata Kuliah:Hukum KependudukanDISUSUN OLEH:AZEEM MAHENDRA AMEDI 110110160271MUHAMMAD RIDWAN FADLY 110110160320FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS PADJADJARANJATINANGORDAFTAR ...


Description

Hubungan Hukum Kependudukan dengan Pencatatan Sipil (Studi Kasus minimnya pencatatan perkawinan di desa Suntejaya Kabupaten Bandung Barat)

Mata Kuliah: Hukum Kependudukan

DISUSUN OLEH: AZEEM MAHENDRA AMEDI

110110160271

MUHAMMAD RIDWAN FADLY

110110160320

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2019

DAFTAR ISI DAFTAR ISI……………………………………………………………….………...ii BAB I : PENDAHULUAN 1. Latar Belakang………………………………………………………………...1 2. Perumusan Masalah…………………………………………………….……..3 BAB II : PEMBAHASAN A. Pencatatan Sipil dalam Hukum Kependudukan……………………….……..4 B. Hubungan Pencatatan Sipil dengan Hukum Kependudukan ………….……..5 C. Analisis Kasus ………………………….......…………………………...……6 BAB III : PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………………..…8 B. Saran………………………………………………………………………....8 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..........9

ii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk saat ini semakin meningkat dan itu menjadi isu yang sangat popular dan mencemaskan bagi negara-negara di dunia. Hal ini menjadi masalah

besar

dibandingkan

negara

lain,

pertumbuhan

penduduk

akan

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik ekonomi maupun sosial, terutama peningkatan mutu kehidupan atau kualitas penduduk dalam sumber daya manusia yang dibarengi besarnya jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Semuanya terkait penyediaan anggaran dan fasilitas kesehatan, pendidikan serta ketersediaan pangan. Salah satu aspek yang mempengaruhi jumlah pertumbuhan tersebut adalah peristiwa perkawinan. Hukum kependudukan mengatur mengenai perkawinan, yakni suatu peristiwa yang dapat memberi dampak negatif atau bahkan positif kepada laju pertumbuhan penduduk. Hal tersebut disebabkan karena dengan perkawinan dapat meningkatkan kuantitas penduduk serta kualitas kelahiran di suatu wilayah tertentu. Dengan adanya perkawinan suatu negara atau wilayah dapat menentukan dan merencanakan pembangunan demografi secara jelas dan terarah. Akan tetapi perkawinan tersebutpun harus sesuai dengan peraturan peraturan yang berlaku dan diakui sah menurut negara. Perkawinan yang sah adalah Perkawinan yang dicatatkan, Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menurut Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.1 Mencatatkan perkawinan sejatinya merupakan bentuk instrumentasi jaminan hukum dalam sebuah perkawinan. Hal ini tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam saja, melainkan juga bagi mereka yang beragama Kristen, Katholik, Hindu maupun Budha. Sebagaimana tertuang dalam UU no. 22 tahun 1946 j.o. UU No 32 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk ( penjelasan pasal 1) juga dalam UU No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 2, yang diperkuat dengan Inpres RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 5 dan 6.

1 Pasal 2 ayat 2 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

1

Pencatatan perkawinan itu berfungsi sangat penting sebagai alat bukti tertulis yang sah untuk memperkarakan persoalan rumah tangga secara hukum di Pengadilan Agama. Disamping itu, juga untuk urusan-urusan administratif suamiisteri dan anak-anaknya.2 Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa kependudukan penting, bukan hanya suatu peristiwa hukum.3 Akta nikah/ Buku Nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang menentukan keabsahannya suatu perkawinan adalah menurut agama.4 akan tetapi dengan adanya pencatatan perkawinan, baik negara maupun pihak yang melaksanakan perkawinan dapat melaksanakan dan mendapatakan hak dan kewajiban yang memang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi fakta mengatakan bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang tidak melaksanakan pencatatan perkawinan, terkhusus di daerah-daerah pedesaan. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah terkait pencatatan perkawinan, jauh dan sulitnya akses menuju KUA maupun kantor catatan sipil, ketidak mampuan biaya pihak yang melangsungkan perkawinan, pekwaninan usia dini, budaya daerah dan masih banyak faktor pengaruh lainnya. Seperti yang terjadi pada puluhan pasangan suami isteri (pasutri) di Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang belum mengantongi buku nikah. Menurut kesaksian kepala desa setempat ada sejumlah faktor yang membuat banyak pasutri di desanya tidak memiliki buku nikah. Kebanyakan pasutri itu menikahnya bukan sekarangsekarang ini. Ada yang buku nikahnya hilang, terbakar, nikah siri, dan ada juga yang memang kurang persyaratan administrasinya. Menurut kesaksiannya, “dulu itu kan

2 Regina Hutabarat, Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan, (Jakarta : Pustaka Ilmu, 1986), hlm. 58 3 Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU No. 1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselengarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hlm. 4 4 Ibid, hlm. 6

2

yang penting nikah saja dulu dan biasanya karena kekurangan dana, jadi belum mengurus surat nikah”.5 Berdasarkan maraknya daerah dimana penduduknya tidak mencatatkan perkawinan tersebut dapat memberi masalah baik secara hukum maupun sosial terkhusus terkait masalah kependudukan karena perkawinan menjadi aspek penting dalam menentukan angka pertumbuhan penduduk. Sehingga dalam makalah ini akan dikaji terkait hubungan kependudukan dengan pencatatan sipil dalam hal ini pencatatan perkawinan serta dampak-dampak yang ditimbulkan dari maraknya perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut. B. Identifikasi Masalah a. Bagaimana Pencatatan Sipil dalam hukum kependudukan? b. Bagaimana Hubungan hukum kependudukan dengan pencatatan Sipil? c. Bagaimana analisis kasus tersebut?

5 https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2019/03/26/puluhan-pasutri-di-suntenjaya-belum-milikibuku-nikah

3

BAB 2 PEMBAHASAN A. Pencatatan Sipil dalam Hukum Kependudukan Pencatatan sipil merupakan salah satu aspek penting dalam hukum kependudukan. Pencatatan sipil menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan beserta perubahannya, adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana (perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan

berwenang

melaksanakan

pelayanan

dalam

urusan

administrasi

kependudukan).6 Peristiwa penting sendiri adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.7 Setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pencatatan sipil, hal ini berlaku tidak hanya bagi Warga Negara Indonesia yang ada di wilayah Indonesia, namun juga dengan WNI di luar negeri.8 Pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah Kabupaten/Kota dan instansi pelaksana

adalah

aparatur

yang

berkewajiban

dan

bertanggung

jawab

menyelenggarakan pencatatan sipil.9 Tidak hanya berkewajiban untuk memberikan layanan untuk peristiwa kependudukan dan peristiwa penting, namun juga menyelenggarakan bimbingan dan sosialisasi untuk masyarakat agar sadar akan pendaftaran kependudukan dan pencatatan sipil, karena sistem yang digunakan di Indonesia adalah sistem registrasi vital yang mengandalkan inisiatif masyarakat untuk selalu meregistrasi peristiwa kependudukan dan peristiwa penting. Misalnya, dalam pencatatan kelahiran, berdasarkan Pasal 27 UU Administrasi Kependudukan, setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat enam puluh hari sejak kelahiran, yang selanjutnya akan tercatat pada register akta kelahiran dan 6 Pasal 1 angka 7 dan 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 7 Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 8 Pasal 3 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan 9 Pasal 5, 6, 7, dan 8 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

4

diterbitkan kutipan akta kelahiran. Sementara itu bagi kelahiran dalam register akta kelahiran dan penerbitan kutipan akta terhadap peristiwa kelahiran seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orangtuanya, didasarkan pada laporan orang yang menemukan dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan dari Kepolisian. 10 B. Hubungan Pencatatan Sipil dengan Hukum Kependudukan Hubungan erat ada di antara pencatatan sipil dengan hukum kependudukan karena salah satu aspek penting dalam hukum kependudukan adalah pencatatan sipil. Pencatatan sipil dianggap penting karena untuk dapat mendokumentasikan segala peristiwa penting yang terjadi di masyarakat, karena akan berpengaruh kepada data pencatatan sipil dan data kependudukan pula. Misalnya ketika terjadi perkawinan, maka selain diterbitkannya akta perkawinan, akan perlu diterbitkannya Kartu Keluarga (KK) baru, yang akan berpengaruh kepada data kependudukan seperti jumlah rumah tangga yang ada dalam suatu wilayah dan jumlah kepala keluarga. Kaitan erat lainnya adalah pencatatan sipil ini akan berpengaruh saat hendak mendapatkan pelayanan publik. Contohnya, ketika kelahiran maka akan dicatatkan dan diterbitkan suatu kutipan Akta Kelahiran. Akta tersebut berguna untuk pendaftaran sekolah, pelayanan di rumah sakit, dan berbagai akses pelayanan publik lainnya. Ketika tidak tercatat, tidak ada dokumen pencatatan sipil yang diterbitkan, sehingga dapat menghambat akses untuk pelayanan publik tersebut. Selain daripada hal tersebut, kaitan erat lainnya adalah untuk data demografi wilayah. Hal ini berguna untuk statistik untuk mengetahui komposisi penduduk berdasarkan umur, jumlah fertilitas dan mortalitas, jumlah rumah tangga, serta datadata kependudukan lain yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan bahkan untuk keperluan pemerintahan, seperti penyaluran bantuan sosial berupa jaminan sosial. Walaupun demikian, pencatatan sipil dibutuhkan kesadaran dari masyarakat untuk berinisiatif mencatatkan peristiwa penting yang dialami mereka. Tanpa inisiatif tersebut, pencatatan sipil akan sulit diterapkan. Hal ini dikarenakan diterapkannya metode registrasi vital dalam pencatatan sipil, untuk data yang lebih akurat karena langsung didaftarkan oleh penduduk yang mengalami peristiwa penting itu. Hanya saja, dalam praktik kesadaran itu masih kecil. 10 Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

5

C. Analisis Kasus Apabila berkaca pada kasus yang terjadi pada puluhan pasangan suami istri (pasutri) di Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, selain daripada inisiatif masyarakat yang rendah, adanya hambatan secara finansial untuk mengurus surat nikah dan bahkan rendahnya sosialisasi dari pemerintah setempat. Dari perspektif hukum perkawinan pada perkawinan yang tidak dicatatkan tidak diakui oleh hukum formal karena tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam. Tidak dicatatkan perkawinan akan berdampak negatif pada status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak yang tidak sah. Pasal 42 dan 43 Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat yang sah, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini tentu saja merugikan anak, oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 100 KHI (Kompilasi Hukum Islam) tersebut tidak mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ayah biologisnya. 11 Jika dikaitan dengan hasil kedudukan harta benda perkawinan pada perkawinan yang tidak dicatatkan, maka isteri yang dinikahkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan sepanjang isteri tersebut tidak disahkan secara hukum Negara maka isteri tersebut tidak akan mendapatkan harta dari perkawinannya tersebut serta anak yang dihasilkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Kedua berdasarkan hukum kependudukan ridak dicatatkannya perkawinan menimbulkan banyak sekali dampak negatif terhadap alur demografi serta administrasi kependudukan lainnya. Dengan tidak dicatatkannya perkawinan, anak yang dilahirkan tidak dapat memiliki akta kelahiran, karena salah satu syarat pembuatan akta kelahiran anak adalah bukti perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Bisa mendapatkan akta tersebut dengan konsekuensi bahwa dalam akta tidak akan di cantumkan nama ayah biologisnya, sehingga dalam praktik banyak yang lebih memilih tidak membuat akta akibat tidak dapat dimasukan nama ayah dalam akta tersebut. Menjadi sulit nantinya untuk anak yang tidak memiliki akta kelahiran untuk melakukan administrasi-administrasi kependudukan lainnya, seperti 11 J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak Dalam Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 25.

6

proses

pendaftaran

sekolah,

dicantumkan

dalam

akta

keluarga,

proses

mendapatkan pekerjaan ketika dewasa dan masih banyak hal yang akan dihambat dari tidak didapatkannya akta kelahiran akibat tidak dicantumkannya perkawinan. Selain itu dengan tidak di cantumkannya perkawinan pasangan yang menikah tidak dapat dianggap sebagai keluarga sehingga sulit untuk mendapatkan kartu keluarga, yang mana kartu keluarga ini akan menjadi syarat berbagai macam adminisstrasi kependudukan ataupun non kependudukan lainnya. Lalu dengan tidak dicatatkannya perkawinan akan menghambat proses sensus penduduk atau penghitungan data kependudukan lainnya, karena terdapat perbedaan antara sensus dengan statusnya dikehidupan nyata. Sehingga akan menghambat proses pemerintah dalam menentukan rencana pembangunan kependudukan di masa mendatang. Peran pemerintah dinilai penting untuk membangkitkan kesadaran akan pencatatan sipil, dengan bimbingan dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menyadarkan mereka bahwa pencatatan peristiwa penting diperlukan dan perlu diedukasi juga mengenai biaya yang sebenarnya tidak terlalu berat saat ini. Namun ini harus dibarengi juga dengan inisiatif pemerintah untuk menjamin administrasi kependudukan tidak rumit dan tidak memakan biaya yang besar karena adanya pungutan liar. Selain itu, perlu juga disadarkan bahwa dalam pencatatan sipil ini akan berpengaruh untuk pelayanan publik dan bahkan keperluan lain seperti untuk mendaftarkan diri sebagai peserta ibadah haji. Hal demikian akan semakin meningkatkan inisiatif masyarakat untuk melakukan pencatatan peristiwa penting.

7

BAB 3 PENUTUP A. Kesimpulan Pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting berupa kejadian yang dialami oleh seseorang seperti kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status

kewarganegaraan, dilakukan pencatatan

kepada instansi

pelaksana. Pencatatan

sipil

adalah

salah

satu

aspek

penting

dalam

hukum

kependudukan karena untuk melakukan pendataan peristiwa penting yang dialami oleh masyarakat penduduk dan berpengaruh kepada aspek kependudukan lain, seperti demografi dan komposisi penduduk suatu wilayah. Selain itu, pencatatn sipil dapat membantu pemerintah dalam membentuk kebijakan sosial yang dapat membantu masyarakat. Walaupun

diselenggarakan oleh pemerintah dan

instansi pelaksana,

pencatatan sipil tidak akan berhasil tanpa kesadaran masyarakat untuk mencatatkan peristiwa penting karena digunakannya registrasi vital dalam pencatatan tersebut. Berangkat dari hal tersebut, peran pemerintah cukup sentral yakni untuk mengedukasi kembali pentingnya pencatatan sipil dan penyampain mengenai mekanisme serta biaya kepada masyarakat, sehingga membuka pikiran masyarakat dan membantu meningkatkan inisiatif untuk melakukan pendaftaran. B. Saran Pemerintah sebaiknya meningkatkan sosialisasi dan bimbingan kepada masyarakat akan pentingnya pencatatan sipil untuk meningkatkan kesadaran untuk mencatatkan peristiwa penting. Sosialisasi dan bimbingan itu harus dilakukan dengan jelas dan terarah mengenai mekanisme, biaya, dan manfaat yang ada dalam pencatatan sipil, sehingga masyarakat teredukasi tentang apa urgensi pencatatan sipil. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan dengan Satgas Saber Pungli untuk memastikan tidak ada lonjakan biaya administrasi pencatatan sipil karena adanya pungli, sehingga masyarakat tidak ragu untuk mencatatkan peristiwa penting.

8

DAFTAR PUSTAKA 

Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan



Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.



Regina Hutabarat, Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-undang nomor Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan, (Jakarta : Pustaka Ilmu, 1986)



Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU No. 1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselengarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu tanggal 1 Agustus 2009



J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak Dalam Perkawinan , (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

9...


Similar Free PDFs